ni jū - go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part ini panjang banget sih. Nyaris 4000 kata. Saya berusaha menebus libur saya yang sangat panjang, nyaris sebulan lebih. Apakah saya dimaafkan? 😣😣

Selamat membaca, semoga suka..

-----------------------------------------------------

Hari ke - 118

Setelah penundaan selama lebih dari dua minggu, akhirnya single terbaru Petir diluncurkan hari ini. Sejak pagi Rini sudah mengatur tetek bengek di Bloom Cafe - Kafe milik Flo - yang dijadikan tempat konferensi pers untuk peluncuran kali ini, sementara Ayu sibuk memastikan kelima anggota Petir datang on time.

Ayu duduk di meja resepsionis kantor manajemen musik Petir, menunggu lima pria itu berkumpul, lalu mereka bersama-sama menuju tempat press-con, sembari sesekali berbalas pesan dengan Rini.

"Hei, Yu. Pagi amat?" sapa Rizal sambil melambaikan tangannya. Ayu mendengus.

"Pagi? Bang Rizal mabok ya? Udah terang benderang gini kok pagi."

"Sorry deh, Dek Yu. Yang penting Bang Rizal datangnya nggak telat kan?"

"Telat. Tapi karena Bang Rizal datang pertama, dimaafkan."

"Wazzupp yooo," sapa Willy dengan sumringah, dan Ayu melotot saat melihat warna rambutnya berubah menjadi hijau mint.  

"Kemarin masih pirang kan???" 

"Ganti suasana, Yu. Bagus kan?"

"Buset, Tot. Permen dari mana sebanyak itu sampai bisa lo tempel di kepala?"

Willy mengumpat saat mendengar ledekan Rizal, tapi Ayu tidak terpengaruh. Dia masih melotot shock.

"Yakin kamu nggak bakal dimarahin Mbak Rini?"

"Udah biasa kok. Palingan kayak waktu itu."

"Oh, pas lo cat rambut jadi ungu itu ya?"

"Ungu??"

"Eh, buset. Bencong darimana bisa masuk sini- oh, ternyata si Bontot," sapa Yudi yang baru saja datang berbarengan dengan Edo.

"Sialan Bang," gerutu Willy, dan Ayu akhirnya tertawa. Willy cocok memiliki rambut warna warni begini, karena wajahnya cantik, mirip idol Korea. Tapi dia kelihatan sangat kebanting di antara personil yang lain yang wajahnya sangat Indonesia, apalagi Rizal yang brewokan dan berambut panjang ikal berantakan.

"Tinggal Sigit yang belum muncul ya?" tanya Yudi, dan Ayu mengangguk. Edo langsung bergerak mendekati Ayu, dan berdiri di sebelahnya walaupun tanpa bersinggungan dengan Ayu.

"Mumpung gorilanya belum datang, boleh dong Abang ngobrol asyik sama Dek Ayu."

"Lho, emangnya kapan Bang Edo nggak boleh ngobrol sama saya?"

"Ya boleh sih, tapi Dek Ayu nggak liat mukanya si Gorila tiap Abang ngajak Dek Ayu ngobrol? Rasanya Bang Edo udah mau dikuliti hidup-hidup. Serem banget."

"Kalau serem, jangan berdiri dekat-dekat Ayu, Bang."

Ayu dan Edo langsung menoleh dan melihat Sigit yang menatap keduanya tajam.

"Mampus, Do," bisik Rizal dari belakang, dan Edo malah mendekati Ayu dan berbisik, "Tolongin Bang Edo, Yu. Nanti kalau Bang Edo dikuliti, nggak ganteng lagi dong."

Ayu tertawa geli, sementara Sigit masih menatap mereka berdua dengan galak.

"Bang Edo..." panggil Sigit dengan nada penuh ancaman, dan Edo mengangkat tangannya tanda menyerah. Dia mengambil satu langkah menjauh dari Ayu dan melempar senyum kecut pada Sigit.

"Nggak asik, lo."

"Baru juga duda sebulan udah ganjen, Bang," kata Sigit sambil membenarkan posisi tasnya, lalu menatap Ayu.

"Sorry telat."

Ayu mendengus.

"Aku jadi ngerti kenapa Mbak Rini nyuruh aku ngasih kalian jadwal yang satu setengah jam lebih awal dari yang asli. Kalian sangat lelet, kayak nenek-nenek sakit pinggang."

"Eh, buset, nenek-nenek dibawa-bawa. Kasian, Dek Yu," sahut Edo.

"Aduh, Yu. Udah cukup Rini doang yang judes, kamu jangan ikutan dong," keluh Yudi, dan Ayu tertawa.

"Ya udah, karena sudah lengkap, ayo semua naik ke mobil, kita berangkat," kata Ayu mengalihkan topik.

Dia mengambil tas selempangnya, berjalan mendahului mereka semua yang mengekorinya sambil saling melempar ledekan.

Semua peralatan yang memakan tempat dibawa dengan satu mobil, sementara Ayu dan semua anggota Petir akan naik mobil yang lain.

Di dalam mobil mereka saling melempar ejekan, terutama untuk Edo yang tiba-tiba diterpa gosip pasca-perceraiannya. Setelah proses perceraiannya selesai, sekarang Edo dikabarkan dekat dengan salah satu aktris FTV, walaupun Edo membantah keras. Ayu sampai geleng-geleng kepala.

Mereka tiba di tempat press-con setengah jam kemudian, dan Ayu langsung mengambil alih beberapa pekerjaan Rini yang mengharuskannya bergerak mondar-mandir, supaya Rini tidak kelelahan. Dan dalam waktu sepuluh menit, semuanya sudah siap.

Ayu mendudukkan dirinya di kursi sebelah Rini di meja bar, dan memperhatikan para personil Petir yang duduk di balik meja press con, di sebelah panggung kecil tempat alat band berada. Di hadapan mereka sudah berkumpul banyak sekali wartawan dan media, dan segerombolan besar perempuan muda yang Ayu yakini adalah anggota fans club Petir.

Acara dimulai dengan kata sambutan oleh produser musik dan Bang Yudi selaku ketua Petir, lalu mereka akan memainkan ketiga lagu single terbaru Petir kepada umum untuk pertama kalinya, lalu dilanjutkan sesi tanya jawab, dan ditutup dengan sesi foto dan tanda tangan untuk para fans setia.

Ayu mendengarkan sembari memperhatikan reaksi para audience, yang kelihatannya menerima dengan positif. Saat ketiga lagu selesai dimainkan, tepuk tangan terdengar begitu keras dalam ruangan kafe ini. Ayu melempar senyum kepada Rini dan ikut bertepuk tangan.

Saat sesi tanya jawab, rata-rata reporter menanyakan tentang single yang mereka luncurkan, namun tak jarang ada juga yang pertanyaannya sedikit melenceng, dan justru bertanya mengenai perceraian Edo dan skandal yang menerpa Sigit beberapa minggu yang lalu. Untung saja para personil Petir bisa menanggapinya dengan baik.

Ayu melihat kepada para personil Petir yang saat ini berkeliling dan berfoto dengan para fans mereka, sementara para wartawan sudah membubarkan diri, tidak berniat mengganggu waktu para fans dengan idola mereka.

Lalu matanya bertemu dengan mata Sigit, dan Sigit melemparkan kedipan padanya, membuat Ayu tersenyum geli.

Dasar centil, batin Ayu.

Namun fansnya, seorang gadis muda yang sepertinya masih sekolah, menangkap interaksi Sigit dan ikut menoleh kepada Ayu dengan bingung, lalu kembali menatap Sigit. Lalu tiba-tiba senyumnya merekah.

"Mas Sigit!" jerit gadis itu, dan Sigit kembali memfokuskan diri pada fansnya tersebut.

"Saya ngefans dengan Mas Sigit sejak pertama kali Mas Sigit jadi personil Petir, tiga tahun yang lalu. Dan selama ini Mas Sigit tidak pernah menciptakan lagu bertema cinta. Tapi kali ini, lagu yang Mas Sigit buat benar-benar indah. Semoga Mas Sigit menemukan cinta di tahun ini, dan pacarannya yang awet ya," kata fans itu sambil menyodorkan kotak berbungkus kertas kado kepada Sigit. Sigit menatap fans itu dengan bingung, sementara gadis itu terus tersenyum lebar. Di belakangnya, fans Sigit yang lain ikut menyahut, "Iya, Mas. Yang langgeng ya! Cari yang baik, jangan kayak Susan! Pelakor tuh!"

Ayu melongo.

Buset, ini fans mendukungnya gaya hardcore juga. Masa Susan, mantan Sigit yang terakhir, dikatain pelakor. Berita darimana tuh?

Rini di sebelah Ayu terkekeh pelan.

"Fansnya Sigit juga udah stress kali ya, melihat idolanya suka gonta ganti pacar, sampai-sampai didoain begitu."

Ayu ikut nyengir, matanya masih memperhatikan Sigit dan fansnya.

Sigit tersenyum lebar, raut kebingungan di wajahnya sudah hilang saat menyadari apa yang fansnya maksudkan.

"Kalian perhatian banget sama saya, thanks ya."

***

Mereka kembali ke kantor dengan mobil yang sama seperti mereka berangkat.

"Habis ini ada jadwal apa lagi, Yu?" tanya Yudi dari bangku depan. Ayu yang duduk di barisan tengah membuka catatannya dan mulai membaca.

"Nggak ada sih, Bang. Tapi besok ada wawancara ke Radio Batavia jam sembilan pagi, lalu Di TV jam dua belas. Lalu variety show di Satu TV jam lima sore."

"Batavia doang radionya?"

"Nggak, Will. Lusa kalian akan ke dua stasiun radio yang lain, lalu besoknya lagi kalian ada jadwal di radio lain lagi untuk promosi, lalu-"

"Woah, satu-satu, Yu. Besok punya dulu aja. Kita dikasih tahu banyak-banyak malah lupa ntar," potong Bang Rizal buru-buru, dan Ayu nyengir sambil menutup catatannya.

"Ya sudah, nanti aku chat atau telepon saja ya, Bang. Tolong jaga kesehatan. Satu bulan lagi tur."

"Aduh, Dek Ayu perhatian banget. Abang jadi terharu," kata Edo yang langsung mendapat cibiran dari Rizal.

"Nggak cuma lo sih, yang diperhatiin. Dasar baperan."

"Nggak seneng aja lo. Cowoknya aja nggak kenapa-kenapa."

"Lho? Siapa bilang gue nggak kenapa-kenapa?"

"Lho? Siapa yang punya cowok, Bang?"

Sigit dan Ayu mengucapkannya bersamaan, lalu mereka saling menatap dengan pandangan yang berbeda. Ayu kebingungan, dan Sigit menatapnya dengan kesal.

Edo langsung tertawa ngakak.

"Lo nggak diakui, Git. Makan tuh!!"

"Lho kan emang belum pacaran," jawab Ayu yang membuat Edo semakin semangat mencela Sigit, yang wajahnya sudah ditekuk sembilan saking dongkolnya. Matanya menatap Ayu tajam, membuat Ayu semakin bingung.

Emang gue salah apa ya? batin Ayu bingung.

***

Ayu baru saja sampai di rumahnya Willy, saat Irene dan William keluar dari rumah.

"Halo, Tan, Liam."

"Halo, Yu. Aduh pas banget kamu datang. Temenin Liam ke supermarket ya. Ada bahan yang kurang," kata Irene. Belum sempat Ayu menjawab, kepala Willy muncul dari balik pintu dan mendelik kepada ibunya.

"Lho, Mam, bukannya Mami nyuruh aku yang nemenin Li-"

Ayu melongo saat Irene mendorong kepala Willy masuk kembali ke balik pintu, dan kembali melihat Ayu dengan senyum lebar.

"Nyuruh dua anak cowok yang belanja, bisa-bisa ada yang nggak kebeli. Kamu aja yang nemenin ya, Yu. List-nya udah ada di Liam."

Ayu menatap Liam dengan bingung, dan Liam hanya mengangkat bahu. 

"Baiklah, Tan."

"Oke, thank you, Yu. Hati-hati ya kalian."

Lalu Irene tersenyum dan kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan Liam dan Ayu berdua dalam keheningan.

"Yuk," kata Liam, memecah keheningan diantara mereka berdua.

Ayu akhirnya naik ke mobil Liam, dan Liam langsung menyodorkan kertas pada Ayu.

"Itu yang musti dibeli."

Ayu membaca isi kertas itu lalu mengernyit.

"Ini nggak ada di supermarket biasa. Musti yang supermarket barang impor. Di dekat sini ada nggak?"

"Ada, di jalan samping tol," kata Liam sambil menyalakan mesin mobil, lalu melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah.

"Oke deh. Eh, sebenarnya hari ini ada acara apa ya? Kok kayaknya tante Irene rempong banget?"

"Ulang tahun Wina."

"Wina? Wina kakak perempuan kamu?" Liam mengangguk, lalu Ayu melongo.

"Lalu ngapain aku dipanggil datang hari ini??"

Liam mengangkat bahu.

"Kayaknya Mami cerita soal kamu ke Wina, dan dia pengen ketemu kamu. Katanya dia penasaran, kayak apa perempuan yang dianggap anak oleh Mami."

"Hah?? Tapi masa pas ultahnya dia??"

"Dia lagi dapat kerjaan di Dubai, dan jarang libur. Ini saja dipaksa Mami pulang. Besok dia sudah balik lagi ke Dubai."

"Err.. Apakah Papa kamu-" Ayu menggigit bibirnya, merutuki mulutnya yang lupa diresleting. Bertanya tentang keluarga Liam adalah hal yang pribadi, dan Ayu tidak yakin hubungan mereka cukup dekat untuk membahas itu.

Ayu sudah tahu kalau Irene bercerai dengan ayahnya Liam saat Willy baru berusia tiga tahun. Hak asuh anak jatuh di tangan sang ayah, kecuali Willy yang dianggap masih memerlukan sosok ibunya.

Padahal, menurut Ayu, semua anak memerlukan sosok orangtuanya secara utuh.

Tapi mau bilang apa, dia juga tumbuh hanya dengan sosok ayah, tanpa ibu.

Menurut Ayu ini menjadi topik sensitif, karena kurang dari satu tahun setelah bercerai, Ayahnya menikah lagi, memberikan Liam dan Wina sosok ibu tiri dan adik baru. Walaupun Liam tampak biasa saja saat Irene bercerita tentang kisah masa lalunya pada Ayu, tapi Ayu sampai saat ini belum tahu karakter Liam seperti apa, apa yang sebenarnya dia rasakan, kecuali saat dia mabuk berat paska diputusin Yuli tempo hari.

Namun ternyata Liam berpikiran beda.

"Kenapa dengan Papa aku? Ngomong aja, Yu."

"Nggak, nggak apa-apa."

"Apa dia bakal datang nanti?" tebak Liam, dan Ayu diam. Liam mendengus pelan.

"Nggak. Wina sudah makan siang bareng keluarga Papaku tadi siang. Nanti malam khusus kami berempat, tambah kamu."

"Oh..."

Liam membelokkan mobil masuk ke pelataran parkir dan memarkirkan mobilnya di salah satu slot yang tersedia.

"Yuk."

***

Liam membawa kantung plastik berisi barang belanjaan mereka, dan Ayu berjalan di sampingnya, menuju pelataran parkir saat tiba-tiba ada yang memanggil Liam.

"Kak William?"

Ayu dan Liam menoleh, dan melihat serombongan gadis menatap mereka ingin tahu. Salah satu dari mereka, yang wajahnya paling cantik tersenyum cerah dan mendekati William.

"Hai, Shan. Jalan-jalan?"

"Iya, mau dinner cantik di resto lantai atas bareng temen kuliah. Kakak ngapain di sini? Belanja?"

Ya iyalah, nggak liat itu belanjaan di tangan Liam? Heran deh, udah kentara gitu masih ditanyain. Dasar kebiasaan basa-basi orang Indo, gerutu Ayu sewot.

"Iya."

"Oh, buat acara kak Wina bareng Tante Irene ya?" Liam mengangguk, dan Ayu menatap ekspresi wajah Liam. Kaku dan datar, seperti biasa.

Lalu gadis itu seperti baru menyadari keberadaan Ayu.

"Lho? Kakak sama siapa? Pacar baru?"

Ayu melotot, sementara Liam langsung menjawab.

"Bukan. Temen."

"Oh," kata gadis itu, lalu tersenyum ceria kepada Ayu, sambil mengulurkan tangan. "Halo, aku Shania, adik tiri William."

Oh, adik tirinya, batin Ayu, sambil menyambut tangan Shania. "Masayu."

"Oke, ya sudah, aku mau naik dulu. Bye, Kak. Salam buat tante Irene," kata Shania yang melempar senyum sekali lagi, sebelum kembali ke rombongan teman-temannya.

Ayu mengikuti Liam menuju mobilnya yang terparkir, dan naik ke mobilnya dalam diam.

Dan sepanjang perjalanan, mulut Liam terkatup rapat.

***

Ayu mengikuti langkah Liam masuk ke area dapur, dan menemukan sosok Irene, Willy, dan Wina yang Ayu kenali dari foto di ruang tamu, sedang mengobrol sambil mengocok telur - kegiatan yang terakhir hanya dilakukan oleh Irene, sementara dua yang lain duduk santai tanpa melakukan apa-apa.

Wina langsung menoleh saat melihat Ayu dan bangkit berdiri sambil tersenyum cerah.

"Jadi ini yang namanya Ayu? Halo, Ayu, kenalin, saya Wina Alisha Tanama, kakak dua bocah ini."

Wina tersenyum lebar, menampakkan barisan gigi yang putih yang dibingkai oleh bibir berpulas lipstik merah marun, dan Ayu ikut tersenyum. Penampilan Wina berbeda dengan foto di ruang tamu. Wajahnya dipulas dengan make up tipis dan rambutnya yang sebahu dicat coklat terang, belum lagi ditambah sederetan tindikan di telinga kanan dan kirinya, dan tato kecil berbentuk mawar di sela antara jempol dan telunjuk tangan kanannya yang terlihat oleh Ayu saat Wina menyodorkan tangannya untuk menyalami Ayu. Namun yang paling mencolok dari semuanya adalah aura percaya dirinya yang menguar dengan kuat, membuat Ayu sedikit merasa terintimidasi.

"Masayu Aryanti. Happy birthday, Kak Wina," kata Ayu, yang tahu dari Liam kalau usia Wina cukup jauh di atas mereka.

"Boleh panggil Ayu juga? You can call me Wina. Si bocah songong ini lebih muda dari kamu, dan dia memanggilku tanpa embel-embel kakak atau teteh, padahal dia lebih muda delapan tahun dariku."

"Heh! Siapa yang songong?? Kamu tuh yang songong. Mentang-mentang GM Shangri-la!" seru Willy tidak terima, dan Wina berkacak pinggang sambil menatap adiknya.

"Kamu juga songong! Siapa tadi yang nggak mau peluk aku pas aku datang??"

"Ya ampun, Wina, kan udah kupeluk tiga kali sebagai gantinya. Kurang? Nih, peluk lagi," kata Willy lalu memeluk kakaknya kencang, membuat Wina menjerit sambil tertawa geli.

Ayu masih tercengang melihat interaksi kedua bersaudara yang dipaksa berpisah sejak kecil itu, namun begitu Liam membuka mulut, Ayu lebih tercengang lagi.

"Aku juga mau ikut."

Lalu Liam ikut memeluk mereka berdua, mengabaikan Willy yang menolak dan Wina yang menjerit, masih dengan tampang datarnya.

"Oh, jadi kalian peluk-pelukan, Mami nggak diajak??"

Ketiganya menoleh menatap Irene yang berkacak pinggang, lalu tertawa - kecuali Liam yang hanya mengulas senyum tipis - lalu bergerak mendekati ibu mereka dan memeluknya erat.

***

Walaupun Ayu nyasar di tengah keluarga yang sedang melepas rindu ini, dia tidak merasa tersisih dan salah tempat, karena mereka berempat bergantian berusaha memasukkannya dalam percakapan selama proses memasak sampai makanan dihidangkan dan mereka makan malam bersama.

"Jadi Ayu ini sebenarnya manajer Willy?" tanya Wina, dan Ayu mengangguk.

"Tapi kok aku lihat kamu lebih dekat dengan Liam?"

"Kita temenan, Win," jawab Liam sambil menyendokkan sayur untuk Ayu. "Makan. Kamu kekurusan."

Ayu meringis. Bobot tubuhnya memang agak turun, dia terlalu sibuk belakangan ini sehingga tidak begitu nafsu makan.

Willy menatap interaksi keduanya dengan dahi mengernyit.

"Iya juga ya, kalian kok dekat? Sejak kapan sih?"

"Bukannya bagus? Ayu single, Liam juga single. Umurnya juga sebaya, Liam hanya lebih tua beberapa tahun. Apa salahnya mereka dekat? Siapa tahu jodoh," jawab Irene santai, dan keempat kepala serentak menoleh ke arah wanita yang paling tua di sana.

"Wow, Mam. Kan aku udah bilang, Ayu udah ada yang gebet."

"Jangan bilang gitu, Mam. Ayu udah punya calon. Nggak enak."

Willy dan Liam mengucapkannya bersamaan, dan Irene menatap keduanya bingung.

"Baru calon kan? Yang udah nikah aja bisa ditikung kok, nih Mami contoh nyatanya."

Keempat anak muda di meja itu langsung terdiam dalam keheningan yang sangat canggung. Ayu merasa dirinya benar-benar ada di tempat dan waktu yang salah saat ini.

"Mam, udahlah, nggak usah diungkit-ungkit lagi," tegur Wina memecah keheningan, dan Irene menyendok isi piringnya, tampak tidak peduli.

"Hei, Mami sudah legowo ya, sejak awal si kuntilanak yang dulunya ngaku-ngaku sahabat Mami malah merebut posisi Mami-"

"Posisi Mami nggak akan pernah berubah. Mami tetap Mami kami."

Irene mengangkat wajahnya dan tersenyum menatap ketiga anaknya.

"Mami tahu. Ayo, lanjutkan makannya."

***

Irene membiarkan asisten rumah tangga membereskan meja makan, sementara dirinya menyiapkan hidangan pencuci mulut dibantu Wina. Tadinya Ayu ingin membantu juga, namun dirinya ditarik menjauh oleh Willy, yang membawanya ke halaman belakang rumah mereka. Willy mengarahkan Ayu duduk di salah satu kursi santai yang tersedia, sementara Willy duduk di kursi yang lain.

Ayu menunggu Willy berbicara, namun Willy malah menatap Ayu dalam diam, sambil tersenyum.

"Kenapa, Will?" tanya Ayu, lama-lama jengah diperhatikan seperti itu. Willy menyunggingkan senyum yang lebih lebar sebelum menjawab Ayu.

"Nggak apa-apa. Nggak nyangka aja saya akhirnya punya kesempatan berduaan dengan kamu."

"Hah?"

"Selama ini kan kamu sibuk melulu. Apalagi belakangan ini kamu dijaga ketat sama Sigit di kantor. Tapi saya nggak nyangka-" Willy mengambil jeda, senyum di wajahnya memudar dan dia menatap Ayu tajam, "-kamu justru dekat dengan abang saya."

"Erm, saya dan Liam hanya berteman-"

"Liam tahu kamu dekat sama Sigit?"

"Tahu," jawab Ayu. Tiga hari setelah pertemuan mereka yang tidak disengaja di apartemen Ayu beberapa bulan yang lalu, Liam mengajak Ayu bertemu dan bertanya tanpa basa basi mengenai hubungan Ayu dan Sigit.

Willy menghela nafas.

"Sepertinya dugaan saya salah."

"Dugaan apa?"

"Liam naksir kamu juga."

Ayu mengernyit dalam.

"Ada apa dengan kalian dua bersaudara ini? Pertama kali Liam liat saya di sini dia malah curiga saya pacaran sama kamu- tunggu dulu. Juga? Maksudnya?"

Willy terkekeh pelan.

"Ayu, Ayu. Cantik cantik tapi nggak peka ya kamu. Memangnya kamu pikir selama ini yang naksir kamu cuma Sigit?"

"Hah?"

"Nevermind. Anyway, sorry soal kejadian di meja makan barusan."

"Oh, nggak apa-apa. Sorry karena gara-gara saya-"

"Nggak, bukan salah kamu," potong Willy sambil menggelengkan kepalanya. "Mami belum bisa memaafkan Papi dan isteri baru Papi, padahal sudah hampir dua puluh tahun."

Ayu diam, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Dikhianati oleh suami dan sahabat sendiri pasti sangat menyakitkan.

"Mungkin kalau tante Lita bukan mantan pacar Papi, mungkin lebih gampang buat Mami."

"Hah?"

Willy tersenyum, namun senyumnya terlihat miris. Matanya menerawang, dan suaranya pelan saat bercerita.

"Mami dan Tante Lita teman sejak kuliah, yang terpisah dan bertemu lagi setelah Mami dan Papi pindah kembali ke Jakarta. Sementara Papi dan Tante Lita ternyata pernah pacaran saat SMA, dan mereka adalah cinta pertama masing-masing. Mami tidak pernah tahu hal itu, sama sekali tidak mencurigai keduanya. Mami baru sadar saat semuanya terlambat. Sampai sekarang Mami menyesal, menganggap suaminya akan selalu mencintainya, dan menganggap sahabatnya bisa dipercaya.

Mami bukan hanya tidak mampu memaafkan Papi dan tante Lita, tapi Mami juga tidak mampu memaafkan dirinya sendiri."

Ayu terdiam.

"Tapi-" kata Ayu lambat-lambat, "-bagaimana bisa hak asuh kedua kakakmu jatuh ke tangan Papimu? Bukankan dia yang berselingkuh?"

Ayu benar-benar penasaran, karena itulah alasan mengapa hak asuhnya jatuh ke tangan ayahnya yang nomaden itu, dan bukan pada ibunya yang istilah kasarnya - lebih mapan.

Willy mendengus sinis.

"Duitlah. Siapa yang punya duit, dia bisa melakukan apapun."

Ayu kembali diam.

Dia tahu dia tidak berhak menghakimi orang lain, apalagi hanya mendengar satu sisi cerita, tapi Ayu benar-benar tidak paham.

Setelah cerita Sigit tentang perpisahan orangtuanya, sekarang Ayu mendengar kisah di balik perceraian orangtua Willy. Pernikahan yang didasari cinta pun bisa berakhir.

Apa perasaan memang bisa berubah semudah itu?

***

Ayu pulang dengan kondisi lelah, baik fisik maupun mental. Terlalu banyak informasi yang dia terima hari ini, membuatnya galau setengah mati.

Ayu kembali melihat Sigit berdiri menyender di pintu apartemennya sambil bermain ponsel, yang langsung menyadari kehadiran Ayu dan mengunci ponselnya.

"Bukannya kamu lagi battle?" tanya Ayu pelan, tahu kalau Sigit memegang ponselnya dalam posisi horizontal, artinya dia sedang main game perang.

Padahal Sigit datang karena ingin mengomel pada Ayu tentang kejadian tadi siang, ditambah lagi Ayu malah menghabiskan sesorean ini di rumah Willy yang kemungkinan besar terdapat Liam juga di dalamnya, namun melihat ekspresi Ayu yang walaupun menyunggingkan senyum tapi tampak lelah, Sigit mengurungkan niatnya.

"Nggak, udah kelar kok. Tadi ngobrol di kolom chat doang sama anak-anak. Kamu kenapa? Capek banget kayaknya."

Ayu memutar kunci pintu, dan membukanya. Sigit mengikuti di belakangnya, dan menutup pintu serta menguncinya.

"Ya."

"Ya udah, aku pulang aja ya. Kamu istirahat aja."

Baru saja Sigit berbalik, Ayu memeluknya.

Sigit terpaku saat merasakan lengan Ayu mengitari pinggangnya, dan wajah Ayu menempel di punggungnya.

"Jangan pulang dulu."

Sigit terdiam, tangannya menyentuh lengan Ayu yang memeluknya erat, lalu melepaskan kaitan tangan Ayu. Sigit berbalik menatap Ayu yang memandangnya dengan tatapan bingung, lalu menariknya dalam pelukan.

"Lebih enak peluk kayak gini kan," kata Sigit sambil mengusap punggung Ayu, dan Ayu terkekeh geli, nafas hangatnya berhembus menerpa dada Sigit.

"Ada apa, Yu?"

Ayu menggeleng dalam dekapan Sigit.

"Nggak apa-apa. Lagi sensitif doang. Mungkin mau dapet."

"Oh..."

"Git..."

"Apa?"

"Pegel. Mau duduk."

Sigit terkekeh, dan melepaskan pelukan mereka. Ayu langsung menarik Sigit untuk duduk di sofa, dan Sigit terkejut saat Ayu naik ke pangkuannya, dan kembali memeluknya.

"Woi, kamu kenapa?" tanya Sigit bingung. Tidak biasanya Ayu bersikap manja seperti ini. Biasanya Ayu yang mengomel jika terjadi kontak fisik berlebih, namun kali ini bisa-bisanya Ayu naik ke pangkuannya seperti ini.

Boy, lo jangan nyari gara-gara dengan bangun saat ini ya, batin Sigit memperingati juniornya yang mulai menggeliat karena disenggol Ayu.

"Git, kalau suatu saat nanti, kamu berhenti menyayangiku seperti ini, apa kamu bakal membuang aku? Apa kamu bakal berusaha menyakiti aku sampai aku ninggalin kamu?"

"Apa?"

Ayu mendongakkan kepalanya dan wajahnya kini berhadapan dengan Sigit, matanya menatap ke kedalaman mata Sigit, berusaha mencari kejujuran di sana.

"Kalau suatu saat nanti kondisi kita sulit, dan kamu berhenti mencintai aku, atau cinta pertama kamu datang kembali dan membuat kamu jatuh cinta lagi, atau mantan kamu menawarkan hal yang nggak bisa aku beri ke kamu, apa kamu akan menyakiti dan membuang aku juga? Seperti mantan-mantan kamu yang lain?"

"Astaga, kamu ngomong apa sih?" tanya Sigit sambil menghela nafas panjang. "Kamu tahu jelas kamu cinta pertama aku. Lagipula aku belum mikir sampai ke sana. Kita pacaran dulu, jalanin aja dulu. Kita lihat nanti gimana cara kita nyelesaiin masalah diantara kita. Aku nggak tahu nantinya kita bakal gimana, apa kita akan jadian lalu putus, atau mungkin kamu berhasil meyakinkan aku untuk menikah," Sigit bergidik saat mengucapkan hal itu, menikah belum ada dalam to do list-nya, "-tapi satu hal yang aku tahu sekarang ini, aku cinta sama kamu. Kamu boleh pegang kata-kata aku saat ini bahwa aku nggak akan menyakiti kamu dengan sengaja. Aku akan usahakan yang terbaik buat hubungan kita, Yu, dan kuharap kamu melakukan yang sama. We can communicate, right?"

Ayu menatap mata Sigit, dan matanya berkaca-kaca. Sigit tidak menjanjikan hal yang muluk, bahkan kata-katanya biasa saja. Tapi Ayu menemukan kejujuran dalam sorot mata Sigit, dan hatinya berangsur tenang.

"Lho? Kok kamu malah nangis?" tanya Sigit bingung saat Ayu tertawa dengan air mata mengalir.

"Habis kamu bawel banget. Aku nggak tahan lagi."

"Lho?? Kok malah dibilang bawel? Kamu yang nanya lho."

"Git..."

"Ya?"

"Bulan depan jangan lupa ngajakin aku pacaran ya."

"Nggak usah bulan depan, sekarang juga aku udah mau ngajakin-"

"Heh!"

Sigit tertawa sementara Ayu menatapnya dongkol. Sigit menarik kepala Ayu dan mengecup dahinya lembut, berbanding terbalik dengan nada jahil dalam ucapannya kemudian.

"Iya, iya, tunggu aja tanggal mainnya."

Tbc

Sorry for typos

Sampai ketemu di part selanjutnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro