22. The Perfect Ingredient

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika penantian bersama sebuah kepastian yang seumpama menggenggam udara kosong dapat disebut bunuh diri. Sudah pasti Anggita Barbie Soedarsono kelihatan siap-siap saja menarik pelatuk revolver di pelipis. Pada akhirnya ia yang berprofesi sebagai model pun lelah memasang topeng. Sebab berpura-pura adalah hal yang paling melelahkan untuk dilakukan.

Terutama berpura-pura mati rasa, sedangkan rasa itu telah menjadi penghuni tetap. Bak pohon yang dibiarkan tumbuh melewati tiga ratus enam puluh lima hari sampai satu dekade, bahkan mencapai hitungan abad. Rasanya seakan tidak mungkin jika menumbangkan pohon itu sampai ke akar begitu saja.

Barbie meletakkan loyang ketiga berisi lapisan rainbow cake dari oven saat mendengar suara denting bel. Hari ini jadwal kerjanya kosong dari pemotretan maupun syuting untuk iklan produk di feed Instagram dan saluran TV. Entah kenapa lama-lama ia jenuh juga terhadap profesinya. Sebelum menginjakkan kaki di dunia entertainment, Barbie sudah meramalkan profesi itu hanya sementara. Karena dalam waktu kurang lebih lima tahun berkarir sebagai model. Mungkin sekitar tiga tahun ia menerima banyak tawaran iklan.

Sisanya Barbie lebih fokus pada pendidikan di bangku kuliah. Maka ketika sedang naik daun, ia sudah menyimpan sebagian besar penghasilan untuk menggali bakat lain dan merubahnya ke bentuk saham serta tabungan deposito.

"Aku kira hari ini Mas ke kantor."

Barbie menguak pintu dan cukup terkejut menemukan Dion yang berbalut kemeja flanel hitam. Semalam laki-laki itu memberitahu, jika berniat menghadiri acara Hari Bhakti Adhyaksa. Hari tersebut merupakan hari peringatan berdirinya Kejaksaan Republik Indonesia.

"Udah setor muka tadi," jawab Dion.

Pantas saja, Dion pasti sudah berganti pakaian. Sejak bergabung bersama kejaksaan agung, Dion selalu menyediakan pakaian ganti dan jaket di mobil. Sebab seragam ASN-nya menimbulkan sisi positif sekaligus negatif jika masih dikenakan di luar jam kantor.

Barbie mengangguk singkat. "Masuk yuk," ajaknya sembari menggeser tubuh.

Kedua tangan Dion dimasukkan ke saku celana. Lalu ia berdeham. "Masuk ke mana nih?"

Hampir memutar bola mata, Barbie langsung menjawab, "Ke dalam apartemen Gita Soedarsono."

"Oh, kirain ke dalam hati Gita Soedarsono." Dion mengangguk pelan.

Tanpa direncanakan, tetapi seolah satu pemikiran. Mereka saling menyandarkan punggung di tengah-tengah ambang pintu. Ujung sepatu Dion dan sandal Barbie pun menempel. Gadis itu menyilangkan kedua tangan di depan dada ditemani senyum yang rasanya bertahan hingga lelap menjemput.

"Sekarang ganti profesi jadi tukang rayu?"

Alis Dion sontak bertaut. "Bukan, sekarang ganti profesi jadi alasan kamu senyum."

Mau tidak mau, senyum Barbie melebar. "Terus aja obral gombal."

"Gombal is the perfect ingredient for lovers, Bie."

"The perfect ingredient? Yang tukang masak tuh aku. Mas kan tukang nuntut orang," celoteh Barbie.

Dion merangkul gadis itu. Ia menutup pintu di belakang mereka dengan sebelah tangan. "Koreksi, di sini aku ikut campur masukin bahan. Jadi, kamu jangan protes."

"Oh, gitu ... Mas ke sini bukan buat numpang makan?"

Terdengar hela napas panjang dari laki-laki itu. "Kumpulin aja dulu utang makan aku, nanti dibayar pakai mahar, Bie."

"Ngaco!" seru Barbie.

Laki-laki itu mengacak rambut Barbie. Bila kata hanyut atau tenggelam itu biasa disandingkan dengan danau, laut, dan samudra. Maka yang terjadi di sini adalah Barbie membiarkan dirinya hanyut dalam percakapan remeh yang mereka punya. Ia ingin tenggelam bersama kenyamanan yang laki-laki itu tawarkan. Tak peduli meskipun candu membelenggu parah. Lalu waktu terasa tiga kali lipat lebih berharga bila terlewat begitu saja saat Dion ada di dekatnya.

Gadis itu pun seringkali mempertanyakan apakah semua yang mereka miliki dapat menerjang rintangan di depan sana? Hanya saja detik ini, ia ingin menyingkirkan semua tanya itu.

Biar saja hatinya menang lebih dulu.

***

Gadis itu tersenyum puas setelah meletakkan hati-hati susunan terakhir rainbow cake. Barbie, kamera, dan loyang kue bagaikan kutub magnet. Sebagian orang berpikir kalau membuat kue adalah hal paling sulit dan menyita waktu. Bagi Barbie, berjibaku dengan oven merupakan kegiatan menyenangkan. Rasa cinta terhadap berbagai macam kudapan sebanding dengan mencintai diri sendiri. Kalau saja ia lebih dulu ikut kelas memasak daripada kuliah sastra. Mungkin sekarang dirinya bebas dari dunia entertainment sejak lama.

Tak ada yang perlu disesali, karena hidup itu proses. Evolusi manusia dan peradabannya pun butuh proses. Di mulai dari teori Darwin tentang manusia purba sampai revolusi industri yang berawal dari Inggris. Maka bukan suatu kesalahan kalau Barbie baru meyakini jalan lain. Kemudian lamunan tentang sebuah toko kue dengan nama unik membawa pergi sejenak kerumitan. Ia berbalik melengkungkan senyum sumringah dan menemukan Dion masih fokus di depan mesin penggiling kopi.

"Mas," panggilnya.

Dion hanya menggumam sebagai jawaban.

"Mas, nengok dulu sebentar coba."

Laki-laki itu beranjak mendekat lalu menyentuh puncak kepala Barbie. "Kenapa?"

"Coba lihat ini." Barbie menunjuk rainbow cake di piring yang belum dipotong.

Dahi Dion berkerut samar. "Rainbow ... cake?"

Sontak bola mata Barbie terputar. Ia mengerucutkan bibir sebelum berujar, "Nenek-nenek panti jompo juga tahu kalau ini rainbow cake, Mas. Coba tebak apa yang ada di pikiranku." Lantas cengirannya melebar.

Dion mengamati wajah sumringah gadis itu dan rainbow cake secara bergantian. Ia belum amnesia kalau Barbie punya cara yang unik menyampaikan sesuatu. "Kamu mau jualan rainbow cake?" tebaknya.

Gadis itu menjentikkan jari. "Hampir benar! Ayo dikit lagi!"

Usai menghela napas, Dion justru menyentil pelan kening gadis itu. "Mau buka usaha bakery?"

Gadis itu mengangguk antusias. "Gimana menurut kamu?"

"Kamu udah yakin? Kamu harus punya resep yang beda dari yang lain, Bie. Kamu juga harus punya macam-macam varian kalau mau bersaing." Dion mengusap puncak kepala gadis itu. "Dan cari pegawai yang bisa dipercaya itu bukan hal mudah apalagi kalau masih di tahap merintis."

Mereka terbiasa berbagi impian ataupun cita-cita sejak Dion masih di posisi kekasih Cessa dan gadis itu berseragam SMP. Bukan hal baru jika ia selalu membeberkan kemungkinan pahit mengenai keputusan yang gadis itu utarakan padanya. Bagi Dion, kemungkinan jelek bahkan kegagalan jangan sampai luput dari bahan pertimbangan. Sebab mental seseorang lebih mudah goyah saat berada di titik terendah. Maka mempersiapkan diri untuk sebuah kekalahan atau kegagalan itu jauh lebih penting. Terjebak oleh kubangan rasa terpuruk tak kalah mengerikan dari kecelakaan lalu lintas.

Pun sama ketika Dion mengutarakan maksud sebelum mereka mengambil sebuah keputusan besar bersama. Ia tidak memaksa gadis itu sama sekali. Ia juga tidak menjanjikan masa depan yang hanya akan ada tawa. Dion bukan Bandung Bondowoso yang sanggup membangun seribu candi semalaman untuk Roro Jonggrang.

Namun bila diperlukan, Dion selalu siap berperang demi sekadar mengukir rasa percaya.

"Aku siap kok," sahut gadis itu.

Binar di sepasang mutiara hitam Anggita Barbie Soedarsono masih sama layaknya jutaan hari lalu. Ketika senyum mereka bersambut, Dion berujar, "Aku dukung kamu."

Seringkali, untuk merasa sanggup mengejar mimpi. Seseorang hanya butuh dukungan dan dorongan sesederhana itu.

"Makasih, Mas Dion," ujar Barbie setulus hati.

Jawaban dari Dion adalah kecupan sekilas di pelipis. Laki-laki itu berjibaku lagi dengan mesin penggiling kopi. Meja dapur apartemen Barbie berbentuk L, tempatnya membuat cake sengaja dipisahkan supaya leluasa. Sejenak ia memandangi punggung laki-laki itu, cinta pertamanya dan mantan tunangan Cessa. Akankah sama jadinya bila bukan Dion Gymnastiar yang ia temui di Buperta jutaan hari lalu? Sanggupkah ia bertahan sebagai seorang pengkhianat yang merasa bahagia?

Iya, Barbie sudah menyandang sebutan itu sejak menyambut suka cita pelukan hangat dari mantan tunangan sang kakak.

Layaknya hari-hari lalu, mereka duduk bersampingan di mini bar dekat dapur. Ada banyak tempat yang sempat laki-laki itu tawarkan. Sayang, Barbie belum pernah merasa siap menautkan jemari mereka di depan banyak orang. Bahkan ia terlalu pengecut untuk menerima ajakan hang out Cessa. Kerumitan itu kembali menyita pikiran sekalipun ia mati-matian mengempaskan. Barbie menggeleng pelan lalu membawa piring berisi rainbow cake sembari menguatkan hati.

"Your rainbow, Sir," ujar gadis itu ketika meletakkan piring berisi potongan cake di depan Dion.

Aroma dari rainbow cake cukup membuat perut menjerit kelaparan. Alih-alih mengambil sepotong, Dion mendorong mug hitam berisi kopi ke arah Barbie. "Your coffee, Ma'am."

Dion sengaja menyempatkan diri membuat kopi agar rainbow cake buatan Barbie memiliki kawan. Senyum madu gadis itu menyambutnya.

"Tapi minum air putih dulu, Mas. Kamu kan terlalu sering minum kopi."

Dion menerima segelas air yang Barbie sodorkan. Di setiap tegukan yang masuk ke kerongkongan, ia terus mengumpat. Karena baru menyadari betapa menyenangkannya kalau saja mereka berada di posisi pasangan sejak dulu. Andai saja bukan Cessa yang ia temui pertama kali, andai saja. Gadis yang hanya mengenakan kaus dan jeans selutut itu terlihat sempurna. Dion tidak ingin beralih.

"Kamu cantik."

Barbie menyisipkan tawa semanis gulali. "Kalau enggak cantik, enggak akan jadi model dong."

***

A/N:
Alhamdulillah setelah sekian abad saya bisa update wkwkwk. Dunia nyata lagi butuh banyak perhatian 🤧

Happy weekend ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro