san

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjadi manajer untuk sebuah grup band ternyata cukup berbeda dengan menjadi manajer aktor. Selain karena jumlah personel yang harus diatur ada lima orang dengan kesibukan berbeda, jadwal latihan yang hampir dilakukan setiap hari membuat Ayu sibuk.

Tapi semua tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kesibukan mengurusi official account Petir. Rasanya Ayu lebih rela ikut bungee jumping yang sangat dia takuti dibandingkan membaca semua jeritan fans Petir, maupun hinaan dari para haters. Kadang, kalau kepalanya sudah terlalu pusing membaca email dan komentar yang masuk, Ayu iseng membuka link fanfic yang ada di komentar, dan dia akan berakhir dengan kegalauan akut, antara ingin tertawa terbahak-bahak atau muntah-muntah.

Seperti saat ini, saat Ayu membaca fanfic tentang pasangan Willy - Sigit yang membuatnya mengerutkan kening dalam-dalam, tiba-tiba beberapa suara menyapanya.

"Lagi ngapain, Yu?" sapa suara yang Ayu kenali sebagai milik Willy.

"Baca cerita kamu dan Sigit. Sudah selesai latihan?" tanya Ayu tanpa mendongakkan kepalanya.

Ayu berjengit kaget saat suara yang tidak asing sama sekali berbicara tepat di samping telinga kirinya,"Wow, saya nggak tahu kalau kamu suka baca fanfic."

Ayu secara spontan menjauhkan kepalanya ke arah kanan, namun kepalanya menghantam kepala lain di sana.

"Aw!!"

Ayu merasakan kepalanya berdenyut sakit dan pandangannya langsung berkunang-kunang, dan tiba-tiba sebuah tangan yang besar menangkup kepalanya dan mengusapnya lembut.

"Bego banget sih lo, Tot! Ngapain coba lo di sebelah manajer kita."

"Ya, lo juga di sebelah dia! Mana gue tau dia tiba-tiba gerak gitu! Berhenti panggil gue Bontot bisa kali, Git!" kata Willy sambil mengusap kepalanya yang juga sakit.

"Lho, lo emang bontot kan?"

"Gue cuma beda setahun masuk Petir sama lo!"

"Bersyukurlah kalo gitu. Gue tiga tahun dipanggil bontot, lo baru aja setahun udah ngeluh. Cupu!"

Ayu baru menyadari kalau tangan Sigit masih mengusap kepalanya, dan buru-buru menyingkirkan tangan Sigit darinya. Tapi apa yang dia lakukan salah besar. Sigit justru menggenggam tangannya erat dan tidak melepaskannya walaupun Ayu sudah berusaha melepaskan diri, dan malah menggunakan tangannya yang masih bebas untuk mengusap kepala Ayu.

"Kepala kamu masih sakit?"

"Saya- nggak apa-apa," kata Ayu sambil melotot kepada Sigit, walaupun kepalanya masih berdenyut sakit. Gila, kepala Willy terbuat dari apa sih? Semen batako?? Atau batu prasasti??

"Aduh, sorry ya, Yu. Kata mereka kepala saya memang keras. Aduh, benjol ya?" kata Willy sambil menekan tempat mereka tumbukan tadi, dan Ayu berjengit.

"Bentar saya ambilin obat dulu," kata Willy lagi dan langsung keluar meninggalkan mereka berdua.

"Lepasin tangan saya," kata Ayu, masih berusaha menarik tangannya lepas dari Sigit, tapi Sigit bertahan. Tangannya yang lain justru naik dan kembali mengusap kepala Ayu.

Dan yang Ayu tidak duga sama sekali, Sigit mengecup tempat benjolnya, dan Ayu melotot kaget saat Sigit berbisik lembut, "sakit, sakit, pergilah."

Belum hilang kekagetan Ayu, Sigit sudah melepaskannya dan keluar dari ruangan, meninggalkan Ayu yang terpaku kaget.

Apa yang barusan terjadi??

***

Willy melihat semua dengan kening berkerut. Dia tidak bodoh. Dia tau jelas, Sigit tertarik dengan manajer baru mereka, tapi tidak mau mengaku. Dan manajer baru mereka juga tertarik dengan Sigit, tapi pasti tidak mau mengaku.

Dia tidak mau ambil pusing. Toh, Sigit saat ini juga sudah punya mainan baru.

Willy mengubah ekspresi mukanya sebelum menghampiri Ayu yang masih bengong.

"Maaf banget lho, Yu," kata Willy sambil menotolkan cotton bud yang sudah dicelup dengan obat ke benjolan Ayu. Ayu meringis perih.

"Nggak, saya yang mustinya minta maaf. Kamu sakit nggak?"

"Dikit doang. Lebih ke kaget sih. Kan kepala batu, kuat," kata Willy dengan nada bercanda, dan Ayu terkekeh pelan.

"Kamu kok bacain fanfic sih?" tanya Willy sambil menutup botol obat dan memasukkannya kembali ke kotak p3k.

"Iseng aja. Fans kalian kreatif-kreatif amat ya. Lucu-lucu ceritanya." Willy tertawa, membuat Ayu berpikir, kalau Willy ini cocok sekali kalau dijadikan anggota boy band. Kulit putih, rambut pirang, wajah halus, lipatan mata, komplit sudah.

"Woi, Tot! Jangan tepe-tepe sama manajer baru dong! Nyuri start aja lo!" seru seseorang dari depan pintu, membuat Ayu dan Willy sontak menoleh, dan melihat tiga personel Petir yang lain berada di depan pintu. Edo, yang tadi bicara, nyengir lebar saat matanya bersirobok dengan Ayu.

"Hai, Cantik. Sama Abang aja yuk." Ayu tertawa, mulai terbiasa dengan godaan absurd anggota Petir. Minggu pertama, mereka masih bersikap cool dengan Ayu. Masuk minggu kedua, sudah mulai keliatan aslinya. Dan saat ini, Ayu sudah hampir sebulan menjadi manajer Petir, dan dia mulai hafal kelakuan anggotanya.

"Bang Edo besok jangan lupa datang ke pengadilan ya. Tar barengan Pak Juardi perginya," kata Ayu, menyebut nama pengacara Edo.

"Kok bukan Dek Ayu aja yang nemenin Abang? Abang nelangsa tanpa adek," kata Edo dengan wajah memelas.

"Udah ketularan jiwa dangdut bini lo ya, Do?" ejek Rizal, membuat Edo langsung mendelik padanya.

"Jam 10 ya, Bang," lanjut Ayu, mengabaikan kata-kata Edo, lalu kembali menatap Willy. "Thanks ya, obatnya."

Willy bangkit berdiri sambil membawa kotak p3k.

"Sama-sama, Yu."

"Kita pulang ya, Yu. Kamu juga pulang, sudah malam," kata Yudi.

"Eh, Bang Yudi! Tunggu bentar."

"Bang Edo juga nggak, Yu?"

"Nggak usah. Bang Edo pulang aja," usir Ayu, yang langsung membuat Edo merengut dan yang lain tertawa terbahak-bahak. Rizal langsung merangkul Edo dan Willy, menarik mereka berdua pergi, masih sambil tertawa-tawa, diselingi sumpah serapah dari Edo.

Setelah semua meninggalkan ruangan, Yudi memberikan perhatian penuh kepada Ayu.

Buset, pakai baju kasual begini aja cakep. Gimana kalau nggak pakai baju, batin Yudi.

"Kenapa, Yu?"

"Mbak Rini nanya, lagunya jadi ada berapa, Bang?"

"Tiga, sesuai yang kemarin saya kasih tau Rini. Satu lagu saya, yang judulnya Pemujamu, satu lagu Willy, satu lagu Sigit. Lagu mereka berdua belum rampung. Minggu depan saya kasih tau judulnya."

"Oke deh, Bang. Launching single berarti ya, bukan album."

"Iya. Tiga lagu doang kan. Kita mau tur, lebih enak kalau banyak lagu lama, biar penonton bisa ikutan nyanyi. Kalau lagu barunya kebanyakan, nanti susah adaptasinya."

"Oke deh, Bang. Makasih."

Ayu berbalik dan mematikan komputer, sementara Yudi masih berdiri di tempatnya.

"Pulang sama siapa kamu, Yu?"

"Sendiri, Bang. Saya kan bawa mobil."

"Oh, ya udah barengan deh turunnya."

"Nggak apa, Bang. Duluan aja."

Yudi melirik ke arah pintu, dan tersenyum.

"Saya tungguin, nggak apa-apa. Bahaya perempuan sendirian."

"Bukannya lebih bahaya kalau berduaan sama Bang Yudi?" tanya Ayu, sambil menyelempangkan tasnya di bahu.

"Kamu aman sama saya."

"Yakin, Bang?"

"Masa kamu nggak percaya sama saya?"

Ayu tertawa. Tentu saja dia tidak percaya. Bang Yudi jauh lebih busuk daripada Edo yang menggoda langsung di depan. Tapi biarlah, yang penting sejauh ini Bang Yudi menunjukkan gelagat baik.

Ayu sadar, bukan karena dia sangat cantik makanya Edo dan Yudi menggodanya begini, tapi dasar mereka nggak bisa lihat cewek nganggur aja.

Yudi berjalan keluar dari ruangan, diikuti Ayu yang mengunci pintu. Samar-samar Ayu melihat bayangan orang di pojok yang sudah tidak tersorot lampu, tapi Ayu tidak berani menoleh untuk melihat lagi. Kalau itu orang sih nggak apa-apa. Kalau bukan??

"Besok kamu ke mana-mana nggak, Yu?" tanya Bang Yudi sembari menemani Ayu berjalan menuju pintu keluar. Ayu menggeleng.

"Palingan di sini lagi, besok ada meeting sama Mbak Rini dan Pak Rudy," kata Ayu menyebut nama produser musik Petir. Yudi manggut-manggut.

"Baiklah."

Ayu dan Yudi berpisah di tempat parkir, menuju kendaraan masing-masing. Ayu masuk ke dalam Juke kesayangannya dan menyalakan mesin, lalu membawa mobilnya melintasi jalan raya, menuju apartemennya.

Ayu hidup sebatang kara di dunia ini. Ayahnya bercerai dengan ibunya saat dia berusia enam tahun, dan sejak itu dia tinggal dengan ayahnya, yang memutuskan tidak mau menikah lagi. Tapi tiga tahun yang lalu Ayahnya meninggal, dan sejak itu Ayu tinggal sendirian. Tadinya Ayu tinggal di rumah ayahnya di daerah Cakung, tapi sejak Theo menikah dan membangun rumah untuk keluarga barunya, apartemennya diberikan kepada Ayu untuk ditinggali.

Hanya Theo, dan orangtua Theo, yang masih peduli dengan Ayu, dan Ayu sangat menyayangi mereka. Keluarganya yang lain sudah angkat tangan karena tidak tahan dengan keanehan Ayahnya.

Ayu masih berhubungan baik dengan ibu, bahkan dengan keluarga baru ibunya - Ibunya menikah dengan duda beranak satu berkebangsaan Jepang dan melahirkan dua adik untuknya, tapi rasanya berbeda. Mereka jauh di Jepang sana dan dia di Jakarta sendirian.

Setelah sampai di unitnya, Ayu langsung melepaskan semua pakaiannya dan masuk ke kamar mandi. Sembari berendam, dia memikirkan kejadian hari ini.

Sebulan ini Ayu berhasil menghindari berduaan dengan Sigit, tapi apa yang Sigit lakukan barusan membuat jantungnya berdebar kencang. Dia sama sekali tidak menyangka Sigit akan melakukan hal seperti tadi.

Ayu menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Semakin lo pikirin, semakin lo nggak bisa melepaskan diri dari pesonanya dia. Kembalikan akal sehat lo, Masayu, omel Masayu pada dirinya sendiri.

***

Keesokan harinya, Ayu bekerja seperti biasa sampai pukul tujuh malam, lalu mengecek latihan mereka. Tepat saat Ayu tiba di studio, latihan mereka selesai. Tapi Ayu masih sempat mendengar Bang Yudi menegur dua personel termuda mereka.

"Deadline kalian satu minggu. Waktu kita untuk latihan tinggal satu setengah bulan. Jadi tolong cepatlah."

Lalu Bang Yudi melihat Ayu, dan langsung menyunggingkan senyum lebarnya.

"Kamu pasti belum makan. Ke ruang meeting dulu yuk."

"Ngapain, Bang?"

"Pak Rudy beliin makan malam buat kita semua."

Tanpa aba-aba, Yudi menggandeng tangan Ayu dan menariknya menuju ruang rapat. Ayu dengan cekatan melepaskan gandengan tangan Yudi, dan dengan gerakan halus melipat kedua tangannya di depan perutnya. Dia tidak suka digandeng.

Yudi tidak membahas mengenai penolakan Ayu, dan dia tidak memaksa. Akhirnya mereka berjalan beriringan menuju ruang rapat.

Dari belakang, Sigit memperhatikan interaksi Yudi dan Ayu. Bukan rahasia kalau Yudi memang mengincar Ayu, bahkan bukan hanya Yudi saja, tapi Edo dan Willy - yang mainnya lebih 'cantik' dan nggak sradak-sruduk kayak Edo - juga ikut mengincar Ayu.

Ayu memang tidak menunjukkan ketertarikan kepada salah satu dari mereka, dan dia mempertahankan profesionalitasnya. Sigit mau tidak mau merasa senang saat Ayu menghindari sentuhan Yudi barusan. Tapi sampai kapan Ayu akan bertahan dikelilingi empat pria - tentu saja Rizal tidak dihitung - yang mengincarnya?

Sigit merutuki kebodohannya kemarin, kebiasaannya setiap ada yang terluka, yang terbiasa dia lakukan akibat pengaruh perempuan itu, yang mungkin saja membuat Ayu bingung dan illfeel padanya.

Oleh sebab itu, kemarin dia langsung melarikan diri dari Ayu, dan bersembunyi di salah satu sudut kantor mengawasi Ayu, dan bernafas lega saat melihat Ayu yang pulang sendirian ke apartemennya, dan bukan bersama Yudi.

Gue harus cari cara supaya Ayu nggak nganggep gue aneh, batin Sigit.

Mereka semua masuk ke ruang rapat, di mana Mbak Rini dan Pak Rudy sudah menyiapkan makan malam untuk mereka semua, bersama beberapa karyawan management mereka.

***

Ayu terbengong saat membuka pintu ruang rapat, dan Mbak Rini langsung menggandengnya duduk.

"Ada apa nih, Mbak?"

"Makan-makan, perayaan kamu sebulan kerja di sini," jawab Mbak Rini.

"Makasih," ucap Ayu sambil tersenyum.

"Gimana sebulan ini? Betah, Yu?" tanya Pak Rudy, dan Ayu mengangguk.

"Sejauh ini betah, Pak."

"Ya betahlah, kan ada saya," sahut Edo, sambil mengacungkan botol wine yang baru saja dia buka.

Ayu melotot, baru sadar akan keberadaan minuman beralkohol tersebut.

Mati gue, batin Ayu.

***

Sigit langsung sadar ada yang tidak beres pada Ayu saat senyumnya sudah mulai ganjil.

Ayu nggak kuat minum wine?

Sigit melirik anggota yang lain, yang sepertinya juga mulai sadar kalau Ayu mabuk.

Sigit harus segera bertindak. Dia bisa digorok Theo kalau sampai Ayu kenapa-kenapa. Ini bahkan baru satu bulan Ayu bekerja.

Sok pahlawan lo, padahal lo juga pengen ngapa-ngapain Ayu, kata batinnya yang brengsek.

Sigit melirik Mbak Rini yang mengobrol dengan Yudi dan Rizal, tidak memperhatikan Ayu. Jadi Sigit menggeser duduknya mendekati Ayu, yang menoleh padanya sambil tersenyum lebar.

"Hai, Ganteng," sapa Ayu, membuat Sigit semakin yakin kalau Ayu mabuk. Ayu yang sedang sadar tidak mungkin mengatakan kalau dia ganteng.

"Kita pulang," kata Sigit segera. Namun Ayu menggeleng.

"Buru-buru amat."

"Lo mabuk."

"Nggak," kata Ayu sambil menggeleng pelan. Bahkan gelengannya pun sudah sangat aneh.

Tahu kalau caranya tidak akan berhasil, Sigit menekan ponselnya dan mendekatkannya ke telinga.

"Kenapa?" tanya suara di seberang telepon, si sepupu Ayu sekaligus teman Sigit, Theo Harsyah.

"Sepupu lo nggak bisa minum ya?"

Seketika itu juga nada suara Theo menjadi keras. Sigit sampai harus menjauhkan ponselnya karena mendengar teriakan Theo.

"Lo di mana sama sepupu gue, Bangsat?!!"

"Easy, Boy. Gue sama dia makan-makan sama yang lain di kantor."

Suara Theo mulai melunak. "Rame-rame?"

"Ya. Lo bisa tolong bujuk dia supaya pulang sekarang?"

"Kasih ponselnya ke dia."

Sigit menempelkan ponselnya ke telinga Ayu, yang langsung merengut.

"Apaan sih, The? Bokap gue aja nggak sebawel lo."

"Ih, iya, iya. Nih," kata Ayu sambil mengembalikan ponselnya kepada Sigit, yang kembali menempelkannya di telinga.

"Tolong bawa dia ke rumah gue ya, Git."

"Iya, iya."

"Thanks."

Sambungan telepon diputus, dan Sigit merutuk dalam hati. Niat baik malah kena damprat.

"Yuk, pulang," kata Sigit lagi, dan ajaibnya, kali ini Ayu menurut. Dia berdiri, dan tersenyum kepada mereka semua.

"Saya pulang dulu. Terima kasih untuk semuanya."

"Lho? Sudah mau pulang? Kok buru-buru?"

"Saya lupa, ada janji dengan sepupu saya. Kalau nggak pulang, nanti anaknya keburu tidur."

Lalu Ayu mengambil tasnya, dan dengan langkah mantap melangkah keluar dari ruangan, sampai-sampai Sigit jadi tidak yakin kalau Ayu benar-benar mabuk.

Tapi begitu Ayu berada di luar ruang rapat, tubuhnya langsung terhuyung, dan jatuh terbaring di lantai, membuat Sigit kaget setengah mati.

"Woi, Yu," kata Sigit sambil menepuk wajah Ayu. Namun Ayu malah mengerang dan memejamkan matanya.

Sigit menghela nafas panjang, dan akhirnya memutuskan untuk menggendong Ayu ke mobilnya. Bukan perkara mudah, bukan karena Ayu berat, karena berat Ayu sama sekali tidak terasa, tapi posisi Ayu yang defenseless dengan bibir yang terbuka menggodanya, membuat Sigit kesulitan menahan diri. Tapi prinsipnya yang tidak akan pernah meniduri wanita mabuk menguasai nafsunya, sehingga Sigit berhasil membaringkan Ayu di kursi belakang mobilnya dengan susah payah.

Sesekali matanya melirik ke spion, memastikan wanita di belakang tidak berbuat macam-macam, atau lebih parahnya lagi, muntah di mobilnya. Sesekali Sigit mendengar Ayu mengerang, tapi tidak membuka matanya sama sekali.

Ponsel Sigit berdering saat Sigit masih asik menatap Ayu dari spion. Melihat nama siapa yang berkedip di layar, Sigit menghela nafas pelan.

"Kenapa, Susan?"

"Kamu nggak ada di apartemen? Dari tadi aku pencet bel nggak ada respon. Aku nungguin kamu di apartemen kamu, nih. Kamu kok nggak pulang-pulang?"

Sigit menarik nafas panjang, lelah.

"Ada acara di kantor tadi sama anak-anak."

"Masih lama? Aku kedinginan..." ucap Susan dengan nada manja, dan Sigit tahu persis apa maksudnya. Susan sengaja bicara dengan ambigu, memancing reaksi Sigit. Bisa saja dia kedinginan menunggu di lorong apartemennya, atau karena hal lain.

"Kalau dingin, pulang aja sana."

"Kok kamu gitu?? Aku udah susah payah datang nemuin kamu, padahal aku sibuk banget-" ucap Susan lagi dengan nada merajuk, dan Sigit muak mendengarnya.

"Apa aku ada minta kamu datang hari ini?"

"Brengsek kamu, Sigit!!"

"Kamu baru tahu?"

"Ugh, kita putus aja deh!! Kamu nggak sayang sama aku!!"

"Oke."

"Kamu setuju-?"

Tak ingin mendengar lagi, Sigit mematikan sambungan teleponnya. Inilah yang membuatnya malas menjalin hubungan dengan wanita. Mereka yang minta jadian, mereka juga yang minta putus. Mereka sangat suka mencampuri urusannya, bertanya macam-macam dan mengganggunya. Wanita adalah makhluk egois.

Untung saja dia tidak pernah memberikan kunci apartemennya kepada wanita yang berstatus pacarnya. Sigit tidak bisa membayangkan kekacauan apa yang akan terjadi di apartemennya kalau saja wanita-wanita gila itu memiliki kuncinya. Mungkin besok Sigit akan tidur di jalanan.

Tak berapa lama kemudian, Sigit memasuki pekarangan rumah Theo. Setelah memarkir mobilnya, Sigit beranjak dari tempatnya dan menuju kursi belakang untuk menggendong Ayu turun. Namun, begitu dia membuka pintu belakang, Sigit terpaku. Kemeja Ayu yang membungkus tubuhnya dengan pas, saat ini sedikit terangkat karena gerakan Ayu, memperlihatkan pinggang dan punggungnya. Tanpa sadar Sigit melarikan jarinya menyusuri kulit Ayu yang kecoklatan, membelainya dengan hati-hati seakan yang disentuhnya itu serapuh porselen. Namun, begitu Ayu bergerak, Sigit langsung menarik tangannya terkejut, tersadar akan apa yang dia lakukan, dan tertawa, menertawai kebodohannya.

Sigit membenarkan kemeja Ayu, dan perlahan menggendongnya menuju pintu utama.

***

Sigit masih duduk di dalam mobilnya selama beberapa waktu setelah menyerahkan Ayu kepada sepupunya itu, belum berniat beranjak dari tempatnya. Dia tangannya yang masih tidak ingin melupakan rasa kulit sehalus porselen yang disentuhnya barusan, sementara kejantanannya tidak mau melunak sama sekali di balik celana yang dia kenakan.

Hanya gara-gara punggung dan pinggang. Sejak kapan fetishnya berganti?

Setelah berapa lama gairahnya belum juga surut, Sigit memutuskan untuk mencari teman tidur untuk meredakan hasratnya. Sigit mencari ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Hai, Yul. Tunangan lo lagi ke luar kota? Nganggur dong lo. Ke apartemen gue ya."

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro