14. Lebih dari Sekadar Kebodohan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa harus buru-buru sih, Ma? Aku belum umur tiga puluh kok." Cessa berusaha menekan suaranya yang hampir meninggi.

Sebenarnya Cessa sudah menebak pembicaraan yang akan dibahas sang ibu ketika menerima panggilan itu. Tidak lain dan bukan, pernikahan dengan pacar delapan tahunnya. Namun akan terlihat sangat kurang ajar 'kan? Kalau Cessa sengaja melewatkan panggilan tersebut. Ya, meski ia sering melakukan itu terhadap siapa pun.

Di mata orang-orang mungkin terhitung delapan tahun, tetapi bagi Cessa hanya sekitar tiga tahun. Lantas sisanya? Entahlah Cessa enggan membahas. Ia acap kali berada di antara sulit melepas laki-laki itu karena petuah dari Utari dan ketakutannya sendiri.

Sang ibu selalu memberi wejangan tentang perempuan haruslah bersama orang yang lebih dulu mencintai mereka. Sekalipun si wanita belum merasakan itu. Ibunya penganut garis keras pepatah witing tresno jalaran soko kulino. Dan Cessa tidak buta kalau Dion memiliki rasa yang lebih besar darinya, maka ia bertahan. Cessa sendiri belum melupakan jika awal hubungan mereka dibumbui saran-saran dari teman-temannya yang sangat mengenal laki-laki itu.

Dia tuh baik, Sa. Dia tuh pinter banget, Sa. Enggak bakal nyesel kalau sampai lo bisa jadian sama dia.

Satu yang baru Cessa pahami dari keputusan yang diambil atas apa kata orang adalah sebuah kebodohan tak tertolong. Karena pada akhirnya Cessa menjalaninya setengah hati.

"Apalagi sih Nduk yang kamu kejar? Dion kan sudah mapan." Suara sang ibu kembali menyadarkannya akan realita.

"Mapan itu enggak cukup dijadikan pertimbangan buat nikah. Lagi juga selama ini, aku perhatiin dia enggak pernah serius. Mama tahu sendiri kan dia tipikal orang yang banyak bercanda dan aku enggak terlalu suka itu. Jadi aku enggak tahu deh ... dia sebenarnya serius atau enggak."

"Kalian kan udah pacaran lama, Cessa. Masa iya kamu sampai saat ini belum yakin sama Dion? Dia laki-laki baik."

Cessa memijat pelipis. "Jangan dibahas lagi, Ma. Mama tahu kan tunangan aja enggak murni keinginanku sama dia? Aku mengalah demi keinginan Mama dan Tante Risma."

"Cessa ... Cessa." Mama menghela napas sebelum melanjutkan, "Pilih aja dulu undangan sama dekor mau yang gimana. Mama cuma minta itu."

"Aku belum yakin mau menikah sama dia, Ma. Bahkan aku masih punya sisa rasa benci karena dia yang bikin aku gagal raih S2 di Jepang," tutur Cessa dari lubuk hati terdalam. Ia memendam dan menutup rasa semacam itu rapat-rapat sekian lama.

Dion yang setia berdiri bersama keheningan di belakang perempuan itu, memilih menyatu bersama udara malam yang nampaknya sedikit mencekik. Ia baru tahu kalau kecewa berat itu rasanya seperti ini. Tidak hanya dipandang dangkal dan sedemikian rupa, ternyata Cessa masih mempermasalahkan pendidikan S2 di Jepang yang sudah menjadi masa lalu.

Perempuan itu sudah mencapai apa yang ingin dicapainya. Kenapa harus mengungkit masa lalu yang mustahil terhapus dan tidak untuk dikenang dalam bentuk apa pun?

Tawa kecil Dion yang tanpa suara mirip seringaian. Konyol, bagaimana bisa perempuan itu bertunangan dengan orang yang paling dibenci? Lantas kenapa hingga detik ini Cessa masih bertahan bersamanya? Ya, Dion belum hilang ingatan bahwa kalimat putus hubungan yang bergulir selama perjalanan adalah permintaan Cessa. Tentu, ia yang selama ini memohon supaya perempuan itu tetap mau bertahan.

Mendadak Dion merasa begitu tolol karena tidak pernah mengabulkan permintaan tersebut. Demi Tuhan, Dion sendiri memiliki prinsip seandainya dia membangun sebuah hubungan dengan seseorang. Maka orang itu juga yang sudah dirinya teguhkan sebagai teman hidup. Itulah yang kemarin-kemarin ia lakukan pada Ayudia Princessa Soedarsono.

Satu yang menyerupai pukulan telak adalah tidak ada yang indah dari sebuah keterpaksaan. Dion yang selama ini sudah memaksakan kebersamaan mereka. Kemarin-kemarin Dion salah mengartikan kata mempertahankan, sebab bertahan dalam sebuah hubungan dilakukan oleh dua orang.

Mereka berhenti di sebuah pom bensin karena Cessa yang ingin buang air kecil. Tepat ketika Cessa memasukkan ponsel ke tas, Dion bergerak mendekat. Ia menutup kedua belah mata Cessa, berusaha mengesampingkan logikanya yang berperang sampai titik darah penghabisan.

"Tebak siapa?" ucapnya di samping telinga Cessa.

Perempuan itu tertawa kecil. "Dion?"

Sesudah merasa Cessa tidak menaruh curiga sama sekali, Dion kembali berucap, "Aku nyari kamu dari tadi ... khawatir karena kamu lama."

"Iya, tadi terima telepon dulu dari Mama."

Setelah Dion menyingkirkan tangan dari wajah Cessa, perempuan itu berbalik. Mereka saling berhadapan. Tak lupa saling memandang diiringi senyum yang terkembang sempurna. Tanpa sama-sama mengetahui jika saat ini mereka sedang bersandiwara.

"Jadi kita mau makan di mana?" tanya Cessa yang memeluk sebelah lengan Dion.

"Langsung pulang aja ya? Besok kamu ke Singapura kan?"

"Oh, ya udah ... tapi aku tugas di sana dua Minggu." Sepasang mata yang mirip Barbie itu menatapnya lembut. Tanpa tersirat sedikit pun rasa benci atau apa pun itu yang Dion dengar lima detik lalu. Hebat.

"Iya, enggak apa-apa. Sekalian ada yang mau aku bicarakan."

Cessa mengangguk dan ia mengecup singkat pelipis perempuan itu. Seperti biasa, layaknya hari-hari lalu. Tidak ada yang berubah dari mereka bila dilihat dengan mata telanjang.

Kecuali satu, isi hati.

***

Hal yang Dion hindari sejak melepas masa SMA, terjadi begitu saja. Kini ia tengah berdiri di depan kasir, membayar sebungkus rokok. Mobilnya sengaja berhenti di sebuah mini market setelah mengantar Cessa pulang. Biasanya ia akan menyapa Utari dan Bayu Soedarsono terlebih dahulu. Namun untuk malam ini Dion benar-benar sebatas mengantar tanpa embel-embel lain.

Delapan tahun.

Dion mengarungi delapan tahun sia-sia bersama Ayudia Princessa Soedarsono. Mereka bahkan sudah bertunangan. Bagaimana bisa? Usai menarik napas panjang, ia menyelipkan sebatang rokok di bibir dan memantiknya. Kecewa berat? Tentu saja, bagaimana tidak? Ia sudah habis-habisan berkorban dan bertahan demi orang yang salah.

Dion mengembuskan napas berat diselingi kepulan asap.

Mungkin apa yang dikatakan Raditya Dika dalam bukunya yang berjudul Cinta Brontosaurus benar. Kalau cinta juga bisa kedaluarsa, layaknya ia dan Cessa sekarang. Bukan karena habis terkikis oleh waktu, melainkan kegagalan salah satu pihak dalam membangun dua pondasi penting.

Saling menerima, saling menjaga.

Di mana maksud dari kata saling menerima adalah mereka harus berjalan layaknya sepasang kaki. Biarpun kaki kiri atau kanan yang melangkah lebih dulu, tujuannya akan tetap sama. Dan saling menjaga yang lebih dari sekadar menjaga hati satu sama lain.

Dion pikir, rasanya terhadap Cessa dulu melebihi keawetan kadar formalin pada mumi Fir'aun. Nyatanya tidak, mulutnya mengembuskan asap sekali lagi. Sesampainya di sini, Dion sudah sangat sabar demi mencoba memahami Cessa. Apalagi berusaha keras menyelami palung hati Cessa. Dan detik ini, tepat pukul sepuluh malam, ia telah mencapai titik maksimal.

Dan di tahap ini pun Dion telah meyakini alasan melepas Cessa. Akan tetapi, jika ia mengambil tindakan menyudahi hubungan sedetik setelah mendengar penuturan wanita itu lewat telepon, rasanya terlalu spontan. Hubungan mereka sudah melibatkan anggota keluarga. Kalau saja Dion tahu tentang itu sebelum mereka bertunangan, semuanya sudah pasti akan semudah membuang sampah pada tempatnya.

Malam ini ia bukan kecewa berat karena ternyata Cessa menjalani segalanya tanpa rasa. Ia kecewa berat telah membuang waktu terlalu lama, pun kecewa dengan dirinya sendiri. Dalam daftar hidup, ini merupakan kebodohan yang lebih dari sekadar kebodohan. Di antara debu jalanan dan asap rokok, pikirannya berkelana pada waktu ia masih melihat Cessa seistimewa mutiara di dasar laut.

Dulu Dion memang sempat memohon kepada perempuan itu agar memikirkan masak-masak keputusannya mengambil beasiswa di Jepang. Baginya long distance relationship bukanlah sebuah hubungan. Namun bukan berarti ia melarang Cessa. Mungkin juga Tuhan sedang menguji seberapa tulusnya hati mereka. Lantas Cessa kalah oleh rasa egois, perempuan itu mendiami Dion selama berhari-hari.

Padahal, satu yang harus kita ingat adalah tidak semua yang kita inginkan di dunia ini dapat terwujud. Tuhan hanya memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan.

"Ben," sapa Dion ketika panggilannya tersambung.

"Tumben lo telepon."

"Lo benar, ada yang bisa kedaluwarsa selain produk yang berlabel tanggal pemakaian." Kini pandangannya menerawang.

"Maksud lo apaan, Bambang? Lo diare karena salah makan?" Beno masih sekonyol biasanya.

Dion tidak menjawab pertanyaan kawannya itu, ia memutuskan panggilan secara sepihak usai sampah-sampah di otak sirna. Lantas sebelah kakinya menginjak sisa batangan rokok terakhir. Hebat, khusus malam ini Dion menghabiskan berbatang-batang zat nikotin dalam hitungan jam.

***

A/N:

Jadi di Kadar Formalin ini, saya selaku author gadungan yang otaknya semiring menara Pisa. Mau membeberkan bahwa sebuah hubungan itu bukan hanya tentang seberapa lama kita bersama, ya, Ndro :')

Terima kasih untuk kalian yang masih setia bersama saya, Barbie, Dion dan Cessa. Setelah ini tolong pasang sabuk pengaman kalian ya ... karena kita mau naik rollercoaster.

Selain itu, saya minta maaf untuk teman-teman yang komentarnya belum dibalas, sebab daku ngebut update karena satu dan lain hal 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro