shi jū - san

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Long time no see..

Maaf lama baru update. Lagi nggak mood banget. Moodnya lagi nyasar ke baca dan nonton, bukan ngetik, hehehe

Ingat, baca dulu baru vote. Komen mah terserah, kapan aja boleh...

Untuk ingetin kalian yang lupa part sebelumnya : Shania nyamperin Ayu di rumah sakit ya. Di sini masih lanjut hari yang sama. (Tapi updatenya dua minggu kemudian 🙈)

Sorry for typos

Enjoy ❤️

------------------

Setelah lebih dari enam puluh detik keheningan melingkupi mereka, Shania menjawab dengan lirih, "aku nggak tahu."

Shania menatap mata Ayu, dan Ayu menangkap sorot mata keraguan di matanya, dan Ayu merasa dirinya berhadapan dengan anak kecil yang rapuh dan naif.

Tiba-tiba dia teringat pada Sigit, karena wajah yang ditampilkan Shania saat ini begitu mirip dengan Sigit, dan Ayu baru menyadari ada kemiripan diantara mereka berdua.

Mereka benar-benar adik kakak, batin Ayu.

"Aku merasa aku sayang dengan Kak Sigit... Tapi, wajahnya mirip dengan papa..."

"Kamu umur berapa sih, pas berpisah dengan Sigit?" potong Ayu tak sabar, mulai kesal lagi.

"Dua.."

"Emangnya kamu ingat wajah Papa kamu?"

Shania menggeleng.

"Lalu? Tahu darimana kamu kalau dia mirip dengan papa kalian? Kayaknya nggak mungkin deh, mama kamu nyimpen foto papa kamu kan."

"Kok kamu tahu?"

"Tahu lah. Secara mereka berpisah nggak baik-baik kayak begitu. Apalagi Mama kamu udah nikah lagi. Kecuali disimpan buat di-voodoo, mungkin kali ya."

Shania melihat Ayu, tampak berpikir keras, lalu akhirnya menjawab pelan.

"Kata mama."

"Hah?"

"Kata mamaku," ulang Shania lebih keras, dan Ayu makin mengernyitkan dahinya.

"Jadi kamu menuduh Sigit yang tidak-tidak, hanya karena mamamu bilang begitu??"

"Aku percaya sama Mama."

Ayu melongo.

Perasaannya semakin tidak enak.

Masa sih....?

Lalu lamunannya berhenti saat Shania kembali mendapatkan image songongnya, dengan angkuh mengangkat dagunya dan menatap Ayu.

"Pokoknya, apapun yang terjadi, kamu nggak boleh bersama Kak Sigit lagi. Kalau bisa jangan dengan Kak William juga. Kalau nggak, apa yang akan kamu alami akan lebih parah dari ini."

Ini kenapa pembicaraanya kayak lingkaran setan ya? Batin Ayu, mencoba menelisik raut wajah Shania.

"Bodo amat. Gue bareng Sigit, bukannya milih kucing dalam karung kali. Walaupun ternyata lo bener dan gue salah nantinya, yang gue yakin nggak bakal terjadi, gue nggak peduli. Itu urusan nanti, dan hanya di antara gue dan Sigit. Gue cinta sama dia begitupun sebaliknya, dan lo nggak berhak ngatur-ngatur gue atau Sigit," jawab Ayu kesal.

"Lo-"

Tiba-tiba ponsel Shania berbunyi, dan dengan segera Shania menggeser layar dan menempelkannya ke telinga, begitu melihat nama siapa yang berkedip di layar.

"Ya, Mama? Oke. Aku pulang sekarang."

Shania menutup ponselnya dan kembali menatap Ayu.

"Mungkin sekarang kamu bisa dengan percaya diri bilang begitu. Tapi aku percaya dengan mamaku. Kamu nggak bakalan bahagia sama Sigit pada akhirnya. Sekarang, mungkin. Nantinya, nggak."

"Whatever. Bilang sama mama lo yang Maha Tahu itu, Sigit bukan bokap lo, dan gue bukan nyokap lo."

***

Sepeninggal Shania, Ayu kembali menatap televisi walaupun pikirannya memikirkan hal lain.

Lalu dia dengan buru-buru membuka ponsel, dan mengetik nama Raymond Tanama di kolom search engine. Dalam beberapa detik, muncullah semua berita tentang Raymond Tanama, dan yang mendominasi halaman pertama adalah dari kolom bisnis.

Raymond Tanama menduduki posisi ke-delapan dari sepuluh orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan mencapai..

Raymond Tanama, pemilik perusahaan F&B terbesar di Indonesia...

Namun Ayu menemukan satu halaman yang berisi keterangan keluarga Raymond Tanama.

Spouse : Irene Mulyana (1990-1998), Karlita Aruminingsih (2000-now)

Children : Wina Alisha Tanama, William August Tanama, Shania Winnie Tanama

Ayu mengernyit, dan mencoba mengingat-ingat lagi profil Willy, dan memang tidak dicantumkan nama ayah, hanya ibunya. Nama lengkap Willy pun tidak ada unsur Tanama, hanya William Alvaro.

Ayu memperhatikan wajah Raymond Tanama, dan menyadari kalau kedua putranya begitu mirip dengan ayah mereka. Kalau Liam mewarisi garis wajah dan sorot matanya yang tenang namun tajam itu, Willy mewarisi warna mata dan perintilan lainnya seperti bentuk hidung, bibir, dan warna rambut.

Ayu tanpa sadar berdecak.

Gimana ceritanya Shania bisa percaya kalau tante Irene selingkuh dan Willy bukan anak kandung Raymond Tanama? Jelas-jelas mirip begini, batin Ayu.

Justru wajah Shania yang meragukan. Shania dan Sigit memang memiliki sedikit kemiripan, walaupun jika tidak diberitahu, orang tidak akan menebak kalau mereka bersaudara, tapi-

Ayu buru-buru menggeleng.

Nggak boleh menghakimi orang, batin Ayu cepat.

Lalu dia fokus kembali dengan apa yang ingin dia ketahui.

Dia mencoba meng-klik satu per satu nama mereka, namun tidak ada yang terhubung ke profile mereka, kecuali milik Liam.

Lalu Ayu kembali mengetik di kolom search, dia menulis kata kunci : Raymond dan isteri, lalu memindahkan halaman website ke bagian images, dan menemukan yang ingin dia lihat.

Karlita Aruminingsih, atau Karlita Tanama, terlihat beberapa kali menemani suaminya dalam acara-acara penting, namun tak banyak foto yang muncul karena kebanyakan acara tersebut tertutup untuk umum, bahkan media hanya bisa menunggu di bagian luar, tanpa bisa ikut masuk.

Wanita itu cantik, Ayu akui, dan di usianya yang sudah menyentuh lima puluh tahun, Karlita Aruminingsih tetap terlihat menawan. Wajahnya begitu ayu dan lembut, caranya berdiri dan menatap kamera begitu anggun.

Jadi seperti ini wajah perempuan yang tega meninggalkan putranya sendirian bersama suaminya yang abusive, batin Ayu, mendengus sinis.

Terlepas dari apapun alasan Karlita tega meninggalkan Sigit, perbuatannya tidak bisa dibenarkan.

Lalu Ayu baru menyadari saat melihat jam di ujung kanan atas ponselnya. Sudah nyaris satu jam berlalu, namun Sigit yang tadinya meninggalkan Ayu di kamar hanya untuk membeli air di mesin minuman di ujung lorong lantai ini belum kembali juga.

Ke mana dia??

***

Sigit berdiri di depan rumah mewah di salah satu perumahan elit di Jakarta Selatan.

Matanya menatap lurus, dengan segala pikiran baik dan buruk berkecamuk dalam benaknya.

Ini benar-benar tindakan impulsif, datang ke tempat ini. Tapi dia ingin mengetahui semuanya. Terutama setelah apa yang dia dengar di rumah sakit barusan, dia perlu mendapat jawabannya.

Setelah membulatkan tekad, dia menekan bel rumah tersebut, dan satpam segera mendekatinya.

"Malam, Pak."

"Malam. Ada keperluan apa, Pak?"

"Saya- ingin bertemu Karlita Tanama."

Dua puluh enam tahun hidupnya, baru kali ini dia menyebut nama wanita itu. Tapi tidak terlalu aneh, karena sejak kecil, dia tidak pernah tahu nama lengkap ibunya sendiri. Nama lengkap ayahnya saja baru dia ketahui saat ayahnya meninggal, karena polisi yang menyebutkannya. Sejak kecil dia hanya tahu nama ayahnya Aji Prakasa dan ibunya Karlita Prakasa, dan nama adiknya Shania Prakasa. That's it.

"Dengan siapa ya?" tanya satpam itu, dan Sigit berdeham pelan.

"Saya Sigit Prakasa. Tolong bilang sama ibu Karlita, saya datang menagih kewajibannya."

Satpam itu mengernyit, namun berbalik ke posnya dan menghubungi rumah utama. Tak lama, dia kembali dan membukakan pintu pagar untuk Sigit.

"Silakan."

"Terima kasih."

Sigit melangkah masuk menuju pintu utama yang letaknya cukup jauh dari pagar, lalu melihat kalau pintu sudah dibuka dan seorang pelayan menunggunya. Mata pelayan itu tampak berbinar saat mengenali siapa tamu yang datang malam-malam ke kediaman mereka, namun bersikap profesional saat menunjukkan jalan pada Sigit menuju salah satu ruangan.

"Bapak Raymond menunggu Anda di sini."

Sigit mengernyit bingung, namun mengucapkan terima kasih dan membuka pintu.

Itu bukan ruangan yang besar. Kedua dindingnya ditempeli rak buku yang terisi penuh, dan di dinding yang lain terdapat jendela besar. Di depan jendela itu, Raymond Tanama duduk di balik meja besar yang berisi komputer dan banyak berkas yang tersusun rapi di pinggirannya, menyisakan ruang kosong di tengah.

"Silakan duduk," ucap Raymond sambil menunjuk bangku di depannya, dan Sigit mendekatinya.

"Saya ingin bertemu Karlita-"

"Nanti. Saya ingin bicara lebih dulu denganmu."

Raymond melepas kacamatanya dan menatap Sigit tajam.

"Apa tujuan kamu datang ke sini?"

"Saya datang untuk menagih kewajibannya."

"Apa yang kamu inginkan?"

"Jawaban."

Raymond memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua sikunya di meja, dengan mata yang tak lepas menatap Sigit.

"Apapun yang ingin kamu tanyakan, kamu bisa tanya dengan saya."

"Saya ingin bicara dengan wanita yang melahirkan saya, bukan Anda."

"Masalahnya, Karlita tidak akan sanggup menjawab kamu. Bahkan dia tidak sanggup bertemu denganmu."

Sigit terdiam, dan membiarkan Raymond kembali bicara.

"Kamu tahu siapa saya?"

Sigit hanya menatap Raymond tajam, dan Raymond tersenyum tipis.

"Kamu benar-benar mirip dengan Aji."

"Anda kenal ayah saya?"

"Ya. Apa ayahmu tidak memberitahumu?"

"Tidak. Dia tidak pernah menyebut tentangmu." Sigit bohong. Tapi dia tidak sepenuhnya berbohong. Ayahnya, Aji Prakasa, hanya pernah menyebut tentang isterinya yang kabur bersama mantan pacarnya yang bernama Ray, satu kali, saat memukuli Sigit karena Sigit ketahuan menerima makanan dari tetangga mereka yang cantik dan sepantaran Sigit.

"Kecil-kecil sudah pacaran!! Kamu mau jadi kayak wanita jalang itu, hah??? Kecil-kecil udah belajar cinta-cintaan, nanti udah gede nikah sama orang lain, tapi ujung-ujungnya kabur sama cinta pertamanya???"

Raymond menghela nafas pelan.

"Saya, Aji, dan Karlita berteman sejak kecil. Saya dan Aji selalu menyukai Lita yang suka mengenakan pita warna-warni, namun kami mengekspresikannya dengan cara berbeda. Aji lebih memilih untuk mengisenginya, seperti semua anak kecil pada umumnya jika menyukai perempuan, tapi saya tidak bisa melakukan itu. Saya hanya berani memberinya kue, roti, atau camilan kecil yang harganya paling mahal cuma 50 perak, tapi saya suka melihat wajah Lita yang tersenyum bahagia saat memakan makanan dari saya. Lulus SD, saya dan Lita pacaran."

"Saya tidak perlu tahu cerita masa lalu kalian-"

"Untuk memahami apa yang terjadi pada kamu, kamu perlu tahu awal mula semua ini berasal."

Sigit terdiam, dan Raymond melanjutkan kembali ceritanya.

"Kami pacaran nyaris lima tahun. Masa-masa yang indah dan konyol, karena kami masih terlalu muda. Sentuhan tangan saja sudah malu setengah mati. Tapi akhirnya kami putus, karena kami memang masih terlalu muda. Kami masih labil dan egois. Lalu Aji, yang justru lebih dulu dewasa dibanding kami, menyeruak masuk. Lita luluh, dan begitu lulus SMA, mereka pacaran.

Saya patah hati, tentu saja, walaupun ego saya tinggi, saya mencintai Lita. Tapi saya dengan cepat move on, dan bertemu Irene. Kami menikah. Saya mencintai Irene, namun dalam satu sudut hati saya, saya masih memikirkan Lita."

Sigit menahan diri setengah mati untuk menyela, walaupun dia sudah sangat ingin menyerang pria ini.

Liam boleh mewarisi wajah pria tua di depannya, tapi Sigit berharap Liam tidak mewarisi kebrengsekannya yang ini.

"Lalu kami bertemu lagi, karena ternyata Irene bersahabat dengan Lita. Tapi dia tidak tahu kalau kami punya masa lalu bersama, dan menurut saya, isteri saya tidak perlu tahu. Itu masa lalu."

"Memang," sahut Sigit, tidak tahan untuk menyahut juga. "Masa lalu adalah masa lalu. Tapi Anda justru kembali terikat pada masa lalu Anda saat memperistri ibu saya."

"Saya tidak akan mencari pembelaan tentang hal itu," jawab Raymond pelan.

"Apa yang terjadi? Bagaimana ayah saya tahu kalau anda dan ibu saya-"

"Shania."

Sigit mengernyit, tidak mengerti.

"Maksud Anda?"

"Apa kamu ingat Shania pernah jatuh dari tangga saat berumur satu tahun?"

"Ya..." Sigit ingat betul hal itu. Salah satu hari terburuk dalam hidupnya, melihat adik kecilnya tergeletak di bawah tangga, berdarah.

"Apa kamu tahu golongan darah adik kamu?"

Sigit menggeleng.

"Golongan darahnya AB."

Sigit mengernyit dalam, dan menatap Raymond tidak mengerti. Namun perlahan, dia menyadari apa yang terjadi.

Sigit bergolongan darah B, dan dia tahu ibunya pasti bergolongan darah sama dengannya, karena ibunya suka menyebutkan itu saat bermain dengannya dulu, lalu meledek ayahnya yang bergolongan darah O, karena beda sendiri. Golongan darah B dan O tidak mungkin punya anak golongan darah AB.

Sigit kembali mengingat-ingat. Setelah kejadian Shania jatuh, ayahnya mulai suka minum-minum, dan-

Apakah yang dia ingat terbalik? Bukan karena usahanya sulit makanya ayahnya minum-minum, tapi karena minum-minum, makanya usahanya menjadi sulit? Karena siapa orang yang minum alkohol sampai mabuk setiap saat yang bisa bekerja dengan benar??

"Shania putri Anda," ucap Sigit jelas. "Itu sebabnya saat Anda mengajaknya kabur meninggalkan ayah saya, dia hanya membawa Shania."

"Lita berpikir bahwa kamu adalah anak kandungnya, dan Aji tidak akan melukaimu, tapi akan membunuh Shania begitu ada kesempatan."

"Ternyata dia salah besar."

Sigit mencengkeram tangannya sampai buku jarinya memutih, menahan emosi yang menggelegak dalam darahnya.

"Dan Anda menelantarkan keluarga Anda demi bersama cinta pertama Anda."

"Saya bercerai dengan Irene sebelum itu semua terjadi."

"Anda bercerai dari ibunya Willy karena Anda sudah tidur dengan ibu saya."

"Untuk sebuah tebakan asal, kamu cukup jitu," kata Raymond, lalu matanya menatap langit-langit. "Irene mengetahui perselingkuhan saya, lebih cepat dibanding Aji. Aji yang memang sering dinas keluar kota tidak menyadarinya. Lalu Irene menuntut cerai dan ingin membawa semua anak kami bersamanya, untuk balas menyakiti saya, tapi kekuasaan saya lebih besar. Saya menang, dan membiarkan anak bungsu kami bersamanya, tanpa menyandang nama saya. Saya yakin dia tidak rugi sama sekali. Kedua anak saya yang besar menyayanginya, dan saya memberikan harta gono-gini cukup besar untuknya."

"Sepertinya saya sudah tahu cukup banyak. Sekarang saya ingin bertemu ibu saya," kata Sigit, tidak mampu lagi berlama-lama bersama pria mengerikan ini.

"Bukankah sudah saya katakan, Lita tidak akan sanggup melihat wajahmu. Kamu sangat mirip dengan Aji. Melihatmu hanya akan membangkitkan traumanya."

"Kalau begitu, saya akan mencarinya sendiri."

Raymond bangkit dari bangkunya, dan berbalik menatap keluar jendela.

"Saya dengar, Shania mencelakai kekasihmu?"

Sigit yang tadinya ikut bangkit berdiri, terdiam di tempatnya.

Lalu terdengar suara tawa pelan Raymond, namun tak ada rasa bahagia di sana. Tawa itu terdengar begitu menghina dan meremehkan.

"Karena dia kira kamu dan Liam akan berakhir sama seperti aku dan Aji? Saya lihat kamu punya potensi itu," kata Raymond sambil berbalik dan menatap wajah Sigit. "Kecenderungan menjadi abusive karena cemburu buta. Tapi putra saya tidak akan bersikap bodoh. Dia tidak akan jatuh cinta pada perempuan serendah kekasihmu itu."

"Kekasih saya adalah hal terbaik dalam hidup saya, dan saya yakin Liam akan mengatakan kalau Masayu adalah sahabat terbaiknya. Tapi saya setuju, dia tidak akan bersikap bodoh seperti Anda, yang merebut isteri orang lain."

Lalu Sigit berbalik dan keluar dari ruangan itu.

Dia sudah mendengar cukup banyak untuk mengerti.

Namun dia tidak menyangka, dari arah berlawanan, sesosok wanita berjalan ke arahnya, dan berhenti saat melihatnya.

Lalu wanita itu menjerit sekuat tenaga.

Tbc

Udah ah, capek. Cut dulu sampe sini.

Semoga suka

Sampai ketemu lagi di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro