10. Sebatas Hadir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu ... Gita Soedarsono kan?"

Barbie berhenti menatap layar ponsel, batal menghubungi kakak perempuannya. Dua jam lalu ia masih bersama penata rias, berbagai alat make up, dan jajaran dress code. Serta suara riuh para kru. Terhitung sejak hari ini kontrak syuting iklan yang kemarin ditandatangani berjalan. Tepat ketika ia memegang ponsel sekadar bertukar sapa dengan Julid-Trinity, nama Dion tertera.

Tentu saja, Barbie mustahil mengabaikan panggilan sang pujaan hati sekalipun keadaan genting. Setelah panggilan tersambung, ia langsung meninggalkan area syuting begitu saja. Percayalah, tidak ada yang sanggup memaksa Barbie meninggalkan pekerjaan tercinta, kecuali Akhfa Dion Gymnastiar. Sekalipun harus membayar penalti atas keputusannya.

"Gita Soedarsono kan?" ulang perempuan itu.

Lamunan Barbie buyar. "Iya.. saya Gita." Ia menghapus jejak-jejak air mata seraya berdiri.

Perempuan itu memindainya dari ujung kaki sampai kepala. Pandangannya menyiratkan kekaguman yang Barbie abaikan. Hari ini ia tampil di luar area syuting tanpa kacamata dan scarf. Orang-orang yang kecanduan akun gosip atau menonton iklan salah satu brand make up ternama pasti mengenalnya.

"Ya ampun! Ternyata tunangan Dion itu model! Hubungan sampai pesta tunangannya pasti privasi banget ya ... enggak tercium akun gosip manapun!"

Apa katanya? Teori dari mana itu? Perempuan berambut sebahu itu nampaknya bukan teman sekampus Cessa ataupun Dion.

Barbie mengerjapkan mata. "Itu, Mbak ... saya enggak setenar itu dan saya bukan ...."

Belum sempat melanjutkan kata-kata, perempuan itu menarik tangan Barbie supaya duduk bersebelahan. Kini wajah perempuan itu dipenuhi segurat penyesalan. "Firasat aku tuh enggak enak waktu Beno cerita lagi menangani kasus berat sama Dion. Terbukti kan firasat aku sekarang benar, mereka kecelakaan," tuturnya begitu saja tanpa berniat melanjutkan topik pembuka tadi.

Karena perempuan itu pun Barbie lupa mengklarifikasi sesuatu. "Kasus apa memangnya, Mbak?"

Mendadak ia jadi menerka-nerka apakah kecelakaan yang Dion alami memang sebuah rekayasa?

Mata perempuan itu melebar ketika mereka bersipandang. "Dion enggak ngasih tahu?"

Barbie hanya menggeleng bersama dahi bererut.

"Tiga hari lalu rekening aku jadi sasaran mereka. Aku kaget begitu lihat notifikasi transferan uang, jumlahnya enggak wajar. Terus aku tanya Beno dan benar dia lagi menangani kasus korupsi besar. Ya, kami mengembalikan uang itu dan langsung blokir rekening bank sementara. Kamu juga kan?"

Barbie menggeleng lagi, ia justru teringat akan sesuatu yang harus diklarifikasi.

"Oh ya, aku Sasha, tunangan Beno." Sasha mengulurkan tangan sambil meringis. "Enggak banget ya kita harus kenalan di situasi kayak gini? Aku juga mau sekaligus minta maaf. Aku sama Beno waktu itu absen hadir di acara kalian soalnya bentrok sama acara keluarga."

Barbie menyambut uluran tangan Sasha dengan hangat. Ternyata perempuan itu terbukti bukan dari kalangan teman Cessa atau Dion semasa kuliah. "Iya, Mbak. Tapi saya bukan tunangan Mas Dion." Senyum tipisnya terkembang sesaat karena Sasha mengernyit.

"Apa?" Mata Sasha terbuka melebihi kapasitasnya.

"Iya, kakak saya yang tunangan sama Mas Dion. Saya izin telepon kakak saya dulu ya, Mbak."

Barbie menjauh dari Sasha yang terlihat bak kehilangan separuh nyawa. Entah apa yang perempuan itu pikirkan, terserah saja. Ia hadir di sini atas rasa sejuta khawatir. Pemandangan Dion di ambulans sudah cukup menakutkan, hingga kekalutan membuncah.

***

Dokter UGD langsung memberikan pertolongan pertama, sehingga dua jaksa tersebut tak lama dipindahkan ke ruang rawat. Senyum Barbie diiringi ucapan terima kasih setelah diantar ke ruang perawatan Dion oleh suster. Ia mendekati brankar bersama langkah ringan. Dion masih berada di bawah pengaruh bius, terdapat beberapa jahitan pada dahi dan tangan.

Barbie menarik kursi di samping brankar. Ia meringis ketika menemukan beberapa lebam.

"Mas ...." Jemari lentiknya menyentuh lengan Dion. "Jangan balapan lagi di jalan ya?" Barbie tahu laki-laki itu tak akan menjawabnya, tetapi ia tetap melanjutkan, "Aku takut lihat kemeja kamu banyak darahnya."

Barbie menggigit bagian dalam pipi, entah kenapa tiba-tiba ribuan jarum seolah menyerang fungsi pernapasan. Sesak dan sakit itu terus bertambah ketika ia memberanikan diri pindah dari kursi ke bagian ranjang yang tersisa.

"Bohong deh ... sebenarnya aku takut kehilangan kamu. Aneh enggak sih, Mas? Kalau kamu enggak dibius pasti kamu udah ngeledekin aku sok melankolis. Tapi ...." Ia menarik napas dalam-dalam sampai-sampai pipi dibasahi bulir-bulir bening. "Ya, aku takut kehilangan kamu, padahal kamu bukan punyaku. Lucu kan?" Ia memaksakan tawa hambar setelahnya.

Barbie menengadahkan wajah, menatap lampu kamar rawat VIP yang cukup terang. "Mas ... matiin lampu ini tuh udah pasti gampang, tinggal tekan saklarnya terus redup." Meski ia sudah mendongak supaya bulir bening di pelupuk matanya menyurut, sama sekali tak berpengaruh. "Sayang banget hatiku enggak punya saklar yang begitu."

Lantas ia kembali menatap wajah teduh Dion Gymnastiar. "Kalau hatimu punya enggak, Mas? Misalnya dibikin redup pas dekat Kak Cessa dan sebaliknya pas di dekatku?"

Jemari lentiknya mengusap lembut rambut laki-laki itu. Sesuatu yang hanya dapat dilakukan dalam mimpi, kini ia wujudkan dengan lancangnya. "Bercanda deh ... itu pasti enggak mungkin terjadi." Lagi, ia menyisipkan tawa hambar di tengah monolognya. "Dan aku enggak tahu apa aku bisa masa bodoh saat menyakiti Kak Cessa? Kalau hal gila semacam kamu punya rasa yang sama kayak aku terwujud."

Senyum manis yang tersungging di bibir seolah menjadi jawaban akan pertanyaannya sendiri. Begitulah, tak ada yang menyenangkan dari jatuh cinta sendirian.

Di sisa waktu, Barbie memuaskan diri memandangi wajah laki-laki itu. Kapan lagi kan ia bisa menatap laki-laki itu sedekat ini? Dan yang paling terpenting ia bisa melayangkan kekaguman pada Dion tanpa ejekan dari siapapun. Tanpa memikirkan apa yang akan orang lain pikirkan tentangnya. Pun, detik ini Barbie ingin menghilangkan batasan di antara mereka.

Detik ini ia ingin menganggap Dion Gymnastiar sebagai orang yang tak pernah bertemu dan menjalin kasih dengan Cessa. Orang yang tak pernah memasang cincin tunangan di jari Cessa.

Biarkan Barbie egois sekali lagi. Kesempatan semacam ini mustahil terulang. Ia melirik sejenak lalu terkekeh. "Cut! Peranku selesai hehe ... Kak Cessa sebentar lagi sampai Mas."

Ponsel yang bergetar menyita atensinya.

🌹Midnight Tea: Madam Rose Golden Ways🌹

Heartfealt talks with Madam, don't miss it!

Barbie memutar bola matanya malas. Aplikasi peramal kartu tarot itu lagi-lagi memunculkan notifikasi. Semuanya berawal dari Sana yang memaksa Barbie berlangganan salah satu fitur aplikasi tersebut. Ia kalah saat bermain truth or dare dan tidak habis pikir kenapa Sana memilih hukuman konyol itu. Fitur yang ia ikuti bukan fitur pencarian jodoh super norak.

Midnight Tea, satu-satunya fitur paling aman dan sedikit mengurangi julukan mengenaskan. Si madam yang entah jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan itu akan melayani dan memberikan solusi masalah percintaan di fitur tersebut semalam suntuk. Barbie menduga si madam merupakan pengangguran kelas berat.

Secara serta-merta Barbie memilih mematikan ponsel. "Prince Charming, saatnya aku minggat dari sisi kamu nih." Sesak masih hinggap di sudut hati. Barbie menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga, cengirannya melebar. "Kalau kangen, tinggalin aja tunangan kamu ya, eh ...."

Barbie membekap bibirnya. "Bercanda deh, Mas, hehe."

Sempat mengecup pipi laki-laki itu sekilas, Barbie beranjak dari brankar. Saat tangannya berhasil menyentuh gagang pintu, ia menoleh sekali lagi. "Get well soon, ya, Mas."

Begitu hendak benar-benar menutup pintu kamar rawat, gerakan Barbie terhenti karena sebuah panggilan lirih menyapa. "Bie ... kamu Barbie kan?"

***

Dion mendengus keras saat membalik lembar halaman buku. Kenapa kamar rawatnya dan Beno harus dipisah? Kalau Beno ada di sini mungkin pembahasan mobil yang disabotase dan keterkaitan perkara bank Centaury mampu menggantikan rasa bosannya. Ia melirik Cessa yang masih sibuk dengan laptop dalam pangkuan. Perempuan itu datang setelah Barbie menemani.

Padahal alter ego seorang Akhfa Dion Gymnastiar berusaha keras menahan Barbie, sebab hadir dan tidaknya Cessa sama saja. Karena ia sudah bisa menebak akan seperti apa nantinya. Jangan lupa, posisi Dion berada dalam skala prioritas terakhir.

Sekalipun Dion babak belur dan nyaris mati, perempuan itu masih juga membawa laptop ke kamar rawat. Kepentingan Cessa masih berada di puncak prioritas. Banjir bandang dan gunung berterbangan pun kalah. Sementara Dion? Sebatas pasangan yang berguna untuk dipajang. Jangan katakan kalau ia kekanakan, masalahnya saat menjenguk Cessa sakit, ia tak pernah membawa pekerjaannya.

Sekali lagi, tentu saja, Dion bukan pengangguran. Perkara yang masuk kejaksaan agung tak ada habisnya, berkas di meja pun selalu penuh. Namun bukan berarti seluruh waktunya habis untuk bekerja. Ini bukan tentang siapa yang paling sibuk, tetapi ini tentang siapa yang paling peduli dengan pasangan.

"Kamu ngerjain apa?" tanya Dion usai menutup buku.

"Laporan nih, penting banget." Cessa menjawabnya tanpa beralih dari layar laptop.

"Kalau urgent kamu pulang aja, Sa."

Wajah Dion sama sekali tidak menunjukkan riak. Ia sedang menguji sejauh mana tingkat formalitas di antara mereka. Seperti tebakannya, Cessa beralih dari layar laptop dan tersenyum cerah.

"Serius kamu enggak apa-apa?"

Bravo, dua tebakan Dion terbukti jitu dan akurat.

Dion menyematkan senyum miring yang samar. "Iya enggak apa-apa, banyak suster di sini."

"Ya udah aku pulang ya, besok aku ke sini lagi." Cessa membalas senyumnya seraya merapikan laptop. Sindiran Dion terpental ke jurang.

"Hati-hati di jalan."

"Iya sayang, nanti kalau butuh sesuatu telepon aku aja."

"Nanti aku telepon, kalau butuh." Dion sengaja menekan kata kalau butuh, entah itu Cessa sadar atau tidak.

Kehadiran Cessa di sini hanya sebatas hadir. Jadi untuk apa ia berharap lebih? Jika dalam istilah bakunya, kehadiran Cessa sebatas formalitas. Kejam memang, tapi yang terlihat nyatanya begitu.

Ratu sejagad:
Ibu belum selesai workshop di Aceh. Kamu sama Cessa kan? Kalau ayah baru pulang besok dari Jambi.

Dion:

Iya, mantu kesayangan ibu datang ke sini duduk tiga puluh menit, ketak-ketik terus pulang. Ayah enggak perlu ke sini, saya masih hidup.

Ratu sejagad:

Sabar, dia kan memang sibuk. Kalian juga sudah komitmen.

Dion menyimpan ponsel ke atas nakas.

Komitmen, ulang Dion dalam hati seraya menarik satu sudut bibir.

Komitmen yang berguna sebagai landasan justru malah terlihat menjadi bentuk penindasan secara berkala, miris. Dion sudah cukup banyak memberi kata maklum. Sekarang kata itu telah menipis di gudang sabar. Bayangkan, berapa tahun kebersamaan mereka? Hanya Dion yang banyak berkorban, sementara Cessa sangat pasif.

=================================

A/N:

Btw, aku udah pasang alert di blurb ya: kalau kamu nggak kuat main di tikungan, jangan baca ini 😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro