4. Bukan PHP

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Barbie meregangkan otot-otot yang kaku sambil berselancar dalam sebuah folder rahasia ponselnya. Folder itu tersimpan secara apik dari tahun ke tahun. Dari merk ponsel Nokia ke merk lainnya. Berisi tiga foto, di antaranya dua foto Dion yang diambil secara diam-diam ketika di rumah. Dan ada salah satu foto yang selalu berhasil menangkal rasa kecewa, sedih, serta penatnya. Foto yang ia ambil sewaktu tidak sengaja diminta menjenguk laki-laki itu pada ribuan hari lalu.

"Oh ... jadi itu yang bikin lo selalu pasang kuda-kuda siap ngamuk sama gue."

Barbie buru-buru mematikan layar ponsel ketika suara Biyas menyapa gendang telinga. Ia melakukan itu bukan karena takut akan persepsi Biyas. Ia hanya menghindari gosip lain di akun lambe turah.

"Bukan urusan lo."

Sebelah tangan Biyas menahannya hingga kembali terduduk. Barbie mengarahkan bola mata ke atas lalu berdecak. Laki-laki itu merupakan fotografer yang selama setahun ini terikat kontrak dengannya.

"Enggak usah kabur. Gue bukan setan yang harus lo hindari."

Barbie berdecak seraya menyentak genggaman Biyas. Ia melayangkan tatapan tajam. Sudut bibirnya mendadak berubah kaku.

"Oke, sorry." Biyas mengangkat kedua tangan seperti penjahat yang ditodong senjata api. "Gue enggak bermaksud apa-apa. Kita udah setahun kontrak kerja bareng. Lo masih aja galak, Bie."

"Jangan panggil gue pakai nama boneka murahan itu. Lo bukan siapa-siapa." Barbie beralih pada layar ponsel yang berkedip. Kegiatan mengurus sosial media jelas jauh lebih penting daripada obrolan membosankan dengan laki-laki itu.

Terdengar helaan napas panjang yang terlalu kentara untuk ditangkap sudut mata Barbie. "Ya memang gue bukan siapa-siapa sih. Nyaman aja panggil lo Barbie daripada Gita. Kayak kakak perempuan lo yang kadang mampir ke sini."

Di dunia entertainment, Barbie sengaja menggunakan nama Gita Soedarsono. Alasannya masih sama seperti jutaan hari lalu di zaman Dinasti Ming. Ia ingin orang-orang memanggilnya Gita bukan Barbie. Si boneka mainan, pajangan murahan.

"Enggak usah sok akrab apalagi peduli. Gue nggak butuh tahu alasan lo."

Barbie menyatakan hal itu bukan tanpa sebab. Tidak perlu telinganya menampung terlalu banyak pernyataan dari rekan-rekan kerja kalau Biyas punya rasa tertentu untuknya. Perempuan adalah makhluk yang cukup peka terhadap hal semacam itu.

Ada beberapa jenis tanggapan yang dipilih perempuan pada umumnya. Pertama, berpura-pura tidak sadar lalu mengabaikan. Ada yang menerima itu lewat cara membatasi diri. Terakhir adalah tipe yang tahu juga sadar dan membuat gayung menjadi bersambut suka cita. Barbie tentu memilih dua opsi pertama secara bergantian. Ia tak menganggap Biyas lebih dari sekadar rekan kerja yang membantu kesaktian ATM-nya semakin terasa. Fakta di dunia ini memang seringkali sekejam itu. Cukup biasakan diri saja

"Bie, lo tuh bisa enggak jadi kaum PHP satu malam aja gitu? Seenggaknya itu lebih menyenangkan daripada ditolak mentah-mentah." Entah kerasukan jin mana, malam ini Biyas terdengar begitu gamblang menjabarkan isi hati.

Bersama alis bertaut, Barbie mengeja tawanya. "Cewek model begitu di luar banyak. Lo cari aja, Yas."

Sudah malas menanggapi laki-laki itu, Barbie berlalu meninggalkan sofa. Ia bermaksud menuju ruang rias dan segera berkutat dengan kegiatan membersihkan diri.

Namun tawa Biyas terdengar tanpa nyawa. "Gue bercanda, Bie. Jangan ge-er lah."

"Gue enggak hidup berdasarkan kata ge-er." Barbie berbalik seraya bersedekap karena Biyas mengikuti langkahnya sejak tadi. "Berhenti ngikutin gue, Yas."

Langkah Biyas terhenti secara otomatis. Lantas ia berdeham kecil, melirik sekitar. "Gue bilang jangan ge-er. Jaket gue juga di ruang rias."

Sejenak Barbie menatap datar laki-laki itu. Kalau hati sialannya belum tertambat mungkin Biyas bisa masuk golongan teman hang out yang menyenangkan. Sayang, nasi sudah jadi bubur. Tinggal ditaburi potongan daging ayam dan kuah opor saja supaya nikmat. Kakinya kembali langkah meski tungkai terasa pegal bukan main.

Sungguh, bekerja di depan kamera atau pun berlenggak-lenggok di atas catwalk tidak semenyenangkan yang orang lain pikir. Barbie harus melakukan puluhan kali pose dalam sesi pemotretan sebuah produk. Juga memakai pakaian yang rata-rata jarang mementingkan kenyamanan.

Namun ini memang passion dan hal yang Barbie sukai. Maka ia tidak banyak mengeluh, Tuhan sudah begitu baik padanya.

"Bie, gue antar pulang ya? Tadi enggak sengaja lihat ban mobil lo kempis," ujar Biyas saat langkah mereka sejajar.

Barbie menoleh diiringi decakan lelah. Ia begitu bosan akan trik basi andalan Biyas. "Berhenti bikin ban gue kempis satu malam aja, bisa enggak, Yas?"

Biyas langsung mengalihkan pandangan sembari bersiul ringan. "Terus aja jadiin gue kambing hitam perkara ban mobil. Itu pasti kerjaan fans lo, Bie."

Mata Barbie terpejam erat seraya mempercepat langkah. "CCTV enggak pernah mati, Yas. Gue ingetin kalau lo amnesia."

Barbie tidak habis pikir tentang hal-hal konyol yang Biyas lakukan hanya karena ingin mengantarnya pulang. Salah satu cara norak yang digunakan Biyas adalah membuat ban mobil kempis. Kekonyolan itu terjadi bahkan sejak hari ketiga mereka bekerja sama sampai malam ini.

Mereka seringkali melakukan pemotretan di luar ruangan juga berpindah-pindah tempat. Kadang ke luar kota sampai ke luar negeri. Dan belakangan ini, mereka lebih banyak melakukannya di kantor. Di ruang khusus pemotretan. Bukan Barbie seorang, banyak model yang Biyas tangani. Sialnya, laki-laki itu memang lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.

Sekali lagi, karena mereka terikat kontrak kerja. Hasil kerja Biyas dianggap mampu mendongkrak popularitas Gita Soedarsono. Begitu juga dengan Gita Soedarsono yang mampu mengorek seluruh kemampuan Biyas Wiyatmoko. Pihak manajemen menganggap duet maut mereka sebagai sesuatu yang menguntungkan.

"Ya elah, jangan percaya, Bie. Gue juga bisa ngedit lo ketangkep basah ciuman sama Adam Levine di CCTV, kok."

Barbie menggeleng cepat. "Sinting, Yas."

Ada satu hal yang membuat Barbie selalu ingin terjun bebas dari gedung ini. Tidak lain dan bukan, sudah pasti Biyas Wiyatmoko.

***

Barbie berhasil menginjakkan kaki di lantai bawah bersama Biyas. Tentu saja mereka mustahil melakukan kesepakatan pulang bersama. Biyas sendiri yang patang mundur menyamai langkahnya, padahal ia terang-terangan sengaja mempercepat. Sembari tetap mengabaikan keberadaan laki-laki itu, jemarinya bergerak mematikan layar ponsel. Ia baru saja meminta Sana menjemput.

Jika Biyas sudah berkata ban mobilnya kempis, Barbie tidak perlu repot-repot mengecek, sudah pasti itu fakta. Sebab satu-satunya orang yang rajin mengamati ban mobilnya adalah Biyas. Laki-laki itu pernah tertangkap basah dua kali.

Napas panjang berembus begitu Barbie menemukan pasangan goals berjalan keluar dari mobil. Siapa lagi? Cessa dan Dion. Ayolah, hari ini sudah cukup melelahkan ... jangan lagi ada tambahan sandiwara topeng ceria. Mau tidak mau, ia menyambar lengan Biyas. Karena Tishana Minatozaki dapat dipastikan muncul satu jam lagi.

"Yas, gue numpang mobil lo. Titik. Enggak usah banyak tanya, bayar soalnya."

Biyas terkekeh. "Kenapa memangnya? Lo tadi nolak gue mentah-mentah, Darling."

Barbie menghela napas panjang, telinganya mendadak sangat gatal. "Yas, kan udah gue bilang ... enggak usah banyak tanya! Lima ratus ribu buat dua pertanyaan." Ia menunduk demi menghindari kontak mata dengan Cessa yang kelihatan sumringah melihatnya. "Gue enggak mau jadi obat nyamuk. Jadi tolong kasih gue izin numpang di mobil lo."

"Oke, sebentar." Biyas merogoh ponsel di saku celana, dalam hitungan setengah menit jemarinya berselancar di layar. "Udah ditransfer lima ratus ribu, Bie. Jadi jawab pertanyaan gue ya."

Terdengar suara notifikasi dari ponsel Barbie tiga detik setelahnya. Sebelah alisnya terangkat tinggi-tinggi. Ia menggaruk pelipis yang tak gatal. "Sumpah lo ini ... idiot bin sinting atau gimana sih?"

Biyas tersenyum lebar saat mata mereka bertemu. "Oke, lima ratus ribu buat satu pertanyaan."

Secara refleks Barbie menepuk dahi frustrasi. "Enggak usah dijawab, Yas. Kepala gue mau pecah."

Biyas tergelak, padahal Barbie mengutarakan itu dengan sungguh-sungguh. Tidak ada candaan yang tersirat sama sekali. Satu jam saja mereka mengobrol panjang lebar, rasanya umur Barbie sudah sepuluh tahun lebih tua dari seharusnya.

"Barbie sayang!" teriak Cessa tanpa memedulikan reputasi berharga milik Gita Soedarsono.

Dengan kekuatan bulan, Barbie mengangkat kepala, tidak lupa memasang senyum bahagia palsu. "Iya, Kak Cessa sayang!" Ia mengikuti nada bicara sang kakak diiringi jengkel yang menggelora.

Kenapa juga Cessa harus datang ke sini bersama Dion? Kenapa tidak salah satu saja di antara mereka? Cukup Cessa atau kalau boleh merasa tidak tahu diri, cukup Dion saja misalnya.

"Pulang yuk, Bie. Sekalian makan malam bareng." Cessa tanpa permisi meraih sebelah lengannya. "Iya kan, Sayang?" Kemudian bertanya pada Dion yang minim ekspresi sejak tiba di parkiran.

Dion hanya menggumam sebagai jawaban.

"Duh, Kak. Sorry banget nih ... Kakak enggak telepon dulu sih." Jurus sandiwara ala Gita Soedarsono dimulai. "Kita ada janji makan malam sama tim manajemen. Iya kan, Yas?"

Biyas memandangnya disertai raut wajah penuh tanda tanya. Sementara ia mengirim sinyal via bibir komat-kamit samar serta mata melebar ala Nyai Blorong.

"Hehe iya," jawab Biyas sesudah menerima sinyal dan segala macam sandi morse.

"Yah, tahu gitu tadi aku telepon." Kekecewaan mewarnai wajah Cessa. "Biasanya kan kamu enggak ada acara khusus, Bie."

"Iya, maaf ya, Kak. Kita mau duluan, tadi baru aja ditelepon jangan telat katanya."

Jurus silat lidah Barbie begitu lancar. Hingga ia akhirnya terbebas dari nahas menjadi obat nyamuk sang pujaan hati. Namun, ada yang mengganjal karena tatapan mengintimidasi dari Dion secara bergantian saat melihatnya menggandeng Biyas. Jujur saja, ia baru menemukan tatapan yang semacam itu dari Dion.

Namun, sekali lagi Barbie sedang mencoba berhenti memupuk harapan lebih. Cincin yang saling melingkar di jari pasangan itu berhasil meninju ulu hati berkali-kali.

"Bie, lo tahu band Simple Plan?" tanya Biyas begitu mereka memasang seat bealt.

"Iya tahu, kenapa?" Barbie sekadar merespon tanpa minat.

"Nonton konsernya sekalian nge-date, yuk? Habis itu bikin simple plan juga di antara kita."

"Simpan aja simple plan lo buat yang lain, Yas," tembak Barbie secara terang-terangan meski Biyas sudah berbaik hati bersandiwara dan mengantarnya pulang.

"Apaan sih, Bie? Gue tuh lagi latihan sama lo doang. Jangan ge-er."

Biyas terkekeh serba-salah. Mobil mulai melaju meninggalkan parkiran ketika Barbie membuka aplikasi perpesanan. Bosan mendera. Ia beralih memandangi jajaran kendaraan yang memenuhi jalan, menumpukan siku ke kaca.

"Jadi, kita dinner di mana nih?" Alis Biyas bermain naik-turun ketika menanyakannya.

"Di mana aja terserah lo." Wajah Biyas secerah matahari terbit begitu mereka bertemu pandang. "Dan yang pasti bukan sama gue."

Senyum di wajah Biyas lenyap seketika. "PHP banget anjir."

"Lo kan tadi yang minta di-PHP, Yas."

Biyas menghela napas panjang. Ia belum pikun, Gita Soedarsono selalu sanggup membuatnya ingin gigit jari. Jajaran mobil sialan yang menghalangi jalan menarik paksa fokusnya, ia lantas memamerkan suara sumbang.

"I dedicated this song to you! The one you never see the truth that I can take away your hurt. Heartbreak girl--" Barbie tanpa tanggung-tanggung langsung menyumpal mulut Biyas dengan tisu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro