shichi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayu mengerjabkan matanya, mengagumi pemandangan yang disajikan oleh kamar yang disediakan Tetsu-san untuk mereka. Kamar ini bisa dibilang cukup luas, dengan ruang tamu yang memiliki jendela besar, yang menampakkan pemandangan kota Tokyo yang mulai dingin, namun tidak-belum bersalju. Dari ruang tamu, mereka dapat melihat ranjang besar di dalam kamar yang hanya dipisahkan oleh rak pajangan tinggi.

"Ayah tiri lo benar-benar baik. This is great. Gue nggak berani membayangkan harga menginap semalam di sini," kata Sigit sambil melihat sekeliling. Dan yang pertama Sigit lihat, tentu kamar mandinya.

Kamar mandinya luas, dengan bathtub dan tempat shower yang terpisah, membuat Sigit berdecak kagum.

"Lo mau mandi dulu?" tanya Sigit sambil melangkah keluar dari kamar mandi.

"Boleh."

Sigit melirik pada Ayu yang mulai membuka kopernya, dan menghela nafas panjang. Dia sama sekali tidak menyangka, untuk pertama kalinya dia akan menginap sekamar dengan perempuan, dan tidak menidurinya.

Luar biasa, Sigit, ejek batinnya.

Sigit berusaha menenangkan dirinya.

Anggap saja Ayu itu pria. Iya, Ayu adalah sahabat pria lo.

"Kenapa lo komat-kamit?"

Sigit tersentak saat membuka mata, dan Ayu balas menatapnya dengan bingung.

"Habis gue dan lo mandi, ayo kita cari makan. Atau lo mau tidur? Ngantuk nggak?"

"Eh?" Ayu berdecak.

"Laper nggak lo? Gue sih laper. Atau lo ngantuk?"

"Oh. Gue lebih suka ide makan sih," semakin cepat keluar dari kamar ini, semakin baik, tambah Sigit dalam hati. Ayu sudah melepas mantelnya, dan tubuhnya yang hanya berbalut sweater benar-benar indah.

Apa gue bakal selamat dua hari ini? batin Sigit.

Ayu yang tidak tahu pergolakan batin Sigit, atau mungkin pura-pura tidak tahu, berbalik menuju kamar mandi, dan tak lama kemudian, terdengar suara air mengalir dalam kamar mandi. Sigit menghela nafas pelan, dan membuka ponselnya.

Kebanyakan isi pesannya adalah dari perempuan, yang bahkan selalu Sigit hapus sebelum sempat dibaca. Apalagi dari Susan.

Hapus.

Delete contact.

Sigit tidak pernah mau menyimpan kontak mantan yang ganggu seperti Susan ini. Nggak guna. Perempuan model gini tidak akan bisa diajak senang-senang.

Sigit membuka koper dan mengambil pakaian ganti sembari menunggu Ayu selesai mandi.

Sepuluh menit kemudian, Ayu keluar dengan wajah segar dan rambut yang diikat asal di puncak kepalanya. Ayu mengenakan jeans yang dia kenakan sejak pagi, dan sweater hijau tua.

"Cepat sekali," kata Sigit sambil berjalan ke arah kamar mandi. Ayu hanya tertawa kecil.

Wangi sabun menerpa Sigit saat dia melewati Ayu, dan tawa Ayu yang terdengar seperti lonceng di telinga Sigit, membuat akal sehatnya nyaris lenyap. Sigit menarik Ayu, dan menciumnya tepat di bibir.

Ayu yang terkejut, langsung berusaha mendorong Sigit. Namun Sigit lebih cepat. Hanya dua detik, dan dia melepaskan Ayu.

"Kamu wangi," kata Sigit sambil tersenyum, lalu melangkah menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Ayu yang kebingungan.

Ayu menyentuh bibirnya, dan mengacak kepalanya dengan frustasi. Satu kecupan kecil saja sudah membuat jantungnya berdebar kencang. Ayu lemah dengan perhatian kecil seperti ini.

Gimana gue bertahan dua hari ini? batin Ayu.

***

Setelah Sigit mandi, mereka berdua kembali mengenakan mantel dan keluar dari hotel.

"Lo nggak keberatan jalan kaki terus kan?" tanya Ayu saat mereka sudah berada di luar hotel. Udara malam di Tokyo cukup dingin, dan nafas keduanya menguarkan asap, namun Ayu menikmatinya. Sudah lama dia tidak ke sana, dan dia ingin menikmatinya.

"Nggak."

"Ya udah, yuk. Lo mau ramen nggak? Seinget gue ada ramen enak dekat sini," kata Ayu sambil berjalan ke arah kanan hotel, menuju trotoar.

Lalu tiba-tiba tangan kiri Ayu digenggam Sigit, dan Ayu menoleh kaget.

"Lebih hangat," kata Sigit tanpa ditanya, dan Ayu mengernyit bingung.

"Lo kedinginan?"

"Nggak. Udahlah, Yu. Jalan aja."

"Tapi ngapain lo gandengin gue?"

"Anggep aja gue cowok lo selama tiga hari ini. What happens in Japan stays in Japan, ok?"

Ayu menatap Sigit selama sepersekian detik, lalu tawanya pecah.

"Dasar gila!! Tiga hari, beneran ya. Oke deh," kata Ayu, lalu Sigit bisa merasakan Ayu menjadi rileks di sebelahnya, dan Sigit tersenyum.

"Tapi pacaran sehat ya. Gue nggak mau kebablasan," kata Ayu lagi, dan Sigit bergumam mengiyakan.

Ini benar-benar ide yang konyol, tapi Ayu tidak dapat memungkiri, dia tertarik dengan Sigit. Menganggapnya pacar selama tiga hari kedengarannya menyenangkan, dan Sigit juga mau mendengar pendapatnya.

What happens in Japan, stays in Japan.

Dinginnya udara malam itu seakan tidak mampu membuat kedua manusia yang sedang bergandengan tangan itu merasakan dingin, karena genggaman hangat keduanya dan obrolan yang mengalir diantara mereka sepanjang perjalanan nyatanya menghangatkan hati keduanya.

***

Ayu mengusap perutnya yang penuh dengan puas. Di sebelahnya, Sigit juga melakukan hal yang sama.

"Ini ramen paling enak yang pernah gue makan," kata Sigit puas, dan Ayu tertawa.

"Nggak ada yang ngalahin udara dingin dan kuah ramen yang hangat dan nikmat."

Ayu merasakan ponselnya bergetar dan dia membukanya. Isinya pesan dari Ryu.

Ryu : don't come. Okaa-san still need some rest. Otou-san's with her now. Just take a rest. Good night, Masayu-chan. See you tomorrow.

Karena keterbatasan bahasa Jepang tulisan, Ayu biasa menggunakan bahasa Inggris sembarang jika bertukar pesan dengan Ryu.

Ayu : Ok. Good night, Ryu. See you tomorrow.

"Kita nggak perlu ke rumah sakit lagi. Ibu lagi istirahat. Besok kita baru ke sana," kata Ayu memberitahu Sigit.

"Oke."

"Jadi, mau ke mana lagi?" Sigit mengangkat bahu.

"Lo tour guide-nya. Gue pasrah aja. Yang penting jalan. Gue kekenyangan."

"Lo takut six pack lo ilang gara-gara timbunan lemak?" ledek Ayu yang mulai berjalan. Lalu Sigit tiba-tiba merangkulnya, dan mengecup pipinya, membuat wajah Ayu merona.

"Kok lo tau gue six pack? Pernah liat?"

"Ih, apaan sih. Nggak pernah. Nggak mau juga."

"Bilang aja lo pengen liat-"

"Ogah!!"

Ayu melepaskan diri dari Sigit dan buru-buru berjalan menjauh, namun Sigit dengan cepat mengejarnya dan kembali menggandeng tangan Ayu.

"Jangan jauh-jauh dong, pacar. Nanti kalau aku nyasar gimana?"

"Bodo amat!!"

***

Mereka have fun. Ayu mengajak Sigit berjalan kaki berkeliling, dan mereka mencoba makanan pinggir jalan yang membuat mereka harus menambah beberapa kilometer lagi untuk melegakan perut yang kekenyangan, sebelum pulang ke hotel dalam keadaan lelah dan puas.

Ayu menjatuhkan dirinya di sofa, dan Sigit duduk di sebelahnya, sama-sama menarik nafas dan tertawa.

"Aish, gila capek banget," kata Ayu sambil tertawa, dan Sigit juga tertawa. Dia sebenarnya belum terlalu lelah, tapi melihat Ayu yang sudah kepayahan membuatnya memutuskan untuk pulang.

"Mandi dulu, gih. Habis itu kita tidur."

"Hmm.." gumam Ayu sambil mengayunkan kakinya. "Mager."

"Mau dimandiin?" goda Sigit, dan Ayu mendelik padanya.

"Ogah! Iya, iya, gue mandi."

Dengan berat hati Ayu bangkit dari ranjangnya dan turun mengambil pakaian tidur dari koper, lalu menyeret kakinya menuju kamar mandi.

Ok, I can do this, batin Sigit. Setelah mendengar cerita Ayu, Sigit sadar, dia tidak mungkin meniduri Ayu. Walaupun dia pasti bisa meyakinkan Ayu, tapi dia tidak tega.

Sigit memejamkan mata sebentar, tanpa sadar tertidur, dan baru terbangun saat ada yang menepuk pipinya perlahan. Sigit membuka mata, dan matanya bertemu dengan mata Ayu yang menatapnya sambil tersenyum geli.

"Capek banget, Pak? Mandi gih, habis itu tidur."

"Nggak juga," kata Sigit sambil meregangkan tubuhnya. "Bosen nungguin lo mandi. Lama bener."

"Gue berendam," jawab Ayu sambil nyengir, lalu berjalan menjauh, menuju ranjang. Sigit mengusap wajahnya, dan memandangi Ayu dari belakang.

Ayu mengenakan celana piyama longgar dengan gambar bunga kecil-kecil, dan kaos longgar yang tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya sama sekali. Baguslah, batin Sigit. Setidaknya gairahnya tidak didukung oleh pakaian minim yang seksi, yang bisa membuatnya semakin lupa diri. Walaupun bongkahan pantat Ayu menggoda sekali untuk ditepuk, tapi Sigit tahu diri.

Sigit bangkit dari duduknya, mengambil pakaian tidur, dan masuk ke dalam kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, karena dia sekalian membuang pemasukan yang membuat perutnya nyaris meledak malam itu, Sigit keluar dari kamar mandi dengan mengenakan celana tidur pendek sepaha dan kaos longgar.

Sigit menuju ranjang untuk mengambil bantal, namun Ayu yang sedang menonton TV menatapnya bingung.

"Ngapain?"

"Ke sofa. Mau tidur."

"Nggak usah," ucap Ayu datar sambil kembali menatap layar kaca. "Di sini aja. Gede kok. Tar lo sakit pinggang tidur di sofa. Lebar sih, tapi tetap aja kesempitan buat lo."

"Duh, baik bener sih, Neng."

Sigit naik ke atas ranjang dan duduk di sebelah Ayu. Dikasih lampu hijau begini, siapa yang nggak mau?

Ayu menoleh malas, dan mendorong pundak Sigit.

"Seranjang bukan berarti mepet-mepet begini juga, Sigit. Ranjangnya gede kok. Hush, hush."

Bukannya menjauh, Sigit justru merangkul pundak Ayu.

"Bukannya kita pacaran tiga hari ini, Yu? Duduk sebelahan gini nggak apa-apa lah."

Ayu merengut, namun membiarkan Sigit tetap merangkulnya. Bahkan membiarkan Sigit mendorong kepalanya supaya menyender di bahu Sigit.

"Pacarannya nggak macem-macem ya, Git," tegas Ayu lagi.

"Iya, iya. Cerewet banget sih."

"Biarin. Daripada kebablasan."

Ayu mengambil remote dan mematikan televisi, lalu menjauh dari Sigit.

"Udah, ah. Ngantuk. Tidur yuk."

"Mana ciuman selamat malam buat gue?"

Ayu melotot saat Sigit menatapnya dan menunggu.

"Pacaran sehat, Git," ucap Ayu mengingatkan, namun Sigit malah terkekeh.

"Pacaran sehat kok. Kita nggak berhubungan intim. Gue cuma minta ciuman selamat malam."

"Nggak ada cium-cium."

"Ayolah, lo pikir kita anak SMA? Kita udah dua-lima, Yu. Masa ciuman sama pacar nggak boleh juga?"

"Kalau sama lo ciumannya bisa merambah ke mana-mana."

"Nggak, suer. Malem ini gue nggak akan merambah ke mana-mana," kata Sigit sambil mengangkat dua jarinya ke udara. Ayu mencebik, namun mendekati Sigit jua, dan mengecup bibirnya cepat.

"Gitu doang? Lo bocah ya?" tanya Sigit kecewa. Bahkan anjing peliharaannya bisa mencium lebih baik dari ini.

"Dikasih hati minta jantung, ya," gerutu Ayu, dan Ayu membaringkan tubuhnya menghadap ke arah lain. Namun Sigit menarik bahu Ayu, membuatnya berbaring telentang, dan Sigit naik ke atasnya.

"Ciuman doang, gue janji," kata Sigit, dan Sigit menurunkan kepalanya dan mencium bibir Ayu.

Mula-mula begitu lembut, Sigit menyesap dan mengulum bibir atas dan bawah Ayu dengan perlahan. Lalu saat Sigit menggigit bibir bawah Ayu pelan, Ayu mendesah lirih, dan membuka akses Sigit untuk masuk dan menciumnya lebih dalam.

Sigit setengah mati bertahan tetap menyentuh wajah Ayu, dan bukan meraba bagian lainnya. Merasakan Ayu pasrah dalam ciumannya saja sudah sangat bagus, dan Sigit tidak mau merusak ini semua. Apalagi saat Ayu membalas ciumannya, rasanya Sigit ingin bersorak.

Sigit baru melepaskan Ayu saat mereka berdua kehabisan nafas, dan bukannya menyingkir, Sigit menempelkan kedua dahi mereka sambil menatap Ayu yang sedang mengatur nafas.

Ayu membalas tatapan Sigit dengan malu-malu, dan Sigit mencium ujung hidung Ayu sambil tersenyum.

"Good night, Ayu."

"Good night, Sigit."

***

Ayu terbangun dengan perasaan ganjil. Rasanya dia ingin tersenyum terus. Sigit memperlakukannya dengan lembut semalam, dan Ayu menyukainya. Ide pacaran tiga hari di Jepang kedengarannya tidak buruk-buruk amat.

Mereka tidak melakukan apa-apa, sungguh. Setelah ciuman malam itu, Sigit menyingkir dan tidur di sisi lain ranjang, sampai pagi.

Ayu menoleh ke arah Sigit, dan terkejut mendapati ranjang di sebelahnya kosong. Ayu menyentuhnya. Dingin. Artinya Sigit sudah lama bangun.

Ayu melirik ke arah kamar mandi, tidak ada tanda-tanda sedang digunakan. Ayu bangun dan duduk di ranjang, memandang sekitar ruangan. Tidak ada tanda-tanda Sigit. Namun Ayu melihat baju tidur Sigit disampirkan di atas kursi, yang menandakan Sigit sudah berganti pakaian.

Ke mana dia? batin Ayu bingung.

Ayu memikirkan berbagai kemungkinan, saat pintu kamar terbuka dan orang yang dipikirkannya muncul dengan celana olahraga dan kaus tanpa lengan yang basah oleh keringat.

"Udah bangun?"

"Lo pergi lari?"

Mereka bertanya secara berbarengan, dan sama-sama tertawa.

"Di sini ada fasilitas gym ternyata," jawab Sigit sambil mendekati Ayu, dan mengecup pipinya.

"Pagi."

Ayu langsung membekap mulutnya dan menjauh dari Sigit.

"Jangan deket-deket, gue belum sikat gigi."

"Gue kirain lo tutup mulut karena gue bau keringat," kata Sigit sambil nyengir, dan Ayu menggeleng, tidak menyetujui apa yang Sigit ucapkan.

Ayu beringsut turun dari ranjang, buru-buru menuju kamar mandi untuk menyikat giginya, sementara Sigit membuka kausnya dan duduk di lantai, bersandar pada kaki sofa. Lalu Sigit membuka botol minumnya.

Ayu keluar dengan mulut dan wajah lebih segar, dan terdiam saat melihat Sigit yang sedang minum air.

Siapapun yang mengatakan tubuh Sigit menggiurkan, mau tidak mau Ayu setuju dengan mereka. Kulit Sigit kecoklatan, dan tubuhnya benar-benar jadi. Tubuhnya liat, dengan otot yang nyata, namun tidak terlalu menonjol sampai terlihat mengerikan. Perutnya benar-benar six pack, padahal garis pinggangnya tidak besar, walaupun bahunya cukup lebar. Tanpa sadar Ayu meneguk ludah.

Ayu menarik nafas panjang, berusaha mengembalikan akal sehatnya, dan mendekati Sigit.

"Mau makan pagi di hotel atau keluar?"

"Keluar aja kali ya," kata Sigit sambil bangkit berdiri, membuat Ayu jadi memperhatikan v-line yang dimiliki Sigit, yang mengarah ke-

Ayu, stop.

Sigit tersenyum dalam hati melihat Ayu yang melihat tubuhnya. Ternyata Ayu tidak se-resist itu terhadap tubuhnya, dan Sigit merasa senang.

Sigit bergerak mendekati Ayu, dan Ayu justru mundur sambil menggelengkan kepalanya, lalu menatap mata Sigit.

"Gue mandi dulu deh ya. Lo- mending lo keringin keringat lo dulu deh." Lalu Ayu berbalik dan masuk ke kamar mandi dengan buru-buru.

"Lo nggak bawa baju, Yu?" tanya Sigit dengan suara cukup keras, tanpa bisa menyembunyikan nada geli dalam suaranya, dan Ayu kembali keluar dari kamar mandi sambil menunduk, mengambil pakaian, dan kembali ke kamar mandi.

Begitu pintu kamar mandi dikunci, Sigit menjatuhkan dirinya di atas sofa dan tertawa.

Ayu benar-benar lucu, pikirnya. Gue nggak pernah merasa bosan dengannya.

Lalu Sigit merasa jantungnya berdebar kencang, dan Sigit mengernyit.

Nggak boleh, teriak batinnya keras. Lo nggak boleh terlalu nyaman dengan Ayu. Dia perempuan, dan perempuan nggak bisa dipercaya.

Sigit memejamkan matanya dan mengernyit, merasakan dadanya tiba-tiba nyeri.

Kenapa wanita itu selalu saja membayanginya? Sigit membencinya.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro