ni - jū roku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke - 150

Satu bulan dilewati mereka dengan sibuk - amat sangat sibuk. Sibuk latihan, sibuk promosi, sibuk mengurus vendor dan tetek bengek lainnya. Puncaknya saat seminggu sebelum berangkat, Rini masuk rumah sakit akibat kelelahan. Untung saja kandungannya baik-baik saja, dan Rini hanya perlu istirahat total. Akibatnya beban pekerjaan Ayu bertambah. Ayu sampai mensuplai vitamin dan terpaksa menelan madu yang tidak dia suka supaya tidak ikutan tumbang. Tukang suplai madunya siapa lagi kalau bukan gebetannya tersayang, yang akhirnya merayu slash memaksa Ayu ikut minum madu supaya tetap fit.

Mereka berangkat pukul sebelas malam ke Medan, kota pertama dalam rangkaian tur mereka, dengan pesawat carteran. Begitu tiba di hotel, Ayu langsung membagi kartu kamar dengan cepat, dan mereka semua masuk ke kamar untuk tidur. Mereka bangun pagi, sarapan, gladi kotor, makan siang, gladi bersih, makan sore, lalu konser.

Jam setengah sebelas semuanya beres, dan Ayu mengarahkan semua personil Petir untuk kembali ke hotel.

"Kamu nggak ikut balik, Yu?" tanya Yudi saat Ayu tidak ikut naik ke mobil bersama mereka. Ayu menggeleng. Masih ada yang harus dia urus dengan kru panggung mengenai evaluasi hari ini.

Lalu Rizal, yang duduk di sebelah jendela yang paling dekat dengan Ayu, berbisik, "jangan lewat jam dua belas ya. Kita jadi mau surprise."

"Oke, Bang," jawab Ayu dengan wajah datar, padahal dia tersenyum dalam hati.

Ada gunanya juga menjadi manajer Sigit- manajer Petir. Dia tahu kapan hari ulang tahun Sigit tanpa harus mencari tahu di google atau bertanya pada yang bersangkutan.

Ayu melambaikan tangan kepada mereka semua, dan berbalik masuk ke dalam ruangan, saat ponselnya berdenting.

Sigit : pas balik kabarin ya.

Ayu : ok.

Sigit : kamu udah makan? Aku nggak liat kamu makan tadi.

Ayu : udah. Tadi aku makan pas kalian mulai.

Sigit : oke, see you.

Ayu : see you.

Ayu menutup ponselnya dan kembali pada pekerjaannya. Dia harus cepat, karena habis ini dia masih harus mengambil kue ulang tahun Sigit dan menyiapkan kejutan, sebelum Sigit mencarinya lagi.

***

Ayu baru saja di-drop di lobby hotel oleh sopir yang mereka sewa untuk antar jemput selama di Medan dan dia melirik jam tangannya sambil berjalan cepat menuju lift hotel, dengan salah satu tangan menjinjing kantong kue.

Setengah dua belas.

Dia harus cepat.

Lift membuka di hadapannya, dan Ayu masuk, memencet nomor lantai tempat dia dan seluruh personil menginap - mereka menyewa dua lantai full untuk semua kru tur konser ini - lalu menyender di dinding untuk merileks-kan tubuhnya.

Ponsel Ayu berdering nyaring, dan Ayu buru-buru mengangkatnya. Ternyata dari Edo.

"Dek Ayu... Sudah sampai mana?"

"Lift."

"Oh... Langsung ke kamar Willy ya, nggak dikunci kok. Kita semua udah di sini."

"Oke, Bang."

Ayu memutuskan sambungan tepat saat lift berhenti di lantai yang dia tuju, lalu Ayu buru-buru masuk ke kamar Willy yang sengaja dibiarkan terbuka, dan menutup pintunya.

"Akhirnya sampe juga, Yu," kata Yudi yang langsung mengambil alih kue dari tangan Ayu dan menyiapkannya. Ayu menjatuhkan diri di sofa, dan menarik nafas.

"Capek banget kayaknya, Yu."

"Baru pulang nih, Bang. Wah, pada udah sempet mandi ya? Aku paling bau kayaknya di sini."

"Tenang aja, Yu. Buat Bang Edo, kamu selalu wangi kok."

"Aduh, Bang. Lagi capek nih, nggak bisa nanggepin," balas Ayu sambil memejamkan matanya, namun ponselnya kembali berdering. Melihat nama yang berkedip di layarnya, Ayu tanpa sadar memaki pelan.

"Siapa?"

"Sigit."

"Angkat deh, tar dia curiga."

Ayu menggeser tombol hijau di ponselnya dan mendekatkannya ke telinga.

"Ya?"

"Kamu udah di mana? Belum pulang juga?"

"On the way. Bentar lagi sampe."

"Kalau udah sampe kabarin ya."

"Oke.."

Ayu menutup ponsel, lalu bangkit berdiri sambil melirik jam tangannya. Sebelas empat puluh.

"Aku balik kamar dulu deh, cuci muka. Ngantuk banget. Kalau udah mau surprise, ketok kamar aku ya, Bang."

"Oke, Yu. Jangan ketiduran ya," kata Yudi, dan dibalas dengan anggukan oleh Ayu.

Ayu keluar dari kamar Willy dan menuju kamarnya sendiri. Baru saja dia membuka pintu kamarnya, kamar Sigit yang berada di seberang kamarnya terbuka.

Ayu menoleh karena terkejut, dan Sigit keluar dari kamarnya, mendekati Ayu. Belum sempat Ayu bereaksi, Sigit sudah menarik Ayu ke kamar Sigit.

"Kamar aku-"

"-bakal kekunci otomatis. Sebentar aja, Yu."

Sigit menutup pintu kamarnya, dan Ayu mengernyit bingung saat Sigit berdiri di depannya, lalu menyodorkan sebuah kotak besar berbentuk silinder padanya.

"Apa ini?"

"Buka aja."

Ayu membukanya dengan penuh antisipasi, dan melotot saat melihat bunga mawar merah memenuhi kotak tersebut, dan sebuah kertas dengan tulisan yang Ayu kenali sebagai tulisan Sigit diletakkan di atasnya, berbunyi : Will you be my girlfriend?

"Oh, astaga, Git..." Ayu nyaris tidak bisa berkata-kata.

Karena sibuk, Ayu lupa kalau tenggat waktu perjanjiannya dengan Sigit sudah habis. Tapi mungkin ada bagusnya Ayu lupa, karena jika dia ingat, bisa-bisa dia hanya memikirkan Sigit dan mengabaikan pekerjaannya.

Tapi Ayu tidak menyangka Sigit akan menggunakan gaya klise untuk mengajaknya pacaran.

Kartu dan bunga.

Klise namun manjur, meluluhkan hati pencinta bunga seperti dirinya.

"Aku merasa balik ke masa sekolah, ditembak pakai bunga begini."

Sigit nyengir malu-malu.

"Aku nggak tahu cara nembak perempuan. Tapi karena kamu suka bunga, kupikir sebaiknya pakai bunga, tapi kalau buket, susah bawanya. Kita tur masih sebulan baru kelar, jadi kupesan pakai box. Apa kamu suka?" tanya Sigit, wajahnya ragu, setengah berharap, setengah khawatir.

Apakah Ayu akan menerimanya? Atau menolaknya? Tapi Ayu harus jadian dengannya. Ayu nggak boleh dengan yang lain. Ayu hanya miliknya.

"Suka. Tapi-"

"Tapi apa??"

"Masa kamu nembak aku pakai kertas? Ngomong langsung dong," kata Ayu pura-pura merajuk, dan Sigit langsung menarik nafas panjang.

"Ayu..." kata Sigit sambil meraih tangan Ayu, setelah menyingkirkan box bunga ke atas meja, "jadi pacarku ya."

Ayu mengernyit dalam, walaupun dalam hati dia tersenyum lebar. Rasanya ingin sekali mengerjai pria ini. Sebab itu, Ayu sengaja mengatur raut wajahnya, dan justru bertanya balik.

"Kenapa aku harus jadi pacar kamu? Apa yang membuat kamu yakin kamu pantas jadi pacar aku?"

Eh buset, ini gue sebenarnya ngajak pacaran apa melamar kerja ya? batin Sigit bingung.

"Karena aku cinta sama kamu, dan kamu juga cinta sama aku. Aku serius sama kamu, dan aku sudah melakukan janji aku untuk berubah, membuktikan ke kamu kalau penjahat kelamin dan playboy seperti aku bisa berubah jadi baik-"

Ayu tidak tahan lagi.

Astaga, dia bawel sekali, batin Ayu. 

"Aku mau."

"Hah? Apa?"

"Aku mau jadi pacar kamu."

Akhirnyaaa..... batin Sigit.

"Jadi aku boleh cium kamu sekarang?"

"Halah, biasanya juga main nyosor aja, nggak nanya-" perkataan Ayu terputus karena bibir Sigit membungkamnya. Satu kecupan ringan, dan Sigit tersenyum sumringah.

"Pacar, tidur di sini malem ini ya-"

"Wah, dikasih hati minta jantung," omel Ayu, dan Sigit terkekeh, sebelum kembali menempelkan bibirnya di bibir Ayu, dan mengulumnya lembut. Salah satu tangannya melingkari pinggul Ayu, menariknya supaya menempel pada Sigit, sementara tangan yang lain sudah menangkup bongkahan pantat Ayu dan meremasnya pelan.

"Git, jangan-" elak Ayu saat Sigit menggigiti telinganya, dan ponsel Ayu memilih saat ini untuk berdering nyaring.

Ayu langsung mendorong Sigit dan mengumpat dalam hati.

"Ya, Bang?"

"Siapa, Yu?" tanya Sigit curiga, dan Ayu mengabaikannya.

"Sorry, Bang. Bentar aku ke sana-"

Sigit merebut ponsel dari tangan Ayu dan wajahnya menggelap saat melihat nama yang tertera di layar. Namun tanpa bicara apa-apa, Sigit menenpelkan ponsel itu ke telinganya, mengabaikan Ayu yang berusaha merebut kembali ponselnya.

"-kita udah di depan kamar kamu. Digedorin dari tadi lho, Yu. Buruan, udah kelewatan-"

Sigit mematikan sambungan telepon dan menatap Ayu tajam.

"Kamu janjian dengan Bang Yudi?"

"Err.. Itu- eh, Git, mau ke mana??"

Sigit membuka pintu kamarnya, dan keempat pria yang menunggu di depan kamar Ayu langsung menoleh terkejut. Sigit sendiri terkejut saat melihat kue ulang tahun dengan lilin berbentuk angka dua dan enam menyala di tangan Willy.

Ayu buru-buru menyusul dan berdiri bersama personil Petir yang lain.

"Happy birthday, Sigit!" ucap mereka sumbang. Jika Ayu mengucapkannya sambil meringis, yang lain mengucapkannya masih dengan wajah terkejut.

Lalu Willy menoleh kepada Ayu.

"Bukannya kamu bilang mau balik ke kamar? Kok malah ke kamar Sigit?"

"Err, itu-"

"Udah jadian akhirnya?" tebak Rizal.

"Interogasinya ntaran aja, kasih kuenya ke Sigit dulu bisa kali," sela Edo. "Ntar keburu Sigit nelan kita idup-idup gara-gara gangguin dia berduaan."

Willy buru-buru menyerahkan kuenya pada Ayu, yang mendekati Sigit sambil membawa kue.

"Make a wish dulu baru tiup ya."

"Jadi kamu janjian dengan Bang Yudi buat ngasih kue?"

"Iya. Tadinya aku cuma mau balik ke kamar buat cuci muka dulu tapi kamu-"

"Keburu lumer semua lilinnya, woi! Tiup dulu bisa kali!" seru Rizal dengan nada meledek, dan Sigit meniup lilin dengan cepat.

"Thanks ya kalian," ucap Sigit, tersenyum tipis pada mereka semua, dan keempat rekannya mendekati Sigit dan merangkulnya erat.

"Jangan lupa makan-makannya."

"Eh, tapi musti dibedain sama pajak jadian ya."

"Enak aja pajak jadian. Bang Edo cere aja nggak dipalakin."

"Gue udah sedih masa lo tega palakin sih?"

"Sedih? Bukannya lo langsung pesta pora abis cere, Do?"

"Bangke. Nggak gitu juga kali."

Ayu tersenyum melihat interaksi para personil Petir. Dengan usia dan latar belakang yang berbeda, mereka bisa akrab dan saling menjaga satu sama lain.

"Ya udah, sekarang ke kamar Willy dulu, yuk. Kita udah nyelundupin Jack Daniel's."

Sigit melirik Ayu yang melotot kaget.

"Eh, tapi besok kalian harus bangun pagi-"

"Ikut aja, Yu."

"Tenang, kita udah beliin smirnoff- becanda deh, kamu nggak bisa minum kan? Eh, Tot, lo jadi beli susu nggak?"

"Susu cap beruang kan? Ada, Bang. Buat Ayu kan?"

"Tapi-"

"Sttt, udah ikut aja. Tenang, ada aku," bisik Sigit. Lalu Sigit merangkul pinggang Ayu dan berbisik pelan di telinganya, sehingga benar-benar hanya Ayu yang bisa mendengarnya, "tapi kita sebentar aja ya. Aku mau berduaan sama kamu."

Ayu langsung mencubit pinggang Sigit - walaupun sulit karena pinggangnya tanpa lemak - sementara wajahnya memerah.

"Mesum banget sih kamu."

***

Setengah jam kemudian mereka membubarkan diri, dengan sedikit terpaksa, karena Ayu mengancam akan melapor pada Rini jika mereka bandel.

Jadwal mereka sangat padat, dan Ayu tidak mau mereka kelelahan. Mabuk sih mungkin tidak, tapi mereka akan tidur sangat larut jika tidak segera dibubarkan.

"Good night, Ayu."

"Jangan mentang-mentang udah jadian, Ayu diajak ngeronda ya."

"Ogah banget ngeronda, Bang. Mending tidur," balas Ayu cepat, dan Yudi tertawa.

"Kamu tuh ya, abang sampai bingung kamu tuh beneran polos apa pura-pura doang."

"Polos beneran, Bang," jawab Sigit sambil nyengir, melambaikan tangan mengusir mereka masuk ke kamar masing-masing.

Begitu yang lain masuk, Sigit menghadap Ayu yang sedang membuka pintu kamarnya.

"Aku mampir ya."

"Hah? Ngapain? Udah, tidur aja. Aku capek. Besok kalian musti bangun pagi, sarapan, lalu kita langsung berangkat ke Palembang, ingat?"

Sigit langsung merengut.

Sial, udah jadian tetap saja dianggurin, batin Sigit kesal.

Ayu yang menyadari perubahan raut wajah Sigit, mendekatinya dan tiba-tiba mengecup dagunya - karena Sigit tidak menunduk dan Ayu tidak bisa mencapai bibir Sigit.

"Nanti, setelah semua ini kelar ya. Sekarang kamu perlu istirahat, aku juga. Good night, Sigit."

Tanpa menunggu respon Sigit, Ayu berbalik dan masuk ke kamarnya. Begitu pintu tertutup, Ayu jatuh terduduk dan menyentuh dadanya, tempat jantungnya berdegup seperti orang gila.

Astaga, janji macam apa yang dia ucapkan barusan? Jangan sampai Sigit salah paham dan menganggapnya mau melakukan-

Ayu buru-buru menggelengkan kepalanya.

Nggak, Sigit pasti tahu bukan itu maksud gue, batin Ayu berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Tapi sekarang mereka pacaran-

Ayu kembali menggelengkan kepalanya.

Nggak, bukan berarti pacaran terus boleh melakukan lebih.

Oh, astaga, batin Ayu sambil menyentuh pipinya yang memerah. Gue pacaran dengan Sigit.

Ayu mencubit pipinya sendiri dan mengaduh kesakitan.

Gue nggak mimpi.

***

Di luar, Sigit masih terpaku menatap pintu kamar Ayu yang sudah tertutup. Di dalam pikirannya, pertanyaan demi pertanyaan timbul.

Apa maksud Ayu barusan?

Maksudnya kami baru bisa berduaan nanti setelah serangkaian tur ini kelar?

Atau gue nggak boleh mampir ke kamarnya sama sekali selama tur?

Jadi gue baru boleh ke kamarnya setelah kami pulang?

Ke kamarnya sama dengan ke apartemennya.

Apa Ayu mencoba menawarkan gue-

Nggak, nggak mungkin.

Ayu nggak mungkin mau ngelakuin itu sama gue.

Bukan berarti gue nggak menarik.

Kenapa gue jadi ngelantur?

Ya, pasti maksud Ayu kami baru bisa berduaan nanti, setelah semua kelar, karena jadwal kami sangat padat.

Ya, pasti itu.

Sigit mengacak rambutnya frustasi.

Sejak kapan gue musingin hal beginian? Biasanya juga santai-santai aja.

Ya udahlah, paling ntar gue nyolong-nyolong waktu aja. Gampang. Yang penting Ayu udah jadi pacar gue.

Nggak ada lagi ngengat-ngengat pengganggu yang akan gue biarkan tebar pesona sama Ayu kayak dulu.

Ayu punya gue.

Tbc

Semoga suka.

Sorry for typos.

Kalau ada yang kurang greget, maafkan saya...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro