13. Lebih dari Seharusnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dion menatap lurus beberapa orang yang baru saja membumikan jenazah. Sebuah kematian merupakan jenis tragedi yang sulit tertebak kapan waktunya tiba. Pagi ini ia menghadiri prosesi pemakaman salah satu pejabat mahkamah agung. Usai kecelakaan yang mereka alami, bagian dari penyidik kejaksaan agung menemukan fakta sekaligus pelaku dari sabotase mobil tersebut. Orang tersebut merupakan bagian dari sekelompok orang yang melakukan penyelundupan dana bank Centaury.

Beruntungnya, kasus itu sudah berhasil mereka selesaikan. Selama itu pun, mereka berdua tak pernah pulang ke rumah masing-masing. Sebab perkara penyelundupan dana bank Centaury merupakan kasus besar kedua yang mereka tangani. Dion sadar, mereka memang butuh kasus semacam itu sebagai batu loncatan ketika ada promosi jabatan.

Ketika Beno menyarankan supaya mengembalikan kasus itu kepada senior, Dion menolak. Lalu pada akhirnya mereka berhasil mencapai tahap di mana hakim mengetuk palu dan sidang perkara selesai. Sebelum memasuki area pemakaman ia sempat bertemu ibu dan calon mertua. Namun layaknya kode etik yang biasa dilakukan, mereka akan tampak terlihat formal dan menampilkan keakraban sebatas rekan kerja, bukan keluarga.

Hal itu demi menjaga nama serta kredibilitas, sebab mereka masih mengenakan seragam kerja. Sesuatu yang menjadi identitas dan beban profesi tak kasat mata di pundak. Beberapa pejabat mahkamah konstitusi pun hadir sebagai bentuk belasungkawa.

Beno yang berdiri di sampingnya bergerak merapat. "Yon, katanya dia mati bareng mobilnya yang kebakar," bisik laki-laki itu.

Dion berdeham. "Jangan sok tahu, Ben."

"Ini fakta, Yon. Gue dapat info langsung dari polisi yang ada di TKP."

Kematian seseorang sebenarnya memberi pelajaran bahwa hidup ini memang singkat. Dan apa yang kita tanam adalah apa yang kita tuai di kemudian hari. Berdasarkan kabar yang berembus, orang tersebut meninggal di dalam mobilnya yang terbakar. Usut punya usut, sang pejabat tersebut tergolong orang yang sering bermain dengan pembocoran rahasia berkas.

Ya, segala sesuatu yang didapatkan secara tidak baik memang akan berakhir secara tidak baik juga.

"Udah enggak usah diomongin."

"Duit panas tetap aja digasak. Ya, ujung-ujungnya mati kebakar."

Apa yang Beno umpamakan benar. Tak dapat dipungkiri profesi mereka sulit terlepas dari nepotisme, kolusi, dan suap-menyuap. Namun jika dapat dihindari meski sulit, kenapa tidak?

"Ben, mending lo diam kalau masih betah hidup. Atau lo mau dikubur di sebelahnya? Semua keluarganya masih di sini."

"Jangan lah. Gue aja belum pernah bawa Sasha ke atas ranjang."

Dion menahan tawa, akan sangat tidak manusiawi jika ia terbahak di tengah-tengah acara pemakaman.

"Jelek muka lo." Beno menggerutu.

Kemudian tawa yang Dion tahan berubah menjadi cengiran lebar tatkala satu chat masuk dari seseorang yang ditunggu.

Barbie:

Maaf tadi enggak keangkat, aku masih tidur hehe. Ada apa, Mas?

Dion memegangi ponsel seraya menatap sekeliling, pandangannya tertambat pada jajaran pohon kamboja di sana.

"Mau ke mana?" tanya Beno ketika ia ingin menjauh.

"Telepon bentar."

"Tumben, seorang Bu Ayudia Princessa Soedarsono dan yang terhormat jaksa Dion Gymnastiar teleponan di jam kerja?" Beno mengusap dagu dengan pandangan menerawang. "Sepertinya ini tanda-tanda Merapi Merbabu mau meletus."

Salah satu pohon kamboja menjadi pilihannya untuk berteduh dari terik matahari. Meski masih pagi, teriknya lumayan menyengat. Dion menempelkan ponsel ke telinga. Dering pertama terlewat dan begitu dering kedua suara milik gadis itu menyapa.

"Halo servis AC?"

Anehnya Dion tidak pernah merasa jengkel akan sapaan-sapaan sembrono dari Anggita Barbie Soedarsono. Satu sudut bibirnya tertarik sebelum menyahut, "Iya dengan saya Dion Gymnastiar. Ada yang bisa dibantu, Mbak?"

"Saya mau komplain. Kemarin AC apartemen saya diservis bukannya makin dingin, tapi malah enggak berfungsi."

Secara refleks Dion mengangguk seakan-akan Barbie dapat melihatnya. "Maaf, Mbak ... kata teknisi kami AC Mbak memang harus diganti. Kebetulan kami memberikan pelayanan ganti AC, bagaimana, Mbak?"

Tawa kecil Barbie terdengar di ujung telepon. "Enggak bisa gitu dong, masa main ganti aja. Teknisinya kali kerjanya enggak beres! Pokoknya saya enggak mau tahu AC itu fungsinya buat pendingin ruangan jadi harus dingin! Kalau enggak saya tuntut ke pengadilan!"

"Baik, komplain Mbak kami terima. Fungsi AC memang sebagai pendingin ruangan, tapi kalau Mbak kedinginan saya punya penghangatnya."

Candaan mereka terasa layaknya teman lama. Mengalir begitu saja tanpa ada setitik keraguan ketika melontarkan.

"Selimut tetangga?" Barbie bertanya di sela-sela tawa.

"Selimut tetangga mah punya Repvblik, Mbak. Saya punyanya pelukku untuk pelikmu. Jadi bagaimana?"

Tawa gadis itu memenuhi gendang telinganya lagi. Ada sesuatu yang aneh, tawa dari Anggita Barbie Soedarsono seakan mampu meredakan teriknya panas matahari. Dion tiba-tiba mencetuskan tanya, kenapa gadis itu tak pernah mengenalkan laki-laki mana pun padanya dan Cessa selama ini? Namun daripada melontarkan tanya tak penting semacam itu, ia lebih memilih menikmati.

Tak lama, Dion menemukan Beno memanggil lewat gerakan tangan. Waktunya mereka kembali ke kantor. Beberapa orang yang mengenakan seragam hijau khas kantor mahkamah agung pun mulai beranjak meninggalkan area pemakaman.

Panggilan berakhir dengan kalimat have a nice day darinya untuk gadis itu. Sudah tiga hari berturut-turut, ia memang kerap menyambangi apartemen Barbie sepulang kerja. Selain karena ingin bertatap muka dengan gadis lucu itu, pun ia merasa nyaman ketika makan malam di sana. Barbie punya berbagai macam kreasi masakan yang enak.

Teringat akan tawa renyah gadis itu, keinginan jam kerja segera berakhir pun membuncah. Entah kenapa hal sepele semacam membantu atau memandangi gadis itu memasak, seolah menciptakan ruang kedamaian tak terelakkan baginya.

***

IJU LUMUT (Ikatan Julid Lucu dan Imut)

Sana: @Barbie mana nih? Udah bunuh diri apa ya gara-gara dukunnya kurang tokcer buat melet Dion :'(

Momo : Lagian dari dulu gue suruh pakai cara yang wild dikit nggak mau, keburu jadi tunangan orang kan.. makan tuh hati :)

Mina : Apaan tuh cara yang wild? Jangan ngajarin bayi cara yang nggak halal lu!

Momo : Nyatakan perasaan dong, Mina! Jangan mikir yang iya-iya macam buka kancing kemeja terus twerking depan Dion ish.. bodoh -,-

Barbie: Mulut kalian jadi pengin gue sambelin :')

Momo : Alhamdulillah doi masih hidup guys :')

Barbie: Sorry ya malam ini gue nggak bisa gabung, urgent date sama Zayn Malik nih

Mina : Udah punya anak astaga! Lo nggak ada target lain selain tunangan sama suami orang apa Bie :')

Barbie: Milik orang lain memang selalu menarik untuk ditarik :')

Momo : Bitch t-_-t

Mina : Bitch t-_-t (2)

Sana : Bitch t-_-t (3)

Sekali lagi, Barbie tertawa lepas. Tiga nenek lampir menyebalkan selalu mengisi hari-harinya dengan tawa sejak masa sekolah. Barbie meletakkan ponsel di meja ruang tamu. Denting bel berhasil mengalihkan seluruh atensinya. Ia segera beranjak menghampiri pintu. Dan ya, bahan gosipnya bersama tiga nenek lampir muncul. Laki-laki itu masih mengenakan setelan seragam kantor berbalut jaket kulit, nametag kejaksaan disembunyikan entah di mana.

Barbie merasa memenangkan lotre milyaran hanya karena menemukan laki-laki itu kala langit menggelap. Oke, jangan katakan ini berlebihan. Segalanya tentang Dion merupakan hal spesial. Tak perlu repot-repot mengatainya budak cinta level Tartaros, ia pun bersedia saja menjadi Persephone yang diculik jika Hadesnya adalah Dion Gymnastiar.

"Hati-hati ... mata kamu nanti keluar jadi horor, Bie," ujar Dion.

Mengerjap sejenak, Barbie pun berhasil kembali ke dunia nyata. "Cari siapa ya, Pak?"

"Cari istri, Bu. Mau daftar enggak?"

"Laporin Kak Cessa nih ya! Suka sembarangan kalo ngomong!" Telunjuknya tanpa rikuh berputar-putar di depan wajah Dion.

Serta-merta laki-laki itu menangkap telunjuknya. "Lapor sana, dua kali dua puluh empat jam juga enggak apa-apa."

Mereka beradu pandang, melewati detik demi detik. Sebuah sengatan tak normal menjalari sanubari. Barbie melepaskan jarinya dari laki-laki itu. Sedangkan Dion melepas sepatu bersamaan kaus kakinya dan beranjak masuk.

"Eh, kok main masuk aja! Ini apartemen siapa ya?"

Dion tak menggubris gadis yang mengikuti di belakang. Rasa bosan belum juga mendera meski hampir tiap malam berkunjung. Justru rasanya bak pulang ke rumah sungguhan. Ia menduduki sofa sambil melepas jaket. Masa bodoh dengan racauan Barbie, ia lantas membaringkan diri, membiarkan jaket tersampir seadanya pada sandaran sofa.

"Aku capek habis pulang kerja, macet-macetan. Coba bikinin kopi dulu deh, Bie. Habis itu kamu boleh protes. Sekalian air hangat buat mandi ya," katanya dengan mata terpejam.

Mendengar rentetan permintaan laki-laki itu, Barbie berkacak pinggang. "Memangnya aku nih pembantu kamu? Masuk apartemen enggak ngucap salam, terus tahu-tahu langsung tidur di sofa lagi!"

Secara sengaja, Barbie melempar jaket yang tersampir ke wajah Dion. Laki-laki itu justru tertawa puas tanpa minat beranjak dari posisi berbaring.

"Aku tuh terkadang bingung, kenapa Tante Risma dan Om Danu punya anak model Mas Dion gitu. Terlalu absurd."

"Ya udahlah, Bie ... enggak usah dibawa pusing, yang penting ganteng."

Dion menyugar rambut sambil memainkan alis. Setelah itu ia mendudukan diri, sikunya bertumpu pada lutut. Ia menatap lekat gadis yang masih setia berkacak pinggang. Pipi menggembung dan bibir terkerucut milik Barbie merupakan sesuatu yang ingin dinikmatinya ketika jingga merambah langit. Sesepele itu, bukan masalah kan?

"Mau ke mana?"

Barbie bersedekap, matanya menyipit. "Bikin kopi sama nyiapin teriyaki. Kenapa? Mas Dion kalau mau mandi langsung aja. Shower aku mah canggih, jangankan air hangat ngeluarin air madu sampai kembang tujuh rupa juga bisa."

Satu kebiasaan yang tak pernah hilang, Dion mengacak rambutnya. "Duh ... anak Papa kok otaknya konslet terus."

"Ish!" Barbie menepis tangan laki-laki itu, bibirnya mencebik. "Udah sana mandi! Bau tahu enggak?"

Dion menyeringai. "Masa sih? Coba sini peluk, paling kamu langsung bobo nyenyak, Bie. Parfumku limited edition nih." Lalu ia merentangkan kedua tangan.

"Enggak! Berhenti di situ atau aku teriak maling?"

"Maling hati kamu ya?" Cengiran di bibir Dion melebar sempurna. Langkahnya kini mencoba menangkap Barbie.

Ya, untuk ke sekian juta kalinya. Akhfa Dion Gymnastiar berhasil menerbangkan hatinya menembus langit ke tujuh. Sesederhana tetesan hujan yang jatuh begitu saja dari langit, begitu pun dengan hatinya yang jatuh jutaan kali ke pelukan laki-laki itu. Tunggu ... apa iya kata tadi cocok untuk disandingkan dengan realita yang ada? Baiklah, biarkan Barbie menikmati kamuflase posisi Cessa semenit saja.

"Mandi enggak? Udah sana cepat mandi!" Kali ini Barbie mengangkat sapu yang berhasil didapatnya di sudut ruang tamu.

Laki-laki itu memiringkan kepala. "Karena aku enggak mau kamu terjebak tindak penganiayaan KUHP pasal tiga ratus lima puluh satu. Ya udah aku mandi dulu ya." Dion berbalik meninggalkannya menuju kamar usai meraih paper bag di samping sofa.

Barbie mengembangkan senyum yang tertahan sejak tadi. Ia menggigit bibir lalu berjinjit mengambil mug dari rak. Sambil meracik kopi, sesekali ia melirik ke arah kamar mandi khusus tamu. Letaknya dekat pintu masuk dapur. Saat memasukkan gula sesendok demi sesendok, sesuatu menyeruak dan Barbie menggeleng kuat-kuat.

Bagaimanapun, ia tidak boleh berharap apa yang terjadi akhir-akhir ini akan menjadi sesuatu yang lebih dari seharusnya.

***

*KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro