17. Hate to Tell You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"This is a modern fairytale, no happy ending."

_The Heart Wants What It Wants - Selena Gomez_

.

"Sa, kita pacaran udah berapa tahun?" tanya Dion tanpa memandangnya. Laki-laki itu sibuk menekuni makanan.

Denting garpu dan piring terdengar lirih, sebab percakapan yang mengisi semua meja telah mendominasi. Restoran tersebut bukan golongan tempat dinner romantis. Akan tetapi, makanan yang disajikan rasanya setara hotel bintang lima.

"Hmm ... dari adik aku SMP kan? Ya ... sekitar tujuh atau delapan tahun lah." Cessa menyuap makan sambil mengecek notifikasi email.

Sepulangnya dari perjalanan dinas ke Singapura, Dion sering absen menjemput ketika diminta. Intensitas komunikasi pun menghilang tersedot oleh waktu. Dulu, laki-laki itu kerap menelepon saat jam kerja dan meluangkan waktu untuk makan siang bersama. Hal yang berlebihan bagi Cessa. Namun sejak semua itu menghilang, ia tak merasa sangat luang melainkan kosong.

Kendati demikian, Cessa justru mengabaikan. Baginya persoalan hati hanyalah remah-remah masalah kehidupan. Banyak yang harus ia pikirkan, terutama masalah internal pekerjaan dan pencapaian hidup. Dari segi pasangan, ia sudah mendapatkan proporsi yang setara karena menggandeng Akhfa Dion Gymnastiar. Mereka selalu terlihat sempurna sejak masa kuliah untuk kategori pasangan. Jadi Cessa enggan memasukkannya sebagai kategori masalah hidup.

Dion sudah jatuh bertekuk lutut, tak akan ke mana-mana. Ia tak perlu bersikap berlebihan menyamai perempuan lain. Terlalu cengeng perkara urusan cinta. Cessa selalu menganggap dirinya hebat, ia pantang menangisi laki-laki mana pun kecuali Papa. Berbeda dengan teman-temannya yang berubah mirip mayat berjalan hanya karena ditinggal lelaki pujaan.

Ironis, untuk apa menangisi laki-laki yang memutuskan pergi? Toh, stok laki-laki di dunia ini berhamburan. Kalau sudah cantik, punya karir bagus, dan pendidikan tinggi. Apa yang perlu ditakuti?

Semua orang kan cari pasangan yang punya masa depan cerah, pikir Cessa.

Dion berdeham. "Sehabis kamu berangkat ke Singapura, Mama minta aku ke rumah. Katanya, kalau bisa lebih baik aku meminang kamu tahun ini."

"Iya, Mama udah ngomong sama aku duluan kok." Cessa mengunyah santai, merasa pembicaraan tersebut sangat sepele.

"Terus gimana pendapat kamu?"

Cessa mengedikkan bahu. "Sebenarnya, aku sih belum siap. Kamu ngerti kan masih ada hal yang mau aku capai sebelum menikah? Ya tapi Mama maksa ... aku iyakan aja akhirnya. Aku capek debat tiap malam."

Ayudia Princessa Soedarsono selalu berpikir, pernikahan adalah fase pengekangan. Sedangkan pikiran dan raganya harus sebebas burung-burung yang mengarungi dermaga. Prinsip tersebut merupakan alasan mengapa Cessa selalu merasa belum siap. Ia akan sukarela menikah bila mana segala pencapaiannya terealisasi.

Masa muda haruslah penuh dengan prestasi gemilang dari segi mana pun. Ia tidak ingin membuang masa mudanya secara sia-sia.

Hal semacam itu tidak ada dalam kamus hidupnya.

"Oh ... jadi kamu belum siap? Terus kenapa kamu mengiyakan?"

Cessa menghela napas, pandangannya masih fokus pada layar ponsel. "Kan aku udah bilang, aku capek berdebat sama Mama."

Dion menggeleng pelan seraya tertawa. "Yang mau nikah tuh aku sama kamu, bukan aku sama Mama. Kalau niat kamu begitu, lebih baik enggak usah." Kemudian ia meletakkan alat makan.

Secara otomatis Cessa mendongak, alisnya bertaut. Genggaman pada garpu ikut mengerat karena ucapan Dion. "Jangan mulai nyebelin deh ... aku jadi enggak selera makan." Ia meletakkan sendok dan ponsel. "Terserah kamu mau jawab apa ke Mama. Pokoknya caraku menanggapi permintaan Mama ya begitu."

Kali ini Dion mendengus sambil tertawa. "Ayo pulang. Udah enggak selera makan kan?"

"Kok kamu jadi enggak peka?" Nada suara Cessa naik satu oktaf.

"Kenapa aku dibilang enggak peka? Aku memberi kamu saran, Sa." Dion menyematkan senyum tipis seraya menyilangkan tangan di dada, punggungnya bersandar pada kursi.

Ini benar-benar mode menyebalkan Dion level teratas. Cessa mencoba bersabar saat ingin melempar sendok ke arah laki-laki itu. Orang yang berilmu harus menjaga etikanya, begitulah kira-kira salah satu prinsip Cessa.

"Kamu tahu kan ... aku baru menyuap sedikit ditambah lagi kamu yang ngajak ngobrol. Aku punya sakit magh, itu sebabnya aku bilang kamu enggak peka."

Laki-laki itu malah sengaja mengangguk lamat-lamat. "Oh ya, lupa. Baru juga di satu waktu aku enggak peka, kamu protes. Aku yang bertahun-tahun, enggak banyak bicara."

Demi apa pun, Cessa paling malas mendengar ocehan semacam itu. Ia merasa sudah cukup mencurahkan waktu dan perhatian untuk laki-laki itu selama ini. Porsinya cukup, antara menggapai cita-cita dan perkara cinta. Jelas opsi pertama harus mendapat porsi paling besar. Dion bukan apa-apa selain pacar dan tunangan.

Laki-laki itu tidak berhak atas apa pun yang ingin ia ambil atau jalani.

"Aku lagi enggak pengin debat. Pekerjaanku udah cukup menguras energi hari ini," ucap Cessa pada akhirnya.

"Enggak usah tarik urat, aku juga kerja seharian." Lantas laki-laki itu beranjak meninggalkan meja makan. "Aku tunggu di mobil."

Cessa hanya menatap jengkel setengah mati punggung Dion yang menjauh, lalu bersumpah serapah dalam hati.

***

"Kenapa berhenti di sini?" tanya Cessa.

Dion memarkir mobil di samping sebuah taman yang agak sepi. Suara mesin mobil berhasil menyita obrolan-obrolan ringan menyenangkan.

"Mau ngajak kamu ciuman."

Cessa melirik jengkel tunangannya. "Enggak jelas."

Perasaan Cessa belum begitu membaik sejak meninggalkan restoran. Suasana taman dekat universitas tempat mereka menimba ilmu begitu lengang. Mungkin karena langit telah menggelap dan kondisi hari kerja. Atau mungkin takdir semesta? Entahlah, masa bodoh.

"Mau nostalgia aja. Ini kan tempat aku nyatakan perasaan. Enggak ingat?"

"Ingat kok." Lantas Cessa mengikuti laki-laki itu. Ia mendorong pintu mobil lalu mereka berjalan beriringan.

Sejak dulu laki-laki itu acap kali membawakan Cessa berbagai kejutan. Baik itu di hari ulang tahun, hari jadi mereka, atau hari random lainnya. Dion memperhatikannya sebegitu detail. Laki-laki itu juga akan memarahi jika ia terlalu memaksakan diri menyelesaikan sesuatu. Atau protes ketika ia menghadiri kelas pagi tanpa mengenakan jaket.

Segalanya bertahan lama, meski ia tetap bergeming di tempat. Terakhir kali Dion pernah menyusul ke Pare sesudah ia mengeluh kurang sehat. Laki-laki itu datang bersama senyum dan sekotak donat esok harinya. Salah satu cemilan kesukaan Cessa.

Sekian detik terduduk diam di sebuah kursi panjang, tiba-tiba laki-laki itu menarik sebelah tangannya. Sontak Cessa menoleh, memandang penuh tanya. Sempat menunggu kata yang akan terlontar, laki-laki itu malah melepas cincin yang tersemat di jari Cessa entah untuk apa.

"Sa, cincin ini punya arti apa buat kamu?" Kedua siku Dion menempel pada lutut, matanya menelisik cincin tersebut seolah-olah baru saja melihatnya.

Langit gelap yang membentang menarik perhatian Cessa dibanding tunangannya. "Cincin tunangan, tanda kita sudah terikat sebelum ke pernikahan. Kenapa?"

"Oh, cuma itu." Cessa beralih dan menemukan Dion yang menghela napas panjang. "Bagiku cincin ini bukti perjuangan. Bukti ketulusan, keseriusan niat, dan rasaku ke kamu."

Hening kembali menyelinap. Cessa gagal mengerti ke mana arah pembicaraan laki-laki itu. Pikirannya yang sudah bergelut seharian enggan diajak menebak maksud Dion.

"Kalau cincin ini kubuang gimana?" tanya Dion lagi.

Decakan Cessa lolos seusai mendengar pertanyaan konyol itu. "Aneh-aneh aja. Udah yuk pulang, aku mau istirahat." Ia menadahkan tangannya supaya Dion mengembalikan cincin itu.

Cukup lama Cessa menatap datar wajah laki-laki itu. Ia menganggap pertanyaan aneh tadi sebatas angin lalu. Dion mungkin lelah dengan aktivitas hari ini. Namun seketika matanya terbelalak mendapati Dion berdiri melempar cincin itu entah ke mana.

"Kok kamu buang? Yang bener aja deh, Dion! Kenapa sih kamu hari ini?" Cessa berdiri mengguncang sebelah lengan laki-laki itu.

Bungkamnya Dion sukses menghadirkan kekesalan hebat. Cessa mengedarkan pandangan ke segala arah, mencoba mencari titik di mana cincin itu jatuh. Mama bisa marah besar jika cincin tunangan raib dari jarinya. Jangankan dibuang, tertinggal di kamar mandi saja bisa memicu perdebatan panjang yang menguji emosi.

"Enggak usah dicari." Laki-laki itu menahan lengan Cessa. Rautnya terkesan setenang aliran sungai, seolah-olah tadi bukanlah sesuatu yang gila.

"Apaan sih?? Lepas!" Cessa menyentak cekalan Dion.

"Aku bilang enggak usah dicari!"

Sepasang mata Cessa melayangkan tatapan tidak mengerti. Ia baru pertama kali mendengar Dion membentak. Jeda waktu sekian detik yang penuh gemuruh, mereka saling bersitatap. Degup jantung yang kali ini mengiringi, bukan jenis debaran cinta. Sebab berpacu hebat demi menekan emosi.

"Itu enggak penting buat kamu, enggak penting juga buat kita," lanjut Dion dengan nada suara yang terkesan dingin.

"What's wrong with you, Mr. Gymnastiar? Are you kidding me??" Cessa memukuli dada laki-laki itu tanpa ampun. Entah kenapa suaranya pun mulai bergetar.

Dion menangkap kedua tangan Cessa dan mereka kembali bersitatap. "Kita memang cuma sebuah lelucon, Sa."

"Apa?" Cessa tertawa perih. "Bener kan, selama ini kamu memang cuma main-main! Kamu enggak pernah serius!"

Alih-alih berucap maaf, Dion tertawa sinis. Sesuatu yang sangat asing di telinga Cessa, sesuatu yang tak pernah Dion bagi dengannya. "Kalau aku enggak pernah serius, kita enggak akan pernah tunangan. Kalau aku enggak pernah serius, aku udah ninggalin kamu sejak lama. Faktanya, kamu cuma mau dimengerti tanpa mau mengerti, Cessa."

Intonasi dan tatapan laki-laki itu melembut. "Sekarang kamu enggak perlu bersusah payah bersandiwara. Aku minta maaf pernah membuat kamu gagal meraih apa yang ingin kamu raih. Barusan aku lepas cincin kamu, sekaligus melepas kamu."

Jantung Cessa berpacu dua kali lipat. Ini hal yang tidak pernah ia bayangkan seumur hidup, selama mereka bersama. "Kamu enggak bisa kayak gini sama aku, Dion!" teriaknya.

"Sa, kamu pernah mikir gimana rasanya menjadi orang yang enggak pernah diinginkan, di samping orang yang selalu kamu inginkan dalam waktu cukup lama?"

Dahi Cessa berkerut dalam, napasnya tersengal-sengal. "Aku tahu kamu orang yang tulus, Dion. Itu yang membuat aku bertahan di samping kamu." Kali pertama sepanjang eksistensinya di dunia, Ayudia Princessa Soedarsono merasa sangat takut kehilangan.

"Kalau begitu kenapa kamu enggak tulus juga denganku?"

"Maksud kamu apa?"

Cessa menarik napas susah payah. Ia sulit percaya kalau Dion bisa meninggalkannya dengan cara begini. Kenapa dadanya terasa nyeri? Bukankah hal ini yang ia inginkan dari dulu?

"Enggak perlu lagi bersandiwara, Cessa."

"Kita aja bisa sampai delapan tahun. Kamu mau bukti semacam apa??"

"Kamu cuma menjadikan saya pajangan pelengkap. Supaya kamu benar-benar terlihat sebagai manusia yang hidupnya terlihat sempurna di mata banyak orang."

"Kalau gitu kita selesai."

Cessa memakai ancaman yang selalu menjadi tombak saat mereka berselisih paham. Dion pasti akan meminta maaf jika ia mengatakannya.

"Memang harusnya sudah selesai sejak aku enggak sengaja mendengar pembicaraan kamu dan Mama di telepon."

Sekali lagi, Cessa terbelalak. "Kamu enggak punya reputasi apa-apa lagi di mata orangtuaku setelah ini!"

"Enggak masalah. Mereka belum tahu benang merah masalah kita adalah ambisi kamu. Saya selalu mengakui, kamu memang cerdas. Mungkin juga karena kamu yang terlampau cerdas jadi lebih banyak menggunakan logika, yang padahal perempuan harusnya lebih banyak menggunakan hati."

Cessa tertawa sinis, apa yang laki-laki itu katakan bagai pedang yang menusuk. "Cinta kan memang begitu, hanya seputar persoalan meninggalkan dan ditinggalkan. Aku bukan perempuan cengeng."

"Tadinya saya cuma mau bikin kamu bahagia, Sa. Sayangnya kamu enggak mau. Lebih baik saya bikin bahagia yang lain kan? Daripada buang-buang waktu."

"Terus kamu pikir aku bakal menangisi kamu tujuh hari tujuh malam? I hate to tell you something, Dion. I don't wanna care about you anymore!" seru Cessa dengan nada yang penuh penekanan di ujung kalimat.

"Nggak masalah," sahut Dion saat menatap wajah Cessa yang basah. Kemudian benaknya tanpa sengaja melanjutkan, "And I hate to tell you something... that I'm in love with your sister. I don't know why must her ..."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro