go jū - ni

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Enjoy...

---------------

Setelah malam yang indah itu, keesokan harinya, Sigit dihantam dengan penolakan yang keras.

Semua itu terjadi karena paginya, kedua orangtua Theo datang berkunjung, dan Tante Mira menjerit histeris saat tahu keponakan tersayangnya tidur sekamar dengan sang pacar. Walaupun mereka sudah menjelaskan panjang lebar kalau kegiatan mereka di kamar hanya tidur doang, Mira tidak percaya, dan terus mengomeli mereka berdua dengan bahayanya perempuan dan laki-laki yang belum menikah berada di kamar yang sama.

Theo, Flo, bahkan Ayu akhirnya memutuskan kalau Sigit tidak boleh lagi menginap di rumah Theo. Bahkan, Ayu sudah meminta Lisa untuk mengepak semua barang Sigit ke tasnya dan membawanya ke mobil Sigit.

Parahnya lagi, mereka semua melarang Sigit menemui Ayu kecuali weekend, membuat Sigit semakin nelangsa. Tapi mau tidak mau Sigit menurutinya, karena kalah suara. Apalagi ancaman Ayu tidak pernah main-main.

Baru tiga hari Sigit yang terusir dengan paksa itu tidur di apartemennya sendiri, Sigit sudah menyerah. Beberapa minggu terbiasa dengan kehadiran Ayu membuatnya kesepian luar biasa. Jadi Sigit mengepak barang yang diperlukan, dan malam itu juga pindah ke rumah Hansen, yang walaupun tidak rela, terpaksa mengizinkan Sigit menginap di rumahnya.

Jadi di sinilah Sigit, satu minggu menjelang pernikahannya, malah duduk bersama Hansen di kamar Hansen seperti orang patah hati.

"Hansen..."

"Apa??"

"Gue kangen Ayu..."

"Temuin lah."

"Nggak dibolehin."

Hansen berdecak kesal, kembali memfokuskan dirinya pada layar televisi.

"Hans..."

"Apa, bawel??"

"Besok hari apa?"

"Sabtu."

"Gue kosong nggak ya?"

"Mana gue tahu??" semprot Hansen kesal. "Emang gue manajer lo??"

"Oh iya. Lo kosong nggak?"

"Kosong pun gue akan bilang nggak ke lo. Stress gue sama lo. Sekarang gue ngerti perasaan Ron waktu lo nyangkut di apartemennya pas gencar-gencarnya berita lo sama Yuli."

Sigit nyengir polos, membuat Hansen justru semakin ingin memukulnya.

Tak lama, ponsel Sigit berbunyi, dan sebuah pesan masuk. Wajah Sigit langsung sumringah, dan buru-buru mengetik jawabannya.

"Semangat amat. Ayu, ya?"

"Bukan."

"Selingkuhan lo?"

Sigit menoleh, lalu dengan cepat menarik leher Hansen dan mencium pipinya.

"Kamu lucu deh kalau cemburu gitu."

"NAJIS LO!!!"

***

Ayu dibangunkan pagi itu oleh suara keras, dan Lisa sudah ada di sebelahnya begitu dia membuka mata.

"Ada tamu buat Mbak."

"Siapa?" tanya Ayu, sembari berusaha duduk, dibantu Lisa. Lalu matanya membelalak kaget saat melihat keluarga ibunya ada di sana. Tetsuo-san, ibunya, Ryu, bahkan Airi, Kai, dan Yuka juga ada.

"Kalian..."

"Surprise!!!!"

Ayu melongo, saat tiba-tiba mereka semua mendekati dan memeluknya.

"Bagaimana bisa kalian semua ke sini?"

"Tentu saja karena kau akan menikah, Masayu nee-chan," ucap Yuka dengan semangat, dan yang lain mengangguk.

"Bagaimana kalian tahu-?"

"Tentu saja kami akan tahu. Kau kan keluarga kami," ucap Ryu.

"Jadi kalian akan di sini sampai minggu depan?"

"Ya."

"Kalian tidak sekolah?" tanya Ayu pada kedua adik tirinya yang masih duduk di bangku sekolah. Kai dan Yuka menggeleng.

"Ini kan libur musim panas, Nee-chan."

"Oh iya."

"Kami akan jalan-jalan di Jakarta! Kata Ryu, lusa kami akan ke Bali, mungkin dua-tiga hari, lalu sabtu kau akan menikah!! Aku tidak sabar lagi," kata Yuka semangat.

"Ini pertama kalinya kalian ke Indonesia kan?"

"Iya."

"Jadi nee-chan akan menikah dengan pria itu?"

"Pria itu?"

"Pria yang datang berkunjung ke Jepang bersamamu itu?"

Ayu tersenyum dan mengangguk. Yuka langsung melihat Ayu dengan mata berbinar-binar.

"Kalian sungguh romantis."

"Apanya yang romantis. Seandainya kalian tahu bagaimana ceritanya dia bisa bersamaku waktu itu, kau tidak akan mengatakan itu romantis," kata Ayu sambil tertawa.

"Sudah, sudah. Biarkan kakakmu istirahat," tegur ibunya, dan Yuka tersipu, lalu duduk di tepi ranjang kakaknya, kali ini lebih tenang.

"Kalian baru tiba?" tanya Ayu.

"Ya. Kami sebenarnya berangkat dua hari yang lalu, lalu transit satu hari di Singapura. Lalu terbang kemari tadi pagi," jawab Tetsuo-san.

"Kalian sudah sarapan? Sebaiknya kalian sarapan dulu."

"Ya! Florencia-san memasak soto ayam! Wangi sekali! Aku harus mencobanya!" ucap Yuka, kembali bersemangat.

Ayu tertawa.

"Yuka benar-benar energik."

"Dia terlalu bersemangat," ucap Ryu, lalu menepuk kepala Ayu lembut. "Kau baik-baik saja?"

"Ya, aku baik-baik saja. Kalian sudah bertemu Theo?"

"Sudah. Dia yang mengatur penjemputan kami dari bandara tadi."

"Oh. Jadi dia sudah tahu kalian datang."

"Ya."

Lalu mata Ayu beralih pada Airi, tunangan Ryu.

"Halo, Airi-san."

Airi tersenyum.

"Selamat untuk pertunangannya, ya."

"Terima kasih. Selamat untuk kalian juga."

"Nanti kau harus datang ke pernikahan kami."

"Pasti."

Lisa yang sempat keluar kamar kembali sambil mendorong kursi roda Ayu.

"Kalian keluarlah dulu. Aku akan menyusul," ucap Ayu, dan Ryu mengangguk. Dia dan Airi keluar lebih dulu dari kamar, disusul Yuka dan Kai. Namun Tetsuo-san dan ibunya tetap tinggal dalam kamar.

"Masayu."

"Ya, Bu?"

"Kami sudah dengar ceritanya dari Theo," ucap ibunya menggunakan bahasa Jepang.

Ayu merapikan posisi selimut lututnya di kursi roda, lalu menatap ibunya dengan senyum pahit.

"Ya. Baguslah kalau begitu. Aku memang sudah tidak sanggup menjelaskannya lagi."

"Ibu tidak tahu harus berkata apa."

"Tidak apa, Bu. Aku sudah menerima keadaanku. Aku baik-baik saja."

Ibunya menggenggam tangan Ayu erat.

"Ibu dari dulu tahu, kamu anak yang kuat. Maaf, karena ibu tidak pernah ada untukmu. Maaf, karena ibu selama ini mengabaikanmu, membiarkanmu berjuang sendiri."

"Tidak apa, Bu. Aku mengerti..."

Namun tetap saja, setetes air mata jatuh membasahi pipinya.

Ayu sadar, sejak dulu, dia bukan prioritas untuk kedua orangtuanya.

Ayahnya membiarkannya hidup sesukanya, sementara dia memilih mengejar karirnya. Ibunya meninggalkannya bersama ayahnya, demi mengejar mimpinya.

Dia sudah memaafkan mereka berdua, tentu saja.

Namun saat ibunya bicara seperti itu di depannya, dia mengingat kembali masa itu, pada malam-malam saat dia ditinggalkan di flat yang disewa ayahnya, sendirian, sementara ayahnya pergi berburu foto entah di mana dan berapa lama.

Dia harus belajar menangani masalahnya sendiri sejak kecil. Saat sakit, dia harus berusaha sendiri ke dokter dan menyiapkan makannya sendiri. Saat takut, dia harus menangani ketakutannya dan berlindung pada dirinya sendiri. Dia kesepian, amat sangat kesepian.

Tak jarang dia mengutuki dirinya sendiri dan membenci hari lahirnya. Ayu selalu merasa akibat ada dirinya, orangtuanya tidak bahagia. Keberadaannya tidak pernah diharapkan siapapun.

Untungnya, sebelum hatinya benar-benar mati, dia dibawa Papanya untuk tinggal bersama Mira dan Theo. Untuk pertama kalinya dia punya orang dewasa yang dijadikan sandaran dan bisa dipercaya. Mira juga yang mengajarkannya untuk memaafkan dirinya sendiri dan kedua orangtuanya.

"Maafkan ibu, Masayu... Ibu tahu, ibu tidak pernah meminta maaf padamu sejak dulu. Baru sekarang ibu berani mengucapkannya. Ibu salah, membawamu ke dunia ini dengan cara yang salah. Maafkan ibu."

"Bu, aku sudah memaafkan ibu, bahkan sebelum ibu memintanya. Tapi aku harus berterima kasih pada Ibu, karena ibu sudah melahirkanku, dan salah satu orang yang berjasa membuatku menjadi aku yang sekarang ini adalah ibu."

Ayu tidak berbohong. Karena kedua orangtuanyalah, Ayu tumbuh menjadi anak yang kuat, yang tahu apa yang dia inginkan, dan memegang prinsipnya dengan teguh. Contoh buruk dari kedua orangtuanya justru dijadikannya pengalaman, supaya dia tidak mengulang kesalahan yang sama.

Ayu menyentuh pipi ibunya, mengusap airmata yang mengalir di sana, dan tersenyum.

"Aku baik-baik saja. Ibu jangan khawatir."

"Masayu," ucap Tetsuo yang mendekati mereka, dan menyentuh bahu Ayu. "Aku tahu aku bukan ayah kandungmu, tapi kamu ingatlah, apapun yang terjadi, kamu bisa mengandalkanku, mengandalkan kami."

Ayu tersenyum kepada Tetsuo dan menyentuh tangannya.

"Aku tahu. Aku juga menyayangimu, Tetsuo-san."

Tetsuo tersenyum. Dia merangkul bahu isterinya, dan mereka duduk bertiga, menghabiskan pagi mereka membangun waktu berkualitas, dengan percakapan antar orangtua dan anak, yang tidak pernah mereka lakukan selama ini untuk Ayu. Namun Ayu menghargainya.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

***

Sorenya, Ayu kebingungan saat Mina - ibunya, dan Mira - tantenya, masuk ke kamarnya dengan heboh sambil membawa dress cantik berwarna biru tosca, sementara mereka sudah berpenampilan rapi dan cantik.

"Ada apa ini?"

"Kita akan makan malam bersama, dong. Kapan lagi kita bisa kumpul seperti ini?" kata Mira dengan semangat, sementara ibunya dan Lisa membantunya mengganti pakaian.

Ayu menatap kedua perempuan itu, yang satu adalah ibunya dan yang satu lagi sudah dia anggap sebagai ibu, dengan bingung, namun tidak mendapat jawaban. Ayu beralih memandang Lisa, namun Lisa juga menampakkan wajah datar, tidak berniat menjawab Ayu.

Setelah bajunya diganti, Mira mulai membantu Ayu memulas wajahnya sementara Mina menyisir rambutnya.

"Kenapa aku harus dandan??"

"Karena kami juga melakukannya."

"Tapi kita hanya makan bersama kan? Atau kalian mau makan di luar??"

"Makan di rumah, kok."

"Hah?? Terus kenapa harus dandan?"

Keduanya menolak menjawab Ayu, dan Ayu walaupun tidak mau, terpaksa menerima semua perlakuan dari dua wanita itu.

Tak lama setelah mereka selesai mendandani Ayu, pintu kamar diketuk, dan kepala Kai menyembul dari pintu.

"Mereka sudah datang- ah, Masayu nee-chan. Kamu sungguh cantik."

"Terima kasih, Kai."

Kai mendekati Ayu, tampak terpesona.

"Nee-chan benar-benar tipeku."

"Kai!!" tegur Mina, dan Ayu tertawa.

"Sini, peluk kakakmu ini," kata Ayu dan Kai menunduk untuk memeluknya.

Saat pertama kali dia ke Jepang dan tinggal bersama keluarga ibunya selama dua tahun, Kai masih sangat kecil. Awalnya dia bahkan tidak menyukai Ayu, karena dia melihat Ayu sebagai saingan dalam memperebutkan perhatian kakak laki-laki mereka. Tapi seiring waktu, mereka justru semakin dekat.

Kai tidak seperti Yuka yang ceria dan penuh energi. Kai lebih mirip Ryu. Kalem, sedikit pemalu, tapi penyayang.

"Ayo kita keluar," ucap Mina dalam bahasa Jepang, dan mengulangnya dalam bahasa Indonesia supaya Mira mengerti.

Kai melepas pelukannya, dan mengambil alih pegangan di kursi roda Ayu, lalu mendorongnya keluar dari kamar.

***

Ayu melotot sejadi-jadinya saat melihat ruang tamu Theo begitu ramai.

Semua keluarganya ada di sana. Om Hartanto suaminya Tante Mira, Tetsuo-san, Theo, Flo, dan Ryu duduk berhadapan dengan Sigit, Liam, Hansen, Rickon, dan Ronald, sementara Airi dan Yuka duduk di kursi terpisah karena tidak muat.

Mereka semua mengenakan pakaian yang sangat rapi, dan walaupun wajah mereka tampak santai, aura di sana agak canggung.

Ayu jadi ingin tertawa geli.

"Tampaknya, makan malam hari ini ramai sekali," celetuknya, membuat mereka semua menoleh padanya.

Ayu semakin ingin tertawa saat Sigit melongo melihatnya. Tampangnya kelihatan benar-benar bodoh, tapi sayangnya, Ayu mencintainya.

Hansen langsung menyikut pinggang Sigit keras, lalu Sigit mengaduh, dan tersadar dari keterpakuannya, dan tersenyum pada Ayu.

(Pembicaraan ini sebenarnya menggunakan bahasa Inggris, tapi akan tetap saya tuliskan dalam bahasa Indonesia supaya memudahkan pembaca.)

"Jadi, setelah Ayu sudah bersama kita di sini, sebenarnya apa tujuan kamu meminta kami berkumpul hari ini?" tanya Hartanto pada Sigit dan Sigit terpaksa mengalihkan pandangannya dari Ayu.

"Saya-" Sigit berdeham pelan, tampak gugup. Ayu boleh saja sudah jadi anak yatim, tapi dua pria paruh baya di depannya ini justru membuatnya semakin gugup. Satu adalah ayah tiri Ayu, satu lagi sudah dianggap Ayu sebagai ayah sendiri. Keduanya saat ini menatap Sigit tajam, membuatnya gugup setengah mati.

"Saya tahu, ini sebenarnya sudah sangat terlambat. Saya sudah melamar Masayu secara pribadi, dan kami akan menikah minggu depan. Tapi seperti yang saya katakan kepada Anda berdua lewat telepon, saya ingin meminta izin kepada kalian, dan melamar Masayu secara resmi di hadapan kalian, sebagai sosok pengganti orangtua Masayu."

Ayu kembali melotot, tidak menyangka sama sekali kalau Sigit akan melakukan ini. Meminta izin kepada Om dan ayah tirinya sekaligus.

"Bukankah, biasanya orang Indonesia datang melamar membawa keluarganya?" tanya Tetsuo, dan Sigit kali ini tersenyum.

"Saya sudah tidak punya orangtua. Ayah saya sudah meninggal, dan ibu saya saat ini tidak mungkin bisa hadir karena hubungan kami sudah terputus sejak lama. Yang bisa saya bawa ke sini sebagai saksi dari keseriusan saya meminang Masayu hanyalah sahabat-sahabat saya, yang sejak awal mengenal saya dan tahu betul apa yang saya alami sampai titik ini, saya bisa ada di sini, di hadapan kalian."

Hartanto mengangguk pelan, namun Tetsuo masih mengernyit dalam, tidak begitu paham.

"Maksudmu, ibumu masih hidup, tapi kalian tidak bersama? Seperti Masayu dan ibunya?"

"Ya. Mereka berpisah, saya ikut ayah saya, tapi dia meninggal, dan saya tinggal di panti asuhan sejak saat itu, sampai saya dewasa. Saya tidak pernah kembali bersama ibu saya, dan dia juga tidak menginginkan saya kembali padanya."

Tetsuo mengangguk paham, bukan karena penjelasan yang Sigit ucapkan, namun nada suara yang tersirat dalam setiap kata-katanya.

Bukan nada sedih, atau kecewa. Bukan juga nada yang terlalu tenang sehingga terdengar menutupi perasaan hatinya yang asli.

Sigit hanya sudah merelakan, kalau hubungannya dan ibunya tidak akan pernah kembali seperti dulu, sebelum mereka berpisah.

"Jadi, kamu sudah tahu kondisi Masayu saat ini. Akan ada banyak rintangan dan ujian dalam pernikahan kalian. Apa kamu sudah siap?" tanya Hartanto, dan Sigit mengangguk mantap.

"Saya mencintainya, bukan hanya fisiknya, tapi juga hatinya. Saya tahu ini tidak akan mudah. Saya tidak bisa berjanji bahwa saya tidak akan membuatnya menangis, tapi saya berjanji akan selalu ada penyelesaian dan senyuman di akhir semua tangis. Saya akan berjuang untuk pernikahan kami, untuk kebahagiaannya dan juga kebahagiaan saya, dan saya hanya minta Ayu untuk memperjuangkan hal yang sama dengan saya," ucap Sigit sambil menoleh pada Masayu, yang tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

Hartanto dan Tetsuo menoleh dan bertukar pandang, lalu Hartanto menarik nafas panjang dan kembali menatap Sigit.

"Hanya ada satu hal lagi yang perlu kami katakan padamu, Sigit. Kalau sampai kamu membuat Ayu sakit hati karena perbuatan bodohmu, kamu tahu kamu akan berurusan dengan kami semua."

"Ya," ucap Sigit, tanpa sadar tersenyum. "Saya mengerti. Jadi sekarang, apa saya boleh mendekati Ayu?"

Sigit baru akan beranjak dari bangkunya, tapi tiba-tiba saja Kai dan Yuka sudah memegang kursi roda Ayu.

"Karena acara sudah selesai, sebaiknya kita makan malam saja dulu," kata Kai.

"Kami akan membawa Masayu nee-chan ke ruang makan ya," kata Yuka sambil tersenyum lebar, lalu mereka mendorong kursi roda Ayu menuju ruang makan, diiringi gelak tawa Ayu, dan wajah kusut Sigit.

"Well," ucap Tetsuo sambil berdiri, "mereka terlalu lama tidak bertemu Masayu, tolong dimaklumi. Kau bisa memonopoli Masayu minggu depan ya."

Satu per satu dari mereka berjalan melewati Sigit, dan Hartanto menepuk bahunya kebapakan, walaupun dengan sorot mata geli saat melewatinya.

"Sabar, Bro," ucap Rickon sambil merangkul bahu Sigit. "Satu minggu ini Ayu masih milik keluarganya."

"Yang sabar ya," ledek Ron, dan Hansen tertawa geli di belakangnya.

"Kasihan sekali kamu," ucap Liam pelan dengan nada mengejek, lalu mereka berjalan mendahului Sigit ke ruang makan.

"Git," panggil Theo, dan Sigit menoleh. Theo berjalan mendekatinya, dan tanpa diduga, merangkulnya erat.

"Ayo, calon sepupu. Ke ruang makan," ucap Theo sambil tertawa, dan Sigit ikut tertawa.

Tbc

Bentar lagi tamat. Yey.

Sorry for typos.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro