go jū - shi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HAHAHA

Karena Saya baik hati, tidak sombong, serta rajin menabung *yang terakhir boong deh* Ayu nggak saya bikin permanen. Tapi emang gak ada rencana begitu sih dari awal 🙄

Enjoy

--------------------

Beberapa minggu sebelumnya...

Liam mendatangi rumah Theo untuk menemui Ayu, sebelum mengurus masalah sang Ayah, dan menemukan Ayu duduk menunggunya bersama Theo dan Flo yang sedang menggendong May di ruang keluarga.

"Kenapa tadi kamu menelepon?" tanya Ayu tanpa basa basi, dan Liam mengeluarkan sebuah map dari tasnya, dengan logo rumah sakit tempat Ayu dirawat beberapa hari yang lalu.

"Ini catatan medis kamu yang asli. Yang kemarin adalah hasil rekayasa Papa saya. Papa saya memang punya koneksi yang cukup berpengaruh di rumah sakit itu, karena pemiliknya adalah sepupu saya, hasil warisan dari papanya, yang adalah kakak kandung Papa saya."

Ayu mengambil map itu dan membukanya, sementara kedua sepupunya mendekatinya, ikut melihat.

Saat membacanya, tanpa sadar mata Ayu berkaca-kaca.

"Aku-"

"-hanya cedera punggung, dan memar. Iya. Dengan terapi yang benar, kamu akan bisa kembali berjalan normal, maksimal dua-tiga bulan lagi."

"Gue nggak ngerti," kata Theo sambil mengernyitkan dahinya. "Ngapain bokap lo memalsukan data Mas?"

"Untuk menghancurkan hubungan Ayu dan Sigit, sebagai balasan atas apa yang sudah Sigit lakukan di rumahnya tempo hari, dan membuat ibu tiri saya histeris."

Flo dan Theo langsung melongo.

"WTF?!"

"Begitulah," tanggap Liam kalem.

"Astaga..." Ayu mengibas salah satu tangannya di samping wajah, berusaha menahan air mata yang sudah telanjur mengalir di pipinya. "Kamu nggak bohong kan? Ini beneran kan?"

"Ini benar. Aku udah minta sepupuku mengecek langsung ke bagian radiologi, dan hasil punya kamu memang sengaja ditukar dengan yang lebih buruk."

Theo mengambil alih catatan medis dari tangan Ayu sementara Flo merangkul bahunya saat Ayu menelungkup di bahu Flo dan menangis. May yang belum paham apapun hanya menepuk lengan Ayu dan matanya membulat, menatap tantenya bingung.

"Aku akan menyiapkan terapis untukmu, dan dia akan sekaligus menjadi perawatmu sampai kamu sembuh. Tapi aku punya satu permintaan."

"Apa itu?"

"Rahasiakan ini semua dari Sigit."

"Kenapa?"

Ayu mengangkat wajahnya, dan menatap Liam bingung, namun saat mata mereka bertemu, tiba-tiba Ayu mengerti.

"Kamu masih dendam sama Sigit." Liam tersenyum tipis, tidak membantah.

"Dendam?" ulang Theo bingung, namun Ayu mengabaikannya. Dia menatap Liam tajam, walaupun bekas air mata masih terlihat di matanya.

"Apa ini tidak keterlaluan?"

"Setelah apa yang dia lakukan pada kita? Tidak, tidak sama sekali."

Flo menatap keduanya, mendadak paham apa yang terjadi.

"Tapi bagaimana jika dia marah?"

"Dia tidak akan marah. Well, mungkin, sebentar, tapi dia tidak akan membencimu."

"Liam, ini tidak benar. Ini-"

"Setelah dia membuatmu patah hati karena kesembronoannya? Ini sebenarnya bukan hukuman yang setimpal untuknya."

"Gue nggak tahu apa maksud kalian berdua, tapi gue suka ide menyembunyikan ini dari Sigit," potong Theo dengan wajah serius.

"Setidaknya, sampai lo dan dia nikah, gue bisa yakin seratus persen, dia nggak nyentuh lo sampai kebablasan."

"Lah, tapi kenapa pas malam premier itu lo kasih izin?" tanya Ayu bingung, dan Theo mengangkat bahunya.

"Anggap aja gue berubah pikiran. Lagipula gue nggak mau liat muka mesumnya selama prosesi  pernikahan kalian. Kalau dia tahu lo bisa sembuh, dia dan otak mesumnya pasti mikirin buat nidurin lo sepanjang waktu. Kalau gini kan nggak," lanjut Theo lagi.

"Bagus juga idenya. Gue setuju aja. Tapi gimana cara nyembunyiin ini dari Sigit? Dia kan nggak bisa diusir pulang. Tar ketahuan kalau Ayu terapi," tanya Flo. Theo langsung menyunggingkan senyumnya.

"Saatnya meminta bantuan kepada yang lebih tua," katanya, sambil memencet nomor sang ibu di ponselnya. Namun tangan Ayu menahannya.

"Err.. Boleh kalian usir dia besok aja? Gue udah mulai terbiasa ada dia, jadi gue mau bareng dia malem ini. Terakhir, sebelum dipisah?" tanya Ayu, tahu kalau dia sudah kalah suara, tapi masih berusaha negosiasi.

Lagipula, memberi Sigit kejutan mengenai kesembuhannya entah bagaimana terdengar menarik di telinganya, sekarang.

***

Ayu menatap bersalah pada mobil Sigit yang sudah berjalan menjauh dari rumah Theo, saat Lisa menepuk bahunya pelan.

"Ayo kita latihan," katanya dengan nada datar, dan Ayu mengangguk.

Selama hampir sebulan, Ayu latihan, jatuh bangun, bersama Lisa, kadang ditemani Liam dan Flo, serta May yang tidak paham namun selalu bertepuk tangan menyemangati Ayu. Ayu bersyukur karena Sigit hampir tidak diizinkan mengunjungi dan dekat-dekat Ayu selama sebulan, karena tubuhnya memar di beberapa bagian akibat jatuh saat latihan.

Tapi Ayu terus berusaha, demi dirinya sendiri dan demi Sigit, yang sudah berjuang untuknya.

Dan sekarang, dia sudah sanggup berdiri dan berjalan sedikit, walaupun masih bersusah payah dan terlihat tidak normal.

***

Ayu menyelesaikan ceritanya, dan dengan takut-takut mencoba menilai ekspresi Sigit yang mematung di depannya.

Apa dia marah?

Apa dia kecewa?

Apa sebenarnya Ayu sudah keterlaluan?

"Git, ngomong sesuatu dong. Jangan diam begini..."

"Jadi ini rencana kalian semua? Dan hanya aku yang nggak tahu apa-apa?" tanya Sigit penuh penekanan, matanya menatap Ayu tajam.

Ayu meringis.

"Maaf... Tapi pas waktu itu, Liam mengemukakan permintaannya, semua menganggap ini sesuatu yang menarik.. Dan aku pikir, ini bakal jadi kejutan buat kamu-"

Tiba-tiba Ayu ditarik masuk dalam pelukan Sigit, yang memeluknya begitu erat sampai Ayu yang sebenarnya sudah kehilangan keseimbangan, tidak terjatuh.

"Aku benar-benar lega, kamu nggak apa-apa, Yu. Nggak ada hal yang paling kuinginkan selain kesembuhan kamu."

Ayu mengerjab kaget, dan dengan gesit Sigit menggendong Ayu dan mendudukkannya di tepi ranjang, sementara Sigit berlutut di depannya, Diantara kedua kaki Ayu.

Ayu jadi merasa deja vu, dan wajahnya merona, mengingat malam itu, malam saat pertama kalinya mereka dekat secara fisik.

Mata mereka saling bertatapan, dan Ayu bisa melihat kesungguhan di mata Sigit. Tidak ada kemarahan di sana. Hanya ada kelegaan, dan rasa sedih.

Tapi justru itu membuat Ayu lebih merasa bersalah.

"Kamu nggak marah?" tanya Ayu sambil menyentuh pipi Sigit. Sigit menggeleng pelan.

"Aku senang kamu sembuh, Yu. Tapi aku sedih karena nggak bisa ikut nemenin kamu dalam prosesnya, karena aku nggak tahu sama sekali."

Ayu menggeleng, sambil menahan bibir Sigit untuk bicara.

"Kamu justru menjadi motivasi terbesar aku untuk sembuh, Git. Setiap aku jatuh, kamu - kita, selalu jadi api yang membakar aku buat bangun lagi, usaha lagi."

Lalu Ayu mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Sigit.

"Aku mencintaimu, Sigit Prakasa, suami aku..."

Sigit menyentuh kedua tangan Ayu, dan mengaitkan jemari mereka berdua, sebelum mendekatkan wajahnya juga pada Ayu.

"Aku lebih mencintaimu, isteriku," ucap Sigit sungguh-sungguh, dan menempelkan bibir mereka berdua.

Ayu bisa merasakan cinta dalam setiap kelembutan yang Sigit tawarkan, dengan jemari yang saling mengait, memberikan sensasi yang begitu intim diantara mereka berdua.

Sigit membebaskan salah satu tangan Ayu untuk menangkup lehernya dan memperdalam ciuman mereka, sementara tangan Ayu yang bebas menyusuri dada bidang Sigit, membelainya.

Sentuhan bibir mereka semakin lama semakin dalam, semakin menuntut, dan semakin panas, mulai membakar keduanya, membangkitkan gairah yang terkubur begitu lama diantara mereka berdua.

Saat itulah Sigit melepaskan bibirnya dari Ayu dan menempelkan dahi mereka.

"Yu... Apa sekarang masih nggak bisa?"

Ayu yang masih berusaha menarik nafas banyak-banyak, terkekeh pelan mendengar suara Sigit yang parau.

"Sorry, Git. Ada satu lagi yang aku belum kasih tahu kamu."

Sigit menjauhkan wajahnya dari Ayu, menatapnya dengan gairah namun penasaran.

"Malam itu, aku bohong. Waktu itu aku sebenarnya udah basah, Git, makanya aku buru-buru singkirin tangan kamu supaya nggak ketahuan kalau aku sebenarnya baik-baik saja. Tapi malam ini, beda."

Ayu membawa tangan Sigit yang ada di genggamannya, masuk melalui daster yang dia kenakan, dan menyentuh lipatan diantara kedua kakinya yang sudah basah, dan Sigit langsung menatap Ayu tajam, merasa dibohongi.

"Oh, begitu? Apa lagi yang kamu bohongin dari aku?" ucap Sigit, sengaja memasukkan jarinya ke dalam celana dalam Ayu dan mulai menggodanya, sementara matanya terusmenatap Ayu tajam.

"Nggak ada lagi, Git. Beneran," ucap Ayu, tersentak saat Sigit menyentuh area sensitifnya di bawah sana. Namun tiba-tiba Sigit menarik tangannya dari Ayu, dan menggendongnya.

Belum sempat Ayu bereaksi, Sigit sudah membaringkannya di atas ranjang, dan menelungkup di atasnya, dengan kedua tangannya sebagai tumpuan.

"Kamu marah, ya?" tanya Ayu pelan, dan Sigit menatap Ayu, sambil membelai wajahnya dengan salah satu tangannya.

"Sedikit. Nggak nyangka aja aku dibohongi habis-habisan kayak gini, walaupun aku tahu aku emang berbuat kesalahan besar ke kamu dan Liam beberapa bulan yang lalu."

Ayu menarik garis bibirnya dan tersenyum polos.

"Tapi semua sudah selesai, kan? Sekarang aku milik kamu, seutuhnya."

"Kamu salah," Sigit tersenyum, dan menurunkan wajahnya mendekati Ayu. "Bukan kamu milik aku, Yu, tapi sekarang, yang ada hanya kita. Kamu dan aku, dua jadi satu. Mulai malam ini, sampai selamanya."

***

Ayu terbangun, merasakan tubuhnya begitu pegal, namun bibirnya tidak bisa berhenti menyunggingkan senyum. Apalagi saat membuka mata dan menemukan wajah Sigit tepat di hadapannya, tertidur pulas.

Posisi tidur mereka cukup membuat Ayu risih, karena mereka sama-sama tidak berpakaian, dengan salah satu kaki Sigit terselip diantara kaki Ayu, bergesekan kulit dengan kulit, dan tangannya menangkup pinggang Ayu.

Ayu tanpa sadar merona, mengingat apa yang terjadi semalam, diantara mereka.

Rasanya yang selama ini mereka lakukan, nggak sebanding dengan ini semua.

Untung saja Flo dan Nina sudah mewanti-wantinya tentang rasa sakit saat pertama kalinya, jadi Ayu sudah berusaha se-rileks mungkin menerima Sigit, walaupun tetap saja kesakitan.

Namanya juga baru pertama kali dimasuki benda asing, segede itu pula, batin Ayu sambil meringis.

Tapi dia bersyukur, dia bisa melewatinya dengan baik-baik saja, karena dia tahu, Sigit mencintainya.

Ayu menyentuh pelan bekas gigitan di bahu Sigit, hasil perbuatannya semalam karena tidak tahan dengan sakit.

Lalu tanpa sadar tangan Ayu bergerak menyentuh wajah Sigit.

Sigit tidak tampan, sebenarnya. Dia bukan tipe pria yang tampan seperti para cast di wattpad, atau aktor hollywood, bollywood, apalagi anggota boyband Korea dan aktor China, Taiwan, Thailand, dan sejenisnya.

Tapi dia menarik dengan caranya sendiri.

Alisnya tebal dan cukup rapi untuk ukuran pria, dengan bulu mata yang sedikit lebih panjang dari perempuan pada umumnya. Hidungnya bangir, pas bersanding dengan bibirnya yang agak tebal.

Ayu menyentuh rambut halus yang membayang di dagu Sigit, menahan geli saat rambut halus itu menggelitiknya.

Lalu Ayu menyusuri leher Sigit, menuju bahunya yang bidang.

Lalu tiba-tiba pinggang Ayu ditarik mendekat, dan Sigit membuka matanya sambil tersenyum geli, menatap Ayu yang terkejut.

"Genit ya kamu, pegang-pegang aku pas aku tidur."

"Ih, apa sih-"

Sigit langsung mengecup bibir Ayu, masih dengan senyum menghias wajahnya.

"Pagi..."

"Mm.. Pagi..."

Ayu mendorong Sigit, berusaha melepaskan diri, tapi Sigit menahannya, dan bibirnya bergerak mengecupi seluruh wajah Ayu.

"Geli, Git.."

Sigit menjauhkan wajahnya dari wajah Ayu, namun mengeratkan pelukannya, sehingga dada mereka saling menempel. Matanya menatap Ayu lembut, walaupun ada kilatan gairah di sana.

Tanpa itupun Ayu sudah tahu Sigit bergairah, dari sesuatu yang keras yang menempel di perutnya. Tapi tetap saja, wajahnya merona.

"Isteriku cantik banget pagi ini."

Isteriku.

Ah, panggilan sederhana yang menyatakan kepemilikan ini, ternyata sangat mampu membuat jantung Ayu berdebar kencang, apalagi melihat mata Sigit saat menyebutkannya.

Tubuhnya langsung meremang saat Sigit tiba-tiba mengecupi dagunya, terus menuju leher, sementara tangannya yang tadi menahan punggung Ayu, mulai menyusuri garis tubuhnya, dari pinggang menuju paha, bolak balik.

"Semalam rasanya seperti mimpi," gumamnya serak, dengan nafas yang hangat berhembus di leher Ayu, membuatnya gelisah. Belum lagi paha Sigit yang terselip diantara kakinya mulai menyentuh area intimnya yang sensitif, dan mengusapnya perlahan.

Sigit mendongakkan wajahnya dan menatap Ayu dengan mata berkabut.

"Lagi ya.. Aku janji, kali ini nggak bakal sakit kayak semalam lagi. Kalau aku bohong, kamu boleh gigit aku sepuasnya."

"Kamu bohong atau nggak, aku bakal tetap gigit kamu, Git," jawab Ayu pelan, dengan mata yang mulai tidak fokus,  namun tetap tersenyum tipis, senyum yang begitu menggoda Sigit.

Sigit terkekeh pelan. Lalu dengan satu hentakan, dia memutar posisinya menjadi di atas Ayu, dan melumat bibirnya.

***

Theo dan ke-empat sahabatnya sedang mengobrol sambil makan pagi - yang sebenarnya lebih cocok dibilang makan siang - saat Sigit yang sudah mandi turun dari kamarnya dan masuk ke dapur.

"wow, pengantin baru masih inget makan ternyata," ledek Rickon, sebagai orang pertama yang melihat Sigit datang.

Sigit mengumpat pelan, lalu mengambil roti di piring Rickon dan mengunyahnya.

"Mas masih tidur?" tanya Theo, dan Sigit mengangguk. Setelah kegiatan mereka pagi tadi merambah ke ronde dua, Ayu langsung jatuh terlelap begitu Sigit selesai. Sementara Sigit yang kelaparan, terpaksa mandi dan keluar dari kamar, meninggalkan Ayu yang sudah tidak bisa dibangunkan.

"Suka dengan kejutannya?" tanya Liam kalem, sebelum menyesap kopinya.

"Bangsat lo, Boy," umpat Sigit yang justru membuat keempat pria yang lain tertawa terbahak-bahak, sementara Liam hanya tersenyum puas, yang justru terlihat lebih menyebalkan.

"Masih bagus lo cuma dibohongin gitu. Udah bisa ena-ena juga," kata Rickon di sela tawanya.

"Berapa ronde semalam?" tanya Ronald geli, dan  sebelum Sigit menjawab, Theo menyahut, "dan tadi pagi, musti dihitung juga tuh. Mas sampai kecapean, lo pasti maksa minta jatah terus, nih."

"Fitnah ya. Gue masih tahu diri kali, nggak seganas itu. Dikira punya gue nggak ngilu, apa."

"Kayak perjaka aja lo, pake ngilu segala. Kalau Hansen yang ngomong ngilu, baru percaya gue," ledek Rickon yang langsung mendapat hadiah keplakan di kepala oleh Hansen.

"Gue habis puasa nyaris setahun, Bangsat. Berasa perjaka lagi gue."

"Nggak tahan lama dong?"

"Bangsat! Gue nggak pernah edi ya. Nggak usah ngeledek!"

Sigit mencak-mencak di depan Rickon dan Ronald yang asik menertawakannya, sementara Hansen menatap mereka dengan malas.

"Gimana otak gue nggak teracuni, temenan sama lo pada?"

Theo menepuk pundaknya sok perhatian.

"Sabar ya, Nak. Cobaan lo emang berat."

"Lo juga termasuk, Kampret."

Theo tertawa.

***

"Gue masih kesel sama lo," kata Sigit, saat dia duduk di sebelah Liam, begitu mereka pindah dari meja makan ke ruang keluarga.

"Bodo."

"Tapi yang lo lakukan ke gue, nggak sejahat itu. Lo udah maafin gue?"

"Udah kok."

Sigit diam, sambil memainkan gelas di tangannya, lalu kembali bertanya, "boleh gue tahu, rencana balas dendam lo ke Yuli?"

Liam menatap Sigit datar, dalam hati menimbang.

"Kenapa lo mau tahu?"

"Gue hanya mau tahu. Kalau lo nggak mau kasih tahu, nggak apa."

Liam diam, dan Sigit ikut diam.

Sigit bertanya hanya karena penasaran. Dia tidak mau ikut campur lagi, tapi dia ingin tahu, apa yang ada di benak pria di sebelahnya ini.

"Sederhana," ucap Liam akhirnya, memutuskan bahwa tidak masalah mengungkapkan rencananya yang sudah berjalan setengah kepada Sigit.

"Suaminya bukan tipe pria yang setia. Mudah untuk gue membuat beberapa wanita mendekatinya dan menciptakan skandal. Dia juga bukan pria bersih. Gue hanya perlu koneksi yang tepat, untuk mengetahui dari mana dan siapa saja yang terlibat dekat dengannya."

"Gue nggak paham."

"Bram pemakai."

"Apa?"

"Sahabat Vero pernah pacaran diam-diam dengan Bram, dan akhirnya jadi pecandu, karena Bram."

"Jangan bilang kalian berdua menikah karena sama-sama ingin menghancurkan Bram."

Liam diam, dan Sigit menyimpulkannya sebagai iya.

"Lalu bagaimana dengan Yuli dan kandungannya?"

"Tidak ada yang bisa gue lakukan untuk kandunganya. Tapi Yuli bersikap ceroboh. Dia lupa kalau gue memegang kartu as-nya. Mungkin dia mengira gue terlalu mencintainya sehingga tidak akan mencelakainya."

"Justru karena lo terlalu mencintainya, lo nggak akan segampang itu melepasnya."

"Ya."

"Apa kartu as yang lo punya, adalah tentang apa yang Yuli lakukan saat awal-awal menjadi model?" tanya Sigit, dan Liam mengangguk.

"Dia kira gue nggak tahu apa yang dia lakukan supaya cepat terkenal. Tapi gue emang sengaja diam, karena gue terlalu bodoh. Gue mengira dia sudah berubah. Bahkan setelah Papa gue menunjukkan semua buktinya, gue tetap bersikeras kalau Yuli tidak seburuk itu."

"Jadi itu yang kan lo gunakan untuk membalas Yuli."

"Ya. Yuli tidak akan pernah bisa lagi kembali ke industri hiburan. Tidak selama gue dan Vero masih ada."

Liam mendongakkan kepalanya dan menghembuskannya perlahan.

"Hanya satu yang membuat gue bimbang. Gue mengasihani bayi di kandungan Yuli. Entahlah, gue kadang berpikir, ada baiknya bayi itu meninggal sebelum lahir, supaya dia tidak mengalami ini semua."

Sigit diam, dan memandang Liam dengan tatapan tak terbaca.

Pria ini sungguh kontradiktif. Di satu sisi dia terlihat begitu kalem, kaku, dan keji. Di sisi lain, dia terlihat begitu manusiawi, dengan perasaan kasih yang kadang berlebihan dan cenderung bodoh.

Bagaimana tidak bodoh, pembalasan dendamnya pada salah satu pria selingkuhan mantannya adalah membohonginya tentang kesembuhan Ayu. Ini hanya seperti keisengan standar yang biasa dilakukan sahabat-sahabat konyolnya.

Sigit merangkul bahu Liam.

"Apapun yang lo mau lakukan, terserah lo."

"Nggak usah rangkul-rangkul gue."

Sigit menyeringai. Lalu dengan cepat menangkup wajah Liam dan mengecup hidungnya.

Sigit langsung melepaskannya dan berlari ke dapur untuk mengambil makanan, diiringi teriakan penuh makian oleh Liam.

Sigit terbahak-bahak, sementara menyiapkan makanan dan meletakkannya di nampan.

Sudah siang. Isterinya pasti lapar.

Tbc

Aku benar-benar lagi sibuk banget di dunia nyata, tiap buka wp bawaannya cuma pengen nyantai baca cerita. Sorry baru update. Semoga suka.

Satu part lagi, lalu tamat dehhh...

At last part 1 sudah aku publish, silakan dicek. Kalau suka, boleh disave di library.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro