15. Lebih dari Kadar Formalin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🌹 Midnight Tea: Madam Rose Golden Ways🌹

Bee:
Dear, Madam ...
Tell me what will you do, when your heart beating in the wrong place?

Madam Rose 🌹
Just follow your heart, love is a beautiful journey

Bee:
But, Madam ... this is a difficult thing, I swear

Madam Rose 🌹
There is always storm in every love story, Bee

Oke, ini mulai terasa sangat konyol. Kemarin-kemarin Barbie bersumpah serapah mengenai aplikasi Madam Rose di depan Sana. Malam ini, di tengah kemelut pikiran dan hati yang berkolaborasi menciptakan kegundahan tak berkesudahan. Ujung-ujungnya ia mencurahkan secuil masalah hatinya yang memang lebih rumit dari meluruskan seribu benang kusut.

Ketika bermaksud membalas chat dari Madam Rose, telinganya menangkap suara denting bel. Sejenak, Barbie melirik jam dinding yang terpasang cantik. Pukul sebelas malam tepat. Barbie berupaya mengingat-ingat apa tadi ia sempat memesan makanan cepat saji? Sebelum ingatannya menemukan jawaban, ia sudah lebih dulu bergerak menuju pintu utama. Jarinya menekan interkom untuk tahu siapa yang ada di depan pintu.

Napas Barbie sempat tertahan saat melihat siapa yang ada di balik pintu apartemen. Maka dengan hati berkecamuk, ia tetap membukakan pintu. Kemeja serta rambut kusut Dion menarik atensinya. Entah hanya perasaan Barbie saja atau penampilan Dion malam ini tampak begitu berantakan? Ditambah lagi bau asap rokok yang menyengat. Sesuatu yang Barbie pikir tak pernah laki-laki itu lakukan. Entah berapa bungkus yang diisap, aromanya luar biasa menyengat.

Terserahlah, Barbie sendiri tengah menata kepingan hatinya. Satu jam lalu Cessa menelepon. Perempuan itu bercerita panjang lebar mengenai ketidaksiapannya untuk menikah, tetapi sang ibu mendesak dengan segala macam wejangan. Lalu Cessa memintanya mengurus pernak-pernik pesta pernikahan, karena merasa Barbie punya selera dekorasi yang bagus.

Padahal pernikahan adalah hari yang sakral seumur hidup. Sayang, Cessa seakan tampak enggan mengurusinya sama sekali. Kerap kali Barbie gagal memahami pola pikir perempuan itu. Lagi pula isi pikiran dan hati Cessa bukan urusannya.

Barbie sempat menolak permintaan itu habis-habisan. Bukan karena tidak menyayangi Cessa atau enggan mengulurkan bantuan. Mengurusi pernak-pernik pernikahan Cessa dan Dion sama halnya menumbalkan diri sendiri. Anggita Barbie Soedarsono bukan boneka pajangan yang mati rasa.

Lantas, siapa yang terlalu bodoh di sini?

Tiada yang salah dari permintaan Ayudia Princessa Soedarsono, hati kurang ajarnya saja yang bermasalah. Barbie tahu, seharusnya mulai malam ini, ia tidak perlu lagi berurusan dengan calon suami sang kakak. Namun sekali lagi, hati kurang ajarnya terlampau sulit diajak kompromi.

"Morning," sapa laki-laki itu disertai senyum tipis.

Entah kenapa sapaan bernada manis yang memang sengaja dibuat konyol itu membuat keretakan kepingan hati Barbie semakin parah. Realita seakan sedang mengajaknya bercanda. Bagiamana bisa Barbie merasa bahagia sekaligus terluka di detik yang sama?

"Please, Mas, jangan mulai enggak waras deh ... Ini jam sebelas malam, ada perlu apa ke sini?" Barbie bersandar sembari bersedekap di ambang pintu.

"Mau numpang makan sama minta ditemani makan nih."

Seharusnya Barbie bisa menolak mentah-mentah permintaan konyol itu, tapi ..., "Masuk."

Sekali lagi, hati kurang ajarnya memang sulit dikalahkan. Nyatanya Barbie tak sanggup mengusir laki-laki itu dari apartemen apalagi relung hati.

"Tapi aku lagi enggak masak, Mas. Seharian tadi pergi sama J-trinity."

Barbie menutup pintu lalu mengekori Dion yang melepas jaket. Kira-kira cara ampuh apa yang dapat menyembuhkan sejenis penyakit ingin merampas laki-laki itu seutuhnya? Melebihi waktu makan malam yang belakangan ini mereka habiskan bersama, kalau bisa. Ia selalu mengira rasa terlarang yang hinggap sebatas cinta monyet. Akan tetapi, rasa itu justru mampu mengalahkan takaran kadar formalin pada mumi.

"Nanti aku bikin mie aja, Bie," sahut laki-laki itu tanpa berbalik.

***

"Kamu lagi banyak pikiran ya, Bie?"

Barbie tertawa sinis tanpa memandang laki-laki yang melontarkan tanya. "Mas Dion kali yang lagi banyak pikiran. Sampai kayak toko rokok berjalan gitu."

"Masa?"

"Bau rokok banget tahu."

Kali ini Dion yang tertawa kecil menanggapi gerutuan Barbie.

Mereka berada di balkon apartemen usai mengosongkan piring masing-masing. Sekadar memanjakan mata lewat pemandangan kondisi jalanan Jakarta yang mulai lengang. Warna-warni lampu jalan berbentuk bulat itu kini nampak indah. Ternyata sebuah keindahan dapat ditemukan pada hal sesepele lampu jalan. Cukup membuka mata lebar-lebar.

Pun sesepele kehadiran Dion meski berselimut hening yang sekali lagi ... menimbulkan bahagia sekaligus keretakan secara bersamaan.

Bayangkan Barbie masih saja memimpikan seandainya ia dapat menggantikan posisi Cessa. Padahal ia sadar itu sangat mustahil terwujud. Lantas mengapa juga Tuhan menghadirkan laki-laki ini di malam yang sudah menamparnya telak lewat sebuah fakta? Sekitar seratus hari lagi, laki-laki itu resmi menjadi suami kakaknya.

Siapa saja tolong lemparkan Barbie tali tambang. Bukan untuk gantung diri, melainkan mengikat tubuhnya di pohon kelapa. Supaya hujan, badai, dan terik matahari berhasil memaksanya berhenti bermimpi, berandai tentang Dion.

"Kamu pernah kecewa berat, Bie?" Dion bertanya pada gadis yang tampak begitu mempesona di bawah cahaya lampu temaram. Sejak kapan ia bisa beranggapan begitu? Entah.

Gadis itu menyelipkan helai rambut ke belakang telinga. "Sering, tapi lebih banyak sama diri sendiri sih ... seringkali merasa enggak bisa apa-apa di saat ingin melakukan banyak hal." Pandangannya kini menerawang, terbang mengikuti embusan angin malam.

"Terus?"

"Aku tutup mata dan mengingat apa yang Mas bilang waktu itu. Saat aku masih ABG labil." Barbie terpejam membiarkan angin malam menyisir helai rambut, mengikis hangatnya pipi.

Dahi Dion mengerut samar, ia menebak-nebak akan apa yang Barbie ingat tentang perkataannya. Mereka punya banyak obrolan remeh seiring berjalannya waktu, ingatannya sedikit tumpul mengenai itu. "Memangnya aku bilang apa?"

Barbie menoleh, memiringkan kepalanya. "Love yourself, trust yourself. Jangan takut dan malu jadi diri sendiri. Shout it louder, kamu maunya apa, maunya ke mana dan ngapain. Enggak ada yang salah jadi diri sendiri, Bie. Banyak omong kosong itu memang enggak penting, tapi berani bicara itu perlu. Kita bukan patung yang harus diam, pasrah dipindahkan ke mana-mana."

Gadis itu mengingat detail ucapan yang bahkan ia sendiri lupa kalau pernah mengatakannya. Senyum di bibir tipis itu mengembang sempurna. Efeknya mampu meredakan suntuk di kepala Dion sekian detik.

"Now, tell me what is love, Bie." Dion seolah mengutarakan kemelut pikirannya sendiri.

Barbie mengangkat sebelah alis bersama sorot mata jenaka. "Yang pacaran lama setara cicilan mobil tuh siapa ya?"

Laki-laki itu mengulas senyum tipis, dahinya berkerut samar. "Siapa ya? Enggak tahu tuh. Tetangga kamu kali."

"Maling udah ketangkap basah kok nggak mau ngaku." Gadis itu mengangkat kedua bahunya.

"Percuma, maling hati enggak akan bikin penjara penuh."

Ada tawa kecil yang dipaksakan hadir mengisi kekosongan. Sepasang mata terpaut itu seakan menyelami kedalaman samudra hati masing-masing. Hingga tawa sumbang mereka lenyap, menyisakan sebuah ombak besar yang menerjang pantai keteguhan hati.

Barbie tahu apa yang tengah laki-laki itu lakukan dengan terus mengikis jarak wajah mereka. Namun ia seperti jalang perebut kekasih orang yang justru menikmati hangatnya embusan napas Dion sembari terpejam, lalu secara sadar turut serta menghilangkan jarak itu.

Sementara Dion sadar setelah dua detik bibirnya menyentuh bibir gadis itu. Ia sudah melakukan hal yang salah. Namun ketika gadis itu lebih dulu menyusuri bibirnya dengan gerakan yang begitu lamban sekaligus mengagumkan. Dion tahu, ia tidak gila sendirian. Hangat, satu kata itu yang ia rasa saat kedua tangannya menyentuh leher Barbie untuk memperdalam ciuman mereka.

Rasa frustrasi masing-masing, deru napas, dan angin malam menjadi pengiringnya. Segalanya terhenti sesudah Barbie melepaskan tangan Dion lalu melangkah mundur. Hening yang kemudian hadir di tengah-tengah mereka memang menghentikan kegilaan tadi. Akan tetapi, tidak lantas menetralkan debaran jantung yang masih menggila di dalam sana.

"Bie, kamu... enggak nampar aku?" Dion melekatkan pandangan pada gadis yang menunduk dalam itu.

"Enggak, Mas." Barbie meremas ujung kausnya, ia harus segera menghilang dari hadapan Dion entah bagaimana caranya. "Aku ... mau tidur."

Dion menarik sebelah lengan gadis itu. Mereka perlu membicarakan tentang hal tadi. "Kenapa?"

Gadis itu terdiam cukup lama dan Dion bersedia menunggu jawaban itu berapa lama pun. Ia sangat ingin tahu.

"Cause I wanna kiss you too ...," jawab Barbie yang kini membelakanginya.

Kali aja ada yg mau polow IG ku 🤭💔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro