roku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sigit menatap Ayu yang terpaku menatapnya, sambil tersenyum.

Tidak sulit mencari tahu penerbangan apa dan ke mana yang dinaiki Ayu. Sedikit bocoran dari Mbak Rini yang sama sekali tidak curiga dan sesi make-out dengan salah satu petinggi perusahaan pesawat udara yang ditumpangi Ayu - yang memang adalah salah satu mantannya, bukan mantan favorit tapi demi Ayu, tidak masalah - membuatnya bisa mengambil tempat tepat di sebelah Ayu, dalam penerbangan yang sama. Untunglah beberapa waktu yang lalu, Sigit mendapat job pemotretan di Okinawa, dan dia masih memiliki visa Jepang yang berlaku.

"Silakan duduk, Nona. Anda menutupi jalan," kata salah satu pramugari, dan Ayu mau tidak mau duduk.

"Hai," sapa Sigit lagi, seakan-akan bertemu Ayu di pesawat ini adalah sesuatu yang kebetulan dan sangat wajar.

"Gimana lo bisa ada di sini?" desis Ayu curiga.

"Ya, kenapa nggak bisa? Ini pesawat umum. Setau gue, siapapun boleh naik pesawat ini, kalau bayar."

"Kenapa lo ada di sini??"

"Karena gue mau ke Tokyo. Lo tau kan, gue dan Willy ditegur Bang Yudi gara-gara lagu? Gue mau ke sana nyari inspirasi."

"Di Tokyo?"

"Iya. Emangnya kenapa?"

"Katanya, temanya cinta pertama kan? Cinta lo di Tokyo? Jauh amat." Sigit terdiam. Ayu sampai mengira Sigit tertidur jika saja Sigit tidak berbicara lagi, dengan suara yang pelan.

"Gue belum pernah jatuh cinta."

Ayu melotot.

"Lo bercanda." Sigit menggeleng, tampak serius saat menatap Ayu, dan Ayu semakin melebarkan matanya.

"Oh, my God. Gila, ini sama sekali nggak mungkin. Lo, yang mantannya tersebar dari Sabang sampai Merauke, belum pernah jatuh cinta??"

"Lo berlebihan banget sih. Mantan gue hanya seputaran Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, -"

"Lo nggak usah absenin kota tempat Petir tur ke gue, deh. Lo nggak tau tentang Majas hiperbola?"

"Lo ngomong seakan-akan nilai bahasa Indo lo bagus." Ayu tertawa.

"Bagus kok. 7-8 nyampe lah."

"Kita seangkatan kan? UN indo lo berapa pas SMA?"

"Kayaknya sih. Gue 72. Susah itu. Emang lo berapa?" Sigit nyengir dengan lebar, tampak sombong.

"86 dong. Cupu lo, 72 doang."

Ayu yang tidak terima dibilang cupu, mencoba membandingkan nilai yang lain.

"Tapi mat gue 100. Lo?"

"Sialan. Gue salah satu itu," umpat Sigit, dan Ayu tertawa penuh kemenangan.

"Lo pasti salah di soal penampang kan? Gambarnya menjebak banget tuh, temen-temen gue rata-rata salah di situ." Sigit mendengus.

"Anak HB* ternyata payah. Penampang aja salah? Cupu."

"Kalo saja lo lupa, gue 100, lo 97,5 doang. Sekarang siapa yang cupu?"

"Tapi bahasa gue menang." Ayu tertawa.

"Darimana lo tahu gue anak HB?"

"Theo."

"Oh... Lo anak mana sih? Kok nggak masuk HB?"

"Ngapain. Gue masuk 28* dong."

"Anjir, lo anak 28? Gue mau masuk sana juga, tapi dia nggak nerima pindahan dari Inter. Pret." Sigit tertawa.

Obrolan mereka terputus saat pramugari menyerahkan selimut dan bantal, serta menawarkan minuman.

"Mineral water, please," kata Ayu dan Sigit serentak, dan mereka berdua tertawa kecil.

"Air putih doang, eh? Yakin?" ledek Ayu, dan Sigit tertawa.

"Iya yakin. Habis ini mau tidur gue."

"Oh..."

Obrolan mereka terhenti saat awak pesawat memberikan pengumuman, sesuai prosedur penerbangan pada umumnya.

"Lo juga sebaiknya tidur," kata Sigit pelan, dan Ayu kembali menoleh ke arahnya.

"Huh?"

"Lo mau langsung ke RS kan?" Ayu melotot kaget.

"Lo tau darimana??"

"Nggak pentinglah gue tau darimana. Tidur sana," kata Sigit, dan Ayu tersentak saat Sigit meraih selimut Ayu dan membentangkannya menutupi tubuh Ayu.

Sigit menyentuh puncak kepala Ayu, dan mengusapnya turun ke wajahnya, membuat jantung Ayu berdebar tak karuan.

"Good night, Ayu."

"Good night, Sigit."

Mungkin Sigit bukan teman seperjalanan yang buruk, batin Ayu, membiarkan tangan Sigit mengusapnya sampai dia jatuh tertidur.

*HB dan 28 adalah nama sekolah. HB singkatan dari Harapan Bangsa, salah satu yayasan sekolah nasional swasta yang cukup besar di Jakarta. Tingkatannya melingkupi playgroup, TK, SD, SMP, dan SMA. Sekolah ini selalu masuk dalam top 5 UN tertinggi di Indonesia. Salah satu saingan beratnya adalah SMA Negeri 28 Jakarta (tolong jangan dicari, karena angkanya saya ngarang punya)

***

Sigit benar-benar menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan. Dia membangunkan Ayu saat pramugari menawarkan makanan, lalu mereka mengobrol hal-hal trivia saat Ayu tidak bisa kembali tidur. Ayu bersyukur karena Sigit tidak bertanya apa-apa mengenai ibunya, atau keluarganya.

Sigit pun tidak melakukan hal-hal diluar batas, dan semua sentuhannya masih dalam batas normal.

Seandainya Sigit tidak tertarik padanya, mungkin dia akan jadi teman yang menyenangkan. Ayu iri dengan Flo dan Oliv yang bersahabat dengan Sigit. Mereka tidak akan pernah merasakan perasaan was-was saat disentuh Sigit, karena Sigit pasti tidak berbuat lebih, atau menginginkan lebih.

Saat pesawat sudah berhenti di bandar udara Narita, Ayu pun berdiri untuk mengambil kopernya di tempat kabin. Namun Sigit sudah lebih dulu menurunkan kopernya, dan koper Sigit sendiri.

"Bareng yuk."

Lalu Sigit langsung berjalan lebih dulu di depan Ayu sambil membawa dua koper itu.

"Lho? Lo emangnya mau ke mana?"

"Ngikutin lo. Nggak seru lah kalau jalan sendirian. Mending ada temennya."

"Tapi-"

"Lo mau ke rumah sakit kan? Gue ikut aja. Siapa tau gue dapet inspirasi di sana."

"Lo bakal bosan."

"Mau taruhan?"

Ayu manyun. Akhirnya dia membiarkan Sigit membawa kopernya, dan mereka berjalan bersama menuju rumah sakit tempat ibunya dirawat.

***

Ayu masuk ke dalam kamar tempat ibunya dirawat, dan menemukan ayah tirinya, Ryu, dan dua adik tirinya ada di dalam sana. Kedua adiknya tertidur di atas sofa, namun ayah tirinya dan Ryu langsung menoleh saat menyadari Ayu masuk ke ruangan.

"Masayu-chan," sapa ayah tirinya. Ayah tiri Ayu adalah pria Jepang yang sangat Jepang. Pekerja keras, serius, dan tegas. Dia mendekati Ayu dan memeluk bahunya dengan kebapakan.

"Tetsuo-san," sapa Ayu. Ayu tidak bisa memanggilnya ayah, namun Tetsuo tidak keberatan sama sekali.

"Bagaimana ibu?"

"Baik-baik saja. Operasinya berjalan lancar, sekarang kami menunggunya sadar."

"Oh, syukurlah," bisik Ayu. Ayu tidak begitu menyukai ibunya, tapi memiliki ibu yang lokasinya jauh masih lebih baik daripada tidak memiliki ibu sama sekali.

"Kau sudah makan, Masayu-chan?" sapa Ryu, dan Ayu mengangguk. Ryu berusia dua tahun lebih tua dari Ayu, dan dia sangat mirip dengan ayah tiri Ayu. Postur tubuhnya tinggi, dan dia semakin tampan, jauh lebih tampan dibanding terakhir kali Ayu melihatnya.

"Kau makin tampan, Ryu-kun," kata Ayu sambil tersenyum, dan Ryu ikut tersenyum. Dia mendekati Ayu dan memeluknya erat.

"Kau juga semakin cantik. Aku merindukanmu, mungil."

Lalu mata Ryu bersirobok dengan mata Sigit.

"Siapa pria yang bersamamu itu?"

"Oh, dia," kata Ayu, baru ingat kalau Sigit ikut bersamanya.

Sigit berjalan mendekati mereka, dan mengulurkan tangannya.

"You must be her step-father and step-brother. I'm her boyfriend. My name is Sigit Prakasa. Nice to meet you."

Ayu melotot.

"Kenapa lo ngaku-ngaku pacar gue?" Sigit malah tersenyum, mengabaikan pertanyaan Ayu.

Ryu dan Tetsuo mengerjabkan matanya bingung, namun Tetsuo menyambut tangan Sigit.

"I'm Tetsuo Hiragizawa. Thank you for accompany Masayu."

Ryu menatap Ayu dan Sigit bergantian tanpa melepaskan rangkulannya pada Ayu, dan mengulurkan tangannya pada Sigit.

"Hai. I'm Ryusuke Hiragizawa. Masayu's first crush."

Ayu kembali melotot.

"Ryu! Kenapa kamu memberitahunya?"

"Kenapa? Apakah dia akan mempermasalahkannya? Jika iya, artinya dia tidak pantas untukmu."

Sumpah penting banget sih, batin Ayu.

Tapi Sigit tidak menampakkan ekspresi apa-apa saat menyambut uluran tangan Ryu.

"I see. It doesn't matter. Because right now, her heart is mine."

Ayu semakin melongo.

Kenapa gue bisa pernah naksir dua makhluk kepedean ini ya, batin Ayu pusing.

***

"Astaga, harus kukatakan berapa kali? Dia bukan kekasihku!" tegas Ayu. Saat ini dia dan Ryu sedang duduk di dekat mesin minuman, dengan alibi membelikan Tetsuo dan Sigit kopi. Ayu hanya tidak menyangka Ryu menggunakan kesempatan ini untuk menginterogasinya.

"Dia mengaku kekasihmu! Dan dia ikut denganmu ke sini!"

"Dia kan punya hak untuk ke mana saja. Aku tidak memintanya ikut aku, kok."

"Aku tidak suka dengannya."

"Kenapa? Karena dia tidak setampan dirimu?"

"Karena dia menyukaimu!"

Ayu membelalakkan matanya mendengar bentakan Ryu.

"Kau tahu, sudah berapa kali aku menawarkan pernikahan padamu, dan kau selalu menolak."

"Kau kan kakak tiriku-"

"Tidak masalah. Kita tidak punya hubungan darah." Ayu menarik nafas panjang.

"Kupikir pembicaraan ini sudah lama sekali berakhir. Kau sudah punya Airi-san, kan?"

"Dan kau sekarang punya Sigit-san. Tapi kita bisa membuang semuanya dan kembali bersama."

Ayu menyentuh tangan Ryu dan menggenggamnya erat.

"Aku menyayangimu, Ryu. Tapi perasaanku sudah tidak sama seperti yang dulu. Aku tahu perasaanmu juga sudah berubah terhadapku. Kau hanya khawatir padaku. Ini semua hanya perasaan antar-saudara, Ryu."

Ryu merengkuh Ayu dalam pelukannya. Mau tidak mau, dia mengakui, kalau perasaan cinta di antara mereka yang ada beberapa tahun silam memang sudah berubah.

"Aku tidak rela kau dengan pria semacam itu, Masayu."

"Aku tidak pacaran dengannya, Bodoh."

"Tapi dia menyukaimu." Ayu tertawa.

"Tidak mungkin."

"Aku bisa melihat matanya. Dia menyukaimu."

Ayu melepaskan pelukannya, mencoba mencari kebenaran dalam bola mata Ryu, dan Ryu balas menatapnya dengan serius.

"Aku tidak bercanda."

"Baiklah, aku percaya." Tidak, aku tidak percaya, batin Ayu.

***

Sigit duduk dengan canggung bersama ayah tiri Ayu di dalam kamar pasien, sementara Ibunya belum sadar juga.

"You are not her boyfriend, right?"

Sigit menoleh, dan Tetsuo menatapnya sambil tersenyum.

"How-"

"I know her," potong Tetsuo. "She can't lie to me. When she had a crush with Ryu, I'm the first one who know that, too." Sigit terdiam. Jadi perkataan Ryu tentang dia adalah cinta pertama Ayu, bukanlah bualan.

Sial.

"You like her?"

"Ye- yes, I like her," jawab Sigit terbata. Dia merasa gugup, walaupun ini bukan pertama kalinya dia berbicara dengan ayah pacarnya - ralat, karena Ayu belum menjadi pacarnya, tentu saja.

Sigit tidak bohong, dia menyukai Ayu, lebih tepatnya fisik Ayu. Dia juga cukup menyukai kepribadian Ayu. Tapi begitu ditanya seperti ini, dia lebih yakin kalau dia memang menyukai Ayu. Walaupun sepertinya tidak-belum sedalam itu.

"I know she likes you, too. Please, take good care of her."

"I will," jawab Sigit, diam-diam tersenyum. See? Dia nggak mungkin salah. Ayu menyukainya juga.

"If you make her sad, I will come to Jakarta and punch you. Understand?"

"Ye- yes, Sir."

***

Saat Ayu dan Ryu kembali ke kamar, ibunya Ayu belum juga sadar. Bahkan kedua adik tiri Ayu yang masih remaja sudah tidak ada. Ternyata Tetsuo memaksa mereka untuk kembali ke sekolah, supaya tidak tertinggal pelajaran.

"Mungkin sebaiknya kalian berdua kembali lagi nanti malam, atau besok. Pulang, dan istirahatlah."

"Kalian menginap di mana? Bagaimana kalau menginap di rumah saja?" tanya Ryu dengan tangan yang masih merangkul Ayu erat.

"Tidak perlu. Kami akan menginap di hotel."

"Dan kamu bilang kalian tidak pacaran? Pembohong."

"Sungguh, Ryu. Aku hanya tidak mau merepotkan."

"Saya sudah memesan hotel untuk kalian berdua di dekat sini. Kalian berdua menginap di sana saja."

"Ah, tidak usah, Tetsuo-san."

"Aku memaksa. Pergilah."

Ayu melepaskan Ryu, dan memeluk ayah tirinya.

"Terima kasih, Tetsuo-san."

Ayu membungkuk, dan berpamitan dengan mereka, lalu bersama Sigit keluar dari rumah sakit.

***

Begitu keluar dari rumah sakit, Ayu tidak menuju tempat mengambil taksi, dan justru berbelok ke arah trotoar. Sigit bergegas menyusulnya, dan berjalan di sampingnya.

"Jalan-jalan bentar ya, Git. Lo nggak keberatan narik-narik koper kan?"

"Nggak. Mau ke mana?"

"Rute favorit gue."

Ayu membawa Sigit melewati beberapa gedung dan jalan kecil, lalu mereka menyusuri tepi sungai.

"Gue selalu suka melewati tepian sungai ini."

"Ini rute favorit lo?"

"Iya."

Mereka berjalan bersisian, menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh Sungai Sumida. Gedung, pohon, dan orang yang melewati mereka, semua menarik untuk dilihat.

"Darimana lo tau mereka ayah dan kakak tiri gue?" tanya Ayu tiba-tiba.

"Gue hanya menebak. Gue tau bokap kandung lo udah meninggal."

"Oh, iya. Lo datang ke pemakamannya." Sigit diam. Keheningan menyelimuti mereka berdua, walau kaki terus melangkah. Setelah beberapa saat, Ayu kembali bicara.

"Bokap nyokap gue nggak saling cinta. Nyokap gue bankir yang saat itu menjalani sesi pemotretan dengan bokap gue sebagai fotografernya. Mereka tertarik satu sama lain, tidur bareng satu kali, dan bum! Jadilah gue. Lalu mereka terpaksa menikah."

Ayu mendengus sinis.

"Tapi mereka berdua sama sekali tidak cocok, dan pernikahan mereka yang hanya berjalan dua tahun, menyiksa mereka berdua. Karir nyokap mandek karena kehadiran gue, dan bokap nggak bisa explore jauh-jauh lagi untuk fotografinya. Lalu mereka bercerai. Nyokap pindah ke Jepang, sesuai mimpinya sebelum menikah dengan bokap gue, dan bokap langsung menerima pekerjaan sebagai fotografer nomaden."

"Lo?"

"Gue ikut bokap. Keputusan pengadilan. Karena ternyata nyokap gue yang selingkuh duluan. Gue tidak bisa menyalahkannya. Tetsuo-san jauh lebih memiliki husband material dibanding bokap gue. Saat nyokap berhasil mendapat pekerjaan di Jepang, tanpa pikir panjang dia menceraikan bokap dan pindah ke Jepang, bersama Tetsuo-san. Sekarang dia bahagia. Lo bisa lihat kan, saat dia sakit begini saja, Tetsuo-san dan keluarga barunya begitu perhatian padanya."

Ayu sudah memaafkan semuanya. Dia sedih, tentu saja. Tapi tidak ada gunanya menangisi yang sudah lalu. Ibunya bahagia, dan Ayahnya - sampai saat terakhir hidupnya - juga bahagia. Lalu Ayu menoleh kepada Sigit.

"Ini sebabnya gue nggak mau tidur sama lo. Gue nggak mau mengambil resiko hamil. Gue nggak mau mengulangi kesalahan nyokap gue."

Ayu tersenyum pada Sigit, hanya senyum tipis, dan Ayu terlihat pasrah. Semua sudah terjadi, dan yang Ayu pinta hanya pengertian Sigit. Dia tidak mungkin melakukannya dengan Sigit, lalu mengulangi kesalahan yang sama seperti yang ibunya lakukan. Hamil di luar nikah, dengan pria yang bahkan tidak tahu cara untuk settle down.

Lalu Ayu tersentak saat Sigit menarik Ayu dalam pelukannya, dan mengusap punggungnya pelan. Secara perlahan tapi pasti, Ayu terhanyut dalam pelukan hangat Sigit. 

"Aku mengerti."

Ayu mengernyit.

"Kamu beneran mengerti?"

"Iya." Sigit melepaskan pelukannya, dan menatap mata Ayu tajam kali ini.

"Sekarang ceritakan tentang Ryu. Cinta pertamamu, hah?"

Ayu tertawa.

"Kamu kedengaran seperti pacar pencemburu."

Sigit tetap diam, dan menatap Ayu tajam, dan Ayu membelalak kaget.

"Kamu bercanda."

"Nggak usah kaget gitu, kali. Cerita aja. Susah amat."

"Kamu beneran cemburu??"

"Nggak mungkin, lah," elak Sigit cepat. "Gue cuma penasaran."

Ayu menatap Sigit dengan tatapan menyelidik, namun tidak memperpanjang perdebatan mereka.

Mungkin aja Sigit penasaran, buat jadi bahan lagunya, batin Ayu.

"Sejak kecil gue selalu dibawa bokap keliling dunia, ngikutin kerjaannya. Pas gue umur 13, bokap dapet kerjaan di Okinawa. Ibu, yang melihat kesempatan itu, minta supaya gue bisa tinggal sama Ibu 1-2tahun, pokoknya selama Ayah kerja di Jepang. Selama hampir dua tahun tinggal di sini, gue jadi mengenal sosok ayah tiri gue, dan Ryu." Lalu Ayu tertawa kecil. "Ryu saat itu masih sekolah menengah, dan dia ikut klub sepakbola. Dia cukup populer. Aku memang tidak satu sekolah dengannya, tapi namanya terkenal sampai ke perempuan-perempuan di sekolahku. Tapi bukan itu yang membuatku menyukainya. Mungkin karena kami tinggal seatap berbulan-bulan, dan aku jadi melihatnya yang biasa di rumah, aku jadi suka dengannya. Di umur segitu, lebih mudah menumbuhkan rasa suka dibanding rasa sayang kakak-adik. Apalagi dengan gaya coolnya itu."

Ayu tidak perlu memberitahu kalau Ryu itu ciuman pertamanya juga kan? Bagaimana tiap malam Ryu menyelinap ke kamar Ayu hanya untuk meminta kecupan selamat malam? Biarlah itu jadi rahasianya saja. Sigit nggak perlu tahu.

"Lalu kenapa kalian nggak jadian?"

"Siapa yang bilang kami nggak jadian? Hanya enam bulan, karena ketahuan Ibu. Tetsuo-san sebenarnya tidak mempermasalahkannya. Toh aku dan Ryu tidak sedarah, dan marga kami berbeda. Tapi ibu keberatan, jadi kami putus. Yah, diam-diam kami masih suka jalan bareng sih, tapi sekarang kami sudah move on, kok." Ayu menoleh ke arah seberang sungai, dan menunjuk.

"Oh, itu hotelnya. Yuk," kata Ayu, sambil menunjuk ke sebuah gedung, dan tanpa menunggu jawaban Sigit, dia menyeberangi jalan menuju hotel tersebut, diikuti Sigit.

"Tetsuo-san sudah menyiapkan tempat untuk kita. Dia bekerja di hotel ini," jelas Ayu, dan Sigit mengangguk.

Ayu berjalan menuju resepsionis dan berbicara dengan salah satu petugas di sana.

"Saya datang untuk check-in, pesanan atas nama Tetsuo Hiragizawa," kata Ayu lancar, dan petugas itu langsung mengetik di layar komputernya.

"Oh, iya betul. Untuk suite room, dua malam, betul?"

Ayu membelalak kaget, dan Sigit yang hanya mengerti dua kata ikut membelalak kaget.

"Suite room??"

"Ya."

"Wow, ayah tirimu baik sekali, Yu. Dia bekerja sebagai apa di sini?" tanya Sigit kaget. Ayu menghela nafas.

"Salah satu direkturnya. Dulu Tetsuo-san bertemu ibu karena mereka berencana membuka cabang resor di Indonesia."

"Pantas saja."

Ayu kembali memusatkan perhatian pada petugas resepsionis tersebut.

"Apakah ada kamar deluxe, atau apapun, yang bukan suite?"

"Sebentar." Petugas itu kembali mengetik dalam komputernya, lalu tersenyum dan menggeleng.

"Maaf sekali. Semua kamar sudah penuh." Ayu kembali menghela nafas.

"Kenapa, Yu?"

"Semua penuh." Sigit manggut-manggut. Tidak heran. Saat ini pas sekali dengan waktu libur anak sekolah. Sigit saja nyaris tidak mendapat tiket.

"Baiklah, akan kuambil," kata Ayu akhirnya. Tetsuo-san sudah susah-susah menyiapkannya, dan dia tidak akan suka jika Ayu malah menyia-nyiakan kebaikannya.

Petugas itu kembali tersenyum sambil menyerahkan kunci, dan memanggil petugas yang lain untuk menemani mereka ke kamar mereka.

"Kalau lo keberatan, gue bisa mencari kamar lain," kata Sigit sebelum mereka meninggalkan meja resepsionis, tapi Ayu menggeleng.

"Yang lain sudah penuh. Tinggal satu kamar ini aja. Gue nggak apa-apa, toh cuma dua malam," kata Ayu akhirnya. Lalu Ayu menoleh saat mendengar Sigit menarik nafas lega.

"Kenapa lo?"

"Anjay, gue bayangin lagi peak season aja udah ngeri sama harga kamarnya. Ini dapet kamar gratisan, gue tidur sofa juga nggak apa deh," kata Sigit, dan Ayu terbahak-bahak.

"Lo ya, duit udah itungan M, tapi pelit banget!"

"Nih, abang kasih tau ya, hemat itu pangkal kaya, Neng."

"Terus ngapain lo jauh-jauh ke Jepang? Mending lo nyari inspirasi di Kalijodo aja," kata Ayu masih sambil tertawa, dan Sigit ikut tertawa.

"Ya nggak apa-apa. Gue sih senang-senang aja ke sini. Bareng lo pula."

Tawa Ayu terhenti, dan Sigit ikut terhenti. Mendadak, Ayu merasa canggung. Padahal maksud Sigit mungkin saja karena Ayu adalah teman seperjalanan yang asik, tapi Ayu tetap saja merasa canggung.

Kecanggungan mereka diselamatkan oleh petugas yang mengantar mereka ke kamar.

"Enjoy your stay," kata petugas itu sebelum meninggalkan Ayu dan Sigit, berdua di dalam suite room tersebut.

Tbc

Mari kita berhenti sampai di sini.

Sampai ketemu di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro