shi jū - shi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gilaaakkkk komentar kalian di part sebelumnya sih ganas-ganas lho. Saya sampai seram sendiri.

Tahan dulu, belum dengar dari sisi emaknya kan? Siapa tahu pendapat kalian berubah, jadi lebih kesel *eh 😛😛 canda deng

Yang merasa belum pernah baca part Sigit tiba-tiba ke rumah Liam buat ketemu tante Lita, silakan baca part sebelumnya dulu.

Yang merasa nggak ingat siapa Sigit, silakan baca ulang dari part satu 😛

Sorry for typos

Enjoy ❤️

---------------------------------

Raymond yang mendengar teriakan itu langsung menghambur keluar ruangan dan memeluk wanita itu, yang masih menjerit histeris sambil menunjuk Sigit.

"Dia bukan Aji, Lita. Dia Sigit, dia bukan Aji," ucap Raymond berulang kali, dan wanita itu, Karlita Tanama, menangis dalam pelukan suaminya, namun sudah berhenti menjerit.

Sigit hanya berdiri terpaku, melihat wanita itu menangis dan menolak menatapnya.

Sebegitu miripkah gue dengan pria itu? Ataukah ini karena dia trauma akibat siksaan pria itu dulu? Batin Sigit, merasakan dadanya nyeri mendengar tangisan wanita yang melahirkannya itu.

Sepertinya Karlita mulai berhasil menguasai dirinya, dan dengan takut-takut menatap Sigit.

"Kenapa- dia bisa ada di sini?" ucapnya, dengan nada suara yang lebih tenang.

"Dia ingin bertemu denganmu."

"Nggak," ucap Karlita sambil menyembunyikan wajahnya di tubuh Raymond. "Aku nggak mau melihat dia, Ray."

Hati Sigit kembali sakit. Ibunya sendiri menolak melihatnya. Ibunya bahkan menolak menyebut namanya.

Gue harus kuat, batin Sigit. Gue datang hanya demi jawaban, dan gue akan pulang dengan jawaban.

"Saya datang hanya untuk meminta jawaban jujur dari Anda," ucap Sigit, dan Lita mengintip ke arahnya dengan enggan.

"Kamu sudah mendapat jawabanmu, sekarang pulanglah!" usir Raymond, namun Sigit bergeming. Matanya menatap lurus pada wanita itu, wanita yang dia cintai namun dibencinya setengah mati.

Wanita itu sudah menua, Sigit menyadarinya. Dia kelihatan berbeda dengan sosok ibu di ingatan Sigit. Sosok ibunya yang dia ingat adalah wanita muda yang sederhana dan penuh senyum. Bahkan saat ayahnya meninggalkan sang ibu dalam kondisi babak belurpun, dia masih sanggup tersenyum dan bertanya pada Sigit apa yang dia mau makan keesokan harinya.

Namun saat ini, sinar lembut dan penuh kasih sayang itu sudah tidak ada. Di depannya hanya ada sosok yang mirip ibunya, dengan penampilan yang lebih glamor, dan dengan sorot mata takut saat melihatnya.

"Saya perlu jawaban jujur dari Nyonya Karlita Tanama."

Lita memeluk Raymond erat, namun mengucap pelan,"saya tidak mau bertemu denganmu lagi."

"Baik. Setelah Anda menjawab semua pertanyaan saya dengan jujur, saya tidak akan pernah menemui Anda lagi," ucap Sigit tenang, namun dengan hati yang remuk redam.

"Baik. Apa yang ingin kamu tanyakan?"

"Kenapa Anda mengkhianati Papa?"

"Karena dia selalu meninggalkanku sendirian di rumah bersama kamu. Dia selalu pergi bekerja, keluar kota, tapi karena kamu sudah ada diantara kami, aku tidak bisa ikut dengannya lagi. Dia bahkan lembur saat anniversary kami."

"Lalu pria ini muncul dan memberi Anda perhatian, seperti jaman dulu?"

"Ya. Saya mencintai Aji, tapi ternyata tidak sebesar itu."

"Lalu- kenapa Anda meninggalkan saya, dan kabur hanya membawa Shania?"

"Karena saya benci melihat wajah Aji, dan kamu sangat mirip dengannya. Ternyata dugaan saya tepat. Kamu tumbuh semakin hari semakin mirip Aji. Keputusan saya sudah tepat."

Ada sesuatu emosi lain yang muncul pada Sigit, terutama saat melihat Karlita menjawabnya dengan tenang. Dadanya sakit, bukan karena sedih saja, tapi karena marah.

"Hanya," ucap Sigit lambat-lambat, "karena saya mirip dengan mantan suami Anda, Anda meninggalkan saya untuk disiksa olehnya?? Ibu macam apa Anda??"

"Saya harus melindungi Shania. Kamu laki-laki. Kamu kuat. Terbukti, kamu baik-baik saja saat ini. Tidak ada luka besar. Kamu tidak terluka parah. Kamu sehat."

"TIDAK TERLUKA PARAH???"

Sigit menarik lepas t-shirt dan berbalik sambil menunjuk punggungnya, membuat Lita dan Raymond sama-sama terkesiap kaget. Lalu Sigit kembali berbalik dan mengenakan kembali kausnya, dan menatap Lita dengan pandangan tajam, namun sorot kecewa begitu kuat terpancar dari sana.

"Anda yang disiksa satu tahun saja trauma, lalu menurut Anda, bagaimana dengan saya yang menggantikan posisi Anda selama empat tahun?? Empat tahun saya tidak bisa tidur nyenyak karena takut dia kembali dan menambah luka yang bahkan belum mengering. Saya bahkan tidak bisa mengenakan kaus tanpa kesakitan selama empat tahun. Dan malam-malam setelah kepergiannya pun, saya selalu terbangun oleh suara kecil karena mengira itu langkah kakinya yang datang untuk memukuli saya. JADI COBA ANDA ULANG KEMBALI BAGIAN SAYA YANG BAIK-BAIK SAJA??"

Lita mengeraskan hatinya, dan mengucap pelan,"Kamu baik-baik saja."

Sigit mengumpat dengan keras, dan meninju tembok di dekatnya untuk melampiaskan emosi.

Sosok di depannya bukan ibunya lagi. Mungkin dulu dia adalah ibunya, namun sekarang dia adalah Karlita Tanama, orang yang benar-benar asing.

Sementara sang ibu, menahan diri untuk menangis. Menyesali apa yang sudah dia lakukan pada putra sulungnya itu. Dia sama sekali tidak tahu tentang semua bekas luka itu.

Tapi semua sudah terlambat. Dia tidak bisa hidup dengan melihat wajah mantan suaminya yang terpatri jelas di wajah Sigit. Melihat wajah itu hanya akan membangkitkan rasa bersalah dan ketakutannya.

Dia mencintai Aji, tapi Aji tidak mampu mengimbangi kemanjaannya. Aji selalu berharap supaya Lita mampu mandiri, menjaga rumah dan putra mereka yang masih sangat kecil, sementara dia bekerja mencari nafkah, namun Lita tidak sanggup. Dia kelelahan dan kesepian. Saat itulah Ray kembali muncul, memberi perhatian saat Lita merasa gersang. Menenangkan dan menguatkannya, lalu terjadilah hal itu, sampai akhirnya Lita hamil.

Bahkan pada awalnya, Lita sendiri tidak tahu Shania putri siapa, namun kecelakaan yang Shania alami mengungkap fakta tersebut, dan Aji, tentu saja, murka.

"Jadi, apa saya sudah menjawab semua pertanyaan kamu?" tanya Lita, lalu tanpa menunggu Sigit menjawab, dia melanjutkan," kalau sudah, boleh tolong kamu pergi?"

Sigit menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, lalu menatap Lita yang masih bersembunyi di balik suaminya.

"Terima kasih untuk jawaban Anda. Sekarang saya menjadi lebih yakin, kalau ibu saya benar-benar sudah tidak ada."

Lalu Sigit berjalan pelan mendekati Lita yang semakin mengerut dalam pelukan suaminya, dan tersenyum tipis.

"Terima kasih karena pernah menjadi ibu yang mencintai saya."

Lita mengangguk pelan.

Lalu Sigit berjalan menjauh, dan terhenti saat mendengar Lita kembali bicara.

"Kamu benar-benar mirip seperti Aji. Cerdas, tengil, memikat, dan sulit mengendalikan diri. Jangan terlalu mencintai pacarmu, kalau tidak mau berakhir sama seperti Aji."

Sigit menoleh dan menatap Lita dengan kemarahan yang ditahan setengah mati olehnya.

"Saya tidak akan pernah menyakiti Masayu dengan sengaja seperti Papi, karena Masayu tidak akan pernah berselingkuh dari saya seperti yang Anda lakukan."

Lalu Sigit berbalik dan pergi.

Dia sudah mendengar cukup. Dan dia tahu, begitu dia melangkahkan kaki keluar dari rumah ini, dia yatim piatu. Ayahnya sudah mati, dan ibunya juga sama.

Nggak punya orangtua nggak akan jadi hal mengerikan. Toh gue sudah terbiasa.

Lagipula, gue punya Ayu.

***

Baru saja Sigit melangkah keluar dari pintu utama, sebuah tangan menahannya dan Sigit berbalik.

Liam melihatnya dengan wajah datarnya yang biasa, dan tangan yang masih menahan tangan Sigit.

"Kamu datang naik apa? Saya nggak lihat kendaraan kamu."

"Mo-jek."

"Ikut saya. Saya antar kamu ke rumah sakit."

"Nggak perlu."

"Saya memaksa."

Lalu Liam menarik tangan Sigit menuju mobilnya, dan memaksanya masuk ke kursi penumpang di depan. Sigit yang sudah lelah baik fisik maupun mental, terpaksa mengikutinya.

Liam naik ke kursi pengemudi, menyalakan mobilnya dan membawa Sigit pergi dari rumah itu.

"Saya mendengar pembicaraan kalian," kata Liam tiba-tiba, dan Sigit mendengus.

"Nggak heran. Nyokap tiri lo menjerit kencang banget tadi."

"Shania juga."

Sigit diam, tak menjawab, dan Liam kembali bicara.

"Saya minta maaf."

"Untuk apa?"

"Karena sekarang mereka orangtua saya, dan mereka bersikap tidak adil kepadamu."

Sigit kembali mendengus.

"Nggak usah. Orangtua mungkin menanggung kesalahan anak, tapi anak tidak bertanggungjawab atas kesalahan orangtua. Lo nggak salah sama gue."

"Tapi mereka salah ke kamu."

"Itu urusan gue sama mereka."

"Oke. Kalau begitu, terima kasih."

"Buat apa?"

"Karena tidak menyamakan saya dengan mereka."

Sigit kembali mendengus, kali ini menoleh kepada Liam.

"Lo tuh aneh banget ya. Gue jadi nggak heran kenapa Ayu mau temenan sama lo. Antik banget sih, kayak prasasti. Tentu saja gue nggak bakal nyamain lo sama Bokap lo. Lo jauh lebih baik dari mereka. Kalau nggak, Ayu nggak bakal mau temenan sama lo. Gitu-gitu, dia bawel banget."

"Tapi Ayu nggak sepintar itu dalam menilai orang."

"Kalau itu gue setuju."

"Buktinya dia bisa cinta sama kamu."

"Bangsat!!"

Liam terkekeh pelan, dan Sigit ikut tertawa.

Setelah tawa mereka mereda, Liam berdeham pelan, dan bertanya, "kamu benar-benar kuat."

"Hah?"

"Saya tidak yakin masih bisa tertawa seperti kamu kalau saya yang mengalami ini semua."

Sigit mendengus pelan.

"Kalau lo udah menjalani kehidupan kayak neraka selama separuh hidup lo, omongan tadi nggak akan terlalu menyakitkan. Gue hanya perlu itu untuk penutup lembaran hidup gue yang kelam itu. Setidaknya, sekarang gue nggak akan bertanya-tanya lagi, kenapa wanita itu meninggalkan gue dan tidak pernah mencari gue."

Liam diam, membiarkan Sigit mengeluarkan isi hatinya.

"Setidaknya gue tahu satu hal. Bokap gue salah, tapi pemicunya bukan dia. Dia hanya terlalu mencintai wanita itu, sehingga tidak bisa menerima pengkhianatan wanita itu. Gue bisa bilang dengan jelas, kalau gue nggak akan jadi seperti bokap gue, yang bersikap abusive, pada Ayu."

Lalu Sigit menghela nafasnya panjang, tanpa sadar mengingat sosok wanita itu saat pertama melihatnya.

"Dia seperti wanita gila."

Hening sesaat, sebelum Liam menjawab.

"Pertama kali dia datang ke rumah, saya dan Wina mengira dia orang gila yang ayah saya tolong. Nyaris setiap malam dia menjerit kesetanan, dan baru tenang jika ayah saya memeluknya."

"Kenapa tidak membawanya ke dokter? Ayah lo kaya kan? Rumah sakit juga punya sodara lo."

"Malu."

Sigit mengumpat, sama sekali tidak bisa mengerti jalan pikir orang kaya ini.

"Pembantu di rumah kami adalah pelayan setia Papa. Hanya mereka yang tahu kegilaan Tante Lita, dan sudah bersumpah untuk tutup mulut. Lagipula, selama dia terus bahagia dan bersama Papa, dia terlihat normal."

"Nggak minum obat??"

"Tidak tahu. Saya tidak peduli juga, selama dia tidak teriak-teriak tidak jelas."

"Pasti pusing ya, punya emak tiri seperti itu," ucap Sigit, terkekeh pelan. Liam tersenyum tipis.

"Tidak cuma kamu yang jadi korban di sini. Tapi sejauh yang saya lihat, kamu memang yang paling sengsara. Setidaknya kami - saya, Willy, dan Wina - punya mama yang menyayangi kami."

"Lucky you."

"Tapi kamu punya Ayu. Eh, tidak juga. Dia sahabat saya, jadi dia juga pasti mendukung saya."

"Gue mau marah, tapi yang lo bilang bener juga. Dia nggak mungkin mengabaikan lo. Tapi gue tetap nomor satu."

"Saya nggak bakal rebutan sama kamu. Sudah saya bilang, kami hanya bersahabat. Tapi kalau kamu sampai melakukan kesalahan fatal-"

"Lo nggak bakal gue izinin merebut Ayu dari gue."

Liam menyeringai.

"Ya, selamat berusaha."

***

Ayu masih terus melirik pintu kamarnya, menunggu kapan itu terbuka dan Sigit kembali, sementara ponsel menempel di telinganya, dan suara Ryu yang panik membuatnya pusing.

Semua bahasa Indonesia yang dicetak miring dalam bahasa Jepang.

"Rumah sakit mana? Aku akan ke sana sekarang!!"

"Tidak usah Ryu-kun. Sudah malam. Kamu baru hari ini tiba di Jakarta, dan bekerja seharian. Istirahat saja. Lagipula aku sudah sehat."

"Kalau kamu sudah sehat, untuk apa kamu di rumah sakit, Masayu? Berikan alamatnya, aku ke sana sekarang!"

"Tidak perlu, Ryu. Besok saja ya. Kamu istirahat dulu."

"Baiklah, tapi kamu harus memberitahuku alamat rumah sakitmu sekarang juga."

"Tidak. Kalau aku memberikannya padamu sekarang, kamu akan datang malam ini juga. Aku akan mengabarimu besok pagi. Kamu bisa datang setelah kamu tidur cukup."

"Sial, kamu sungguh tahu rencanaku."

Ayu tertawa mendengar nada Ryu yang kesal.

"Tentu saja. Trikmu tidak berubah sejak dulu. Aku sudah tahu."

"Sial. Kamu memang mengenalku dengan baik."

"Ya, aku kan adikmu."

"Ya, kamu adalah adikku. Baiklah, kamu istirahat saja, aku akan datang besok. Jangan lupa alamatnya."

"Iya, kakek tua. Aku akan memberi alamatnya padamu besok pagi. Selamat tidur, Ryu."

"Selamat tidur, Masayu."

Ayu memutuskan panggilan telepon dan mendongak, terkejut mendapati Sigit dan Liam sudah berada di dalam kamar inapnya.

"Kapan kalian datang? Kok ada Liam?"

"Pas kamu lagi asik ngobrol pakai bahasa Jepang. Ryu?"

"Iya."

"Siapa Ryu?" tanya Liam.

"Kakak tiriku."

"Mantan pacar Ayu."

Ayu dan Sigit menjawabnya bersamaan, dan nada suara Sigit kentara sekali terdengar kesal.

Liam tidak dapat menahan senyum tipis tersungging di wajahnya.

"Oh, aku senang mendengar kamu pernah punya pacar sebelum Sigit. Setidaknya dia tidak akan sombong, mengatakan dia adalah yang pertama dalam segala hal untukmu."

"Setidaknya gue tahu gue ciuman pertamanya," ucap Sigit yakin, dan Ayu langsung menggeleng, membuat Sigit langsung melotot kesal.

"Bukan??? Tapi kenapa kamu cupu banget???"

"Aku pernah ciuman sama Ryu, kali!" jawab Ayu kesal, namun wajahnya memerah malu karena topik yang dibahas, "tapi kalau ciuman yang masuk-masuk, ya emang baru sama kamu..."

"Gila!! Kamu ciuman bibir sama Ryu!! Astaga, pas SMP??"

Ayu menatap Sigit kesal campur malu.

"Daripada kamu, celup sana celup sini, lebih parah, tahu??"

"Apaan celup celup? Kamu pikir aku kantong teh?"

Lalu suara tawa Liam menyadarkan keduanya, dan mereka dengan kompak menoleh pada Liam sambil melongo.

"Gila, kalian berdua pasangan ter-aneh yang saya kenal," kata Liam sambil terbahak.

"Gue baru tahu lo bisa ngakak," kata Sigit sambil mengernyit, sementara Ayu berdecak kesal.

"Bagus ya kamu, pertama kalinya ngakak di depan aku justru karena ngetawain aku."

"Ya habisnya kalian aneh."

"Kampret!"

"Liam jahat!!"

Liam masih terus tertawa, sementara Sigit mengumpatinya dan Ayu mengomelinya dengan kesal.

Untuk pertama kalinya dia bisa tertawa lepas, dan itu karena dia bersama dua orang yang tanpa disadarinya, menjadi dua orang yang begitu spesial untuknya.

***

"Jadi mama kamu selingkuh dengan papanya Liam, makanya papa kamu marah dan mulai memukuli mama kamu?"

"Ya."

Ayu menarik nafas panjang. Tangannya membelai lengan Sigit yang mengitari perutnya.

Liam sudah pulang, meninggalkan mereka berdua, dan Sigit, setelah berganti pakaian dan bersih-bersih, naik ke ranjang Ayu, duduk di sebelahnya dan memeluknya, sambil menceritakan apa yang dia lakukan tadi.

"Aku nggak tahu mau bicara apa. Aku mau comforting kamu, tapi aku sendiri bingung. Aku nggak paham kenapa bisa-bisanya dia melakukan-"

"Kamu nggak perlu paham, Yu. Aku justru lebih suka kalau itu semua nggak masuk logika kamu, karena itu artinya kamu nggak bakal melakukan hal tersebut ke aku."

"Ya iyalah!! Aku mana bisa jadi kayak gitu! Satu, aku jelas nggak suka kamu ngintilin aku ke mana-mana, atau aku ngintilin kamu melulu. Lebih enak begini. Kamu punya waktu sama temen kamu, aku punya waktu sama temen aku, kadang kita kumpulin mereka, buat ngumpul bareng. Kita punya quality time berduaan doang, atau kita bisa berduaan tapi bareng yang lain. Kamu kerja, aku juga kerja. Lalu kita punya waktu sendiri-sendiri."

"Nanti kalau udah nikah juga gitu?"

"Ya dong. We still need our 'me time' kali. Ketemu orang yang sama 24/7 bisa menimbulkan konflik-konflik yang seharusnya nggak perlu terjadi. Dengan adanya waktu diluar selain dengan pasangan, bisa membuat kita lebih kangen satu sama lain."

Sigit melongo sambil melihat Ayu yang menjelaskannya dengan bersemangat, lalu tertawa geli.

"Ya, aku bisa ngerti kalau kamu yang ngomong gitu."

"Baguslah kalau kamu ngerti."

Sigit mengangkat tangan Ayu yang tidak tertusuk jarum infus dan mengecupnya lembut.

"Aku tahu aku tidak akan pernah bisa mengekang kamu."

"Kenapa kamu harus mengekang aku? Kamu cukup percaya kalau aku cinta mati sama kamu, dan aku nggak bakal melakukan hal-hal busuk di belakang kamu, saat kita nggak bareng. Itu yang aku selalu coba terapin ke diri aku. Karena kalau nggak, bisa-bisa aku gembok itu kamu supaya aku yakin kamu nggak cheating di belakang aku."

"Buset, kamu ganas banget!" kata Sigit ngeri, tanpa sadar melepas tangan Ayu dan menutupi selangkangannya. "Masa kamu mau gembok dia sih?"

"Ya kan aku cuma bilang," kata Ayu sambil tertawa, lalu menarik tangan Sigit dan menggenggamnya erat.

"Perasaan kamu gimana sekarang?"

"Erm..." Sigit berpikir keras.

Dia sedih, marah, kesal, sakit, tapi ada satu rasa lega di sana. Dia akhirnya tahu kebenarannya, dan itu membantahkan semua tuduhan yang dia terima selama ini.

"Lega."

"Lega?"

"Ya. Aku akhirnya bertemu dengan wanita itu, dan mengakhiri semuanya dengan baik. I feel pain, but it's ok. Setidaknya sekarang, aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang masa laluku, karena aku sudah menghadapinya dan mendapat semua jawaban yang kuperlukan. I can move on now."

Ayu menepuk tangan Sigit pelan dan tersenyum.

"I love you."

Sigit menoleh, dan matanya bertemu dengan mata Ayu yang menatapnya lembut.

"I love you, too."

Sigit mendekatkan wajahnya, dan mengecup bibir Ayu lembut.

Hari ini dia mengambil keputusan yang sangat besar, namun dirasanya begitu tepat.

Memutus ikatan dengan masa lalunya, dan bertekad untuk menyongsong masa depannya, bersama wanita dalam dekapannya ini.

Gue punya Ayu, batin Sigit. Nothing else matters.

Tbc

Sebelum kalian mungkin akan mengkritik cara pandang Ayu tentang hubungan, saya hanya ingin mengingatkan kalau pilihan orang beda-beda. Ayu memang sejak awal nggak suka diatur-atur, dan Sigit memang tidak suka ngatur-ngatur juga.

Kalau Liam..... Ntar deh, aku baru bicarain dia.

Yang pengen Shania dihukum, sabarrrr... Masih ada part depan. Shania juga denger pembicaraan Sigit dan Lita, dan dia bakal make appearance di part depan, kalau saya nggak lupa bikin 🙈 bersama dengan Ryu 😛 tapi kalau saya nggak lupa ya.

Part ini lebih nyante dibanding part lalu kan? Gapapa, tarik nafas dulu *eh *canda deng 😛

Masih ada keterangan yang kurang? Saya menerima kok kalau ada yang mau remind saya.

Sampai jumpa di part berikutnya, yang nggak bakalan saya update secepat part yang ini. Karena saya mulai sibuk lagi 😢 *eh malah curhat*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro