23. The Perfect Taste

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo enggak jadi nanjak ke Bromo sama Choky?" tanya Momo pada Mina.

Piring beserta gelas yang ditata di setiap meja, pun obrolan-obrolan ringan yang mengudara adalah suasana lumrah sebuah restoran. Barbie menatapi nail art pada jemari lentiknya, salon milik Mina memang tak pernah mengecewakan. Selain melakukan perawatan diri, mereka berempat sempat mengunjungi beberapa toko. Buktinya adalah jajaran goodie bag di bawah kaki mereka. Sebab kini meja yang dipesan sudah terisi berbagai macam minum serta kudapan.

Ini salah satu restoran favorit mereka sejak masa SMA. Kalau dulu mereka bisa hang out hampir tiap weekend. Sekarang, kapan pun sama-sama luang, mereka pasti pergi bersama sekalipun itu hari kerja.

"Enggak jadi. Dia mau ke Amsterdam sama temannya yang pewaris Prana Corporation."

Gadis yang baru saja menjawab pertanyaan dari Momo bernama lengkap Femina Larasati Suryadiningrat. Gaya rambutnya mirip Barbie dan dikaruniai postur tubuh mungil. Ia selalu mengenakan dress dalam acara apa pun. Sesuai nama belakangnya, Mina terlahir dari salah satu keluarga ningrat yang menjalani bisnis di bidang kesehatan dan kecantikan. Mulai dari rumah sakit, salon, serta produk skin care. Salah satu orang yang mempengaruhi karir Gita Soedarsono. Segala produk kecantikan Mina memakai jasa visual Barbie.

"Oh, si Revandio Pranadipa itu ya? Yang punya skandal sama sekretarisnya kan?" tanya Sana, teman Barbie yang merupakan satu-satunya blasteran Jepang di antara mereka.

Tishana Minatozaki merupakan salah satu yang paling banyak memiliki pengemar rahasia selain Barbie di antara mereka berempat. Komposisi darah Minang dan Jepang menjadikannya begitu menggoda. Mulai dari tarikan sudut bibir, pun segala hal kecil yang dilakukan Sana dianggap mengandung daya tarik sensual. Sayang, ia lebih mencintai profesinya sebagai pramugari daripada menerima tawaran model.

🌹Midnight Tea: Madam Rose Golden Ways 🌹

Bee:
Dear, Madam ...
We had dinner every night. He was always there when I needed someone to hug. Even though he never did, but his gaze made me feel that way.

Madam Rose 🌹
Who is he?

Bee:
My first love.

Madam Rose 🌹
He loves you too, Bee.

Bee:
It's impossible, Madam.

Madam Rose 🌹
Believe or not, but remember that the one who love you will never leave you. No matter how hard the situation is, even if there are hundred reasons to give up.

Sambil melahap makanan dengan anggun, Barbie menghapus isi curahan hatinya bersama Madam Rose di fitur Midnight Tea yang masih tersimpan apik. Sana bisa tertawa terbahak-bahak sampai pingsan kalau melihat ini. Meski apa yang dikatakan Madam Rose benar. Ia tetap menghapus chat itu demi menyelamatkan harga diri.

Mina menyedot minumannya sebelum menjawab pertanyaan Sana. "Sekretarisnya memang cantik banget sih, blasteran Belanda."

"Kalau cantik kenapa enggak jadi model aja daripada sekretaris," sahut Momo.

Barbie membungkuk dan menendang pelan tulang kering Momo. "Enggak semua orang cantik pengin jadi model, Mo."

Gadis berambut sebahu itu seketika melayangkan tatapan garang. Usai lulus kuliah dari Juilliard, Crisis Monica Wiranata membuka sanggar tari tradisional dan modern. Gadis yang terlahir pada masa krisis moneter itu mencintai dunia seni tari. Sebutan dancing machine memang cocok disandang Momo karena kemampuannya menari.

"Toh dia udah gandeng pewaris Prana Corporation ngapain juga capek-capek jadi model, Mo," kata Sana. "Lagian skandal bos sama sekretarisnya udah cerita lawas, kaset kusut, kaleng rombeng. Ada yang lebih panas lagi dari itu."

"Mulai deh Sana dan mulut julidnya beraksi." Mina memutar bola mata malas.

Sana berdecak sambil meletakkan garpu. "Loh, ini beneran panas! Perselingkuhan antara Jaksa sama model-"

Barbie seketika batuk-batuk hebat, ia tersedak fettucini super pedas. Kerongkongannya terasa terbakar. Sementara Momo yang duduk berseberangan malah tertawa. Ia sangat menyesal hanya menghantam pelan tulang kering Momo tadi, harusnya ia melakukan tendangan super saja sekalian. Mina menggeser gelas ke arah Barbie, gadis itu lebih peka daripada dua nenek lampir lain.

"Bie, kok lo batuk-batuk hebat gitu sih?" Dahi Sana mengerut. "Lo enggak jadi simpanan pejabat kan?"

Tanpa tanggung-tanggung Barbie menendang tulang kering Sana. Gadis itu kebetulan menempati kursi di sampingnya. "Ngawur!"

Barbie menandaskan segelas espresso, degup jantung sungguh tak keruan. Padahal pertanyaan kurang ajar Sana tidak dialaminya. Dan seperti kebetulan yang sangat berjodoh. Getar ponsel Barbie di atas meja mengalihkan pandangan tiga nenek lampir.

Darl:
Kamu pulang jam berapa? Aku jemput.

Baru membaca sepotong chat itu saja bahagianya melangit. Iya, bahagia Barbie seumpama brownies sederhana dengan rasa yang sempurna.

Barbie meraih ponsel secepat kilat tapi tetap menjaga keanggunan. Dagunya terangkat tinggi-tinggi, ia sengaja mengibaskan rambut ke arah tiga temannya. "Ssshh ... Dania susah banget lihat gue santai," ujarnya penuh dramatis. Jemarinya menekan tombol hapus pada room chat Dion lantas buru-buru mencari kontak sang manajer.

"Kayaknya tadi singkatan Darling deh ...," ucap Momo. Nada suara gadis itu terdengar ragu.

Pernyataan Momo memantik rasa penasaran di wajah dua nenek lampir lainnya.

"Mata lo minus, orang ini jelas-jelas si Dania." Barbie memamerkan layar ponsel pada gadis berambut sebahu itu.

Momo berdecak lirih. "Pecat aja tuh manajer lo."

Barbie mengembuskan napas lega tanpa kentara. Selain manajer, Dania dijadikan kambing hitam dan tempat cuci tangan di situasi semacam ini. Sedetik yang lalu, Barbie sudah memupuk niat memberikan dana pensiun cuma-cuma untuk Dania. Namun tetap digaris bawahi, kalau usaha bakery yang ia rintis sudah berkembang pesat.

Tiga nenek lampir adalah sahabat terbaik sepanjang hidup. Akan tetapi, ini bukan momen yang tepat menguak siapa seseorang di balik sapaan Darling tadi.

***

"Lo pernah dengar pembunuhan seorang anak terhadap ibunya di Amerika? Dia menikam sebanyak seratus lima puluh satu kali di leher dan wajah ibunya. Tapi di persidangan dia masih bisa cengar-cengir dan akhirnya bebas." Beno membuka obrolan. Asap mengepul dan aroma kopi mendominasi.

Kopi adalah salah satu mood booster terbaik. Beberapa orang punya alasannya masing-masing untuk menikmati secangkir kopi. Entah itu penghilang kantuk atau pengusir bosan. Pada dasarnya hiruk-pikuk dunia perkantoran baik berbentuk lembaga, instansi, atau perusahaan memang siklus yang begitu membosankan. Berkas, komputer, kursi, dan meja kerja merupakan salah satu pemicu rasa penat yang mendera.

"Enggak perlu ditelisik jauh-jauh. Cewek itu udah jelas gila makannya bebas dari jerat hukum," jawab Dion.

Beno mengangguk menyetujui. "Gue heran, Kasi Intelejen enggak ada habis-habisnya buang berkas korupsi ke meja gue."

"Bikin surat pengunduran diri sana, lo kebanyakan ngeluh."

Ketika rasa manis dan pahit menyambangi lidah, Dion berdeham. Awan berarak di luar jendela sana sempat menarik perhatian. Ia beralih menatap berkas di atas meja. Pikirannya melayang bersama sejumlah perkara yang sudah terlewati. Beno datang mengunjungi ruangannya karena mereka perlu melakukan diskusi sambil menyesap kopi.

Beno berdecak. "Mana ada. Kecuali gue jadi mafia berkas, udah pasti didepak."

"Nah itu lo tahu."

"Maksud gue, kenapa kasus korupsi di negara ini enggak habis-habis. Padahal APBN dan APBD kita besar kalau seutuhnya digunakan buat mengikis kemiskinan rakyat."

Mendengar penuturan bijak dari Beno, ia menarik satu sudut bibir. "Di mana-mana jabatan dan kekuasaan itu lingkaran setan, Ben. Negara sekelas Arab Saudi pun pejabatnya pernah korupsi."

"Nah itu dia, Yon. Harusnya kita pakai hukum pancung aja kayak mereka biar enggak makan waktu. Hari ini ketahuan korupsi, hari ini juga mati. Seminar pendidikan antikorupsi enggak begitu berpengaruh menurut gue."

"Sistem hukum di Arab Saudi memang bagus. Cuma enggak bisa diadopsi mentah-mentah di sini. Terlalu berat." Dion menyesap sejenak lalu meletakkan cangkirnya. "Kalau menurut gue, Ben. Tiap sekolah yang mau mengadakan study tour itu destinasinya jangan ke Bali, Surabaya, atau Singapura yang udah mainstream. Sekali-kali ajak mereka nginap di Nusakambangan satu hari. Biar tahu gimana rasanya tinggal di penjara. Itu lebih membekas di ingatan daripada seminar pendidikan antikorupsi."

Gelak tawa Beno mengudara, matanya yang sudah sipit malah menyipit. Menyisakan dua garis. "Ide lo sangat cemerlang."

Setelah melepas cangkir kopi, cengiran Dion melebar. Bukan karena ia sedang menyambut gelak tawa Beno. Namun karena nama yang tertera di layar ponsel.

"Mau ke mana? Katanya mau diskusi perbandingan pasal?" Beno bertanya saat ia meninggalkan sofa.

"Itu nanti aja, Ben. Tugas negara ditunda dulu sepuluh menit."

"Tumben banget Cessa belakangan ini rajin telepon. Tunangan lo akhirnya eling ya?" Beno mengusap dagu.

Dion mengabaikan tanya Beno, ia mendekati jendela ruangan. Bicara via telepon di dekat orang yang telinganya setajam katana dapat menyebabkan kebocoran password. Bukan, bukan karena Dion ingin menjadikan seorang Anggita Barbie Soedarsono sebagai rahasia besar. Gadis itu yang memohon untuk tidak mempublikasikan jalin kasih di antara mereka.

Dion menyetujui, padahal logika dan ego sendiri sempat berperang. Ia benar-benar ingin membawa kenyamanan dan kedamaian untuk gadis itu.

"Ya, dengan siapa di sana?" tanya Dion sesudah menggeser tombol hijau.

"Denganmu aku bahagia."

Dion memasukkan kedua tangan ke saku. "Cie, bisa gombal ternyata."

"Bisa dong. Ekhem ... ada yang habis minum kopi nih di jam makan siang padahal belum sarapan."

"Kok tahu?"

"Apa sih yang aku enggak tahu?" Ada jeda hening yang Barbie gunakan untuk menggumam panjang. "Mas ngigau pas tidur pun aku tahu."

"Berarti kamu tidur di sampingku?"

"Kan kamu numpang di sofaku, Mas. Karena sofa kamu membosankan katanya. Jangan lupa ya biaya sewa bulan ini naik."

Senyum miring Dion tersemat. Kehadiran gadis itu di ujung telepon saja mengurangi beban pikiran mengenai pekerjaan. Bagaimana pun caranya, ia ingin Gita Soedarsono berubah lebih dari sekadar penawar bagi sakit kepala dan gundah hati. Gadis itu pantas berada di posisi istimewa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro