2. Bukan Apa-apa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo habis dari mana sih, Bie? Kita tuh nyariin lo! Mana HP nggak aktif lagi!" Sana menyerangnya dengan seberondong pertanyaan usai keluar dari mobil.

Beruntung telinga Barbie malam ini berfungsi sebagai hiasan dan formalitas. Ayolah, ia hanya ingin mendamaikan hatinya sendiri. Tanpa perlu campur tangan tiga nenek lampir menjengkelkan yang disebutnya sahabat.

"Habis nyari wangsit."

Sana menggeleng karena jawaban darinya. Kemudian gadis itu sibuk berkutat pada ponsel, mencoba menghubungi dua nenek lampir lainnya. Ketukan ujung high heels mereka menimbulkan suara yang saling bersahutan. Seringkali Anggita Barbie Soedarsono dan Tishana Minatozaki menjadi pusat perhatian ketika melewati sarang penyamun. Mereka memiliki paras dan postur tubuh yang cukup menarik untuk sekadar menggandeng CEO kelas unicorn.

Pastinya, Barbie tidak butuh dielu-elukan sejumlah laki-laki. Ia hanya butuh satu hati yang bersedia mengelu-elukan namanya dalam sebuah debaran.

Ayolah, hanya satu. Tuhan maha pemurah kan?

Barbie ingin Akhfa Dion Gymnastiar satu untuk seumur hidup. Menemaninya sampai langit malam menua lalu mereka terlelap, pun kala ia membuka mata di esok pagi. Hingga suatu hari mereka duduk di kursi goyang bersama dua cangkir teh, rambut memutih, dan wajah berkeriput. Terdengar seperti mimpi yang indah 'kan?

Kalau begitu, setidaknya izinkan Barbie sedikit saja mengecap bibir yang kerap mengundang rasa jengkel sekaligus tawa itu. Oke, ini mulai terdengar menggelikan. Namun, fakta sungguh sulit dipungkiri. Hati Barbie memang semurahan itu ketika berhadapan dengan Dion.

"Bie, Madam Rose tuh no kaleng-kaleng." Sana membuka percakapan.

Madam Rose merupakan aplikasi dating yang sedang hits setanah air. Aplikasi tersebut sangat digandrungi para gadis iseng yang rindu sandaran bahu Aa. Selain itu agak mirip random chating bernama chatous. Hanya saja memiliki beberapa kelebihan. Salah satunya fitur Midnight Tea yang menghadirkan konsultasi masalah percintaan dengan sang pakar cinta dari Madam Rose.

"Lo udah nyoba, Bie? Gue udah beberapa hari ini loh nyoba. Seru!"

"Malas, buat gue Madam Rose lebih kelihatan kayak aplikasi peramal kartu tarot daripada dating app."

"Ngaco! Lo pikir si Mina ketemu Choky tuh di mana coba? Ya lewat aplikasi itu. Dan lo tahu kan ... Choky Siregar bukan sembarang orang. Terbukti dong, yang pakai aplikasi itu bukan cuma jajaran lelaki kerdus."

Barbie menarik napas ketika melihat beberapa rekan kerja sang ibu yang keluar dari gedung. Beruntung, sebelum sampai di parkiran ia sudah membenahi riasan wajah. Semoga saja make up dengan brand ternama itu dapat menutupi jejak air mata, menyatukan retakan hati yang berceceran, dan membenahi otaknya yang hanya berguna memikirkan Dion. Kalau bisa.

"Whatever, Sa. Kalau lo bisa nemu duplikat Dion di sana, baru gue percaya kalau aplikasi itu no kaleng-kaleng," bisik Barbie.

Sana menghela napas panjang. "Astaga, Bie ... lo masih juga mikirin laki orang. Eling! sekarang doi tunangan kakak lo!"

Kali ini Barbie sengaja mengibaskan rambut sampai mengenai wajah Sana. "Ada yang bilang selama janur kuning belum melengkung segalanya masih terasa mungkin."

Lagi-lagi Barbie dan segala pikiran konyolnya.

"Bitch," gumam Sana.

Mereka melewati jajaran mobil mewah milik beberapa rekan orang tua Cessa dan Dion. Dilihat dari tingkat kecepatan langkah saja, Sana sangat tahu Barbie tengah menyeret kapal Titanic di kaki. Seberat itu langkah kaki seorang Anggita Barbie Soedarsono demi kembali menemui setitik terang bernama kenyataan.

Barbie harus kembali ke tempat di mana pertunangan Cessa diadakan. Kira-kira lebih cocok diumpamakan neraka atau jurang terjal? Ya semacam itulah ... ia seolah terjun bebas dengan parasut bolong lalu jatuh di antara bebatuan dengan hiasan api berkobar. Siap membuatnya mati tanpa perlu berdarah-darah dan nampak begitu dramatis.

Nahas memang dan belum ada kata lain lagi selain nahas.

Takdir kisah romansanya dari zaman batu sampai millenial memang selelucon itu.

"Duh, tuyul ke mana aja sih lo? Kita khawatir beneran tahu!" Momo berseru. Hidungnya kembang-kempis saat mereka berpapasan.

"Tanya aja Sana," ujar Barbie yang sedang malas menanggapi segala pertanyaan dengan ramah tamah.

Toh, yang Barbie hadapi seorang Crisis Monica Wiranata bukan wartawan gosip dan sebagainya. Jadi ia tidak perlu menjaga tutur kata. Barbie sangat menghargai rasa khawatir si tiga nenek lampir. Namun berteriak di tengah jalan macam orang gila tadi lumayan sedikit membuatnya lebih baik. Sedikit. Karena begitu kembali ke tempat ini, ia seperti mengulang usahanya dari nol.

Dengan rasa enggan yang bercokol, Barbie mengaktifkan ponsel. Seketika layarnya berkedip diiringi getaran heboh. Ada banyak chat dan panggilan tidak terjawab di sana. Nama si pemicu rasa sesak justru paling mendominasi. Entah kenapa, selalu begitu. Lagi dan lagi Barbie benci merasakan hangat dalam rongga dada.

Dion: :
Bie, kita mau foto keluarga. Cepet ke sini mumpung aku lagi ganteng nih..

Kamu di mana, Bie? Aku enggak lihat kamu di mana-mana.

Bie, kamu baik-baik aja kan? cepet aktifin HP.

Belum ada yang lebih mengenaskan dari sebuah perhatian kecil yang membuat kita tersanjung. Padahal itu bukan apa-apa.

"Lo dicariin Cessa sama keluarga," sahut Mina yang menghampiri mereka.

Setelah melihat layar ponsel menggelap, Barbie memasukkannya ke dalam clutch. Ia hanya membaca segilintir chat, malas membalasnya.

"Gue cuma nyari tempat semedi."

Momo tiba-tiba bersedekap, jenis tawa yang terlontar mampu membuat telinga terasa gatal. "Pada akhirnya Barbie juga sadar enggak mampu bertahan. Tapi tuh yang gue enggak habis pikir kenapa dia masih bertahan? Ya enggak, Sana?"

Sana mengiyakan. "Dia model, cantik, punya relasi di mana-mana. Gue heran, nyari cowok buat jaga hatinya aja enggak becus."

"Nah, kalau orang yang rela diguyur hujan padahal dia tahu dia punya payung dan jas hujan itu namanya apa, Sa?" tanya Momo lagi.

"Bodoh, idiot. Udah, enggak ada kata lain selain itu." Detik ini justru Mina yang menjawab.

Tiga nenek lampir pada akhirnya tahu tanpa perlu diberitahu. Mereka sudah paham tentang alasan bahkan ke mana perginya Barbie. Cukup dengan membaca raut wajah, semua sudah terbongkar. Namun, seperti hari-hari lalu. Barbie sudah ulung dalam hal menulikan telinga. Bukan apa-apa, kalau saja beralih dari Dion itu semudah mengacungkan jari tengah. Mungkin ia sudah menerima sekian lawan jenis yang menyatakan perasaan padanya.

Sangat disayangkan, perjalanan mengubah rasa yang ditimbun hati memang tak akan semulus pantat bayi. Ya, anggap saja mulai malam ini Barbie sedang melakukan perjalanan mengubah rasanya jadi kedaluwarsa terhadap Dion. Entah bagaimana nanti, intinya pupuk saja niat lebih dulu.

"Anggita Barbie Soedarsono, ke mana aja kamu?"

Laki-laki yang muncul dari belakang Mina dan Momo berhasil membuat hati Barbie menghangat dalam hitungan detik. Dion dan jas hitamnya, tidak ada lagi yang lebih memukau dari itu. Bahkan lembut tatapan laki-laki itu saja mampu menerbangkan separuh kesadarannya akan kenyataan. Kalau boleh, Barbie ingin langsung berlari menubruk Dion. Menyandarkan kepala di dada laki-laki itu sambil tersedu-sedu dan berkata tinggalkan saja Cessa sekarang juga.

Romantis kan? Bak adegan telenovela. Namun bagai pungguk merindukan bulan bila dilihat dari realita yang ada. Sebab ekspektasi hanya tinggal di atas awan sana.

"Apaan sih, Mas? Aku bukan anak TK yang ngilang dikit harus dicariin," sahut Barbie senormal mungkin dengan raut wajah tak acuh.

=================

A/N: Maaf, panggilan Dion aku ubah ya demi kenyamanan kita bersama wkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro