18. Hate to Miss Someone

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Persiapan pernikahan kakakmu udah sampai mana?" tanya Mama.

Kunyahan Barbie terhenti. Malam ini ia pulang ke rumah karena rindu orang tua. Sesuatu yang jarang sekali ia lakukan sesudah pindah ke apartemen. Rumah ini menyimpan kenangan campur aduk. Tentang masa kecil penuh canda-tawa, pun masa remaja yang seumpama permen nano-nano. Ada Cessa, juga Dion yang ikut meninggalkan jejak pada tiap sudut ruangan. Cukup memandangi halaman belakang dan akan banyak memori terputar biarpun hampir pudar.

"Sudah, tiga puluh persen, Ma." Barbie menunduk sambil menggigit lidah.

"Kalau bisa dipercepat, Nak. Kamu lagi enggak ada kerjaan kan?"

Mama setuju setelah tahu Barbie yang diminta Cessa menangani pernak-pernik pernikahan. Sang Mama berkata kalau itu merupakan wujud tanda kasih sayang.

"Iya, Ma."

Gadis itu terpejam, berupaya menahan dengusan keras. Memangnya ada lagi jawaban lain? Saat menghela napas, nafsu makan turut menguap.

"Mama bilang juga apa, jadi model itu enggak jelas masa depannya. Keluarga kita pegawai tetap semua loh, kamu doang yang enggak mau nurut. Coba kamu tanya loker di tempat kakakmu."

As always, gumam batinnya.

Pindang patin di piring malah menghilangkan selera. Lagi-lagi genggamannya pada sendok mengerat. Laut merah terbelah kedua kali pun Barbie tetap berada di bawah bayang-bayang Ayudia Princessa Soedarsono. Ia yakin jenis profesi mana pun pasti memiliki pasang-surut apalagi di dunia hiburan. Boleh jadi kemarin-kemarin adalah masa di mana Barbie sedang naik daun dan sekarang boleh jadi ia sedang diminta Tuhan untuk banyak beristirahat.

Kapan kiranya pembahasan itu selesai dibahas? Barbie ingin tahu. Pembicaraan mereka seakan dibatasi pembahasan profesi yang ia pilih. Sedangkan menyamai sang kakak adalah kemustahilan nyata. Ayolah, tanpa diberitahu apalagi dijelaskan secara gamblang. Barbie sangat sadar akan hal itu. Permasalahannya adalah sampai kapan? Ia sendiri sudah memaafkan dan menerima segala kekurangan diri.

Lantas kenapa orang lain harus begitu repot menjadikannya masalah hidup?

Barbie menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri lebih baik lagi. Kepekaan Mama terkikis habis, pembicaraan mereka mengenai hal menyakitkan itu mirip dengan eksploitasi hutan besar-besaran. Hanya saja yang dipaksakan tumbang adalah jenis pohon kepercayaan diri. Bahkan sekali pun media pernah memujinya sebagai model berbakat, ia tidak pernah merasa begitu hebat dan gemilang. Selama semua orang memuji, tetapi tidak dengan ibunya sendiri.

Entah butuh berapa lama Barbie bisa berhenti meragukan diri sendiri. Ia hanya berani membanggakan dirinya di depan segelintir orang-orang bernama Dion dan Julid-Trinity, itu pun berwujud gurauan. Mereka adalah segelintir orang-orang yang tidak pernah memandangnya sebelah mata. Orang-orang yang tulus berdiri di sampingnya tanpa sebuah alasan. Bukan karena ia model dengan followers berhamburan atau sedang membutuhkan jasanya.

"Aku kursus masak kok, Ma ... punya daily activity," sahutnya lirih.

Isi piring Barbie masih sama, bersisa separuh dari sedikit yang tersaji. Di beberapa waktu, nasi atau lauk pada piringnya kadang tercampur oleh bulir yang tidak sengaja jatuh dari telaga matanya. Sejak kecil kebiasaan itu belum sepenuhnya menghilang sampai sekarang.

"Masa sarjana cuma jadi tukang masak, Bie." Wanita paruh baya dengan sanggul yang tampak angkuh itu menggeleng pelan. "Kamu juga sih, kuliah ngambil jurusan yang enggak jelas juntrungannya."

Barbie tetap menunduk. Bagaimana pun, Mama tetaplah ibu yang melahirkannya ke dunia ini. Ia hidup dari separuh nyawa Mama. Meski mampu membelikan satu pulau pun, tak akan bisa menggantikan pengorbanan Mama.

"Sudahlah, Ma. Toh dia kuliah juga biaya sendiri, padahal Cessa saja kita biayai. Mama mana membolehkan Cessa kerja sambil kuliah seperti adiknya. Anak punya jalan hidupnya masing-masing, biarkan dia menjalani apa yang dipilih." Bayu Soedarsono tiba-tiba membuka suara.

Ah ya, Barbie masih punya ayah yang tidak pernah menunjukkan konfrontasi ketika ia memilih jurusan sastra saat kuliah dan model sebagai karir sementara.

"Lho, itu kan supaya Cessa fokus kuliah. Dia kuliah di PTN ternama, bukan PTS kelas karyawan yang kaleng-kaleng, Pa. Toh dia juga lulus lebih cepat dari teman-temannya. Peringkat Cessa enggak pernah lewat dari tiga besar semasa sekolah, sampai IP juga enggak pernah enggak cumlaude."

Mama meletakkan sendok, wajahnya nampak keruh. Barbie tahu itu bukan pertanda bagus. Kehadirannya di meja makan malam ini menyebabkan pertikaian lagi. "Papa nih dari kecil membelanya terus, makannya dia nggak nurut!"

Wanita paruh baya itu memang bukan tipikal orang yang pendapatnya rela didebat jika mengenai pendidikan dan karir. Sifat keras Utari Soedarsono tanpa sadar membuat perbandingan kontras di antara kedua putrinya. Wanita itu berpengaruh besar terhadap Ayudia Princessa Soedarsono yang melangit, serta Anggita Barbie Soedarsono yang membumi.

***

"Halo, Mas Dion?"

"Iya," sahut Dion ketika menerima panggilan dari nomor Barbie. Dahinya berkerut dalam karena suara yang menyapa bukanlah suara gadis itu.

"Maaf, saya tidak tahu harus menghubungi siapa. Tapi nomor Mas yang muncul di urutan paling atas."

Persetan dengan nomornya yang berada di nominasi panggilan teratas ponsel Barbie atau tidak. "Ada apa?" tanya Dion cepat.

"Kak Gita terlalu banyak minum. Jadi dia-"

"Tolong share loc sekarang. Terima kasih," potongnya.

Dion segera menyambar kunci mobil. Seragam kerja masih melekat, karena ia langsung terkapar di sofa sepulang kerja. Sebuah perkara besar mengakibatkan sistem lembur berhari-hari terjadi. Profesinya memang tak luput menganalisis suatu masalah dari Z sampai A. Bukan hanya pihak kepolisian yang mencari barang bukti, jaksa pun melakukan hal tersebut.

Bersama rasa khawatir, Dion melepas nametag dan memakai jaket sebelum bergabung dengan sepinya jalanan di pukul 01.00 pagi. Hal pertama yang tercetus adalah sejak kapan Anggita Barbie Soedarsono mencicipi alkohol?

Kemudian segalanya terbantahkan. Sesuai apa yang Barbie ucapkan kala mereka kali terakhir bertatap muka. Gadis itu bukan lagi siswa berseragam pramuka yang ia jemput di Buperta usai kemah. Gadis itu adalah Gita Soedarsono, seorang model cantik.

Begitu sampai di sebuah diskotek ternama, Dion masuk terburu-buru. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru lantai dasar. Di tengah sana terdapat lautan manusia yang tengah mengikuti irama musik. Kemudian pandangannya mengarah pada meja bar yang cukup panjang. Beberapa stool bar berjejer di depannya. Pencahayaan yang remang-remang tak lantas menyurutkan niat mencari gadis itu. Mengingat pesan yang disampaikan bartender, ia tak butuh waktu lama menemukan Gita Soedarsono.

Dion menghela napas lalu melangkahkan kaki ke arah gadis yang kepalanya terkulai lemas di meja bar. Gaun selutut nampak kusut serta sebagian rambut sepunggungnya menutupi wajah. Sebelah tangan dijadikan tumpuan, sedangkan satu botol wine dan koktail berada di samping kepala. Barbie ditemani seroang laki-laki. Dion mengenalnya sebagai fotografer yang pernah terikat kontrak bersama Barbie. Ia berdecak, gadis itu benar-benar mabuk berat.

"Maaf, saya mau bawa Gita pulang," ucap Dion begitu menyentuh punggung Barbie.

"Ini saya juga mau antar dia pulang, Mas." Laki-laki itu berdiri sambil mengulurkan tangan. "Saya Biyas teman sekantornya."

Mereka sempat bertatapan cukup lama. Dion tahu Biyas tengah menelisiknya dalam jeda sekian detik yang bergulir. Dahi laki-laki itu berkerut samar dan Dion sama sekali enggan peduli tentang itu. Entah Biyas mengenalnya sebagai tunangan Cessa atau tidak. Masa bodoh.

"Biar saya saja, orang tuanya menitipkan Gita pada saya." Ekspresi datar masih melekat pada Dion.

Biyas melirik Barbie cukup lama kemudian mengangguk. "Mobilnya biar saya yang urus, Mas."

"Terima kasih."

Laki-laki itu beranjak usai menepuk sebelah bahu Dion. Tanpa perlu saling bertukar sapa apalagi banyak kata. Sinar mata Biyas cukup menjelaskan ketertarikan jauh pada gadis yang kini meracau. Namun sekali lagi, itu bukan urusannya

"Bie ...," panggil Dion seraya menyingkirkan rambut yang menutupi wajah gadis itu.

Barbie menepis tangannya. Lalu sekian puluh detik, gadis itu berdiri terhuyung memegangi kepala. "Minggir, gue mau pulang."

Kondisi mata setengah terbuka dan keseimbangan tubuh yang tersisa sekian persen, Barbie mencoba melangkah. Dion berdecak karena bau alkohol yang menyengat saat gadis itu menabraknya.

"Gue bilang minggir! Lo tuli apa buta?" teriak Barbie.

Alih-alih menuruti permintaan Barbie, Dion malah menarik paksa gadis itu supaya bisa dipapah. Sayang, gadis itu memberontak. Hingga mereka saling bersitatap di antara minimnya pencahayaan diskotek dan dentuman musik DJ.

"Lepas! Gue bisa pulang sendiri!"

Dion berdecak lirih. "Enggak usah nambah bikin repot, ini Dion."

"Jangan bercanda, Dion enggak mungkin ada di sini!" Barbie mendorongnya menjauh. "Enggak usah sok peduli, please ... gue enggak butuh."

Dion berkacak pinggang sambil menghela napas. Secara bersamaan ia pun membiarkan Barbie berjalan terhuyung melewatinya. Dion sendiri sedang menetralkan tingkat emosi, ia tidak ingin lagi berdebat dengan gadis itu. Cukup kemarin, untuk yang pertama dan terakhir. Begitu berbalik, gadis itu malah terduduk bersandar pada dinding. Sebelah tangannya meraba dinding dan yang lainnya memijat pelipis.

Dion tidak pernah melihat Anggita Barbie Soedarsono sekacau ini, sekalipun kini mengerti apa alasannya. Ia belum lagi muncul di hadapan gadis itu kecuali malam ini. Selain karena tidak tahu harus memulai dari mana, pun kalau bisa ... ia tidak ingin terus menyakiti Barbie tanpa sadar. Sebab melepas Cessa sepenuhnya bukan berarti mengubah semuanya begitu mudah.

Sesegera mungkin Dion menghampiri gadis yang entah sejak kapan menyimpan rasa untuknya itu. Satu fakta yang berhasil memicu perang hebat logikanya

Seringkali Dion kesulitan memahami cara kerja waktu yang memaksanya terjebak penipuan berkepanjangan terlebih dulu. Sebelum menemukan orang yang bisa memberi takaran rasa sebanding. Tanpa pikir panjang, ia menggendong Barbie. Pemberontakan tak lagi gadis itu lakukan, yang ada hanya wajah tenang dalam dekapannya.

"Mama, Kak Cessa, semua sama ... cuma berpikir kalau gue itu boneka, enggak punya hati, bisa diperlakukan seenaknya," racau gadis itu ketika mobil yang Dion kendarai mulai menyusuri jalan. "Dan Dion ... I hate to miss someone like him so badly ...."

Satu racauan yang berhasil membuat Dion menepikan mobil. Pegangannya pada stir lantas mengerat, ia belum tuli untuk tahu Barbie terlelap sambil terisak. Lalu di jalan Panglima Polim pukul 02.00 dini hari, Dion merengkuh gadis itu. Tanpa rasa beban, tanpa rasa bersalah. Katanya pelangi selalu muncul setelah hujan. Namun ia tak akan menjadi pelangi yang hanya singgah sementara untuk Anggita Barbie Soedarsono.

Dion ingin menjadi udara yang selalu ada bahkan tanpa disadari, atau langit yang tak akan pernah lelah menaungi.

"Kasih aku kesempatan untuk mengganti segala rasa kecewa kamu." Dion berbisik lirih di samping gadis yang nyatanya sudah banyak menyimpan kerapuhan itu.

Halo The Kafomers, terima kasih untuk segala support-nya ya ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro