jū - yon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masih hari ke - 27

Press conference untuk film baru yang diikuti oleh Willy berjalan dengan lancar dan cukup on time. Ayu dan Willy untungnya tidak terlambat tiba di tempat. Bahkan di sela-sela waktu sebelum mulai, para aktor dan manajer mereka sempat menyapa Ayu saat mengenalinya sebagai mantan manajer Theo.

Saat ini Ayu sedang melajukan mobilnya menuju lokasi syuting, sementara Willy duduk manis di sebelahnya sambil mengunyah cheeseburger yang mereka beli lewat drive-thru.

"Kamu beneran nggak mau, Yu?" tanya Willy setelah menghabiskan burger keduanya.

"Nggak. Kamu makan aja. Saya nanti bisa makan pas kalian syuting, tapi kamu udah nggak keburu makan."

Willy mengangkat bahu, dan mulai mengunyah french fries.

Tak lama kemudian mereka tiba di tempat syuting, sebuah taman pribadi yang berada di kawasan Cibubur, milik pengusaha real estate yang merupakan sponsor utama Petir.

Ayu memarkirkan mobilnya dan turun bersama Willy, menghampiri yang lain. Saat mereka tiba, yang sedang melakukan pengambilan gambar adalah Sigit dan model wanita dalam Video Klip mereka.

Ayu tahu Sigit berbakat dalam dunia akting juga, tapi melihatnya bermesraan dengan lawan mainnya saat ini membuat Ayu gerah. Ayu buru-buru memalingkan wajah dan mendekati Rini.

"Halo, Mbak."

"Oh, hai, Yu," sapa Rini yang langsung menoleh saat mendengar Ayu menyapanya. "Gimana tadi press-con-nya?"

"Lancar. Di sini?"

"Lancar. Tinggal take bagian mereka berlima."

"Willy nggak kebagian shoot sendiri?"

"Nggak. Yang kebagian hanya Yudi, Edo, dan Sigit."

"Oh.."

Ayu mengambil tempat di sebelah Rini dan mau tidak mau ikut melihat proses syuting tersebut, walaupun rasanya dia jengah luar biasa melihat Sigit.

Ayolah, Yu. Itu namanya profesionalitas, batin Ayu berusaha tenang. Namun setan dalam pikirannya sudah sibuk membanting meja dan kursi.

Jambak ceweknya!! Kegatelan banget, pegang-pegang dada Sigit!!

Ayu menghela nafas panjang, berusaha menetralkan pikiran gilanya barusan.

Namun matanya tak sengaja bersirobok dengan mata Sigit, yang menatapnya tajam, dan Ayu bisa melihat Sigit tersenyum. Tipis sekali, sehingga mungkin hanya Ayu yang menyadarinya, dan Ayu ikut tersenyum.

"Cut!"

Sigit langsung melepaskan diri dari model pasangannya, dan mendekati tempat duduk Ayu.

"Ada air, manajer?"

Ayu langsung mengambilkan sebotol air dingin, dan Sigit langsung membuka dan menghabiskannya.

"Haus apa haus, Git?" ledek Rini dengan wajah datar. Sigit menyeringai.

"Haus banget, Mbak. Apalagi diliatin sama yang cakep."

Ayu bisa melihat Sigit menyeringai padanya, dan menundukkan kepalanya lalu berbisik pada Ayu, "tar pulang bareng ya. Aku nggak bawa mobil."

"Emang datang sama siapa?" tanya Ayu penasaran.

"Bang Rizal. Tapi nanti dia mau langsung balik, mau main sama anaknya, katanya."

"Oh. Ya udah, paling tar barengan Willy sih," kata Ayu lagi, dan Sigit mengernyit dalam.

"Kenapa barengan Willy?"

"Kan dia nggak bawa mobil juga."

"Tar aku atur," kata Sigit, masih dengan wajah tidak sukanya, dan meninggalkan Ayu karena sudah dipanggil untuk melanjutkan proses syuting.

Ayu kembali memusatkan perhatian pada Rini.

"Mbak pulang sama siapa?"

"Suami jemput. Bentar lagi sampe. Aku tinggal nggak apa ya, Yu?"

"Nggak apa. Mbak pulang istirahat aja."

"Hai, Mbak Rini."

Ayu dan Rini serentak menoleh saat seseorang menyapa Rini, dan model yang tadi berpasangan dengan Sigit tersenyum lebar dan mendekati mereka.

"Hai, Yul. Lama nggak ketemu."

Yuli tertawa renyah, lalu duduk di sebelah Rini.

"Kita kan cuma ketemu pas aku jadi model MV Petir. Sisanya susah."

Lalu mata Yuli menatap Ayu dengan pandangan penuh ingin tahu.

"Hai. Siapa ya? Kok aku belum pernah ketemu?"

"Saya Masayu, asistennya Mbak Rini."

"Oh, baru... Nama panggilan kamu Ayu ya?"

Ayu mengernyit, namun mengangguk. Lalu Yuli tersenyum geli.

"Oh, jadi kamu yang namanya Ayu.. Hai, saya Yulia, panggil aja Yuli."

Ayu mengangguk dan menyambut uluran tangan Yuli. Tak lama, ponsel Yuli berdering dan dia meliriknya dengan wajah sumringah.

"Mbak, Ayu, aku pulang dulu ya. Udah dijemput."

"Oke, hati-hati ya."

Yuli melambaikan tangan dan meninggalkan mereka, dan sempat menuju tempat anak Petir yang lain berkumpul, dan berpamitan dengan mereka.

Yuli kelihatannya menyenangkan, tapi entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Yuli, yang membuat Ayu tidak terlalu menyukainya.

Halah, mungkin karena lo liat dia pertama kali pas adegan mesranya bareng Sigit. Dasar cemburuan, kata batin Ayu mengejek.

Nggak, gue nggak cemburu, elak Ayu kuat-kuat, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

"Dia model tetap setiap MV Petir," kata Rini tiba-tiba, dan Ayu langsung menoleh.

"Apa, Mbak?"

Rini menoleh kepada Ayu, dan senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Kamu nggak perlu khawatir. Dia hanya berteman dengan para anggota Petir."

Ayu tersenyum tipis.

Emang perasaan gue segitu kentaranya ya?

****

Pukul delapan malam, akhirnya seluruh proses syuting selesai. Setelah berganti pakaian, Sigit langsung mendekati Ayu.

"Yuk, pulang."

"Lho? Willy?"

"Dia balik bareng Bang Edo. Kan searah. Saya doang yang nebeng kamu. Yuk, tar kemalaman."

Ayu mengernyit, dan menatap penuh tanya pada gerombolan personel Petir yang baru keluar dari tempat ganti.

Willy meringis saat melihatnya, dan melambaikan tangan pada Ayu, mulutnya mengucapkan maaf tanpa suara. Mungkin dia minta maaf karena membiarkan Ayu berdua dengan Sigit, entahlah.

"Mau pulang, Dek? Hati-hati ya. Jangan sampai diculik Sigit!" seru Edo sambil mengedipkan mata. Ayu tertawa.

"Bukannya saya yang nyulik, Bang? Nanti saya minta tebusan yang banyak. Masih perlu Sigit jadi bassist kan?"

"Culik aja nggak apa-apa. Loakin aja sekalian, Yu. Kita mah rela," sahut Rizal.

"Oh, kejamnya dirimu, Bang Rizal..." kata Sigit sambil bernyanyi, dan mereka tertawa.

Mereka bersenda gurau sebentar, sebelum akhirnya berpisah satu sama lain menuju mobil masing-masing.

Begitu sampai ke depan mobil Ayu, Sigit langsung menyodorkan tangan ke depan Ayu.

"Hah? Apa?" tanya Ayu tidak mengerti.

"Kunci."

"Hah?"

Sigit berdecak, dan merebut kunci dari tangan Ayu, lalu masuk melalui pintu pengemudi. Ayu dengan bingung, otomatis masuk melalui pintu sebelah kiri.

"Kamu mau nyetir?" tanya Ayu begitu dia membuka pintu.

"Iya. Masa kamu yang nyetir?"

"Ya, kupikir kamu mungkin capek, mending aku yang nyetir aja."

"Nggak, lah. Selama aku masih sanggup nyetir, aku nggak mungkin ngasih perempuan nyetirin aku. Apalagi kamu."

Ayu yang sudah duduk di dalam mobil dan selesai memasang seatbelt, terdiam saat mendengar perkataan Sigit. Lalu meliriknya dengan binar jenaka.

"Oh, lalu waktu di Tokyo, kamu nggak keberatan tuh aku yang nuntun kamu ke mana-mana."

"Apa hubungannya? Oh, masalah siapa yang bawa jalan? No, no. I don't mind."

Lalu tiba-tiba Sigit meraih tangan kanan Ayu dan menggenggamnya erat.

"Kalau hadiahnya adalah kamu yang nggak pernah melepaskan tanganku kayak gini, aku nggak keberatan disetirin, atau dituntun, atau kamu yang nge-lead."

Ayu merasakan wajahnya memanas, sementara Sigit bahkan tidak menoleh pada Ayu, namun terus saja menggenggam tangannya sembari menyetir.

"Ba-bahaya tahu, nyetir satu tangan gitu-"

"Nggak. Aku kan profesional. Nggak usah khawatir."

Sigit melirik Ayu dan mengedipkan matanya, yang sontak membuat Ayu tertawa geli dan menghilangkan rasa gugup dan malunya.

Ayu langsung memukul lengan Sigit menggunakan tangannya yang bebas.

"Dasar gila ya kamu. Mulut kamu dituangin berapa kilo gula sih? Manis banget. Aku kan jadi malu."

Sigit tertawa.

"Empat puluh delapan kilo."

Ayu menelengkan kepalanya, bingung.

"Empat puluh delapan kilo? Kok kayak berat-"

"Kan kamu yang jadi gulanya."

Ayu menganga. Lalu memukul tangan Sigit dengan keras.

"Kok kamu bisa tahu berat badanku?????"

***

Sigit membawa mobil Ayu ke parkiran, dan menghentikannya di depan pintu masuk yang langsung berhadapan dengan lift penghuni.

"Aku pinjem mobil kamu dulu ya. Besok kukembalikan."

"Oke."

Lalu mereka berdua sama-sama terdiam.

"Yu..."

"Ya?"

"Boleh mampir?"

Sigit mengira dia akan kembali ditolak, seperti hari-hari sebelumnya. Namun dia terkejut saat melihat Ayu mengangguk pelan.

"Kamu belum makan kan? Kalau mau, ayo makan dulu, baru kamu pulang."

Bola mata Sigit membesar. Dia sampai mengerjabkan matanya beberapa kali, dan menatap Ayu dengan takjub.

"Beneran?"

Ayu berdecak, malu.

"Nggak jadi deh. Nggak usah. Anggap aja aku nggak ngomong apa-apa."

"Ehh, jangan gitu. Perkataan yang sudah keluar nggak boleh ditarik kembali," kata Sigit cepat, tidak mampu menyembunyikan seringai lebar di wajahnya. Dengan terburu dia membawa mobil Ayu dan memarkirkannya di salah satu slot yang tersedia, lalu mematikan mesinnya. Lalu Sigit dengan cepat turun dari mobil dan segera membukakan pintu untuk Ayu.

"Yuk, turun," katanya cepat, dan Ayu jadi tidak mampu menahan tawanya.

"Kalau orang nggak kenal kamu, mereka akan ngirain kamu bocah lima tahun yang mau dikasih segunung hadiah," kata Ayu sambil tertawa, membiarkan Sigit meraih tangannya dan menggandengnya turun dari mobil menuju lift penghuni.

"Aku memang akan menerima banyak hadiah," kata Sigit, lalu matanya menatap Ayu. "Kita makan apa?"

"Maunya?"

"Terserah kamu."

"Aku nggak bisa masak."

Pintu lift terbuka, dan Sigit menggandeng Ayu masuk, dan menekan tombol dengan nomor lantai unit Ayu.

"Ada bahan makanan?"

"Ada sosis, nugget, chicken wing, telur-" Ayu berhenti karena Sigit tertawa.

"Kamu bener-bener nggak bisa masak ya?"

"Iya lah, masa aku bohong?"

Pintu lift terbuka di lantai tempat unit Ayu berada, dan Sigit menggandeng Ayu keluar dari lift menuju unit Ayu.

"Ya siapa tahu kamu merendah."

"Beneran. Aku nggak pernah harus bisa masak."

Sigit melepaskan tangan Ayu supaya dia lebih mudah mencari kunci dan membuka pintu apartemennya.

"Kukira kamu tinggal berdua dengan almarhum Papamu dulu."

"Ya? Terus?"

"Kalian nggak makan masakan rumah?"

Ayu mengunci pintu setelah mereka berdua masuk, berbalik menatap Sigit, dan menelengkan kepalanya.

"Nggak juga. Ke manapun kami pergi, selalu ada perempuan yang jatuh cinta dengan Papaku dan sukarela menyediakan makanan untuk kami."

"Hah?"

"Keren kan? Tapi seharusnya aku minta mereka mengajariku memasak masakan khas negara mereka, tapi aku malas. Kamu bisa masak?"

"Sedikit. Aku sering membantu petugas masak di panti asuhan kalau sedang senggang."

"Gimana kalau delivery saja?" tanya Ayu sembari mengambil setumpuk kertas pesan antar, lalu duduk di sofa sambil melihatnya satu per satu. Sigit mengambil tempat tepat di sebelah Ayu, dan ikut melihat-lihat.

Tanpa mereka sadari, posisi duduk mereka begitu dekat, dan Sigit secara otomatis merangkul bahu Ayu sementara tangannya yang lain menunjuk menu makanan yang kelihatan menarik.

Sigit bisa mencium wangi rambut Ayu dan aroma tubuhnya yang unik, yang pertama kali membuatnya tertarik pada Ayu, dan tanpa sadar dia menempelkan hidungnya di sisi kepala Ayu dan menarik nafas panjang.

"Kamu wangi."

"Hah?" Ayu menoleh bingung akan perubahan topik yang tiba-tiba ini, dan Sigit justru menyurukkan hidungnya di sisi leher Ayu.

"Ih, geli, Git..." Ayu mendesah lirih, merasakan nafas Sigit menggelitik lehernya. Dia berusaha menghindar, namun tangan Sigit menahannya.

"Stt, bentar aja," bisik Sigit, dengan sengaja menempelkan bibirnya di ceruk leher Ayu yang sehalus porselen - menurut Sigit.

"Tapi geli..."

"Iya, aku tahu. Sebentar ya, aku kangen."

Ayu langsung diam, membiarkan Sigit mengendusi lehernya, dalam hati bingung.

Wangi dari mana deh, gue kan seharian di luar. Lepek, panas, bau. Aneh-aneh aja, batin Ayu, mulai merasa gerah.

"Jadi pesen makan apa, nih?" tanya Ayu, berusaha konsentrasi, walaupun sulit. Nafas hangat Sigit menggelitik lehernya, membuatnya ingin menggigit Sigit karena gemas, namun lemah karena jantungnya berdentum kencang, menghabiskan seluruh energinya.

"Kamu pilih aja," bisik Sigit, sama sekali tidak membantu.

"Nggak boleh cium, Git..." kata Ayu sambil menggeliat, saat merasakan sesuatu yang basah menyentuh lehernya, membuat tubuhnya seketika meremang.

"Nggak cium kok. Beneran."

"Tapi kamu jilatin leher aku..."

"Ya, kan beda. Bukan cium."

"Git..."

Sigit menghela nafas panjang, dia menjauhkan kepalanya dari ceruk leher Ayu, dan menatapnya tajam.

"Dasar perusak kesenangan."

"Dasar mesum. Menjilat itu lebih parah dari mencium, tahu?"

"Nggak, aku nggak tahu," elak Sigit, dengan wajah kecut. "Aku pengen cium kamu, tapi kamu bilang nggak boleh. Oke, aku terima. Tapi biarkan aku sekali-kali kayak gini. Aku nggak kuat, Yu."

"Katanya otaknya nggak hanya berisi seks..."

"Ya, emang nggak," kata Sigit, berbohong sedikit. "Tapi aku perlu menyentuh perempuan yang aku sayang. Apalagi dia ada berada di dekatku sekarang."

Wajah Ayu semakin memerah.

Sedikit banyak dia menyesal membiarkan Sigit mampir ke apartemennya. Tapi dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berusaha mengenal Sigit lebih lagi. Dan kalau hari ini Sigit tidak mampir, mungkin Ayu nggak akan pernah tahu ucapan Sigit yang ini, yang terdengar manis dan manja di telinga Ayu.

"Aku janji nggak akan macam-macam. Peluk-peluk dikit nggak apa-apa ya. Pas kita berdua aja," kata Sigit sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.

"Tadi kamu nggak cuma peluk-peluk dikit, Git. Kamu jilat-jilat-"

"Iya, aku nggak jilat-jilat. Peluk-peluk aja."

Ayu menghela nafas panjang. Lalu mengangguk.

"Ya udah."

Sigit tersenyum lebar, dan menarik Ayu masuk dalam pelukannya. Dengan lembut Sigit menyenderkan kepala Ayu di dadanya, dan tangannya yang satu lagi membalik-balik kertas pesan antar.

"Jadi makan yang mana, ya?"

Ayu menghela nafas panjang mendengar nada suara Sigit yang berubah menjadi lebih ceria, lalu ikut memperhatikan kertas pesan antar, sementara suara detak jantung Sigit yang cepat dan teratur memenuhi indera pendengarannya.

Rasanya menyenangkan, dan menenangkan. Seperti terlindungi.

Tbc

Kok mereka cute ya? 🙄

Sorry for typos

Sampai ketemu di part selanjutnyaa..


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro