hachi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Info : Percakapan yang dicetak miring itu dalam bahasa Jepang ya.

--------------------------------

Setelah sarapan, Ayu dan Sigit langsung menuju rumah sakit.

Ayu dan Sigit masuk ke kamar, tepat saat Tetsuo-san sedang menyuapkan bubur untuk ibunya. Ayu langsung meringis malu. Dia memang masih belum terbiasa melihat Tetsuo-san memanjakan ibunya.

"Ah, kalian sudah datang," kata Tetsuo-san. Ayu mengangguk.

"Apa Tetsuo-san sudah makan?" tanya Ayu, dan Tetsuo-san menggeleng.

"Nanti saja, setelah Mina selesai makan."

Ayu bergerak mendekati ibunya dan tersenyum.

"Ibu kelihatan baik-baik saja."

"Ya," kata Mina sambil tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja. Operasinya berhasil. Merepotkanmu, datang ke sini."

"Tidak merepotkan. Lagipula sudah lama aku tidak ke Tokyo."

"Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik."

Mina mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Ayu.

"Kau semakin cantik. Mirip denganku waktu aku muda." Mau tidak mau Ayu tersenyum.

"Aku putrimu, Bu. Kalau bukan mirip Ibu, aku mirip siapa?" Mina ikut tersenyum. Lalu Mina menyadari kehadiran pria asing di kamarnya.

"Siapa itu?"

"Pacarnya Masayu," jawab Tetsuo-san sambil mengedipkan matanya pada Ayu. Ayu berdecak.

"Ah, bukan."

Ayu melambaikan tangan pada Sigit, menyuruhnya mendekat.

"Git, Ibuku. Bu, ini Sigit. Dia anggota grup band yang kuurus sekarang."

Mina membulatkan mulutnya, dan mengulurkan tangan pada Sigit, yang menyambutnya.

"Saya Mina, ibunya Masayu."

"Saya Sigit, temannya Ayu."

"Kalian hanya berdua ke Tokyo?"

"Ya nggak lah, Bu. Satu pesawat full begitu."

"Kamu tahu maksud Ibu."

Ayu merengut, dan mengangguk.

"Jadi kamu datang ke sini berdua dengannya, huh? Apakah kalian benar hanya teman?" goda Mina, sengaja menggunakan bahasa Jepang untuk menggoda Ayu, dan wajah Ayu memerah.

"Teman, Bu."

"Kamu suka padanya, kan?"

"Ibu, tidak sopan menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh tamu," kata Ayu berusaha mengalihkan pikiran Ibunya, tapi malah ayah tirinya yang menyahut.

"Lalu saat kamu berbicara dengan Bahasa Indonesia, tidak apa-apa jika aku tidak mengerti?"

"Ah, Tetsuo-san. Jangan begitu. Aku tahu kalau kamu mengerti sedikit-sedikit," kata Ayu setengah merajuk, dan Tetsuo-san tertawa.

Lalu ayah tiri Ayu mengalihkan pandangannya kepada Sigit yang tidak mengerti apa-apa.

"Sigit, why don't you join me to cafetaria, and leave the ladies here?"

Sigit memandang Ayu yang mengangguk sekilas, dan mengangguk untuk menjawab pertanyaan Tetsuo. Tetsuo mengecup kening Mina, lalu berjalan menuju pintu. Sigit mengangguk kepada Mina, lalu ikut bersama Tetsuo keluar dari kamar.

Begitu pintu tertutup, Ayu menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang.

"Apa Ryu sudah tahu tentang Sigit?" tanya Mina tiba-tiba, dan Ayu mengangguk.

"Mereka bertemu kemarin."

"Oh..." Lalu Mina meninggalkan senyumnya dan menatap Ayu tajam.

"Jadi sekarang ceritakan pada Ibu, bagaimana kalian bisa datang ke Tokyo berduaan."

Ayu berdecak, namun dia tetap bercerita kepada Ibunya.

***

Hampir seharian Ayu dan Sigit menemani ibu dan ayah tiri Ayu, sampai kedua adik tiri Ayu datang dan ikut menggoda Ayu, dan Ryu datang malam harinya bersama kekasihnya, Airi. Mereka makan malam bersama, memakan sushi dan sashimi yang dibawakan Ryu dan Airi untuk mereka semua yang menjaga di sana.

Ayu tidak menyangka sama sekali, dalam waktu dua hari, Sigit dengan mudahnya blend in dengan keluarganya, walaupun hanya menggunakan bahasa Inggris dasar dan campuran bahasa tubuh. Sigit bisa mengobrol asik dengan  Tetsuo-san, saling bercanda dengan kedua adik tiri Ayu yang masih SMA dan SMP, dan menggoda ibu Ayu sampai tersipu-sipu. Bahkan Ryu yang kemarin sempat kesal dan mengomel, hari ini mengobrol dengan serunya, membahas dunia industri hiburan, karena Ryu bekerja di salah satu stasiun TV Jepang.

Dan sepanjang hari, Ayu benar-benar merasa Sigit adalah pacarnya. Sigit dengan kasual melakukan perhatian-perhatian kecil untuk Ayu, seperti membukakan botol minum, menarikkan kursi untuknya, membelah sumpit, dan membukakan saus untuk sushinya. Dan Ayu merasa, posisi Sigit tidak pernah jauh darinya, walaupun tidak selalu menyentuh Ayu.

Lalu Ayu baru menyadari, kalau selama ini, Sigit memang memperlakukannya dengan sikap yang cukup gentleman, terlepas dari segala pemaksaan ciuman saat awal-awal semua masalah ini dimulai.

"Kau yakin kau tidak pacaran dengannya?" goda Mina dalam bahasa Jepang, saat Sigit keluar ke toilet.

"Bu, walaupun ibu bertanya saat dia ada pun, dia tidak akan mengerti," ucap Ayu gusar. Dia sudah bosan ditanyai hal yang sama seharian.

"Kalau kalian menggunakan bahasa kalian, kami tidak mengerti, Masayu nee-chan," gerutu Kai, adik Ayu yang sudah SMA. Yuka, si bungsu, mengangguk setuju.

"Payah," ledek Ayu sambil terkekeh, dan kedua adiknya langsung menggerutu, karena tidak terima dibilang payah.

"Kalian sudah beli tiket pulang?" tanya Tetsuo-san, dan Ayu mengangguk.

"Maaf aku tidak bisa lama-lama. Aku harus bekerja."

"Tidak apa-apa," kata Mina sambil menggenggam tangan Ayu. "Kau sudah datang, ibu sudah senang."

"Besok? Jam berapa?" tanya Ryu.

"Sore, jam 3."

"Ah, aku belum pulang kerja. Kalau tidak, aku bisa mengantar kalian."

"Tidak perlu," kata Ayu sambil menggeleng. "Kami bisa pergi dengan taksi."

Mereka semua menoleh saat pintu kamar dibuka dan Sigit kembali. Lalu Ryu berdiri.

"Kupikir sudah waktunya aku pulang."

Tetsuo-san dan Ayu pun ikut berdiri.

"Bawa Kai dan Yuka pulang, Ryu. Ayah akan menginap."

"Baiklah."

"Kupikir sebaiknya aku pulang juga," kata Ayu. "Ibu istirahatlah. Besok aku akan datang lagi."

Mina tersenyum saat satu per satu anaknya menghampiri dan mencium pipinya.

"Kita pulang?" tanya Sigit saat Ayu mendekatinya.

"Ya. Sudah malam."

"Ok."

Mereka berpamitan, lalu berpisah satu dengan yang lainnya, menuju arah tujuan masing-masing.

***

Sigit keluar dari kamar mandi dan mendapati Ayu sedang menyesap susu hangat di atas ranjang.

"Lo masih lapar?"

"Nggak, pengen aja. Lo mau?" Sigit menggeleng. Dia menggantung handuk, dan merangkak naik ke atas ranjang lalu duduk di sebelah Ayu. Begitu isi gelas Ayu kosong, Sigit mengambil alih gelasnya dan menaruhnya di nakas.

"Sorry, tadi lo pasti banyak bingungnya pas kita ngomong pake bahasa Jepang."

"Nggak apa-apa. Mereka kan ngajakin gue ngobrol juga."

Sigit menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang, dan Ayu berbalik menghadapnya.

"Kenapa lo berusaha keras untuk berinteraksi dengan keluarga gue?"

Kenapa? Sigit juga tidak yakin kenapa. Dia tahu dia menyukai keluarga Ayu, dan ingin mereka menyukainya juga. Tapi hanya itu.

Ayu yang melihat Sigit yang terdiam, tidak memaksa Sigit menjawab, lalu dia mengambil botol air dan meneguk isinya sebelum kembali bertanya.

"Git, lo kan udah kenal keluarga gue. Kalau keluarga lo? Seperti apa bokap lo, nyokap lo, apakah lo punya saudara?"

Sigit mengangkat alisnya mendengar pertanyaan yang diajukan Ayu. Sigit tidak pernah membicarakan tentang keluarganya pada siapapun, tapi Sigit sendiri terkejut mendapati dirinya menjawab pertanyaan Ayu.

"Sama kayak lo. Orangtua gue cerai. Saat itu gue umur 6tahun. Gue ikut bokap."

Sigit tersenyum sinis, dan Ayu bisa merasakan bahwa Sigit terluka begitu dalam. Tidak ada anak korban perceraian yang tidak terluka. Ayu diam, membiarkan Sigit melanjutkan.

"Bokap dan istrinya menikah karena cinta. Tapi saat usaha bokap mulai sulit, bokap mulai sering melakukan olahraga tinju, dan samsak favoritnya adalah istrinya sendiri. Secinta apapun wanita itu dengan bokap, sampai satu titik pasti lelah juga.

Wanita itu kabur dari rumah membawa adik perempuan gue. Gue ditinggal, dan sejak itu gue yang menggantikan posisi wanita itu sebagai samsak bokap. Terima kasih kepada Tuhan, karena empat tahun setelah itu, bokap mati ditabrak truk saat mabuk."

Ayu bergidik, karena nada suara Sigit makin lama makin dingin, sama sekali tidak mirip Sigit. Ayu menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak berbicara apapun.

"Gue masih terlalu kecil saat bokap meninggal, dan gue nggak diizinkan tinggal sendiri. Wanita itu dan anak perempuannya menghilang, dan gue terpaksa tinggal dengan saudaranya bokap, yang jelas tidak menyukai gue. Tidak sampai satu tahun, dia melempar gue keluar dari rumah, dan menaruh gue di panti asuhan. Saat gue lulus SMA, gue keluar dari sana."

Sigit menghela nafas panjang, dan Ayu tanpa sadar melakukan hal yang sama.

"Gue nggak pernah menceritakan ini kepada siapapun. Semua orang, termasuk sahabat gue, hanya tahu gue dulunya tinggal di panti asuhan. Tidak ada yang tahu kisah gue sebelum masa itu. Tapi sekarang lo tahu."

Sigit menarik nafas panjang dan menatap wajah Ayu yang menatapnya balik dengan pandangan yang sulit dimengerti. Sigit sendiri tidak mengerti kenapa dia menceritakan semuanya pada Ayu.

Tadinya dia mengira kalau Ayu akan takut dengannya, atau merasa kasihan, namun Ayu justru tersenyum tipis. Senyum yang mengerti.

"Terima kasih karena mau menceritakannya padaku."

Belum sempat Sigit bereaksi, Ayu mencondongkan tubuhnya dan mengecup pelan bibir Sigit. Hanya sentuhan lembut, namun gairah Sigit terpancing. Sigit menahan tengkuk Ayu, dan memperdalam ciuman mereka. Dengan tangan yang lain, Sigit menarik pinggang Ayu mendekat, dan Ayu jatuh terduduk di atas pangkuan Sigit.

Saat ciuman mereka semakin intens, Sigit teringat janjinya pada Ayu. Sigit melepaskan ciuman mereka, dan menguburkan bibirnya di ceruk leher Ayu.

"Sigit..." panggil Ayu dengan nafas terengah saat Sigit mengecupi leher Ayu. Tangan Sigit yang berada di pinggang Ayu sudah masuk ke dalam kausnya dan membelai punggung Ayu, dan tangan yang satu lagi sudah ikut menyusul masuk.

Ayu yang akal sehatnya sudah tertelan kabut gairah hanya mampu berpegangan pada dada Sigit, dan memanggil nama Sigit, berharap Sigit berhenti, atau mungkin tidak. Entahlah.

"Sebentar, Yu. Biarkan aku ada di posisi ini sebentar saja."

Ayu berusaha menetralkan nafasnya dan mengembalikan akal sehatnya walaupun sulit karena hembusan nafas Sigit yang hangat menerpa kulit lehernya, dan sentuhan dari telapak tangan Sigit membakar kulit punggungnya.

Namun tangan Sigit keluar dari kausnya, dan wajahnya meninggalkan leher Ayu. Sigit menangkup wajah Ayu dan mengecup dahinya dengan lembut.

Ayu bisa merasakan kalau ciuman Sigit kali ini berbeda, dan jantungnya berdebar keras. Apalagi ketika Sigit kembali menariknya dalam pelukan.

"Terima kasih, Ayu."

Ayu membulatkan matanya dengan bingung.

"Kenapa kamu bilang terima kasih? Aku nggak ngapa-ngapain."

"Kamu nggak perlu ngapa-ngapain. Dengan keberadaan kamu aja, aku sudah merasa lebih baik."

Ini bodoh, batin Sigit sambil mengeratkan pelukannya, dan merasakan rasa bahagia yang sangat konyol saat Ayu membalas pelukannya.

Dia meletakkan hati pada wanita, makhluk yang paling mungkin menyakitinya lagi, seperti yang wanita itu lakukan.

Tapi mungkin Ayu berbeda. Sigit tidak tahu, dan dia tidak yakin. Tapi hati memang tidak bisa memilih ke mana arah jatuhnya, bukan?

Karena satu hal yang Sigit yakini saat ini, dia sudah jatuh. Jatuh ke dalam perangkap Ayu.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro