3. Bukan Sandaran Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Barbie berdiri termenung di ambang pintu kamar sang kakak. Wanita itu duduk menghadap meja rias dan tengah membersihkan wajah dengan kapas. Ayudia Princessa Soedarsono, anak sulung sekaligus satu-satunya kakak yang Barbie miliki. Meski ketimpangan kasih sayang dari sang ibu jelas terasa, ia tak pernah membenci Cessa. Sekalipun sandaran hati dari Akhfa Dion Gymnastiar adalah wanita itu.

Mau bagaimana lagi? Cessa memang bak permata mahal yang pantas diperebutkan para pangeran antah berantah hingga menimbulkan peperangan dan pertumpahan darah. Sementara Barbie tak lebih dari sekadar boneka cantik di depan blitz kamera.

Cessa dikaruniai paras ayu serta kecerdasan IQ. Perjalanan karir pendidikan dan pekerjaannya seringkali menjadi bahan perbincangan rekan kerja sang ibu. Jauh berbeda dengan dirinya yang berkecimpung di dunia entertainment, penuh kepalsuan dan kabar miring.

Karena sang kakak tercinta, Barbie memiliki cerita konyol di balik rangkaian nama lengkapnya. Teman-teman sebaya kerap memanggilnya Anggi atau Gita. Dan ia lebih senang dipanggil Gita, sayang panggilan itu terlalu cepat berganti. Ketika teman-teman berkunjung ke rumah pada saat pesta ulang tahun ke-5, Cessa muncul dan memanggilnya Barbie.

Kalau boleh jujur, Barbie membenci nama tengahnya, tapi Cessa justru sebaliknya. Perempuan itu yang memaksa Papa dan Mama menyelipkan nama boneka tersebut.

"Aku suka Maripossa dan adik aku perempuan. Jadi aku mau panggil dia Barbie!" Begitulah kira-kira sekelumit keegoisan Cessa semasa TK.

Sejak hari itu teman-teman mulai memanggilnya memakai nama salah satu boneka favorit anak perempuan, Barbie. Kalau waktu bisa terulang, ia ingin lahir lebih dulu dari Cessa supaya kesialan beruntun itu tidak menimpanya.

Setelah secuil potongan masa kecil lenyap, Barbie mengulas senyum terbaik sambil mengetuk pintu kamar Cessa. "Do you wanna build a snowman ...."

Wanita itu terkekeh ketika menoleh. "Masuk, Bie."

Cessa dan Dion sengaja menyewa sebuah vila yang dilengkapi paviliun dan kolam renang di Bandung sebagai tempat penginapan keluarga. Acara pertunangan mereka pun sengaja digelar di kota tersebut karena bersamaan libur tahun baru.

Barbie beranjak masuk, ia menduduki tepi kasur. "Cie ... yang sebentar lagi resmi jadi Nyonya Gymnastiar," godanya sambil membubuhkan garam di atas keperihan hati sendiri.

"Apa sih, Bie ... baru juga tunangan." Cessa tersenyum lalu memeluknya begitu erat.

Gadis itu membalas pelukan sang kakak. "Bahagia terus ya, Kak."

Jangan salah, Barbie tentu masih begitu menyayangi Cessa. Hal itu tidak pernah berubah sejak kecil. Begitupun sang kakak yang masih kelihatan menganggapnya adik kecil. Sekali lagi, ia tidak pernah membenci Cessa atau Dion. Ia hanya benci jika harus berada di antara pasangan sempurna itu.

Usai mengurai pelukan, perempuan itu meneliti raut wajah Barbie.

"Kenapa sih, Kak? Ada sesuatu di wajahku?"

"Kakak heran deh ... kamu kayak bidadari gini. Tapi kamu enggak pernah kelihatan dekat dengan laki-laki mana pun." Cessa memberi jeda sebelum melanjutkan, "Kamu enggak menyembunyikan hal semacam itu dari aku kan, Bie?"

Barbie memaksakan tawa. "Kakak enggak lihat akun gosip ya?"

"Kita semua tahu itu cuma gosip. Maksudku yang benar-benar ada, Bie."

Cessa menariknya menuju balkon. Kolam renang yang luas dan jajaran lampu taman menjadi pemandangan yang mereka temui pertama kali. Air yang menggenang di kolam itu terlihat tenang dan dingin. Perpaduan dari sang malam serta udara yang menggigit pasti mengubah suhu jadi sedingin es. Kira-kira kalau ia menenggelamkan diri ke sana sekarang juga, bisakah hatinya menjadi mati rasa?

Cessa mengernyit sambil menatap taburan berlian di langit. "Padahal waktu masih sekolah sering ada yang ke rumah kirim ini itu. Sering ada yang iseng telepon ke nomor rumah juga, soalnya kamu enggak menggubris mereka."

"Aku belum mau, Kak. Aku belum siap menjalani hubungan yang terikat komitmen."

Sejak beberapa tahun belakangan ia memang lebih cocok dianugerahi piala Oscar.

"Masa sih?" Cessa memandangnya dengan sorot jenaka. "Sampai sekarang belum ada yang menarik dan bikin kamu yakin? Perkara hati memang rumit sih, Bie. Enggak bisa dipaksakan."

Barbie mengangguk seadanya karena ia malas membahas obrolan ini bersama Cessa.

"Jangan ada yang kamu rahasiakan ya, Bie." Pandangan Cessa menerobos sanubari Barbie. Seolah sedang menyelami apa yang ada dibalik dinding hati sang adik.

"Iya, enggak ada, Kak."

Kecuali soal aku yang jatuh cinta sama pacar kakak dari dulu entah sampai kapan. Aku minta maaf untuk itu. Seperti yang Kak Cessa bilang, sesuatu bernama hati itu enggak bisa dipaksakan, bisik hatinya.

"Eh, kamu enggak pernah lagi curhat tentang ... siapa tuh namanya ...." Cessa pasti sedang berusaha mengingat laki-laki yang jadi bahan curahan hati Barbie semasa seragam putih-biru sampai putih-abu.

Sebenarnya kalau Cessa bisa membaca isi hati orang saja. Wanita itu pasti tahu, orang yang Barbie ceritakan sejak masa putih-biru adalah kekasihnya sendiri. Ketika sesi curhat berlangsung di salah satu kamar. Mereka sebenarnya saling membicarakan laki-laki yang sama.

"Itu cuma cinta monyet, Kak, sekadar lewat kayak kentut aja gitu. Selesai kentut udah kelar." Barbie memaksakan senyum lebar.

Cessa tergelak. "Aneh-aneh aja istilah kamu, Bie. Oh ya, kamu tadi ke mana sih? Hp enggak aktif. Kita kan ada sesi foto keluarga."

"Manajer aku bawel banget. Aku jadi angkat telepon dia dulu. Lama ngobrolnya sampai daya ponselku habis." Barbie menyelipkan helai rambut, menghindari tatapan Cessa. "Maaf ya, Kak ... nanti kan pas nikah juga kita foto keluarga."

"Kok rese banget! Kamu udah bilang kan hari ini acara keluarga?"

"Udah, tapi gitulah. Eh, temenin aku makan yuk!" Barbie mencoba menarik Cessa dari topik obrolan yang menyangkut kemalangan hatinya.

Cessa mengerutkan bibir. "Ini kan juga momen penting aku, Bie. Masa enggak ada foto kamu." Perempuan itu menghentikan langkahnya. "Eh, ulang lagi aja kali ya?"

"Ya ampun, Kak ... fotoku mah enggak penting. Udah banyak di majalah sama sosial media."

"Sombong banget kamu!"

Barbie tertawa sembari terus menarik tangan sang kakak. Setidaknya masih ada sisa-sisa tawa yang murni tanpa tersirat kepalsuan ketika berada di dekat Cessa. Tidak perlu ditanya, Barbie juga bahagia jika Cessa bahagia. Meski bentuk bahagia tersebut adalah hal yang membuat hati berdarah parah.

Karena bagaimanapun mereka terikat tali persaudaraan yang tak lekang oleh waktu. Mungkin ada istilah mantan suami, mantan kekasih. Akan tetapi, tidak untuk mantan adik atau kakak apalagi mantan orang tua.

***

"Nyuci piring satu aja lama banget."

Dion bersedekap di samping lemari es, memandangi punggung yang sempat menegang itu kembali rileks. Tadinya ia berniat menemui Om Bayu Soedarsono, tetapi entah kenapa malah menuju ke dapur. Gadis yang ia pandangi merupakan adik semata wayang Cessa, adiknya juga. Mereka akrab seperti teman lama, saat bicara pun sudah tanpa batasan.

Dulu ketika Dion dan sang tunangan masih duduk di bangku kuliah. Barbie kerap menemaninya mengobrol ketika berkunjung ke rumah Om Bayu Soedarsono. Sebab Cessa seringkali sibuk dengan berbagai tugas kuliah dan tanggungjawab sebagai pengurus BEM di kampus. Barbie kadang menemaninya makan camilan atau bermain basket berdua. Sampai Cessa sudah tidak lagi sibuk dan bergabung bersama mereka.

Saat itu Dion yang menempuh pendidikan jurusan hukum pun punya banyak tugas. Yang membedakannya dengan Cessa adalah cara mereka membagi waktu. Ia menempatkan semua jadwal ke dalam porsi yang sama, tidak ada yang berlebihan. Apalagi menukar waktu paling berkualitas.

"Ini lebih dari satu ya. Lagian biar bakteri kayak Mas Dion gitu musnah." Gadis itu selalu menyambutnya dengan kalimat ejekan.

Dion mendekat, ia mengamati gadis itu dari samping. "Yang kamu bilang bakteri itu ganteng orangnya, Bie." Lantas mengambil salah satu piring yang telah dipoles sabun.

Salah satu hal yang jarang diketahui infotainment. Model bernama Gita Soedarsono hobi berkutat di dapur, entah itu masak atau sekadar mencuci piring.

"Ganteng." Barbie menoleh dengan satu alis terangkat. "Gangguan Telinga?"

Kalau Dion bukan orang yang biasa bertemu gadis itu seminggu sekali di rumah Bayu Soedarsono. Mungkin ia langsung melabeli Barbie sebagai gadis kurang ajar. Namun, karena ia sudah sangat terbiasa, sikap jutek dan ketus dari Barbie malah tidak pernah membuatnya menyimpan rasa kesal setitik pun.

Ringisan tersemat di wajah Barbie saat ia sengaja mencubit pipi gadis itu. "Kemarin malam ke mana nih? Chat aku nggak dibalas sama sekali. Telepon balik juga enggak, parah kamu."

"Mas Dion, sakit ih! Aku tuh bukan anak kecil lagi! Aku malah udah punya penghasilan yang lebih dari Kak Cessa sama Mas Dion. Kalian berdua yang badannya cuma otak semua berhasil aku kalahkan!" Gadis itu mencoba menepis tangan Dion. "Ih, tangannya basah abis bilas piring, bau ikan asin lagi!"

Dion melepas tawa karena Barbie menggembungkan pipi disertai hidung kembang-kempis. "Udah jutek, suka ngilang kayak tuyul, songong lagi. Pantesan jomlo."

"Masa bodoh, pokoknya apartemenku lebih mahal dari apartemen kalian!" Barbie menjulurkan lidah.

Berapa pun umurnya. Bagi Dion, Barbie tetaplah adik kecil yang suka merengek minta dibelikan Pocky dan Hello Panda rasa cokelat, lalu marah-marah bila telat dijemput. Ditambah hobi mengamuki ring basket ketika permintaannya ditolak. Juga melontarkan kalimat-kalimat ketus ketika ia dan Cessa mulai usil.

"Aku sumpahin kamu ketabrak berondong terus diporotin sampai miskin dan numpang dirumahku."

Barbie mengangkat bahu tak peduli. "In your dream ya ... justru Mas Dion tuh sama Kak Cessa yang bakal aku sponsorin dress code wedding-nya."

Kalau Barbie boleh jujur, sekadar mencuci piring saja jadi begitu menyenangkan bila laki-laki itu di sampingnya. Siapa lagi? Si pengusik mimpi di malam hari.

"Oke, barusan janji ya? Udah direkam nih." Dion menaik-turunkan alis.

Barbie mendengus keras. "Dasar kaum sponsoran."

Ketika Dion mengacak-acak rambutnya, gerakannya membilas piring pun terhenti. Ia menatap laki-laki yang tersenyum hangat itu dengan sejuta harapan dan impian bodoh. Andai Dion tak pernah bertemu Cessa, apakah ia tetap akan bertemu laki-laki itu?

Andai Dion bukan kekasih Cessa, apakah ia juga memiliki kesempatan main basket berdua, berbagi mie instan, dan bercerita tentang cita-cita? Barbie menahan napas. Benar juga, tanpa Cessa mungkin dirinya tak akan pernah mengenal Dion. Sebab ia bukan sandaran hati bagi laki-laki itu, bukan juga tempat Dion melabuhkan sebuah janji manis.

"Tuh kan ... mulai nih mikirin cowok orang."

Kereta pikiran Barbie berhenti melaju. Candaan semacam itu kerap kali terlontar dari Dion dan entah kenapa menjadi kenyataan.

"Enggak tuh, aku mikirin wonder woman pakai karung goni." Barbie menepis tangan laki-laki dari puncak kepala. Sesegera mungkin ia melarikan diri.

"Mau ke mana, Bie? Aku mau tanya sesuatu."

Langkah Barbie tertahan, ia meremas bagian samping rok. "Enggak ke mana-mana." Matanya terpejam erat. "Aku enggak akan pernah ke mana-mana selama penggenggam hatiku juga enggak ke mana-mana."

Dion mengernyit. "Kamu ngomongin apa, Bie?"

"Bukan apa-apa. Aku capek mau tidur." Seperti sudah menebak apa yang akan Dion tanyakan, Barbie kembali berujar, "Besok aja kalau mau interogasi kenapa aku enggak ada di foto keluarga."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro