11. Lebih dari Sekadar Jatuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku bisa sendiri, Bie."

Ucapan laki-laki itu menghentikan gerakan Barbie. Ia melihat jelas Dion kesulitan berdiri dengan satu kruk. Laki-laki keras kepala itu menolak dibantu. Barbie menghela napas pendek, apalah dayanya yang mendadak memang lebih cocok jadi boneka pajangan lemari seperti nama panggilannya.

Sepasang mata Barbie membulat saat Dion membuang kruk ke lantai begitu saja. "Mas!" Ia pun segera menghampiri.

Dahi Barbie membentur pelan dada laki-laki itu. Tak ada aroma parfum memabukkan. Demi kontrak satu juta dollar, jadi begini rasanya dipeluk Akhfa Dion Gymnastiar walau secara tidak langsung? Barbie ingin menikmatinya sampai tewas, kalau bisa. Ia selalu memimpikan posisi semacam ini kurang lebih sepanjang masa remaja sampai dua detik barusan. Sebab Tuhan yang maha baik sudah mengabulkan mimpi khayalan babunya.

"Tadi kan saya bilang, kalau saya bisa sendiri," bisik Dion di samping telinganya.

Tanpa sadar, napas Barbie tertahan. Ia meneguk ludah susah payah. "A-aku ... takut Mas jatuh."

"Kenapa kamu enggak biarin saya jatuh?"

Bisikan kedua Dion seolah menyiratkan pertanyaan yang lebih dari sekadar jatuh dalam artian kata kerja. Mata sialannya justru memejam, hangat lengan Dion yang melingkari pinggang seumpama morfin.

Tunggu ... ini salah! Alarm bawah sadar berhasil menghantam Barbie.

Tawa kecil yang dipaksakan terlontar dari Barbie. Ia ingin melepas cengkeraman pada lengan Dion, tetapi laki-laki itu menahannya. Maka ia mendongak dengan gerakan lamban. "Ya ... aku enggak mau Mas Dion tambah luka lah, gitu aja kok nanya hehe ...."

"Kalau itu juga bikin kamu terluka gimana?"

Barbie mengarahkan bola mata ke kanan lalu mengangkat kedua bahu. "Menyelamatkan orang atau berkorban enggak perlu menghitung seberapa banyak luka."

Lantas laki-laki itu memegangi kedua bahu Barbie, sepasang mata mereka mengait. Sepanjang masa remaja yang penuh khayalan babu hingga kini. Ia baru tahu laki-laki itu punya sorot mata yang mengalahkan sinar mentari pagi. Bodoh sekali, kenapa Cessa bisa-bisanya membiarkan laki-laki ini selalu kehujanan? Kenapa Cessa bisa-bisanya memposisikan laki-laki itu setara serpihan debu di jendela yang terabaikan?

Bukan apa-apa, selama beberapa tahun Cessa menjalin hubungan dengan laki-laki itu. Barbie kerap melihat Cessa yang me-reject telepon dari Dion. Sang kakak mengeluhkan jangka telepon yang terlalu sering. Sebenarnya itu bukan masalah, pasangan memang biasanya begitu kan? Meski Barbie belum pernah menjalin hubungan dan masih berstatus bocah SMP.

Saat itu Dion sedang butuh teman mengobrol dan enggan mencari teman mengobrol selain kakaknya, mungkin? Barbie terkadang gagal memahami jalan pikiran Cessa. Bukankah pria yang selalu mencari gadisnya adalah tipikal setia? Siang ini Barbie datang di antara beberapa presentase. Dua puluh persen alasan kuat untuk memenuhi permintaan Cessa adalah dikarenakan perempuan itu harus ke Bandung menghadiri meeting. Sedangkan delapan puluh persennya, ia sulit berpura-pura mengabaikan Akhfa Dion Gymnastiar.

"Kamu enggak perlu repot-repot datang ke sini, Bie. Aku bisa pulang sama supir." Suara Dion menghancurkan dinding hening.

"Aku juga bisa jadi supir kok, Mas, tenang aja."

Gadis itu mengambil kruk yang jatuh tadi, mengabaikan tatapan Dion yang kini terasa mengintimidasi.

"Bie, kamu bohong kan tentang libur panjang dari dunia modeling?"

Setelah hampir sejam berada di kamar rawat bersama Barbie yang membantunya berkemas. Dion terbukti gagal menahan pertanyaan itu. Kebiasaannya menanyakan lebih dari lima kali pertanyaan yang sama pada terdakwa. Berimbas terhadap interaksi dengan orang-orang terdekat.

Helaan napas Barbie terdengar begitu jelas di telinga. "Mas Dion nanya untuk yang ke lima kali loh ...."

"Karena aku tahu jawaban yang sebenarnya."

Senyum gadis itu mengembang ketika meletakkan kruk di sampingnya. "Terus buat apa bertanya kalau gitu?"

"Berarti benar. Kontrak kamu yang harusnya untuk tiga bulan ke depan batal kan? Itu bukan libur namanya, Bie. Kenapa kamu bohong?"

Gadis itu pernah bercerita tentang kontrak baru jangka panjang. Maka dari itu Dion menyambungkan semua hal tersebut dengan kedatangan Barbie hari ini.

Barbie mengedikkan bahu. "Mereka udah punya model pengganti. Terus aku harus apa? Menuntut mereka?"

Entah kenapa satu tangan Dion terkepal erat setelah mendengar penuturan gadis itu, alisnya pun menukik tajam. "Karena kamu bikin kesalahan kan? Waktu kamu ikut nemenin sampai UGD, aku yakin itu masih jam kerja. Pasti itu yang membuat kontrak kamu batal. Aku benar enggak?"

Dion dan analisis kejaksaannya memang percuma saja dibantah. Barbie berdeham kecil setelah terdiam cukup lama. "Iya, Mas Dion benar."

"Kenapa kamu-"

Kini Barbie mengarahkan bola mata ke atas sambil menghela napas. "Jangan tanya kenapa, Mas. Saat itu aku lagi dirias dan telepon dari nomor kamu masuk. Aku langsung angkat karena firasatku enggak tenang sejak semalam. Dan ternyata Mas Dion kecelakaan, terus Mas pikir aku bisa gitu lanjut syuting?" Ia melekatkan tatapan pada laki-laki yang terduduk di brankar sana. "Berpura-pura seolah-olah aku enggak tahu apa-apa? Mungkin aku enggak secerdas Kak Cessa apalagi Mas Dion. Tapi aku bukan robot yang nggak punya hati nurani."

Kenapa Barbie rela berkorban sebanyak itu untuknya? Meski Dion belum tahu persis, ia yakin pembatalan itu menimbulkan kerugian besar.

"Aku minta maaf," ujar Dion lirih.

Entah sudah berapa kali, Barbie lagi-lagi menghela napas. Hari ini Akhfa Dion Gymnastiar mencoba mengikis kesabarannya. "Mas Dion bisa enggak sih mikir lebih simple? Mas Dion sembuh terus kita pulang. Selesai. Administrasi rumah sakit ditanggung kantor kamu, jadi enggak perlu merasa berhutang nyawa." Ia menarik kopor berisi perlengkapan Dion yang sudah dikemas. "Mas Dion mau pakai kruk atau kursi roda?"

"Mau jalan."

"Mas Dion!" Pegangannya pada kopor mengerat, sementara Dion berjalan tertatih melewatinya begitu saja.

Barbie tidak akan mengerti apa saja yang menjadi tanda tanya besar di kepalanya. Sedangkan sang tunangan tidak tahu ada di mana saat Dion butuh. Apa selama ini ia terlalu naif dan bodoh sebagai laki-laki? Karena mempertahankan mati-matian seseorang yang bahkan kehadirannya saja seumpama angin lalu. Hanya sekedar lewat untuk menyapa, tanpa pernah benar-benar singgah.

Cessa antara ada dan tiada. Dion selalu berhasil menggenggam perempuan itu, merengkuh, sedang bagian hati ... ia sendiri ragu apa sudah berhasil menggenggamnya atau belum. Omong-omong hubungan mereka tidak memiliki riak sama sekali, Dion baru saja menyadari itu. Bagus, tapi tandanya memang hanya dirinya yang memegang teguh arti kata kita sejauh ini.

Cessa dengan sejuta kepentingannya dan Dion dengan sejuta kata maklum. Apalagi cerita lain dalam perjalanan mereka sekian tahun ini? Kepala Dion mendadak mau pecah, ini lebih rumit dari kasus korupsi bank Centaury.

"Mau bengong sampai lebaran monyet?" Suara Barbie mengembalikan pikirannya yang mengawang bersama Cessa. "Nih kruknya dipakai dong, Mas."

"Aku masih bisa jalan, Bie." Dion mengabaikan kruk yang gadis itu sodorkan. Memangnya ia tergolong orang cacat yang membutuhkan tongkat untuk berjalan?

"Oke, tes dulu ya ... coba sakit enggak?"

Dion meringis karena tindakan konyol Barbie. Ia menatap kakinya dan gadis itu secara bergantian. "Gimana enggak sakit orang kamu injak!"

"Makanya jangan rese!" Kemudian gadis itu memapahnya secara paksa.

Sekian tahun lalu teman mengobrol tiap datang menemui Cessa adalah gadis itu. Barbie pun hadir saat ia sekarat hampir mati menuju rumah sakit. Dan kini gadis itu tengah membantunya berjalan, mencoba mengurangi sakit yang teramat. Anggita Barbie Soedarsono menggantikan tempat-tempat di mana Cessa hadir. Realita seolah sedang bercanda.

"Mas ...."

Panggilan Barbie membuatnya menoleh. Manik mata cantik itu jika didefinisikan memiliki mantra yang lebih sakti dari mantra Harry Potter.

"Ada kata-kata aku yang salah ya? Dari tadi diam aja."

Dion menggeleng. "Enggak apa-apa.. makasih ya udah mau ngurusin orang sakit." Ia mengulas senyum tipis.

"Mas, ingat enggak? Sewaktu SMP, aku pernah jatuh dari rumah pohon terus enggak bisa jalan?" Barbie menyertakan tawa kecil setelahnya.

"Iya, ingat. Kaki kamu terkilir parah waktu itu."

"Mas Dion pernah antar aku sekolah, terus gendong aku sampai depan kelas. Kenapa sih Mas Dion sampai mau kayak gitu?"

Tanpa sadar mereka menyusuri koridor rumah sakit bersama memori yang sama. Tentang Anggita Barbie Soedarsono yang ceroboh dan rumah pohon. Bayu Soedarsono membuat rumah pohon serta lapangan basket mini untuk kedua putri tercintanya. Meski yang selalu ada di dua tempat itu hanyalah Barbie, sebab Cessa lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Si putri sulung memiliki pojok perpustakaan di kamarnya, sesuatu yang membuat Cessa malas keluar dari kamar.

"Karena kamu adikku lah ... takut kamu kakinya tambah sakit dipaksa jalan dari gerbang sampai kelas."

Detik itu Barbie tak bisa menyembunyikan senyum perih sekaligus menyadarkan diri sendiri tentang posisi mereka berdua. Memangnya ia ingin jawaban macam apa dari Dion? "Hari ini aku juga begitu. Mas Dion kan kakakku selain Kak Cessa."

Sial, kenapa penuturan gadis itu membuat Dion merasa tertampar bolak-balik? Kemarin-kemarin ia memang menganggap gadis itu sebagai adik. Akan tetapi, dalam lift rumah sakit yang mengarah ke lantai dasar, rasanya bak seberat menggeret kapal Titanic. Berat, tatkala ingin mengembalikan posisi semula Barbie.

Oke, sekarang logikanya sendiri mengajak berperang sampai mati.

Dion menahan tangan lembut di lengannya ketika gadis itu hendak melepaskan. "Katanya enggak mau aku jatuh, kalau gitu jangan dilepas," ujarnya memandang lurus ke depan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro