shi jū - go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

CIE YANG UDAH DIBIARIN NUNGGU DUA MINGGU LEBIH, TERUS DAPET UPDATE 3 HARI BERTURUT-TURUT.

Oke, kembali ke laptop.

Saya lagi suka lagu ini. Andy Grammer - Don't give up on me. Tapi saya belum nonton filmnya. Masih nyiapin mental buat baper.

Oya, yang belum merasa baca bagian Sigit nyamperin ke rumahnya Liam, tolong balik ke part shi jū-san.



Yang belum merasa baca bagian Sigit ketemu nyokapnya, balik ke part sebelumnya.



Yang bingung ini cerita apa, balik ke part satu. Baca ulang dulu sana.

Oke, sekarang fokus.

Nggak terasa udah part 45. Dikit lagi tamat, yeyyy

Erm, kupikir part 44 komentarnya bakal lebih kalem dibanding part 43, tapi ternyata nggak juga 😅😅 yasudahlah

Mungkin cerita aku agak berlebihan, tapi aku yakin kalian nangkep maksud aku kan? Selingkuh, dengan alasan apapun, nggak dibenarkan.

Aku juga mau bilang, nggak semua wanita yang bisa melahirkan bisa jadi ibu. Udah gitu aja.

Tapi setidaknya lima tahun pertama hidupnya, Lita berhasil membuat Sigit bahagia sebagai anak. That's why Sigit bisa segitu bencinya sama ibunya, karena dia dicintai, lalu ditinggal begitu saja tanpa kejelasan. Lebih parah daripada gebetan yang ngasih perhatian, habis itu ilang gak ada kabar.

Bagian flashback berpotensi membuat kalian ngomel2 lagi, jadi tarik nafas dan hembuskan dulu secara perlahan, baru baca ya.

Sorry for typos

Enjoy ❤️

-----------------------

Sigit menunggu di depan rumah dengan tidak sabar, karena Mama mengatakan kalau hari ini Papinya pulang dari Bandung. Mamanya duduk di bangku teras, membaca buku sambil sesekali melihat pada Sigit.

Lalu sosok ayahnya muncul, turun dari taksi yang berhenti di depan rumah mereka, dan Sigit yang tidak sabar lalu berlari mendekati ayahnya. Namun karena terlalu bersemangat, dia tersandung.

Mamanya dengan perlahan mendekatinya, dan Papinya juga mendekatinya sambil menarik koper. Bukannya tidak khawatir, namun mereka sama-sama belajar, kalau anak jatuh dan mereka panik, anak itu akan jauh lebih panik dan malah menangis.

Mamanya dengan lembut membantu Sigit yang sudah berkaca-kaca untuk bangun, dan memindai cepat seluruh tubuh Sigit untuk melihat apakah ada yang terluka, sementara Papinya menunduk untuk menatap Sigit di matanya.

"Sakitkah?" tanya Papinya, dan Sigit mengangguk.

"Kamu luka. Kita obati dulu ya," kata Mamanya, dan Papinya langsung menggendong Sigit sambil mengangkat kopernya masuk ke rumah.

Papinya mendudukkan Sigit di salah satu kursi, sementara Mamanya mengambil kotak obat.

"Kenapa Sigit berlari-lari?" tanya Papinya, saat Mamanya mengobati Sigit.

"Cigit kangen Papi..."

Mamanya tersenyum simpul, sementara Papinya menepuk kepala Sigit.

"Papi juga kangen Sigit. Tapi Papi tidak suka melihat Sigit berlarian seperti tadi. Papi khawatir. Kalau Sigit sakit, Papi lebih sakit lagi."

"Maafkan Cigit..."

Mamanya menempelkan plester di lukanya, lalu mengecupnya lembut.

*Sakit, sakit, pergilah..."

Lalu Mamanya mengecup puncak kepala Sigit.

"Masih sakit?"

Sigit menggeleng, walaupun sebenarnya lukanya masih berdenyut sakit.

"Kan udah Mama cium. Udah nggak cakit."

Mamanya tersenyum, lalu menepuk kepala Sigit.

"Anak pintar."

Sigit ikut tersenyum lebar, lalu melihat pada Papinya dengan mata berbinar.

"Papi.."

"Iya?"

"Mama punya kejutan buat Papi."

"Kejutan?"

Papinya menoleh kepada Mamanya dengan bingung, sementara Mamanya mengedipkan mata pada Sigit yang menatap mereka berdua dengan mata berbinar.

"Aku hamil, Ji."

Papinya membelalakkan mata, lalu tiba-tiba, Mamanya sudah dipeluk dan dibuat berputar-putar oleh sang ayah. Mamanya hanya bisa memekik sambil tertawa.

"Astaga, Lit.. oh astaga..."

Papinya menurunkan Mamanya lalu mengecupi seluruh wajahnya.

"Ini benar-benar kejutan. Terima kasih, Lita.. aku mencintaimu."

"Aku juga, Ji."

"Cigit jugaa!!!"

Kedua orangtuanya menoleh dan menatap Sigit yang menyahut tiba-tiba, lalu keduanya tertawa dan Aji langsung mengangkat Sigit, lalu mereka berdua mengecupi wajah Sigit sampai Sigit kewalahan menerima serangan kedua orangtuanya.

***

Sigit terbangun dengan senyum lebar di wajahnya. Mimpinya tidak mengganggunya lagi.

Setelah memilih untuk melanjutkan hidupnya dan meninggalkan masa lalunya di belakang, dia merasa jauh lebih tenang. Sigit belajar untuk memprioritaskan kenangan indah lima tahun pertama hidupnya, saat mereka masih hidup bahagia sebagai keluarga yang utuh, dengan Papi dan Mama yang menyayanginya, dan keluarga yang hangat.

Sigit bangun, dan mendekati ranjang pasien, di mana Ayu masih tidur lelap. Sigit duduk di kursi sebelah ranjang, dan tangannya menggenggam tangan Ayu yang tidak tertusuk infus.

Sigit berencana melakukannya hari ini. Melamar Ayu.

Walaupun sebenarnya Sigit berencana melamar Ayu di luar kota, dengan dalih pekerjaan Petir. Semua sudah direncanakan jauh-jauh hari, Sigit bahkan sudah sengaja meminta bantuan Bang Yudi dan personil yang lain, termasuk Mbak Rini, untuk mengatur jadwal dengan Ayu supaya bisa membuatnya pergi keluar kota selama beberapa hari, lalu Sigit menyusul untuk melamarnya. Kalau Sigit yang meminta, bisa-bisa Ayu curiga.

Tapi dengan kondisi seperti ini, Sigit harus mencari plan B.

Sigit membelai jemari Ayu yang kosong tanpa hiasan, lalu tersenyum, membayangkan cincinnya akan berada di sana sebelum malam tiba.

Dia sudah tidak sabar lagi.

***

Siangnya, Nina datang sendirian, karena May mendadak demam dan Flo tidak mungkin meninggalkan putrinya hanya bersama babysitter.

Sementara Theo datang, membuat alasan supaya dia dan Sigit bisa pulang ke apartemen Sigit untuk mengambil cincin lamarannya. Kalau Sigit yang minta izin, pasti langsung ketahuan karena Sigit tidak pandai berbohong.

Jadi tinggallah mereka berdua di rumah sakit, mengobrol sementara Nina mengupaskan apel untuknya dan Ayu.

"Jadi gimana masalah si minyak goreng itu?"

"Minyak goreng? Kenapa lo jadi ngomongin minyak goreng?"

"Shania, dodol!! Astaga, lo ternyata lemotnya lebih parah dari Flo."

"Oh, Shania," kata Ayu, mengabaikan ejekan Nina. "Ya nggak gimana-gimana."

"Kalau lama, gue mau minta Leon turun tangan aja, biar dia dihukum-"

"Nggak usah. Menurut gue, dia cuma kehasut."

"Kehasut? Maksud lo?"

"Ya, kehasut omongan nyokapnya. Makanya dia jadi ikutan nganggep Sigit jelek. Padahal mereka nggak kenal Sigit sama sekali."

"Ya, saudara sedarah belum tentu jadi orang yang paling kenal kita."

"Yup."

"Tapi, Yu," lanjut Nina dengan geram,"lo beneran nggak mau nuntut dia? Ini lo sampai kenapa-kenapa gara-gara dia lho."

"Nggak ah, males," jawab Ayu enteng. "Gue biarin Liam aja yang urus. Kalau mau nempuh jalur hukum, ya gue ikut aja. Kalau nggak, ya nggak masalah."

"Serius?" tanya Nina, sangsi.

"Iya, serius. Masalahnya ini keluarga Liam dan Sigit yang bersangkutan. Gue masih berharap bisa dibereskan secara kekeluargaan. Lagipula," Ayu menyeringai, "Liam nggak akan semudah itu melepaskan ibu tiri dan adik tirinya."

"Yah..." ucap Nina sambil menarik nafas panjang. "Gue udah curiga dia nggak sebaik kelihatannya. Sama lah kayak laki gue. Lurus sih lurus, tapi mainannya- duh, gue kadang masih serem kalau ketemu anak buahnya yang itu, yang ikutan dia ke Puncak buat nyelametin Flo."

"Yang mana? Yang ganteng itu ya?"

"Ganteng sih ganteng. Tapi dia yang paling keji diantara semua anak buah Leon. Untung aja loyal setengah mati. Udah kayak temenan kalau sama Leon. Kalau main sama anak gue, nggak keliatan sama sekali kalau hobinya bunuhin orang."

Ayu tertawa melihat Nina yang bercerita sambil bergidik.

"Pokoknya," lanjut Nina, "kalau perlu bantuan, Leon pasti mau bantuin. Dia udah greget mau beresin ini, buat lo. Tapi karena lo bilang jangan, dia nahan diri. Dia ngerti sih, kalau lo menghargai hubungan lo dengan Sigit dan Liam."

"Ya... Bang Leon terlalu ganas, gue nggak tega sama mereka kalau Bang Leon yang turun tangan."

Nina tertawa, dan Ayu juga ikut tertawa.

Tak lama, Liam datang, bertepatan dengan tim dokter yang visit.

"Selamat siang, Masayu. Gimana? Makannya lancar?"

"Lancar banget, Dok. Saking lancarnya, saya takut pulang dari rumah sakit, bukannya kurusan malah makin gendut."

Dokter itu tersenyum, lalu salah satu anggota timnya menyerahkan berkas, dan Ayu melirik berkas itu.

"Apa Anda keluarganya? Saya ingin membicarakan mengenai hasil tes Masayu," kata dokter itu pada Nina dan Liam. Namun sebelum mereka menjawab, Ayu lebih dulu bicara.

"Dokter bisa mengatakannya di depan saya. Bagaimana hasil tes saya, Dokter?"

***

Sigit melangkah dengan ringan, bersama Theo, sementara di kantungnya sudah tersimpan rapi cincin untuk melamar Ayu.

Namun saat tiba di depan kamar inap Ayu, mereka berdua sama-sama mengernyit melihat Liam berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar. Tidak ada Liam yang tenang seperti biasa. Lalu mereka menyadari kalau Nina pun duduk di salah satu kursi panjang, sambil menundukkan kepala, dengan kedua tangan menumpu kepalanya.

"Kalian kenapa di luar?" tanya Sigit, dan Liam mengangkat wajahnya, matanya memancarkan ekspresi sedih, sangat berbeda dengan Liam yang biasa.

"Ayu mengusir kami dari kamar."

"Kenapa-"

"Tadi dokter membawa hasil CT Scan Ayu."

Perasaan Sigit langsung tidak enak.

"Lalu....?"

Nina mengangkat wajahnya dan menatap mereka dengan murka.

"Ayu lumpuh permanen dari pinggang ke bawah. Cedera saraf tulang belakangnya terlalu parah, tidak bisa dioperasi atau disembuhkan lagi."

Theo memaki dengan keras, sementara Sigit tidak mampu berpikir lagi.

Di saat dia pikir segalanya akan membaik, kenapa ini justru terjadi pada Ayu?

Tanpa pikir panjang, Sigit membuka pintu kamar inap Ayu, dan mendapati Ayu yang menatap keluar jendela dengan sorot mata kosong, dan air mata mengalir tanpa henti.

"Ayu..."

Ayu menoleh, dan saat melihat Sigit, airmatanya mengalir semakin deras, namun tatapan matanya kosong.

"Kamu kembali."

"Tentu saja," kata Sigit pelan, sambil bergerak pelan mendekati Ayu. "Aku selalu kembali."

"Kamu nggak perlu melakukannya lagi. Pulanglah. Jangan kembali lagi."

"Yu..."

Sigit mencoba menyentuh dan menggenggam tangan Ayu, namun Ayu menarik tangannya menjauh.

"Kamu pasti sudah dengar kondisiku."

Sigit mengangguk.

"Bagus. Kalau begitu akan lebih gampang buat kamu menerima ini. Kita putus ya, Git."

Sigit terdiam.

Lalu Sigit tersenyum, namun senyum itu sama sekali tidak sampai ke matanya.

"Becanda kamu nggak lucu sama sekali, Yu."

"Aku nggak becanda. Kita putus ya, dan kamu nggak perlu datang ke sini lagi. Sekalian beritahu mereka semua yang di luar, untuk pulang saja. Nggak perlu nungguin aku."

"Nggak, kita nggak akan putus. Kita akan menikah."

Sigit mengeluarkan cincin dari kantungnya dan menyodorkannya pada Ayu, yang menatapnya sambil membelalak kaget.

Dalam hati Sigit mengumpat. Ini benar-benar nggak romantis, tapi gue harus melakukannya sekarang, sebelum Ayu benar-benar mutusin gue.

"Menikah sama aku, ya?"

Sekarang Ayu kehilangan kendali dirinya, dan berteriak pada Sigit.

"Aku lumpuh, Git!! Seumur hidup aku bakal duduk di kursi roda! Aku mati dari pinggang ke bawah! Aku bahkan nggak bisa merasakan kapan aku buang air, Git!! Kamu hanya akan menyusahkan diri kamu sendiri dengan nikahin aku, dan-" Ayu menarik nafas sebelum kembali bicara dengan suara yang lebih pelan, "tinggal tunggu waktu, kamu akan bosan dan ninggalin aku."

"Nggak akan."

Ayu menggeleng.

"Kamu nggak ngerti sama sekali. Aku mati dari pinggang ke bawah, Git. Aku nggak akan pernah bisa menuhin kebutuhan biologis kamu, dan aku malah akan nyusahin kamu! Nggak, aku nggak bisa nikah sama kamu. Kamu nggak perlu kasihani aku, aku bisa kok hidup sendiri."

Kali ini Sigit yang sudah tidak tahan. Tidak peduli Ayu baru saja terguncang karena berita buruk yang diterimanya, Sigit justru berteriak balik.

"AKU YANG NGGAK BISA HIDUP SENDIRI TANPA KAMU!! AKU NGGAK PEDULI KAMU BAKAL NYUSAHIN AKU SEUMUR HIDUP, KARENA AKU BAKAL DENGAN SENANG HATI NGURUSIN KAMU DAN DENGERIN KEBAWELAN KAMU TIAP HARI!"

Ayu tersentak, dan Sigit menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan kata-katanya dengan suara lebih pelan.

"Kebutuhan biologis aku udah bukan hal terpenting sekarang, Yu. Aku udah nggak mungkin bisa puas dengan wanita lain, sementara kamu udah bikin aku menikmati rasanya bersentuhan dengan perempuan yang aku cinta. Aku bisa kok, hidup dengan tangan dan mulut kamu doang."

Kali ini Ayu menganga, terkejut dengan kata-kata Sigit, yang malah tersenyum geli melihat tampang Ayu.

Namun wajahnya kembali serius saat menggenggam tangan Ayu, yang kali ini tidak menolaknya.

"Nikah sama aku ya, Yu. Aku janji akan ngurusin kamu seumur hidup aku."

"Kamu bisa ngomong gitu sekarang, tapi dalam satu-dua bulan, kamu akan bosan ngurusin orang cacat kayak aku-"

"Fisik kamu boleh berubah, Yu. Tapi cinta aku ke kamu bukan sebatas fisik."

Sigit menghapus jejak air mata di pipi Ayu, dan menatapnya lembut.

"Tapi kumohon, tetaplah jadi Masayu yang optimis, yang saking baik hatinya sampai aku kadang greget sama kamu, yang bawelnya nggak ketulungan, yang kadang begitu manja sampai aku bingung, tapi kadang begitu mandiri sampai aku bingung juga."

Ayu menatap Sigit, dan Sigit sadar kalau Ayu masih keras kepala, dan berusaha membuatnya pergi dari hidupnya.

Tapi dia tidak akan menyerah. Dia sudah pernah nyaris kehilangan Ayu satu kali, karena kebodohannya sendiri, dan dia tidak mau mengulangi kesalahannya lagi. Sebuah penyakit tidak akan membuatnya mundur.

"Kamu nggak perlu berkorban buat aku kayak gini. Kalau kamu mau pergi, kamu akan menemukan perempuan lain, yang kamu cinta, yang fisiknya sempurna."

"Yu. Kalau kamu merasa aku berkorban buat kamu, kamu salah. Kamu yang berkorban buat aku. Emang kamu lupa, siapa yang bikin kamu kayak begini?"

"Aku sudah memaafkannya. Tapi aku nggak perlu rasa kasihan darimu."

"Yu," ucap Sigit, mulai kesal. "Aku nggak kasihan sama kamu. Aku tuh mau nikah sama kamu. Gitu aja kok susah banget sih, daritadi?"

"Kamu mau nikah sama aku karena bersalah dan kasihan sama aku."

"Aku mau nikah sama kamu karena aku maunya kamu yang jadi isteri aku. Aku tuh udah siapin cincin ini dari seminggu yang lalu. Kalau nggak percaya, tanya aja sama Theo. Menurut kamu, kenapa Theo bisa tiba-tiba ngizinin aku nginep dan tidur bareng kamu? Karena dia tahu aku udah beli cincin buat melamar kamu. Aku bahkan udah beli rumah buat kita nantinya. Kamu inget pas kamu nelepon aku dan aku lagi bareng Flo? Itu aku lagi deal-in proses jual belinya, dan Flo yang nemenin aku. Sumpah, kalau nggak ada Flo waktu itu, aku pasti udah jujur bilang aku lagi beli rumah buat kita."

Ayu menganga kaget, sementara Sigit menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.

"Ya ampun, aku emang nggak bisa nyimpan rahasia sama sekali. Aku sampai diomeli Theo berkali-kali karena udah kebelet pengen melamar kamu. Katanya aku harus siapin semuanya dengan baik, kalau perlu yang romantis. Dia pasti ngomel kalau tahu aku ngelamar kamu sambil marah-marah begini."

Ayu semakin menganga. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Sigit mampu berpikir seperti itu.

Ayu tahu sekali kalau Sigit trauma akan pernikahan, karena hubungan orangtuanya yang menikah atas dasar cinta itu, berakhir mengenaskan.

Tapi Sigit bisa berencana menikahinya bahkan sejak masalah dengan ibunya belum tuntas, dan Ayu merasakan hatinya menghangat.

Tanpa sadar, airmatanya kembali mengalir.

"Tapi, aku akan benar-benar nyusahin kamu-"

"Yu, kalau aku sampai nggak bisa ngurusin kamu dengan benar dan bersih, aku bakal nyewa orang untuk bantuin aku ngurusin kamu. Nggak usah khawatir kamu bakal lecet sama aku. Yang paling penting buat aku itu kamu. Hanya kamu, Yu. Jadi nikah sama aku ya? Aku nggak janji akan bikin kamu ketawa tiap hari, tapi aku janji nggak akan pernah nyakitin kamu dengan sengaja."

"Kamu tahu, kalau keadaan aku, bakal bikin hidup aku nggak akan panjang? Bisa jadi, cedera aku akan merembet dan membuat organ tubuhku yang lain menurun fungsi kerjanya, dan kondisiku makin parah."

"Kalau sampai itu yang terjadi, aku mau kamu ngizinin aku nemenin kamu terus. Kalau perlu, pas kamu meninggal, aku ikutan aja-"

"Heh!! Ngaco!! Sembarangan ya, ngomongnya!!"

Sigit tertawa melihat wajah kesal Ayu, dan mengecup hidung Ayu lembut.

"Aku sih berharap aku yang meninggal duluan, biar aku nggak perlu hidup tanpa kamu."

"Ngaco, dasar gombal," ucap Ayu, wajahnya kini memerah, dan Sigit kembali mengecup hidungnya.

"Jadi, nikah sama aku ya. Kamu nggak boleh nolak. Masa aku udah ngomong panjang lebar begini, masih ditolak juga?" kata Sigit seenaknya, lalu dengan seenaknya juga menyelipkan cincin di jari manis Ayu.

"Aku belum bilang apa-apa, Git."

"Bodo amat."

"Heh!!!"

Ayu memukuli dada Sigit kesal, dan Sigit tertawa, lalu menarik Ayu dalam pelukan.

"Calon isteri aku."

"Aku belum bilang iya."

"Aku tahu kamu pasti bilang iya."

"Kepedean."

"Kenyataan kok."

Ayu berdecak, namun tangannya bergerak memeluk pinggang Sigit.

"Git..."

"Hmm?"

"Terima kasih..."

"Buat?"

"Mau nikahin aku..."

"Aku yang mustinya bilang terima kasih."

"Hah?"

"Karena mau nikah sama aku..."

"Emang aku udah bilang iya?"

"Aku tahu kamu pasti bilang iya."

"Kepedean banget sih."

Sigit tertawa.

"Bilang iya, dong."

"Iya, iya. Seneng kamu?"

"Banget."

Sigit mengeratkan pelukannya, dan bibirnya mengecup sisi kepala Ayu. Calon isterinya.

Tbc

Shania nggak jadi muncul. Saya keasikan bikin proposalnya, terus jadinya puanjanggggg buangettttt jadinya ya udah lah ya. Abang ganteng dari Jepang juga kelupaan. Tar ajalah. Part depan aja kalau gak lupa.

Semoga suka.

Eniweii, saya mau nanya. Kalau saya bikin cerita tentang organisasi belakang layarnya Leon, kalian mau baca nggak? Idenya sih udah nyaris rampung, tapi mengingat pembaca cerita saya banyak yang teriak2 kalau ceritanya berdarah2, saya nanya dulu.

Kalau mau, abang ganteng yang diomongin Nina dan Ayu bakalan nongol ihiyyy 😍

Kalau nggak mau, saya bakal ganti pemeran utamanya, dan bakalan jadi cerita lepas dengan dua pemeran utama yang nyaris gak pernah muncul di cerita yang sudah ada, tapi masih di universe ini. Jadi kalau kalian nggak mau baca, nggak apa-apa.

Terus ceritanya Hendra gimana dong?

Nah, ini dia. Ceritanya Hendra itu di pikiran aku udah keburu tamat. Jadi aku kehilangan mood buat lanjutin. Mager. 😢

Actually, cerita ini juga sebenarnya udah tamat di pikiran aku. Tapi untungnya udah masuk konflik, jadi lebih gampang ngumpulin moodnya. Tapi ceritanya Hendra, ya amploppp... Masih awal banget. Aku mau nangis 😫😫

Kenapa gue malah curhat panjang lebar begini? Terus kalian baca pula 🤣🤣

Terima kasih utk semua vote dan komen kalian, termasuk yang nanggepin curhat saya yang nggak jelas berfaedah apa nggak. Kayaknya sih nggak 🙄

Sampai jumpa di part selanjutnya, yang belum tau kapan. Beneran, saya weekend ini sibuk. Tadinya hari ini juga, eh nggak jadi sibuk, terus nulisnya lagi lancar, update deh 🤣🤣 tapi yang besok jadi sibuknya.

publish tanggal 27juni2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro