ni jū - shi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke - 110

Ayu melotot lebar saat tante Mira, tante kesayangannya alias ibunda Theo kembali masuk ke dalam toko sepatu ini, yang kalau Ayu tidak salah hitung, untuk ke-enam kalinya sejak lima jam yang lalu. Belum lagi toko-toko yang lain. Kalau tidak salah, nyaris semua toko di mall ini sudah mereka masuki, kecuali toko buku dan furniture. Rasanya kaki Ayu sudah mau patah.

"Tan, kok balik ke sini lagi??"

"Ya, soalnya modelnya ternyata paling bagus. Nih, cobain," kata Mira sambil menyodorkan salah satu sepatu yang dipajang di sana, membuat Ayu melotot. Lagi???

"Tante sebenarnya mau beli apa ya?"

"Kado ulang tahun Florencia."

"Lalu???" jerit Ayu sambil menunjuk bukan hanya satu, tapi delapan kantong belanjaan yang dibawanya - belanjaan Mira tentunya, bukan milik Ayu, Ayu hanya membantu membawakan - belum termasuk dua yang dibawa sendiri oleh Mira. "Ini bukannya udah ada kado untuk Flo ya, Tan?"

"Iya. Tapi kali ini Tante mau beliin buat kamu."

"Lho? Aku? Nggak usahlah, Tan. Aku bisa beli sendiri."

"Ck," dengus Mira sambil menatap Ayu dari atas sampai bawah, "Tante tahu kamu sibuk tapi bukan berarti penampilan kamu harus berantakan begini kan?"

Ayu menatap penampilannya sendiri dari cermin di toko itu. Rambut diikat satu, wajah yang sedikit berminyak karena sudah seharian, kaos pas badan dengan gambar lambang manusia kelelawar di bagian dada, dan celana jeans. Nggak ada yang salah. Toh seharian ini dia hanya berkutat di ruang kerjanya, tanpa interaksi dengan orang di luar kantor. Sedikit santai tidak masalah.

"Ya, kan tadinya aku cuma berencana ngantor bentar, terus langsung balik tidur," keluh Ayu pelan, namun ternyata Mira mendengarnya.

"Kamu ngeluh karena nemenin Tante?"

Belum sempat Ayu menjawab, Mira sudah memasang wajah sedih.

"Tante tahu kamu keberatan nemenin wanita tua yang malang ini, yang anak cowoknya sibuk sama isterinya sampai-sampai tidak sempat menemani ibunya yang tua dan kesepian-"

Ayu langsung buru-buru memeluk dan mencium pipi Mira.

"Ih, tante sensitif amat sih. PMS ya?"

Mira meninggalkan wajah sedihnya dan mengetuk kepala Ayu.

"Ngaco! Tante udah menopause begini mana mungkin PMS?"

Ayu tertawa.

Dia sangat menyayangi tantenya yang ini, yang menyayanginya seperti anaknya sendiri, yang juga Ayu sayangi sebagai sosok ibu yang dekat dengannya, karena ibunya sendiri terlalu jauh.

Ayu akhirnya pasrah saat Mira membelikannya sepasang heels sembilan senti yang menurut Mira 'memberikan kesan jenjang dan seksi' dan berhasil membuat Ayu berjanji akan mengenakannya saat mereka jalan-jalan lagi. Ayu tahu dia menggali lubang kuburnya sendiri, karena hanya wanita yang tahan dengan penderitaan yang mampu jalan-jalan dengan Mira mengenakan heels, dan Ayu tidak tahan.

Mereka berdua sedang berjalan menuju arah lift untuk pulang - akhirnya! teriak kaki Ayu yang sudah sangat pegal - saat seseorang tiba-tiba menyapa mereka.

"Yu?"

Ayu dan Mira sontak menoleh, dan Ayu tersenyum lebar saat melihat sosok Liam, yang dengan wajah datarnya, sorot matanya menghangat saat melihat Ayu.

"Hei, sendirian, Li?"

Liam mengangguk. Lalu matanya beralih kepada Mira yang menatap mereka berdua ingin tahu.

"Oh, iya. Liam, ini tanteku, Maminya Theo Harsyah. Tan, ini Liam, temen aku."

Liam mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Mira, dan Mira dengan senyum menyambutnya.

"Miranda."

"William, Tante."

Mereka melepas jabatan tangan mereka, dan Liam menatap kantong-kantong belanjaan yang memenuhi tangan Ayu.

"Biar kubantu," kata Liam tiba-tiba, sambil meraih semua kantong di tangan Ayu.

"Eh, nggak usah-"

"Kalian mau ke arah mana?" tanya Liam, mengabaikan protes Ayu yang lengannya mendadak menganggur.

"Pulan-"

"Kita mau makan malam sih. William sudah makan? Kamu sendirian kan? Mau join?"

Ayu melotot kepada Tantenya yang memasang wajah pura-pura polos, sementara Liam, yang ekspresi wajahnya sulit ditebak, justru mengambil alih sisa kantong belanjaan yang dibawa Mira.

"Saya sudah makan tadi, Tante, sambil meeting."

Ayu mengalihkan perhatiannya pada Liam dan melotot.

"Itu makan siang apa makan malam? Baru juga jam tujuh. Mana mungkin meeting sambil makan malam kelar jam tujuh."

"Makan siang. Tapi saya masih kenyang-"

"Kalau begitu kita makan dulu saja. William suka chinese food? Kita ke Duck Queen saja," kata Mira sambil tersenyum, lalu berbalik dan berjalan lebih dulu di depan dua anak muda itu.

Liam menatap Ayu dengan sorot mata bingung, dan dibalas Ayu dengan cengiran pasrah.

***

"Jadi kalian kenal dari mana?" tanya Mira pada Liam, saat mereka sudah berada di tempat makan dan telah memesan makanan.

"Itu-" belum sempat Liam menjawab, Ayu sudah bercerita panjang lebar.

"Panjang ceritanya, Tan. Kalau kenal mah udah lama. Dia itu dulu pernah jadi produser iklan yang dibintangi Theo, jadi ketemu di sana. Habis itu ternyata dia masih sodaraan sama salah satu personel band yang aku tangani sekarang, terus beberapa kali ketemu, temenan deh." Lalu Ayu mengalihkan pandangannya kepada Liam. "Eh, sabtu ini kan aku ke rumah mama kamu, disuruh ngambil kue kering. Kamu juga disuruh kan?"

Liam menggeleng. "Aku nggak doyan."

"Emangnya kamu pikir aku doyan? Ya udah kalau kamu nggak ambil, punyaku tar bagi ke kamu aja lah."

"Aku nggak doyan, Yu."

"Bodo."

Mira menatap interaksi keduanya dengan bingung dan agak terkejut.

Ayu dan William memiliki sifat yang bertolak belakang. Ayu bawel dan impulsif, bahkan cenderung kasar, sementara Liam kelihatan pendiam dan sangat melankolis. Bagaimana dua jenis manusia ini bisa berteman?

Tapi mereka berdua kelihatan care satu sama lain, dan mereka berdua menggunakan aku-kamu, padahal Mira tahu anak muda jaman sekarang jarang menggunakan kedua kata itu kepada teman sebaya, kecuali-

Lalu senyum Mira terbit.

***

Liam mengantar kedua wanita itu sampai ke mobil Ayu di parkiran, lalu berterima kasih untuk traktiran makan malam - karena Mira bersikeras bahwa yang mengajak lah yang harus membayar dan Liam terlalu sopan untuk berdebat lebih panjang - sebelum menunggu mereka masuk ke dalam mobil dan kembali ke dalam gedung mall.

"Kalian pacaran?" tanya Mira tiba-tiba, dan Ayu langsung melotot.

"Hah? Nggak, Tan. Aku sama Liam temenan doang."

"Jangan bohongin Tante. Kalian nggak mungkin nggak ada apa-apa," ledek Mira, dan Ayu menggeleng keras.

"Nggak, Tan. Sumpah. Dia baru aja patah hati ditinggal kawin pacarnya, sementara aku-" udah punya gebetan, lanjut Ayu dalam hati. Kalau diucapkan keras-keras, bisa berabe. Bisa-bisa Theo tahu sebelum waktunya, lalu Sigit batal manggung. Padahal kan mereka belum pacaran.

"Kamu patah hati karena dia belum move on?"

"Nggak lah. Idih, Tan. Ngapain nungguin cowok? Kayak nggak ada cowok lain aja." Oh, yeah, right. Sekarang lo bukannya lagi nungguin cowok juga ya, Yu? Nungguin dia buktiin keseriusannya? ledek batinnya.

Oh, batin kampret, shut up.

"Beneran?"

"Beneran, Tan."

"Jadi kapan dong Tante dapat keponakan menantu cowok? Menantu cewek udah, menantu cowoknya kapan?" keluh Mira tiba-tiba, dengan nada putus asa yang Ayu tahu itu pura-pura.

"Tuh, minta Theo nikah sama cowok juga aja, Tan. Voilà, menantu Tante lengkap."

"Ngaco ya kamu!" omel Mira sementara Ayu terbahak-bahak.

***

Setelah mengantar Mira kembali ke rumahnya, Ayu kembali ke apartemennya, dan menemukan Sigit menyender di pintu unitnya dengan gestur tubuh dan ekspresi yang sangat kaku, nggak ada santainya sama sekali. Ayu langsung merasa seperti dia sedang didatangi rentenir yang mau menagih utang, bukannya gebetan ganteng yang mau ngapel.

"Lho? Kok kamu ke sini? Bukannya hari ini kamu ngumpul bareng temen-temen kamu?"

"Buka dulu pintunya."

Ayu mengernyit mendengar nada suara Sigit, namun melakukan apa yang Sigit katakan. Baru saja pintu terbuka, Sigit mendorong Ayu masuk dan langsung menutup pintunya. Sigit menarik tangan Ayu dan mendudukkannya di sofa.

"Sigit, apa-apaan-"

Lalu Ayu terdiam saat Sigit menjatuhkan kepalanya di paha Ayu.

"Jangan pacaran dengan William Tanama."

"Hah?"

"Kamu harus jadi pacar aku. Kamu nggak boleh jadian dengan pria lain selain aku."

Nih anak kenapa sih? Kayak lagi ngerajuk, batin Ayu bingung.

PMS kali ya?

"Janji?" kata Sigit sambil mendongakkan kepalanya, dan menyodorkan jari kelingkingnya pada Ayu yang mengernyit makin dalam.

Kayaknya nih anak kesurupan, batin Ayu, mendadak takut.

Ayu mengangguk pelan, lalu mengaitkan kelingkingnya pada Sigit. Ayu bisa melihat perubahan raut wajah Sigit yang tadinya kelam dan sedih menjadi sumringah, lalu tanpa Ayu duga, Sigit menaikkan tubuhnya dan mengecup bibir Ayu cepat.

Belum sempat Ayu merespon, Sigit sudah melepaskannya dan duduk di sebelah Ayu.

"Jadi gimana ceritanya kamu bisa makan bareng William, padahal kamu lagi jalan dengan Tante Mira?" Ayu langsung menghadap Sigit sambil melotot kaget. Ayu bingung, Sigit mengetahui kejadian barusan dari mana, padahal Ayu kan belum sempat cerita apa-apa ke Sigit. Dia berencana bercerita, tentu saja, karena biasanya malam-malam kalau Sigit tidak datang ke apartemennya, dia akan menelepon Ayu dan mengobrol sebentar sebelum tidur.

"Kamu tahu dari mana?"

"Ada lah. Cerita dulu."

"Cerita dulu kamu tahu dari mana."

"Kamu tahu, kalau kamu lagi natap aku galak kayak gini, kamu kelihatan seksi," kata Sigit sambil menatap Ayu dengan serius.

Ayu langsung melompat mundur sambil menatap Sigit horror.

"Dasar gila! Mesum banget sih jadi orang??"

***

Setengah jam sebelumnya, saat Ayu baru saja menurunkan Mira di rumahnya.

Sigit bersama teman-temannya, Theo, Hansen, Rickon, dan Ronald janjian bertemu untuk makan malam bersama di kafe milik Florencia. Satu kegiatan yang masih rutin mereka lakukan, walaupun tempatnya berubah drastis. Kalau dulu mereka suka ngumpul di bar atau klub, sekarang jadi restoran, kafe, atau rumah Theo.

Flo yang sudah menyelesaikan pekerjaannya di dapur sesekali menghampiri mereka dan ikut mengobrol, dan tidak ada satupun diantara mereka yang keberatan sama sekali dengan keberadaan isteri Theo yang masuk dalam lingkaran pergaulan para pria ini.

Ya iyalah, kan mereka semua pernah suka dan sayang dengan Flo, gimana mau keberatan.

Flo kembali menghampiri mereka setelah mengecek bagian kasir.

"Hei, ada yang mau oreo cheesecake? Fresh from the oven nih, baru jadi."

"Bikinan kamu?" tanya Rickon semangat.

"Bukan. Bikinan Karina, pastry chef yang baru. Tapi resep aku kok."

"Keluarin aja semua, Flo. Kita mah apa aja makan," jawab Hansen sambil nyengir.

"Nggak gratis lho ya," jawab Flo sambil nyengir, dan Sigit menyeringai lebar.

"Jangan khawatir. Ada boss Theo kok di sini. Ya kan, Boss?"

"Kampret lo. Saat gini doang manggil gue boss. Biasanya gue dikacungin," umpat Theo.

"Wah, tuduhan nggak berdasar tuh. Kapan gue pernah kacungin lo?" elak Sigit sambil pura-pura sakit hati.

"Gue setuju. Inget nggak waktu dia pindahan apartemen, kita semua disuruh bantuin?" sahut Hansen tiba-tiba.

"Iya betul tuh. Tiap dia bubaran sama pacarnya juga kita yang dipaksa nemenin clubbing," sambung Ronald.

"Sekarang pas lagi gila nge-gym, kita dipaksa nemenin juga," sambung Rickon.

"Itu kan biasa aja. Namanya juga temen," elak Sigit, namun Theo langsung memotongnya.

"Siapa di sini yang pernah didatengin Sigit tiba-tiba terus dipaksa masakin dia makanan?"

Serentak, empat pria di sana selain Sigit, mengangkat tangannya.

"Siapa di sini yang pernah ditelepon Sigit tiba-tiba buat minjem mobil terus mobilnya nggak dibalikin kecuali kita yang ngambil sendiri?"

Mereka berempat kembali mengangkat tangan.

"Siapa yang pernah isi kulkasnya dihabisin Sigit? Yang pernah disuruh-suruh pesenin makanan terus kirim ke apartemennya?"

"Anjir, lo pada temen apa bukan sih, kok gitu aja perhitungan banget," keluh Sigit sakit hati, sementara mereka semua tertawa.

"Emangnya kita temen lo??" ledek Hansen, dan Sigit langsung mengumpat.

Mereka saling melempar ledekan, saat ponsel Flo berbunyi.

"Mama kamu," jawab Flo saat Theo menatapnya dengan pandangan bertanya.

"Halo, Mam," sapa Flo, dan mereka yang ada di meja tersebut diam supaya tidak mengganggu, karena saat Flo ingin berjalan menjauh, Theo menahannya.

"Kenapa Ayu?"

Sontak kelima pria di meja langsung memusatkan perhatian kepada Flo.

Lalu Flo tertawa.

"William? Maksud Mami, William Tanama? Nggak, Mam. Setau aku Ayu nggak pacaran sama dia. Mereka temenan doang."

Mata Theo dan Sigit langsung melotot.

"Oh ya? Menurut Mami begitu? Aku nggak tahu sih Mam, tapi aku lihat sih Ayu nggak ada feeling apa-apa sama William."

Theo sudah mengumpat tanpa suara, dan Sigit sendiri sudah memaki-maki dalam hati.

Pacaran dengan William Tanama?? Tidak boleh!! Ayu hanya boleh bersamanya!

Lalu wajah Flo mengernyit.

"Serius, Mam? Kalau mereka nggak ada feeling apa-apa, ngapain Mami jodohin? Tar malah runyam, Mam. Lagipula ntar Theo-"

Theo langsung merebut ponsel Flo.

"Mam, jangan coba-coba jodohin Ayu dengan siapapun. Pria itu harus ngelewatin aku dulu baru boleh mendekati Ayu."

Sigit tidak memedulikan apa yang terjadi kemudian, karena hatinya panas dan dia perlu bertemu Ayu.

"Gue cabut dulu," bisik Sigit pada Hansen, dan Hansen yang mengerti, mengangguk.

Terserah Theo nanti berasumsi apa, tapi dia harus bertemu Ayu sekarang.

***

"Masih sebulan lagi," gumam Sigit sambil memperhatikan jemari Ayu yang memainkan jari-jari Sigit.

"Hah? Apa? Kamu ngomong apa?"

"Nggak. Nggak apa-apa."

"Udah malam," kata Ayu, saat melihat ke arah jam dinding. Dia bangkit dari duduknya, dan Sigit mengikutinya.

"Kalau begitu aku pulang dulu."

Ayu tersenyum dan mengangguk.

"Hati-hati nyetirnya."

"Ya. Kalau William datang ke sini, jangan bukakan pintu."

Ayu tergelak.

"Apa sih? Lebay deh. Kenapa? Kamu cemburu?"

"Iya."

Ayu langsung berhenti tertawa melihat wajah Sigit yang serius.

"Aku nggak suka kamu terlalu dekat dengan pria lain. Aku mau semua orang tahu kamu milik aku, supaya nggak ada lalat yang berani deket-deket kamu. Nggak ada yang boleh masang-masangin kamu sama pria lain, karena kamu hanya boleh sama aku, Yu."

Ayu menatap Sigit, setengah mati berusaha menahan senyumnya.

"Ck. Posesif."

"Nggak. Aku nggak posesif. Kalau aku posesif, aku akan mengurung kamu di rumah supaya nggak ada yang bisa ngeliat kamu dan naksir sama kamu."

"Lebay banget."

"Makanya." Sigit mengambil tangan Ayu dan mengaitkan jemari mereka. "Aku sudah bilang, aku nggak keberatan kamu bergaul. Tapi jangan beri mereka harapan. Kamu milik aku. Aku benci harus menunggu satu bulan lagi, tapi kamu harus ingat, kamu milik aku."

"Lalu? Kamu gimana?"

"Maksud kamu?"

"Enak aja kamu nge-claim aku milik kamu, tapi aku nggak dapat apa-apa. Itu namanya egois. Aku nggak mau."

Sigit menatap Ayu tidak percaya.

Setelah pernyataan cinta gue waktu itu, Ayu masih nggak nyambung juga?

"Aku sudah ngasih hati aku buat kamu, Yu. Itu artinya aku milik kamu. Kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku kacau balau begini. Kupikir kamu udah tahu."

Ayu mengerjabkan matanya bingung. Namun tak ayal wajahnya merona.

"Kamu biasanya ngomong gini sama mantan pacar kamu?"

"Astaga, Yu," kata Sigit, sambil menyugar rambutnya frustasi. "Ya, nggak lah. Kamu tahu aku nggak pernah pakai perasaan sebelumnya. Hubungan aku sebelum ini murni hanya untuk senang-senang doang. Aku bahkan bilang sama kamu kalau aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Kamu yang pertama."

Ayu ingin percaya. Ayu ingin sekali percaya.

"Beneran?"

"Beneran, Yu. Perlu aku sumpah pocong?"

"Nggak!!!" teriak Ayu cepat. Ya ampun, dia paling takut dengan setan berbentuk guling itu. Dia bahkan tidak berani menggunakan sarung guling putih karena takut gulingnya berubah jadi setan.

Apalagi tadi siang saat membuka video trailer film terbaru, dia salah klik dan malah melihat trailer film pocong. Sekarang gambar pocong itu menari-nari di dalam otaknya. Sialan.

"Ya ampun Yu, aku nggak bakalan jadi pocong karena aku nggak bohong. Kamu takut banget ya?"

"Takutlah! Kamu mah, udah tahu aku takut sama makhluk halus, malah ngomong gitu."

Sigit terkekeh geli.

"Sorry," kata Sigit masih sambil menyeringai lebar. Ayu-nya yang mandiri dan judes, yang cukup takut dengan makhluk halus, selalu terlihat manis di mata Sigit.

"Kamu harus tanggungjawab."

"Oke, oke. Aku tanggungjawab. Kamu mau aku gimana?"

"Temenin aku sampai aku tidur, baru kamu boleh pulang."

Sigit terdiam sementara Ayu menatapnya kesal dan terlihat sedikit merajuk.

Dia benar-benar ketakutan? Separah itu?

"Lho? Kok malah bengong???"

"O- oke, aku temenin," jawab Sigit, sama sekali belum pulih dari keterkejutannya.

"Bagus. Tunggu bentar, aku mau beres-beres dulu. Jangan macem-macem kamu."

"Iya."

Ayu berbalik dan masuk ke kamarnya tanpa menutup pintu - kentara sekali kelihatan takut - dan Sigit kembali menjatuhkan diri di atas sofa. Dia menatap ke arah kamar Ayu yang pintunya setengah terbuka dan terang benderang, tanpa sadar menyunggingkan seulas senyum tipis.

Dia menemukan sisi lain Ayu hari ini, dan entahlah, sepertinya dia menyukainya.

Tbc

Haiiii

Jadi karena cerita ini yang paling ringan diantara tiga on-going aku, mungkin (MUNGKIN YA) aku bakal tamatin ini dulu baru fokus ke dua cerita yang lain. Tergantung idenya muncul atau nggak sih.

Tapi ini belum bakal tamat kok. Palingan baru setengah jalan.

Semoga suka

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro