go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kemarin ada sedikit kesalahan teknis. Saat mau save work, ternyata aku kepencet publish. *Nyengirsuperlebar

Jadi karena aku nggak enak bikin php kalian, begitu kelar aku langsung publish.

Sorry for typos.

-------------------------

Ternyata yang dimaksud dengan "gue mengerti" oleh Sigit malah membuat Ayu semakin kebingungan.

Karena keesokan harinya, Ayu mendapati satu buket bunga di atas mejanya, dengan kartu terselip di dalamnya.

Dengan bingung, Ayu mengambil kartu itu dan membukanya.

Tulisan tangannya tidak begitu bagus, khas tulisan laki-laki. Hanya sebaris kalimat, tapi cukup untuk membuat Ayu kacau.

I'll wait.

Ayu tidak pernah tahu kalau Sigit bisa berlaku manis dengan mengirim bunga.

Dia cuma mau lo tidur sama dia, batin Ayu mengingatkan, dan dia mengumpat dalam hati.

Ayu sudah akan membuang bunga itu ke tempat sampah, tapi mengurungkan niatnya. Bunga ini nggak salah apa-apa. Jadi Ayu mencari vas, dan membuka rangkaiannya supaya bisa disusun di dalam vas.

Puas melihat hasil karyanya, Ayu mulai mengerjakan pekerjaannya hari itu dengan riang. Bunga selalu bisa membuat suasana hatinya bagus, terlepas dari maksud apapun yang dipikirkan oleh sang pengirim bunga.

Bodo amat.

"Wow, ada bunga." Ayu menoleh, dan melihat Willy yang menatap vas di meja Ayu.

"Bagus kan?"

"Kamu suka bunga?" Ayu mengangguk.

"Semua bunga?" Ayu kembali mengangguk, dan Willy tersenyum lebar.

"Jadi gimana libur kemarin? Kamu ke mana nggak?"

"Nope. Saya istirahat di rumah. Kamu?" tanya Ayu, dan Willy menghela nafas.

"Sama. Sibuk begini, pas libur tuh pengennya tidur doang deh." Ayu tertawa.

"So, what's my schedule today?" Ayu membuka catatan saktinya. Walaupun dia seorang manajer artis, dia sangat pelupa. Jadi catatannya tidak boleh sampai ketinggalan.

"Latihan doang. Nggak ada yang khusus."

"Besok?"

"Besok sore kamu syuting acara kuis bareng Bang Yudi, Bang Rizal, sama Bang Edo."

"Lho? Sigit?"

"Sigit syuting ftv." Willy manggut-manggut.

"Woi, Tot!! Pantesan rajin dateng pagi. Ngapelin Ayu?!"

Ayu dan Willy serentak menoleh dan melihat Rizal menyender di pintu sambil nyengir.

"Yah, mending sama lo sih daripada Ayu sama Edo. Kacau tuh orang. Bini satu aja nggak keurus, malah godain yang lain."

"Bang Rizal pagi banget datangnya. Tumben."

"Lagi dapet inspirasi. Duluan ya," kata Rizal, dan pergi setelah mendapat balasan dari Ayu dan Willy.

"Lagumu udah?" tanya Ayu, dan Willy dengan wajah murung menggeleng.

"Nggak ada inspirasi. Kamu mau bantuin saya nggak?"

"Bantuin apa?"

"Jadi inspirasi saya." Ayu sontak tertawa.

"Nggak ah. Bisa-bisa saya dibantai sama fans kamu. Pulang tinggal nama. Ogah."

Lalu saat Willy duduk mendekat dengannya, Ayu memundurkan kursinya menjauhi Willy.

"Mereka nggak perlu tahu."

Nada suara Willy penuh rayuan, tapi Ayu tidak akan tertipu dengan wajah tampan Willy. Ayu menggeleng sebagai jawaban.

"Willy, I really like you, tapi hubungan kita di sini profesional. Kamu nggak bisa menjadikan saya inspirasi kamu."

Willy mengangkat tangannya, tanda menyerah.

"Oke, oke, fine. Saya nggak maksa."

"Emangnya temanya apa sih?"

"Cinta. Kalau bisa cinta pertama." Ayu mengangkat alisnya. Pantas saja susah.

"Bukannya pacar kamu banyak?" Willy menampilkan wajah tersinggung.

"Wah, fitnah itu, Yu. Saya lagi nggak punya pacar."

"Beneran?" ledek Ayu, dan Willy buru-buru menggeleng.

"Beneran."

Sigit yang baru saja datang, melihat interaksi Ayu dan Willy dengan perasaan tidak suka. Ayu sepertinya bersikap biasa dengan semua orang kecuali dirinya. Namun saat matanya melihat bunga yang disusun di dalam vas di atas meja Ayu, dia tersenyum. Ayu menerima bunganya, baguslah.

Sigit bingung kenapa dia harus susah payah hanya untuk tidur dengan Ayu, tapi dia tidak keberatan. Daripada mati penasaran, keluar usaha sedikit tidak apa-apa.

Lagipula dia penasaran, apa yang membuat Ayu bersikeras menolaknya. Ayu tidak mungkin menganut paham no sex before marriage kan?

Sudahlah, batin Sigit. Ada yang musti gue pikirin selain Ayu. Lagu untuk single terbaru. Musti nyari ide ke mana lagi deh.

***

Ayu baru selesai membalas email, saat Mbak Rini menepuk pundaknya.

"Udah selesai, Yu? Ayo makan siang."

"Yuk, Mbak."

Rini melirik bunga di meja Ayu.

"Kamu beli bunga?"

"Nggak. Dapet."

"Oh..." Mbak Rini tidak bertanya lagi, dan Ayu pun tidak berusaha menjelaskan. Mbak Rini bukan tipe wanita kepo yang suka ikut campur urusan orang lain, dan Ayu bersyukur karena itu.

Baru saja mereka berjalan keluar, tiba-tiba seorang wanita cantik yang tinggi membuka pintu dengan kasar, dan hampir mengenai Mbak Rini, seandainya saja Ayu tidak cukup cepat untuk menarik Mbak Rini menjauh dari pintu.

"Mana Sigit??" jerit wanita itu dengan keras, penuh amarah. Ayu mengernyit, dan saat matanya bertemu pandang dengan Mbak Rini, Mbak Rini hanya memasang wajah datarnya sambil menggeleng.

"Anda siapa?" tanya Mbak Rini, dan wanita itu baru menoleh, seakan-akan keberadaan mereka daritadi tidak nampak di mata itu.

"Saya pacarnya. Kamu siapa? Mana Sigit??"

"Sigit sedang latihan."

Wanita itu dengan kasar berusaha masuk, namun Ayu segera menahannya.

"Maaf, Mbak. Tidak ada yang boleh masuk selain karyawan."

Wanita itu menoleh, dan Ayu mengenalinya sebagai Susan, model yang pernah bekerjasama dengan Theo dulu. Dan dia sepertinya mengenali Ayu, tapi tidak peduli.

"Saya pacarnya! Saya mau ketemu pacar saya!"

"Pacar ataupun pembantu sekalipun, tidak boleh masuk, Mbak."

"Saya mau masuk! Dan kamu, kamu siapa sih?? Bukannya kamu manajernya Theo? Ngapain kamu larang-larang saya??"

Ayu jengkel. Niatnya berusaha ngomong baik-baik malah dinyolotin.

"Saya manajer baru Petir. Dan sekarang saya tanya balik, Anda siapanya Sigit?? Kalau Anda beneran pacarnya Sigit, Anda nggak perlu teriak-teriak kayak orang gila di sini!! Telepon aja pacar anda! Suruh keluar! Atau jangan-jangan anda sudah didepak ya?" tebak Ayu sinis, dan wajah Susan memerah.

Susan menghentakkan tangannya dari genggaman Ayu, dan berusaha masuk, tapi Ayu kembali menahannya, dan kali ini Ayu menariknya sehingga dia jatuh di atas sofa yang tersedia di sana untuk menerima tamu.

"Dibilangin baik-baik, nggak bisa dengar lho. Situ orang bukan?? Monyet aja lebih pinter dari situ! Duduk diam di situ! Saya panggilin orang yang situ pikir masih pacar situ!!" bentak Ayu kesal. Cantik-cantik tapi kasar banget. Kalau nggak ingat di sana ada Mbak Rini yang lagi hamil, mungkin kepala perempuan ini sudah Ayu getok ke dinding. Ayu tidak mau Mbak Rini jadi trauma dan berpengaruh pada kehamilannya.

"Nggak usah dipanggilin, Yu. Tuh, orangnya nongol," kata Mbak Rini, dan Ayu menoleh. Sigit bersama empat pria yang lain muncul di lobi dan mereka menatap bingung tiga wanita di sana.

"Rini dan Ayu juga mau keluar makan?" tanya Bang Yudi, dan Mbak Rini mengangguk.

"Bareng aja, kita mau nyobain resto sushi baru yang di ujung jalan," kata Willy. Lalu mereka dengan serentak menatap satu-satunya orang yang seharusnya tidak ada di sana.

"Sigit, I need to talk to you," kata Susan akhirnya, dengan nada suara memelas, dan Sigit mengernyit.

"Ngapain lo di sini?"

"Aku mau memperbaiki semuanya dengan kamu," kata Susan, yang berdiri dari sofa dan mendekati Sigit, yang tak bergeming dari tempatnya.

"Apa lagi yang mau diperbaiki? Kita sudah putus," kata Sigit kalem, dan Susan mengusap matanya, menghapus air matanya. Ayu mendengus. Emang beneran ada air mata?

"Aku nggak benar-benar mau putus, Git. Aku marah waktu itu, dan kamu seharusnya nggak menanggapiku dengan serius."

Ayu dan Mbak Rini saling melempar pandang, dan berbalas senyum geli. Lumayan, dapat drama ftv gratis di siang hari.

Kapan mereka putusnya ya? Mudah-mudahan sih sebelum kemarin itu, batin Ayu. Dia tidak bisa membayangkan berciuman dengan pria yang masih berstatus pacar orang, walaupun bukan dia yang minta. Wong Sigit yang nyosor duluan, kok.

"Oh, no, darling. Putus adalah putus. Jadi silakan keluar dari sini."

Susan membelalak kaget, dan tangannya berusaha menyentuh Sigit, yang langsung mundur menghindarinya.

"You can't do that to me! I'm your girlfriend!"

"Not anymore," kata Sigit sambil mengangkat tangannya, lalu menoleh kepada rekannya. "Yuk, jalan. Gue laper."

"Naik mobil gue aja kali ya? Rini sama Ayu ikut kan? Biar muat," kata Rizal, dan mereka semua berjalan keluar, mengabaikan keberadaan Susan sama sekali, bahkan saat Susan mulai menjerit histeris. Tidak ada satupun diantara mereka yang menoleh, hanya Ayu.

Ayu berkali-kali menoleh khawatir. Dia tidak menyukai mantan pacar Sigit itu, tapi dia cukup kasihan padanya. Sigit bersikap dingin padanya, dan anggota yang lain pun mengabaikannya, padahal dia sekarang terduduk dan menangis di lobi, yang Ayu yakin kali ini ada air mata sungguhan.

Lalu sebuah tangan merangkulnya. Mbak Rini.

"Abaikan, Yu. Percayalah, setahun kamu kerja di sini, itu akan jadi pemandangan yang biasa."

"Ini masih lebih kalem dibanding yang terakhir itu lho," sahut Willy sambil terkekeh geli. "Mantan Sigit yang sebelum ini malah melempari semua barang yang ada di meja resepsionis. Sejak itu meja resepsionis dikosongin deh."

"Halah, mantan lo lebih parah, Tot. Yang menjambak Mbak Rini, sambil bilang dia manajer penggoda siapa tuh?" sahut Sigit.

"Orang gila itu," jawab Willy sambil meringis.

Ayu ikut meringis. Mbak Rini bahkan tidak punya potongan wanita penggoda. Dia terlalu datar, dan kelihatan sekali menganggap semua anggota Petir sebagai bocah. Wanita yang melihat Mbak Rini sebagai wanita penggoda, jelas-jelas gila.

Tiba-tiba kepala Ayu ditepuk pelan, dan Ayu mendongak, matanya bertemu dengan mata Sigit yang tersenyum padanya.

"You did well, manajer."

Ayu hanya tersenyum tipis, dan memalingkan wajahnya.

Hanya gestur kecil, tapi jantungnya berdebar tak karuan.

Damn you, heartbeat, umpat Ayu dalam hati.

***

Bang Yudi menghela nafas panjang, pada akhir sesi latihan mereka hari itu. Lalu tiba-tiba dia melempar sandalnya ke arah Sigit dan Willy, yang buru-buru menghindar. Semua hanya diam, tidak berucap sepatah katapun. Bang Yudi jarang marah, dan menyeramkan kalau akhirnya dia marah.

"Nggak ada gunanya kita latian tiap hari, kalau lagunya belum ada!"

"Iya, Bang. Maaf, Bang," kata Sigit dan Willy serentak. Bang Yudi kembali menarik nafas panjang.

"Kita libur tiga hari. Terserah kalian mau ngapain, yang penting setelah tiga hari ini, lagunya sudah ada dan bisa kita tes sama-sama! Tiga hari cukup?"

Sigit dan Willy berpandangan. Sebulanan mereka bergelut saja inspirasinya belum ketemu, apalagi tiga hari doang.

"Cukup???" tegas Bang Yudi sekali lagi dengan nada lebih keras dari sebelumnya, dan Sigit maupun Willy mengangguk pasrah.

"Iya, cukup, Bang." Tidak ada gunanya membantah saat ini, Bang Yudi terlalu marah untuk diajak kompromi.

Begitu Bang Yudi keluar, Rizal menghampiri mereka berdua.

"Gue sama Edo nyiapin lagu, masih mentah sih, tapi kalau kalian nggak nemu, kita bisa pake yang ini."

"Makasih, Bang, tapi biar kami usaha dulu," kata Sigit, dan Rizal mengangguk. Dia menepuk bahu kedua rekannya yang lebih muda itu, lalu berlalu dari ruangan bersama Edo.

Begitu tinggal mereka berdua, Willy membuka ponselnya.

"Tiga hari ya. Hmm, gue mau ke gunung deh, kali aja nemu." Sigit menaikkan alis. Willy memang anak alam. Hobinya naik turun gunung. Itu sebabnya tubuh Willy bagus dan berotot walaupun dia malas nge-gym, tidak seperti Sigit yang rutin fitness untuk menjaga kebugaran tubuhnya.

"Ah, pas nih. Tiket ke Lombok murah." Willy melirik jam tangannya, lalu kembali mengetik di ponselnya.

"Lo mau naik Rinjani?"

"Ya. Nggak sampe ujung sih kayaknya, tapi lumayan, refreshing. Siapa tau ketemu cewek kuliahan yang cakep." Sigit tertawa.

"Nyari cewek mah nggak usah di gunung. Di klub banyak tuh."

"Ogah. Gue nggak suka cewek yang cuma tau olahraga di ranjang, tapi nggak suka olahraga lain. Ya udah, gue jalan balik dulu ya. Mau ngejar pesawat malam ini. Lo gimana, Git?"

Sejujurnya Sigit belum tahu harus melakukan apa.

Sampai Willy sudah pergi dan meninggalkan dia sendirian, Sigit masih bingung.

Dia akhirnya memutuskan untuk pulang ke apartemennya sambil terus berpikir apa yang harus dia lakukan tiga hari ke depan, saat dia berpapasan dengan Mbak Rini.

"Baru mau pulang, Mbak?"

"Ya. Kata Yudi kalian libur tiga hari ya?"

"Iya."

"Pas lah, Ayu juga minta cuti tiga hari." Seketika Sigit penasaran.

"Ayu? Cuti? Ke mana?"

Mbak Rini menatap Sigit curiga, namun akhirnya mengambil keputusan untuk memberitahu Sigit. Ini bukan hal yang perlu disembunyikan.

"Ke Jepang. Ibunya tiba-tiba jatuh sakit."

***

Ayu cukup terkejut dia bisa tiba di unitnya dengan selamat, dengan pikiran yang sama sekali tidak fokus.

Tadi siang, kakak tirinya - anak dari ayah tirinya sebelum menikah dengan ibunya Ayu - meneleponnya siang ini, dan memberitahunya kalau ibunya terkena serangan jantung dan harus segera dioperasi. Terjadi penyumbatan di pembuluh darahnya, dan harus segera di-bypass, namun kemungkinan berhasil hanya 50%. Mereka meminta Ayu untuk datang, sebelum terlambat.

Ayu bahkan tidak tahu apa yang harus dia lakukan begitu mendapat berita itu. Untung Mbak Rini ada di sampingnya saat itu, dan membantunya mengambil keputusan. Mbak Rini langsung membantunya mencari pesawat untuk tengah malam ini, sehingga dia bisa tiba di Jepang besok pagi, dan langsung menemui ibunya.

Mbak Rini bahkan langsung mengutus sopir kantor untuk mengantar Ayu pulang, dan mengantarnya ke bandara nanti. Dan sekarang Ayu harus segera berkemas supaya dia bisa langsung berangkat ke bandara.

Ayu menepuk pipinya pelan, berusaha menyadarkan dirinya. Saat ini dia harus fokus, karena dia sendirian. Tidak ada gunanya dia mengkhawatirkan ibunya saat ini, karena itu tidak membantu. Lebih baik dia memastikan membawa semua yang diperlukan, dan tiba di sana tepat waktu.

Ayu memasukkan apa yang kira-kira dibutuhkan selama di sana, yang saat ini sudah mulai masuk musim dingin, dan menyiapkan paspor dan uang untuk ditukarkan.

Setelah siap, dia buru-buru turun, dan sopir kantor mengantarnya ke Bandara. Di dalam mobil, Ayu terus menerus berdoa supaya operasinya berjalan lancar.

Lalu kakak tirinya meneleponnya, dan Ayu mengangkatnya. Ayu tidak begitu menguasai bahasa Jepang verbal, apalagi tulisan. Tapi setidaknya dia masih mampu bercakap-cakap dengan saudara tirinya, walaupun kadang-kadang dicampur dengan bahasa Inggris.

(Semua percakapan yang dicetak miring dan digaris adalah dalam bahasa Jepang)

"Moshi moshi, Ryu-kun."

"Jam berapa pesawatmu tiba besok, Masayu-chan?"

"Jam 9 pagi. Ibu bagaimana?"

"Sudah masuk ruang operasi. Besok akan kujemput. Narita?"

"Tidak perlu. Aku akan langsung ke Rumah Sakit. Lebih baik kau menunggui ibu saja."

"Kau yakin? Aku bisa menjemputmu kalau kau mau."

"Tidak perlu. Nanti kita bertemu di rumah sakit saja."

"Baiklah. Hati-hati, Masayu-chan."

"Iya."

Ayu memutuskan panggilan teleponnya dan memejamkan mata. Ayu mungkin tidak begitu menyukai ibunya, tapi tetap saja, itu adalah ibu yang melahirkannya.

Semoga ibu baik-baik saja, batin Ayu.

***

Ayu membelalakkan matanya, tidak mempercayai apa yang diucapkan oleh kru di tempat check in.

"Punya saya di-upgrade?"

"Iya, Bu. Tiket Anda di-upgrade menjadi kelas bisnis. Tidak ada bagasi?"

"Tidak, hanya satu koper kabin."

"Baiklah. Selamat menikmati penerbangan Anda," kata kru itu dengan senyum sambil menyerahkan tiket beserta paspor Ayu, yang masih mengernyit bingung.

Dia ingat dia membeli tiket ekonomi, karena membeli dalam waktu semepet ini, harganya sangat mahal. Ayu tidak rela membeli tiket bisnis.

Ah, ya sudahlah, mungkin gue sedang beruntung, batin Ayu.

Saat nomor penerbangannya dipanggil untuk boarding, Ayu ikut naik ke pesawat bersama yang lain.

Saat Ayu tiba di tempat duduknya, Ayu terhenyak. Sigit duduk tepat di kursi sebelah nomor kursi Ayu, dan dia tersenyum tipis sambil menatap Ayu.

"Hai, Yu. Kebetulan sekali."

Satu hal langsung terlintas di pikiran Ayu.

Ini nggak mungkin kebetulan. Nggak ada kebetulan yang se-kebetulan ini.

Tbc

Ohohohoho *ketawajahat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro