Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah semua kegiatan dari pagi sampai sore - sarapan, menjenguk dan berpamitan dengan keluarga Ayu, makan siang, dan buru-buru ke bandara - saat ini Ayu dan Sigit sudah duduk tenang di atas pesawat udara yang akan membawa mereka kembali ke Jakarta.

Sepanjang perjalanan, mereka tidak banyak saling bicara, karena sama-sama sibuk menonton film yang disediakan di dalam pesawat, namun tak sedetikpun Sigit melepaskan tangan Ayu. Dia terus menggenggamnya, dan mengusap telapak tangan Ayu dengan ibu jarinya, membuat Ayu kesulitan untuk fokus dengan film yang ada di hadapannya.

Namun Ayu tidak menyingkirkan tangan Sigit, karena dia sadar kalau dia menyukainya. Genggaman tangan Sigit hangat dan membuat Ayu nyaman.

Masih ada beberapa jam sebelum kesepakatan mereka berakhir, batin Ayu. Dia akan menikmati waktunya selagi bisa, karena begitu tiba di Jakarta, mereka tidak bisa seperti ini lagi.

Saat awak kabin mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat, tiba-tiba Sigit melepaskan tangan Ayu, dan mengenakan kacamata hitam dan topi. Ayu langsung mendengus geli.

"Ngapain lo? Sok artis banget."

"Emang artis," jawab Sigit sambil menatap Ayu dari balik kacamata hitamnya dan tersenyum pongah, memancing tawa lolos dari bibir Ayu.

Saat pesawat sudah terhenti dengan sempurna, Ayu hendak beranjak dari tempatnya, namun lengannya ditahan oleh Sigit. Mereka berpandangan sesaat, dan Sigit seakan tersadar, dan melepaskan tangan Ayu.

"Yu," panggil Sigit, dan Ayu menatapnya bingung.

"Kenapa?"

"Erm.. Kalau lo perlu teman jalan, gue mau nemenin lo."

Ayu mengerjab kaget, berusaha membaca ekspresi Sigit, yang sayangnya tidak terbaca, apalagi sebagian wajahnya tertutup kacamata hitam dan topi.

Pikiran Ayu berkecamuk. Akankah kedengaran murah kalau dia bilang iya?

Dia kan cuma bilang mau nemenin lo jalan-jalan, bukan ngajak kawin. Buset deh, Yu.

Ayu tersenyum geli dengan pikirannya sendiri, dan mengangguk.

"Boleh. Tar gue ajakin. Tapi gue nggak suka jalan rame-rame. Ribet."

"Baguslah. Gue juga lebih suka jalan berdua lo." Ayu melongo, lalu buru-buru memalingkan wajah, takut ekspresi wajahnya memperlihatkan suara hatinya.

Beuh. Baper aku, Bang.

Sigit ikut bangun dari tempatnya, lalu menurunkan kopernya dan koper Ayu dari tempat bagasi di atas mereka. Lalu mereka keluar dari pesawat dan berjalan beriringan menuju pintu keluar.

"Lo pulang sama siapa?" tanya Sigit.

"Taksi palingan."

"Oh, kalau gitu ikut gue aja."

"Ah, nggak usah."

"Nggak apa. Gue anter."

"Lho? Emang lo naik apa?"

"Gue nyetir. Mobil gue tinggal di parkiran inap."

Ayu mengangkat alisnya, terkejut karena si pelit ini rela menginapkan mobilnya di parkiran inap bandara yang mahal.

"Daripada repot minta jemput, gue lebih rela keluar duit buat parkir."

"Iya aja deh," kata Ayu akhirnya.

"Yu," panggil Sigit tiba-tiba, dan dia menyodorkan tangannya kepada Ayu.

"Apaan? Lo minta bayaran? Berasa sopir taksi online, Pak?"

Sigit berdecak, lalu meraih tangan Ayu dan menggenggamnya erat, lalu meneruskan jalannya. Ayu buru-buru menyesuaikan diri dengan langkah Sigit, dan berbisik, "lepasin, Git. Tar kalau ada yang liat gimana?"

"Nggak bakal ada yang ngeh, lah. Gue cuma bassist, nggak banyak yang ngeh sama wajah asli gue saat konser. Bang Yudi baru tuh," kata Sigit, dan tiba-tiba Sigit melepas topinya dan mengenakannya di kepala Ayu.

"Jangan sampai ada yang mengenali lo."

"Please deh, gue kan bukan artis," kata Ayu, namun dia membenarkan posisi topinya supaya menutupi wajahnya. Bukan sok terkenal, tapi jaga-jaga tidak ada salahnya kan? Banyak fans Theo yang tahu wajahnya, karena dia sering menemani Theo ke mana-mana saat masih menjadi manajernya. Jika mereka melihatnya bersama Sigit, Ayu tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

Setelah melewati imigrasi - yang  artinya tangan mereka sempat terlepas selama beberapa saat - Sigit kembali menggandeng Ayu naik ke atas shuttle bus yang akan membawa mereka ke area parkir inap. Untung saja bus itu sepi, hanya ada beberapa orang yang tampak seperti baru pulang dari kunjungan bisnis, dan tidak memedulikan mereka.

Mereka turun dari shuttle bus, dan menggeret koper mereka menuju mobil yang sedang terparkir. Ayu menelengkan kepalanya saat melihat mobil yang tidak familiar.

"Ini kayaknya bukan mobil lo."

"Emang bukan," kata Sigit sambil memasukkan kopernya dan koper Ayu ke dalam bagasi, lalu masuk melalui pintu pengemudi. Ayu pun ikut masuk dan duduk di sebelah Sigit.

Sigit menyalakan mesin mobil, dan mengendarai mobil keluar dari area parkir, menuju jalan besar.

"Ini mobil Hansen. Mobil gue sama dia."

"Ngapain tukaran begitu?"

"Plat gue genap. Plat ini ganjil."

"Apa hubungannya?? Setau gue rumah lo ke bandara nggak ada urusannya sama ganjil-genap."

Memang tidak ada, tapi kantor maskapai penerbangan ini ada di area yang terkena aturan ganjil-genap, dan waktu itu Sigit perlu ke sana untuk bernegosiasi dengan salah satu petingginya. Tapi Sigit tidak akan memberitahu alasan itu pada Ayu. Ayu tidak perlu tahu.

Sepanjang perjalanan, mereka sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing, membiarkan lagu dari radio mengalun samar-samar, mengisi keheningan di antara mereka.

Sigit masuk ke dalam area parkir apartemen, dan memarkirkan mobilnya tanpa mematikan mesin.

"So, this is the end of our trip," kata Sigit sambil menoleh untuk melihat Ayu. Ayu mengangguk.

"Thank you, Git."

Ayu baru akan membuka pintu mobil, namun tangan Sigit menahan lengannya. Ayu menoleh dengan bingung, namun wajah Sigit sudah begitu dekat dengannya. Belum sempat Ayu bertanya, bibir Sigit sudah membungkam mulutnya.

Ciuman Sigit terasa begitu terburu-buru, sampai-sampai Ayu kewalahan mengimbanginya. Ayu mencengkeram kerah baju Sigit, berusaha mendapat pegangan, saat Sigit memperdalam ciuman mereka, dan melesakkan lidahnya ke dalam mulut Ayu dan mencari pasangannya.

Ayu merasakan tubuhnya lemas, dan gairahnya mulai bangkit. Ayu mulai mendesah saat Sigit meninggalkan bibirnya dan menjilati daun telinganya yang sensitif.

"Ayu, aku nginap ya..." bisik Sigit tepat di telinga Ayu. Ayu tergoda dengan bisikan Sigit, tapi akal sehatnya belum hilang sepenuhnya.

Dengan segenap kekuatannya yang tersisa, Ayu menyingkirkan tangan Sigit dari dalam kausnya dan menjauh dari Sigit dengan nafas terengah.

"Jangan.. Aku nggak bisa..."

"Kenapa? Aku janji aku tidak akan melakukannya denganmu."

Ayu bahkan bisa menangkap nada suara Sigit yang kecewa. Tapi Ayu tidak berani. Kalau dua malam ini mereka berhasil melalui malam hanya dengan ciuman dan pelukan saat tidur, tapi tidak ada jaminan malam ini tidak seperti itu. Bahkan jika Sigit bertahan, mungkin Ayu yang akan lepas kendali. Dia takut dengan reaksi tubuhnya sendiri pada Sigit.

"Ini sudah di Jakarta. Kesepakatan kita sudah berakhir."

"Kita hanya perlu membuat kesepakatan baru. Be my girlfriend, ya?"

Ayu menatap Sigit dan menggeleng. Menjadi pacarnya, padahal Ayu jelas tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis Sigit. Hanya perlu tunggu waktu sampai dia didepak dengan hati yang hancur, dan Sigit dengan santai mendapatkan wanita baru.

Ayu tidak mau. Hatinya tidak cukup kuat untuk menghadapi itu.

"Aku nggak bisa. Kamu lebih baik cari perempuan lain aja. Thank you buat tumpangannya. Hati-hati pulangnya. Sampai ketemu di kantor."

Dengan buru-buru Ayu keluar dari mobil, mengambil kopernya, lalu dengan tergesa menuju lift, tanpa berani menengok ke belakang. Jantungnya berdegup kencang sampai rasanya sakit, dan saat dia masuk ke dalam lift, Ayu menyender di dinding lift dan menekan dadanya yang sakit.

Ayu tidak tahu bagaimana dia bisa jatuh cinta dengan Sigit. Mungkin karena semalam, dia melihat sisi rapuh Sigit, atau karena Sigit membuka diri padanya, atau karena selama ini Sigit terus membuatnya bingung dengan segala kemesuman dan kemanisannya, membuat Ayu terus memikirkan Sigit? Ayu tidak tahu.

Tapi satu hal yang Ayu tahu, dia tidak boleh main api dengan Sigit. Dia takut terbakar. Perasaan ini harus dia kubur dalam-dalam.

***

Sigit menatap punggung Ayu yang menghilang di balik pintu lift dalam diam, tanpa berniat beranjak.

Apa maunya perempuan itu?? Sigit sudah berjanji tidak akan bercinta dengannya tapi Ayu tetap saja kabur. Bohong besar kalau Ayu tidak tertarik padanya. Dari caranya membalas ciumannya, Sigit yakin Ayu menyukainya. Tapi kenapa dia malah kabur??

Persetan.

Dia pikir hanya dia perempuan satu-satunya? Tidak. Sigit masih punya yang lain. Jika Ayu tidak mau, masih ada yang lain.

Sigit menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran parkir, sambil menekan ponselnya, lalu mendekatkannya ke telinga.

"Baru gue mau hubungin lo. Kebetulan banget, Git," jawab suara yang merdu di seberang telepon, dengan nada menggoda.

"Lo kosong?" tanya Sigit tanpa basa-basi, dan suara itu mengiyakan.

"Tunangan gue cabut lagi. Padahal gue lagi sange. Lo kosong? Gue ke sana deh."

"Sama. Lima belas menit, apartemen gue."

"Oke, see you."

***

Sigit bergeser dari tubuh Yuli dan berbaring di sampingnya, sambil menetralkan nafas. Matanya terpaku menatap langit-langit kamarnya, namun pandangannya kosong.

Biasanya setelah mendapat pelepasannya, dia akan merasa lebih baik. Tapi hari ini tidak. Rasanya ada yang kurang, tapi Sigit tidak tahu apa itu.

Yuli bergeser ke tepi ranjang dan duduk sambil mengikat rambutnya ke puncak kepalanya.

"Gue pulang aja ya."

"Nggak nginap? Tunangan lo lagi nggak ada kan?"

Yuli menoleh dan tersenyum geli.

"Siapa Ayu?"

Pertanyaan yang dilontarkan Yuli dengan nada mengejek berhasil membuat Sigit terkejut dan duduk menghadap Yuli.

"Dari mana lo tahu nama Ayu?"

Kali ini tawa kecil lolos dari bibir ranum Yuli. Dia berbalik dan menghadap Sigit dengan tawa geli.

"Lo nyebut namanya tadi. Gue kirain gue salah dengar, soalnya lo nggak pernah nyebut nama perempuan manapun, termasuk nama gue, tiap kita tidur bareng. Tapi karena reaksi lo begini, berarti gue nggak salah. Siapa dia? Pacar lo yang baru?"

Sigit melotot kaget, karena dia yakin Yuli tidak bercanda.

Sigit tidak terbiasa menyebut nama perempuan saat tidur dengan mereka, karena dia suka lupa siapa yang sedang dia tiduri. Tapi bagaimana bisa dia menyebut nama Ayu??

Oh, please. Lo bahkan nggak pernah bercinta sama dia.

"Kayaknya yang ini beda ya, Git, sampai-sampai lo nyebut namanya. Gue jadi bingung ngapain lo nelepon gue kalau lo udah punya pacar yang lo suka," lanjut Yuli, sambil memunguti pakaiannya dan mengenakannya kembali.

"Dia bukan pacar gue."

Yuli mengancingkan celana pendeknya dan menghadap Sigit dengan tubuh yang sudah berpakaian lengkap.

"Unrequited love, huh? Kasian deh lo."

"Sialan."

Yuli tertawa dan menepuk pipi Sigit pelan. Sigit membiarkannya, karena Yuli memang lebih tua darinya.

"Kejar dong. Masa ada cewek yang bisa nolak lo?"

Gue baru ditolak, sialan.

"Mustinya sekarang lo lagi berusaha menaklukkan dia, dan bukannya nelepon gue buat datang, Sigit sayang."

"Lo annoying banget. Pulang aja sana."

Yuli tertawa, sama sekali tidak tersinggung dengan nada ketus Sigit. Yuli mengecup bibir Sigit dan meremas kejantanan Sigit pelan.

"I'm gonna miss him. Tapi sayang sekali dia nggak suka gue sekarang."

"Dia tetap suka sama lo, kok," kata Sigit, saat merasakan kejantanannya kembali menegang karena sentuhan Yuli.

"No, he's not. Dia hanya menjadikan gue pelarian dari cinta tak sampainya. Sama kayak lo. Gue tau, Git. Lo nggak merasa puas kan, malam ini? Nggak seperti biasa?"

Yuli menjauhkan tangannya dari Sigit dan tersenyum lebar.

"Lo bisa tidur dengan siapapun, Git. Tapi gue tau, sekarang yang bisa bikin lo puas cuma perempuan itu."

Yuli kembali mengecup bibir Sigit.

"It's a goodbye, then. Jangan telepon gue lagi, ya. Kecuali kalau lo udah move on dari si Ayu-Ayu ini. You know, gue paling nggak suka main sama pria yang mencintai perempuan lain. Gue merasa jahat. Ciao." 

Lalu dengan langkah ringan Yuli meninggalkan apartemennya, dan sejuta pertanyaan dalam benak Sigit.

Tbc

Saya jadi penasaran. Ada yang nggak suka sama Sigit sejauh ini?

Kalau ada kritik saran, boleh bangettt... Yang penting bahasanya sopan ya. Kalau respon aku nggak menyenangkan, boleh juga dikasih tahu. DM juga bolehhh.. thank you so muchh..

Sampai jumpa di part selanjutnya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro