go jū - go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menemukan sesuatu yang menarik menurutku di pinterest, dan aku langsung membayangkan Ayu dan Sigit seandainya mereka melakukan foto ini beserta sahabat-sahabatnya Sigit.

Credit pinterest yaa..

Enjoy the last part of this story 😘

----------

Ayu duduk di salah satu pojok ruangan yang tidak terlalu besar itu bersama Flo, sementara Sigit yang sedang duduk memeluk senderan kursi, dengan punggung yang sedang dicoret-coret oleh sang artist, dan kelima sahabatnya berdiri di dekatnya, tanpa suara sibuk meledeknya.

Sigit akhirnya memutuskan untuk mengalahkan rasa takut akan masa lalunya, bukan dengan cara mengoperasi seluruh lukanya, tapi menutupinya dengan tato.

Alasan Sigit sederhana, dia ingin bekas luka itu tetap ada dan jadi pengingat baginya, namun dia terlalu malas jika sampai banyak yang mempertanyakan dan memandang ngeri pada bekas lukanya, dan lebih memilih orang memandangi lukisan di punggungnya.

Hari ini tato Sigit sudah masuk tahap finishing, dan kelima sahabat baiknya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan terakhir untuk meledek wajah Sigit yang kadang mengernyit sakit itu.

"Serigala, ya... Kenapa dia milih gambar serigala deh?" tanya Flo sambil memerhatikan kelakuan lima pria dewasa yang sama sekali tidak berlaku sesuai umur mereka itu, membuat tattoo artist yang merupakan langganan Theo itu kesal sekaligus geli dengan kelakuan mereka.

Ayu terkekeh geli, ingat saat dia bertanya pada Sigit tentang hal yang sama, dan Sigit menjawabnya dengan sederhana.

"Kamu tahu, serigala itu hidup berkelompok, mirip sama aku. Aku tahu, serese apapun mereka, aku nggak bakal sanggup kalau nggak ada mereka. Dan yang paling penting, serigala itu setia sama pasangannya. Nggak bisa pindah hati lagi. Kayak aku ke kamu. Sejak pertama kali kamu berada dalam radar aku, dan aku nyium wangi kamu pas nikahannya Theo, aku udah nggak bisa berpaling, Yu. Aku mungkin sempat main-main di awal, tapi ujung-ujungnya aku nggak bisa, Yu. Aku tetap balik lagi ke kamu, dan stay. Nggak mau pergi-pergi lagi."

Flo melongo mendengar jawaban Ayu, dan tawa kecil lolos dari bibirnya.

"Ya, gue setuju, kalau mereka berenam seperti pack-nya serigala, dan laki lo, se-sinting apapun dia, is the alpha. Kalau bukan gara-gara dia, mereka berenam nggak mungkin bisa sedekat dan sekompak ini. Even Theo mengakuinya."

Ayu tersenyum geli, matanya ikut memperhatikan keenam pria itu.

"Jadi kapan kalian pindah ke rumah kalian?" tanya Flo lagi.

"Bulan depan kayaknya. Renovasi lantai dua udah mau kelar, habis itu musti beres-beres dulu sebelum gue mulai pindahin barang dari apartemen ke rumah. Eh, tar bantuin gue nyari ART ya."

"Oke deh."

Ayu kembali memandang Sigit, sementara pikirannya menerawang.

Tiga bulan sudah, dia menyandang nama Prakasa di belakang namanya sendiri.

Setelah dua hari di rumah Theo, Sigit membawanya ke apartemen Theo yang sudah beralih kepemilikan menjadi milik Ayu, dengan pertimbangan bahwa rumah mereka masih akan direnovasi sesuai keinginan keduanya, dan apartemen tipe studio milik Sigit terlalu kecil untuk mereka tempati berdua.

Mereka menunda waktu honeymoon, karena Sigit sedang sibuk latihan untuk album baru Petir, dan perjalanan ke Jepang juga ditangguhkan, karena Jepang masih dalam musim panas, membuat mereka berdua malas panas-panasan di negeri orang.

Ayu melanjutkan terapinya bersama Lisa, dan saat ini dia sudah bisa berjalan normal, namun belum boleh dipaksa bekerja terlalu berat seperti berlari dan melompat.

"Kalian udah program hamil?" tanya Flo lagi, dan Ayu menggeleng.

"Nggak diprogram-in sih. Terakhir bulan lalu ke dokter, katanya kita berdua sehat-sehat aja, tapi Sigit emang nggak mau buru-buru. Katanya, se-dikasihnya aja. Kalau belum, ya kita masih bisa pacaran halal dulu. Kalau dikasih cepet, ya syukur."

"Nggak KB, kan?"

"Nggak, kok. Lo sendiri, masih KB?"

"Masih.. Gue masih ngumpulin keberanian buat copot spiral. Lagipula, May masih kecil. Mudah-mudahan tahun depan gue udah siap."

Ayu tersenyum, dan merangkul lengan Flo, memberi kekuatan. Tidak banyak yang tahu rahasia kelahiran May, dan Ayu termasuk dari segelintir orang yang tahu. Dia tahu ini berat untuk Flo, tapi dia bersyukur Flo mampu melewatinya dengan tegar.

"Gue kayaknya mau minta ditato juga," kata Flo tiba-tiba.

"Hah?? Lo ketularan Theo??" kata Ayu terkejut, karena dia tahu, suami Flo itu mulai keranjingan tato. Setelah tato sayap hitam yang menghiasi punggungnya sejak kuliah dan membuat tante Mira mencak-mencak semingguan, ditambah tato nama Flo di pergelangan tangan kirinya, hari ini Theo punya agenda tambahan ke salon tattoo artist ini selain meledek Sigit, yaitu menambah tato di tangan kanannya dengan nama putri kesayangannya.

"Nggak, kok. Gue cuma mau nutupin bekas luka gue. Kayaknya bagus, kayak Sigit sekarang."

Ayu meringis, melihat bekas luka Flo di pergelangan tangannya.

"Lo mau bikin tato apa?"

"Nama Theo. Karena dia yang bikin gue sanggup lewatin masa sulit gue. Lagipula, biar kompakan sama dia, dia juga nulis nama gue di pergelangan tangan."

"Oke..."

"Lo nggak mau?"

Ayu buru-buru menggeleng.

"Gue denger cerita Nina pas dia tato, dan lihat ekspresi Sigit beberapa kali pas gue nemenin dia tato punggungnya ini, menurut lo gue bakal berani ikut tatoan?" ucap Ayu ngeri. Flo tergelak mendengar jawaban Ayu.

Sigit asik memperhatikan interaksi Ayu dan Flo, lebih tepatnya memperhatikan ekspresi Ayu, dan tanpa sadar tersenyum lembut.

Tiga bulan sudah mereka menikah, dan Sigit begitu menikmatinya. Ayu bukan hanya partner ranjang yang luar biasa, namun juga partner hidup yang pas untuknya.

"Gue bingung. Kenapa para pria yang jatuh cinta ini suka ngeliatin pasangannya dengan muka tolol ya? Dulu Hansen, lalu Theo, lalu sekarang Sigit," celetuk Ronald tiba-tiba, dan pandangan kelima lelaki yang lain langsung tertuju ke arahnya.

"Bayangin kalau kita bertiga juga kayak gitu," sahut Rickon, dan Ronald tertawa.

"Lo mungkin sih, Rick. Gue sih nggak."

"Gue juga nggak," jawab Liam, dan Theo mendengus.

"Gue sumpahin lo bertiga kena karmanya ntar."

"Setuju," sambung Hansen. "Lo biasanya ngatain gue bucin kan? Liat aja ntar siapa yang lebih bucin."

"Kalau itu sih, tetep lo, Boy. Kadar bucin lo udah nggak ketolong. Kecuali lo bubaran sama Astrid, baru deh kita telaah ulang kadar kebucinan lo," sahut Sigit sambil menyeringai, dan direspon dengan tawa oleh yang lain sementara Hansen langsung memaki Sigit.

Akhirnya Sigit selesai, dan bertukar posisi dengan Theo yang akan menato lengannya.

Sementara sang tattoo artist menyiapkan alatnya, Theo melirik Sigit sambil mengangguk pelan, dan direspon Sigit dengan seringai.

"Eh, kita bikin tato samaan, gimana?" tanya Sigit, yang langsung mendapat pelototan dari empat pria yang lain, selain Theo.

"Hah?? Lo gila???"

Tapi, seperti yang bisa diduga, setelah perdebatan panjang dan alot yang mereka berenam lakukan, mulai dari mengemukakan alasan yang logis sampai yang paling tidak masuk akal, tentu saja Sigit yang menang. Apalagi setelah didukung Theo yang tidak keberatan sama sekali, lalu Liam dan Ronald ternyata menyukai motif tato yang ditawarkan, Rickon setuju setelah sedikit negosiasi, akhirnya Hansen menyerah dan membiarkan tubuhnya dirajah dengan tato berbentuk armband hitam di bawah siku lengan kiri, dengan bagian dalamnya sengaja dibentuk sederet angka dan derajat, yang menunjukkan koordinat lokasi apartemen Sigit, tempat mereka pertama kalinya membuka rahasia terdalam masing-masing.

(kira-kira begini)

Walaupun Hansen terus mengeluh karena mereka bertingkah seperti perempuan karena membuat hal yang seragam, tidak ada yang memedulikan keluhannya dan dengan sukacita memodifikasi desain tato mereka masing-masing.

Theo memilih menambah lingkar bawahnya dengan motif sulur yang kalau diperhatikan dengan jelas akan membentuk tanggal pernikahannya. Sementara Sigit membuat dua armband sama persis, namun yang satu lagi tertulis tanggal pernikahannya. Rickon menambah satu garis tipis di bawahnya, sementara tiga pria yang lain tidak menambahkan motif pada tato mereka, karena belum ada ide.

***

Ayu sedang membantu mengoleskan salep pelembab di punggung Sigit, sambil memperhatikan tatonya. Seekor serigala di tengah hutan dengan siluet seorang wanita di tengahnya, yang sengaja dibuat menyerupai siluet Ayu.

"Kamu suka?" tanya Sigit, masih dalam posisi menelungkup.

"Suka."

Ayu meratakan salep lalu bangun dari punggung Sigit, dan Sigit langsung bangun untuk duduk bersila di atas ranjang. Lalu Ayu kembali mengoleskan salep ke lengan Sigit, di dekat sikunya, dan tersenyum tipis.

"Yakin kamu nggak mau bikin tato couple sama aku?" tanya Sigit, dan Ayu menggeleng, tergelak.

"Nggak mau ah, sakit. Lagipula, emang nggak cukup couple-an ini?" tanya Ayu sambil mengangkat tangannya, menunjukkan jari manisnya yang berhias cincin yang sepintas tampak sederhana, namun orang yang mengerti tentang perhiasan pasti tahu betapa rumit dan detil desainnya. Cincin yang sama yang melingkar di jari manis Sigit, bertulis nama mereka masing-masing. Cincin yang begitu cocok untuk hubungan mereka, yang sekilas tampak sederhana namun dalam kondisi yang rumit. Untunglah semua sudah selesai.

Sigit merengut, jelas merajuk.

"Kamu satu-satunya orang yang selalu berhasil nolak aku, dan aku nggak bisa membantah."

Ayu tergelak. Dia meletakkan salep di nakas, lalu naik ke pangkuan Sigit dan mengalungkan lengannya di leher Sigit.

"Siapa yang bilang? Aku ada di sini, sekarang, itu bukti kalau aku nggak berhasil nolak kamu, Git."

Ayu mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Sigit.

"Kamu salah," ucap Sigit, tangannya bergerak menangkup wajah Ayu. "Kamu ada di sini, itu karena akulah yang nggak berhasil menolak pesona kamu."

Ayu makin tergelak, namun Sigit segera membungkam bibirnya dengan bibir Sigit. Awalnya hanya kecupan kecil, namun semakin lama semakin intens. Sigit menggigit dan mengulum bibir Ayu dengan lembut, perlahan, namun semakin dalam.

Ayu mengerang lirih, dan membuka bibirnya, membiarkan Sigit memperdalam ciuman mereka.

Sigit baru melepaskan Ayu saat Ayu kehabisan nafas, dan menempelkan dahi mereka, sementara tangannya mengusap punggung telanjang Ayu lembut dari dalam kausnya.

Ayu langsung melepas leher Sigit dan menarik kausnya sendiri lepas dari tubuhnya, membiarkan dirinya bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, lalu Ayu menggoyangkan pinggulnya, menggoda milik Sigit yang sudah tegang di bawah tubuhnya.

Sigit terkekeh pelan.

Dia sadar sekali, dia sudah membangkitkan macan tidur, sejak hari pertama dia mengenalkan kenikmatan duniawi ini pada Ayu.

Ayu yang polos namun begitu cepat belajar, hanya perlu satu hari untuk mempelajari cara menggoda Sigit, dan dia tidak pernah tanggung-tanggung. Alasannya tentu saja karena mereka sudah menikah, jadi tidak perlu takut kebablasan lagi.

"Dasar nakal," bisik Sigit penuh gairah, sambil menciumi rahang Ayu yang masih asik menggoda milik Sigit tanpa melepas celana mereka.

"Hmm?" gumam Ayu pelan, lalu mengangkat bokongnya dari pangkuan Sigit, dan Sigit tidak menyia-nyiakannya. Sigit langsung menarik celana Ayu turun beserta celana dalamnya, dan menyelipkan jemarinya diantara lipatan paha Ayu, sementara mulutnya menggoda payudara Ayu yang berada persis di depan wajahnya.

Sigit bisa merasakan Ayu bertumpu pada bahunya, sementara nafas Ayu terengah, membuat gairah Sigit semakin naik.

Ayu menjambak rambut Sigit saat memperoleh pelepasannya akibat mulut dan jari Sigit, dan menjatuhkan kepalanya di atas kepala Sigit, terengah.

"Kurang ajar..." umpat Ayu masih dengan nafasnya yang terengah, dan Sigit terkekeh pelan, melepaskan bibirnya dari payudara Ayu dan menatap Ayu yang menatapnya kesal, dengan wajah merah dan masih dilingkupi gairah.

Ayu menepis tangan Sigit dari intinya, dan menarik lepas celananya sebelum melemparkannya sembarangan, dan berusaha melepas celana Sigit juga.

Sigit mengangkat bokongnya, membiarkan Ayu melepas celananya, dan menunggu.

Sigit senang memimpin permainan mereka, namun ada kalanya dia membiarkan Ayu mengambil alih, dan dia selalu menikmati setiap momennya. Seperti kali ini.

Ayu kembali naik ke pangkuan Sigit, memainkan ujung kejantanan Sigit, sebelum mengarahkannya masuk ke dalam miliknya sendiri.

Sigit membiarkan Ayu bertumpu pada bahunya sementara dia bergerak mencari kepuasannya, dan tangan Sigit menangkup pinggulnya. Milik Ayu menyelimuti miliknya dengan pas, dan Sigit setengah mati bertahan untuk tidak mengambil alih dan melakukannya dengan cepat.

Gue akan membiarkan Ayu bermain, dan lo dilarang menjadi cupu dengan orgasme cepat ya, Boy, batin Sigit, sembari asik memperhatikan Ayu yang terlihat begitu cantik dan menggairahkan di hadapannya.

Ayu selalu cantik di matanya, namun Sigit selalu merasa kalau Ayu terlihat paling cantik saat sedang bergairah seperti ini. Apalagi kenyataan bahwa seumur hidup, hanya dirinya yang pernah melihat Ayu yang seperti ini. Ayu yang cantik, yang polos, namun begitu bebas dan liar. Perpaduan yang luar biasa, dan wanita itu adalah isterinya.

Sigit bisa merasakan milik Ayu meremasnya erat dan tahu, isterinya sudah mencapai pelepasannya. Sigit sendiri bertahan setengah mati supaya tidak ikutan, karena waktu masih panjang.

"Udah capek?" tanya Sigit lembut, mengusap punggung Ayu yang luruh ke bahunya.

"Belum.. Kamu belum kan?"

"Belum."

"Bagus."

Sigit terbahak. Dengan gerakan cepat, dia membaringkan Ayu di atas ranjang, dan menggigit hidungnya gemas.

"Stamina kamu benar-benar membaik ya, Yu."

"Iyalah, aku kan ikutan Flo dan Nina olahraga," ucap Ayu dengan nada sedikit merajuk. "Aku masih ingat pagi pertama kita, Git. Itu bener-bener malu-maluin, aku tepar sampai sore. Masa aku tiap hari kayak begitu? Bisa-bisa aku nggak perlu ngapa-ngapain lagi, selain nungguin kamu di ranjang tiap hari."

Sigit terbahak mendengar penuturan Ayu.

"Aku sih nggak keberatan."

"Aku yang keberatan, tahu. Kamu mah-" Ayu terkesiap saat merasakan Sigit menggerakkan miliknya di dalam Ayu. "Aku- kan mau berpartisipasi aktif. Kalau nggak kuat, gimana aku bisa ngimbangin kamu?"

Sigit tersenyum menatap wajah Ayu yang kembali terengah, dan mengecup bibirnya lembut.

"Aku benar-benar beruntung kamu mau sama aku, Yu."

"Ngomong apa sih- udah ah, buruan, aku udah mau nyampe lagi-"

"Kamu bakal nyesal udah nyuruh-nyuruh aku, isteri," ucap Sigit dengan tatapan geli, lalu belum sempat Ayu merespon, Sigit sudah menutup mulutnya dengan ciuman panjang.

Dan Sigit membuktikan ucapannya, membuat Ayu menyesal sudah menyuruh-nyuruhnya, karena yang Sigit lakukan adalah memberikan lebih, sangat lebih, dari yang Ayu suruh.

***

Sigit menggandeng Ayu turun, saat mereka sudah tiba di sebuah kafe, di hari sabtu yang cerah, untuk promosi album baru Petir.

Di dalam, sudah berkumpul beberapa kru media televisi dan banyak sekali penggemar Sigit, memadati kafe tersebut, sementara di salah satu ujungnya, para personel Petir dan manajer mereka berkumpul dan bersiap-siap.

Saat mereka melangkah masuk, semua mata langsung memandang mereka penasaran, namun tidak bertanya apa-apa, sampai mereka tiba di tempat di mana para personel yang lain berkumpul.

"Wah, Ayu ikut," ucap Yudi begitu Ayu dan Sigit tiba di hadapan mereka.

"Ikut dong."

"Apa kabar, Adeknya Bang Edo yang paling cantik? Gimana, udah bosen belum sama Sigit? Abang masih menunggu jandanya Dek Ayu, nih."

Ayu tergelak sementara Sigit menatap Edo tajam.

"Bang Edo mau gue bocorin masalah itu ke media?" bisik Sigit pelan namun penuh ancaman. Edo langsung menggeleng, dan menggerutu.

"Ah, lo mah nggak asik, mainnya ngancem."

"Makanya jangan godain bini gue."

"posesif amat, Git," ledek Willy, yang rambutnya kali ini sudah berubah warna lagi menjadi biru.

"Bukan posesif, tapi menjaga supaya nggak kena kutu."

"Anjir gue dikatain kutu!"

"Emang. Perlu gue ingetin alasan kenapa manajer baru kita mendadak berhenti bulan lalu? Gue sampai harus nyari manajer pria sekarang, gara-gara lo," ucap Rini pelan, namun dengan wajah datarnya, membuat Edo diam tidak berkutik.

Mereka bercengkerama, saling meledek satu sama lain, sampai waktunya Petir naik ke panggung.

"Kamu duduk di sini aja, sebelah Mbak Rini. Jangan banyak gerak," kata Sigit pada Ayu.

"Iya, bawel. Udah, sana."

Sigit mengecup pelipis Ayu lembut, sebelum meninggalkannya bersama Rini dan satu manajer baru berjenis kelamin pria, yang tak lama kemudian juga meninggalkan mereka untuk mengurus bagian sound.

"Langit nggak diajak, Mbak?" tanya Ayu, menyebut nama putra sulung Rini yang belum berusia satu tahun itu.

"Di rumah lagi dibajak sama eyangnya."

"Oh. Orangtua Mas Wahyu lagi ke Jakarta?"

"Iya. Pas lah, kami bisa pacaran, mumpung ada eyangnya kan."

Ayu terkekeh pelan.

"Kamu sendiri gimana sama Sigit? Masih menikmati masa pacaran halal?"

"Iya, Mbak."

"Belum isi?"

"Isi nasi uduk sih ada, Mbak."

Rini ikut terkekeh.

"Nikmati aja prosesnya, Yu. Nggak semua pasangan akan langsung punya anak begitu menikah. Jangan pedulikan pendapat orang. Ini pernikahan kalian, jadi pendapat dan keputusan kalian yang penting, bukan orang lain."

"Iya, Mbak. Aku dan Sigit memang nggak berencana buru-buru punya anak. Kalau dikasih cepat ya syukur, kalau belum ya nggak apa-apa juga. Toh, aku sama Sigit sama-sama nggak punya beban untuk ngasih cucu ke siapapun, untungnya."

"Baguslah. Ibu kamu yang di Jepang itu, nggak menuntut cucu?"

"Nggak, katanya nggak masalah. Ibuku juga sepertinya belum siap dipanggil nenek."

Lalu mereka berdua tertawa kecil.

Lalu suara Sigit mengalihkan pandangan mereka ke arah panggung.

"Selain kami akan mempromosikan album baru Petir, yang bertajuk Cinta Dua Sisi, saya akan memberikan jawaban untuk pertanyaan yang saya tahu sudah ada di benak kalian sedari tadi."

Sigit berdeham pelan, lalu tersenyum dan mengangkat jarinya yang berhias cincin nikah mereka.

"Saya sudah menikah dengan kekasih saya, tiga bulan lalu. Saya minta maaf karena tidak memberi informasi apapun pada media dan fans Petir. Upacara pernikahan kami tertutup dan hanya dihadiri oleh kerabat dekat. Saya berencana memberi informasi kepada kalian semua sebelum ini, namun memutuskan menundanya, bertepatan dengan peluncuran album baru Petir."

Sigit mulai memetik gitarnya, yang baru semua sadari kalau itu adalah gitar biasa, bukan bass seperti yang biasa dia gunakan.

"Saya menciptakan lagu ini, salah satu lagu baru dalam album Petir, untuk isteri saya, Masayu Aryanti Prakasa."

Sigit mulai memetik gitar, dan satu kafe terdiam, terpaku mendengarkan Sigit.

Para pujangga mencoba mengartikan cinta
Rasa yang sederhana namun rumit
Seperti angin, tak nampak namun terasa

Jantung berdebar kencang, tanda pertama
Mata yang tak mampu beralih, tanda kedua
Hati yang tak mampu menjauh, sekalipun pikiran berkata sebaliknya

Melihat senyummu, tatap wajahmu
Wangi tubuhmu, dan hati baikmu
Hatiku menjeritkan namamu, belahan jiwaku

Kata orang cinta itu buta, cinta itu indah
Cinta itu sakit, cinta itu bodoh
Cinta itu lemah, cinta itu kuat
Aku tak peduli
Karena bagiku, cinta itu.. Kamu..

Ayu melongo.

Dia sama sekali tidak tahu-menahu soal ini. Dan kata-kata yang Sigit pilih, astaga gombal sekali. Rasanya sekarang Ayu dilema, antara ingin muntah atau justru menyerang Sigit, yang berpotensi membuatnya kembali terkapar seharian di ranjang.

Ayu menanti sampai semua rangkaian acara selesai, namun seperti yang dulu pernah dia ikuti, begitu selesai, para anggota Petir langsung dikerumuni para fans, dan beberapa pertanyaan mereka terdengar oleh Ayu.

"Mas Sigit beneran udah nikah?"

"Lihat cincinnya dong, Mas Sigit."

Lalu tiba-tiba, sekitar empat atau lima gadis muda mendekati Ayu sambil tersenyum malu-malu.

"Mbak Masayu, kenalkan saya Melisa, ketua fans club Mas Sigit, dan ini Karin, Amel, Leli, Wenny."

"Halo," sapa Ayu ramah, namun bingung. Ngapain ketua fans club Sigit menghampirinya?

Mereka tersenyum, dan dengan malu-malu Melisa berkata, "Boleh foto bareng?"

Hah?

"Kita ngefans sama Mbak Masayu. Mbak Masayu keren banget," ucap salah satu gadis itu, kalau tidak salah yang bernama Amel.

"Err.. Boleh..." kata Ayu, dan Ayu berdiri sementara mereka mulai berkoordinasi bagaimana urutan fotonya.

"Sini," tiba-tiba kamera mereka diambil Sigit, yang tersenyum geli. "Biar aku fotokan."

"Makasih, Mas Sigit," ucap Melisa, dan mereka berlima merapat pada Ayu, dan melakukan beberapa pose.

"Terima kasih, Mbak. Semoga langgeng ya," kata Melisa sambil menjabat tangan Ayu.

"Mbak, Mas Sigit ntar diikat aja, jangan sampai nakal lagi. Kita dukung kok," ucap yang lain lagi.

"Iya. Mas, awas ya kalau berani macam-macam. Kita pasti tahu."

"Ini kenapa kayaknya kalian jadi fansnya isteri saya ya?" ucap Sigit sambil tertawa.

"Karena Mas Sigit jadi makin keren sejak sama Mbak Masayu. Makin bener, makin baik juga. Perubahan yang baik akan selalu kita dukung, Mas."

Ayu tersenyum saat melihat Sigit merespon dengan mengacak rambut fansnya, yang langsung mengomel sementara yang lain menatap iri, ingin diacak-acak juga.

Jika dirinya melihat ke belakang, Ayu tidak akan pernah menyangka dirinya akan sampai ke titik ini.

Mungkin jika sekarang, dia kembali ke masa lalu, dan berkata pada dirinya dua tahun yang lalu, maka Masayu dua tahun yang lalu akan menatapnya dengan mencela, karena tidak percaya.

Tapi di sinilah dia, bersama pria yang sama sekali tidak dia duga, dan mereka bahagia.

Hubungan mereka sulit. Jalan yang ditempuh sama sekali tidak mulus. Banyak hal berbeda yang bisa jadi bahan percekcokan. Banyak hal yang harus bisa ditoleransi. Tapi mereka bahagia.

Dan itu cukup.

End

Tadinya mau ku-post tgl 17, mumpung libur dan sempet ngetik. Ternyata ga keburu kelar.

Mudah-mudahan puas sama endingnya.

Nggak ada ekstra part, karena bagian tato2 itu mustinya ada di ekstra, tpi aku masukin ke sini.

Cerita berikutnya yang akan aku mulai setelah ini tamat adalah.... Yang pasti bukan Liam hahahahaha... Liam masih waiting list, mungkin sampai tahun depan, atau depannya lagi, atau depannya lagi. Tau deh kapan 🙄

Sampai jumpa di cerita yang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro