shi jū - ni

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo semua.

Selamat Hari Raya Idul Fitri untuk semua yang merayakan. Mohon maaf lahir batin ya..

Maaf karena baru update. Baru sempet ngetik. Kemarinan daku pergi keluar kota, dan sinyalnya jelek. Lalu kecapean juga.

Sorry for typos, mudah-mudahan suka.

Kalau ada bagian yang janggal tolong komen aja, tapi yang sopan yaa..

Enjoy...

*Buat yang lupa karena aku kelamaan gak update, sini tak kasih ringkasan part sebelumnya. Sebelumnya mau mengingatkan, pemeran di sini Masayu, Sigit, dan William ya.
Ayu kecelakaan karena didorong sama Shania, adik tiri Liam yang ternyata adik kandung Sigit yang terpisah sejak kecil. Udah gitu aja *nggak niat banget sih gue *ya maaplah

---------------

Ayu duduk menyender di ranjang rumah sakit yang ditegakkan, sementara Sigit duduk di sebelahnya, tertidur sambil memeluk pinggang Ayu, dan kepalanya menyender nyaman di bahu Ayu.

Ayu membelai lembut lengan Sigit yang melingkari pinggangnya sambil bersenandung lirih, membiarkan dengkur halus Sigit mengiringi senandungnya.

Untung saja para perawat di lantai ini, yang sudah tahu kalau Sigit Petir menunggui kekasihnya yang dirawat di salah satu kamar inap VVIP - sesuai permintaan Sigit dan sedikit bantuan dari Liam tentunya, sudah diperintahkan untuk tutup mulut supaya berita ini tidak tersebar ke mana-mana. Bahkan mereka tidak diizinkan memberitahu petugas medis yang berada di lantai lain. Akhirnya, mereka hanya bisa tersipu malu dan menatap Ayu dan Sigit dengan penuh arti setiap kali datang mengecek keadaan Ayu.

Tapi tetap saja, kadangkala Ayu risih. Sigit memang terlalu menempel sampai membuatnya salah tingkah di depan orang lain.

Too much PDA, menurut Ayu.

Wajah perawat yang datang sore itu memerah sampai ke telinganya saat melihat posisi Sigit yang memeluk Ayu dengan intim di atas ranjang. Ayu hanya bisa meringis, sementara perawat itu terlihat salah tingkah.

"Err, sorry, Sus. Dia ketiduran. Kalau saya diperiksa begini, nggak bangunin dia, nggak apa?" tanya Ayu pelan, dan perawat itu mengangguk.

"Iya, bi-bisa. Sebentar saya cek ya."

Perawat itu mendekati Ayu, lalu mengecek infusnya.

"Ada yang sakit?" Ayu menggeleng.

"Satu jam lagi makan malam diantar ya, nanti saya datang lagi, membawakan obat. Ada mual? Pusing?" Ayu kembali menggeleng. Terlepas dari kakinya yang sama sekali tidak bisa digerakkan, dia merasa tubuhnya baik-baik saja.

"Baiklah. Selamat sore, Mbak Ayu. Selamat istirahat."

"Terima kasih, Sus."

Perawat itu mengangguk lalu meninggalkan Ayu. Tepat saat perawat itu keluar, Liam masuk dan mengernyit saat melihat posisi Sigit dan Ayu.

"Hai, Liam," sapa Ayu sambil meringis.

"Dia tidur di atas ranjang pasien?"

"Yah, begitulah..."

"Seharusnya jangan kamu izinkan. Itu kan ranjangmu. Sempit."

"Nggak asik banget lo. Gue doain lo dapet cewek yang ranjangnya sempit biar lo tahu enaknya himpit-himpitan sama cewek lo," kata Sigit, dan Ayu langsung menoleh.

"Lho, kamu udah bangun?"

"Hmm, baru aja, gara-gara denger suara setan."

"Bilang aja kamu suka denger suara saya," jawab Liam datar, dan Sigit mencibir. Dia mengangkat wajahnya dan mengecup pelipis Ayu lembut. Sigit melirik jam di dinding.

"Aku ketiduran cukup lama ternyata. Sorry, kamu pegel ya?"

"Nggak juga. Hangat malah," jawab Ayu.

Sigit beringsut turun dari ranjang, lalu mengambil alih kantung plastik yang ada di tangannya.

"Lo bawa pesenan gue?" tanya Sigit sambil membuka kantung plastik itu, sementara Liam menggumam mengiyakan. Ayu langsung mengernyit.

"Sigit titip apaan ke kamu?"

"Makanan."

Kernyitan Ayu semakin dalam, lalu menatap Sigit tajam.

"Kamu tuh ya, kebiasaan banget lho, nyuruh-nyuruh orang."

"Lho, kita kan temen," jawab Sigit santai, sambil mengeluarkan cheeseburger.

"Emang kamu temenan sama dia?" tanya Ayu pada Liam, dan Liam menggeleng samar. Lalu keduanya saling bertatapan dan mendengus geli. Sigit menatap keduanya, mulutnya penuh dengan burger namun wajahnya mengernyit.

"Nggak usah melihat kita kayak begitu. Makan aja dulu," kata Liam, lalu mendekati Ayu dan menatapnya tajam, namun tetap hangat.

"Kamu baik-baik aja?"

"Ya, lumayanlah."

"Kaki kamu?"

"Masih mati rasa."

"Hasil CT Scan belum keluar ya?"

"Belum lah," jawab Ayu sambil terkekeh. "Baru juga tadi pagi. Kalau nggak besok ya lusa deh."

"Bakal kupaksa mereka kelar besok."

"Santai aja lah, Li. Aku nggak yakin aku secepat itu siap mendengar kondisiku sendiri."

Liam menatap datar wajah Ayu yang tersenyum ceria, namun terlihat getir.

Ayu mungkin tampak tegar dan terlihat santai di luar, tapi itu semua hanya untuk menutupi kerapuhannya. Dia sangat khawatir tentang kondisinya, tapi dia tidak mau semua mencemaskannya. Belum lagi, masalah Sigit yang menurutnya jauh lebih penting dan mendesak. Dia harus kuat, karena Sigit perlu dukungan penuh.

Namun tatapan mata mereka terputus begitu Sigit mendekati Ayu sambil menyodorkan kentang goreng.

"Mau?"

Ayu mengernyit dan menggeleng.

"Nggak ah, kamu makan aja."

"Oke," kata Sigit sambil memasukkan kentang goreng itu ke mulutnya sendiri, lalu matanya beralih pada Liam.

"Jadi gimana?"

***

William sudah pulang sejak dua jam yang lalu, dan Ayu juga sudah menyelesaikan makan malamnya yang masih saja hambar menurut Ayu. Saat ini dia asik mengunyah roti yang dibawakan Liam sambil menonton film eks bioskop yang ditayangkan di televisi sendirian.

Pintu kamarnya perlahan terbuka dan Ayu langsung menoleh, mendapati Shania melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan perlahan.

"Kak William bohong," katanya tanpa basa-basi, wajahnya menatap Ayu dengan penuh tuduhan. Ayu hanya mengangkat alisnya bingung.

"Hah?"

"Dia bilang kamu amnesia. Tapi kamu bukan amnesia, kamu lumpuh."

"Kelihatannya kamu kecewa aku cuma lumpuh," jawab Ayu santai, kembali mengunyah rotinya, matanya kembali pada layar televisi.

"Kamu memberitahu Kak William tentang aku, ya kan?"

"Nggak juga," jawab Ayu, menghabiskan potongan terakhir rotinya dan melipat bungkusannya. "Dia tahu sebelum aku bilang apa-apa sih. Kamu sepertinya nggak tahu kakak tirimu kayak apa"

Lalu Ayu mengalihkan pandangannya dan menatap Shania tepat di matanya, lalu menyeringai.

"Makanya, kalau mau mencelakai orang, pinter dikit. Aku cuma pingsan setengah hari aja, mereka udah tahu semuanya."

"Mereka?"

"Dua abang tiri kamu, dan abang kandung kamu."

Shania menatap Ayu tidak percaya, wajahnya yang bermake-up tipis itu terlihat begitu pucat, dan Ayu tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum.

Bodo amat sama rencana mereka tadi sore, batin Ayu. Toh si kunyuk ini sudah tahu kalau Liam bohong.

"Jadi apa tujuan kamu ke sini? Nutup mulut aku? Telat sih. Toh mereka sudah tahu."

Ayu menelengkan kepalanya, menilai reaksi Shania yang sepertinya masih shock dengan kenyataan yang dia terima barusan.

"Eh, kamu suka sama Liam ya?" tanya Ayu tiba-tiba.

"Eh?"

"Tapi aku masih nggak paham. Kenapa kamu justru nyuruh aku putus sama Sigit kalau kamu suka sama Liam?"

"Hah?? Ngarang! Aku nggak suka sama Kak William!" sanggah Shania cepat.

"Jadi kenapa kamu ngotot banget nyuruh aku putus sama Sigit?"

Ayu menelengkan kepalanya, menatap Shania yang sudah berdiri di sebelah ranjangnya dengan pandangan tidak mengerti.

"Sudah kubilang, Kak Sigit itu mirip sekali dengan Papaku. You will end up like my mum. Gitu aja kok nggak ngerti sih??"

"Ya mirip kan bukan berarti mereka bakal melakukan kesalahan yang sama. Mereka kan orang yang berbeda."

Ayu menantang mata Shania dengan menatap bola matanya tajam.

Dia yakin sebenarnya adik Sigit ini bukan orang jahat. Tapi entah apa yang ditanam di otaknya, yang membuatnya tempo hari panik dan mendorong Ayu seperti itu, Ayu tidak tahu. Tapi dia mau mencari tahu.

"Duduk dulu, capek kali berdiri terus," kata Ayu, dan Shania ikut menelengkan kepalanya bingung.

"Kamu nggak takut aku celakai lagi, kayak waktu itu? Gimana bisa kamu bersikap kalem begini sama aku?"

"Nggak tahu juga," kata Ayu sambil mengangkat bahu. "Menurut aku, kamu hari ini nggak sepanik dan lost control kayak waktu itu. Lagipula, kalau aku sampai kenapa-kenapa sekarang, kamu nggak bakalan lepas," lanjut Ayu sambil menunjuk kamera CCTV yang khusus dipasang oleh Theo, di hari yang sama dengan Ayu dirawat.

Shania melihat arah yang ditunjuk Ayu, dan tersentak kaget.

"Wow, well prepared banget ya."

"Jadi, gimana kalau kita ngobrol baik-baik aja?" tanya Ayu sambil menunjuk kursi, dan Shania mendudukinya.

"Aku sudah ngomong semua hal ke kamu, waktu itu. Tentang bahayanya kamu kalau tetap jalan sama Kak Sigit. Tapi kamu pasti masih ngeyel. Yah, aku nggak paham sih, tapi kata temenku, kalau udah have sex biasanya cewek emang lebih susah lepas-"

"Bangke," umpat Ayu pelan. "Aku sama Sigit nggak kayak gitu kali."

"Halah, nggak usah muna. Aku yakin kalian udah ngelakuin macem-macem kan??"

"Kamu nggak percaya amat sih sama abangmu itu."

"Kamu nggak pernah nonton gosip ya?? Bukannya kamu manajer artis??"

"Aku manajernya Sigit kali. Aku tahu semua gosip tentangnya. Tapi percayalah, dia nggak seburuk pikiranmu."

Mata Shania menyipit curiga, terlihat tidak percaya.

"Ah sudahlah, aku nggak mau ngomongin sex life kalian. Terserah kamu mau ngomong iya atau nggak, nggak penting lagi."

"Emang. Aku mau pernah tidur sama cowok mana, bukan urusan lo," jawab Ayu jutek, dan dibalas Shania dengan tak kalah judes.

"Tapi lo hati-hati dong, jangan malah bikin dua abang gue rebutin lo begini!"

"Abang lo yang mana yang rebutin gue, bangsat?! Gue udah bilang ke lo waktu itu ya, gue sama William itu cuma temen! Lo pikir gue bego, nggak bisa bedain cowok yang pedekate ke gue atau yang sayang gue sebagai temen doang??"

"Lo pikir lo tahu segalanya??"

"At least gue tahu Liam orangnya kayak apa, nggak kayak lo! Mungkin lo melihat dia sebagai sosok kakak laki-laki ideal, apalagi lo dipaksa pisah dari kakak laki-laki lo sejak kecil, tapi itulah masalah lo! Lo cuma lihat dia sebatas itu! Lo nggak tahu dalamnya dia gimana!"

"Kenapa lo malah jadi menggurui gue???!!!"

"Ah, gue capek ngomong ngegas sama lo," kata Ayu sambil menurunkan intonasinya. Lalu menatap Shania yang masih menatapnya geram.

"Gue nggak peduli ya, apa pandangan lo tentang hubungan gue dan Liam. Tapi gue sekarang punya satu pertanyaan buat lo. Sebenarnya, lo sayang nggak sama Sigit?"

Shania mengernyit dalam, dan menatap Ayu dengan bingung.

"Kenapa lo nanya gitu?"

"Karena lo bisa dengan entengnya memfitnah dia di depan gue, yang notabene orang di luar keluarga kalian. Sorry, gue pakai kata memfitnah karena semua yang lo katakan dan khawatirkan itu nggak make sense dan nggak terjadi."

Shania terdiam.

"Selama gue mengikuti beritanya, dan setahun terakhir berada di dekatnya, nggak pernah sekalipun, sekesal-kesalnya dia, Sigit melayangkan tangan dan kakinya pada perempuan. Mulutnya jahat kadang, iya gue akui, tapi dia nggak pernah main fisik.

Dia melihat sendiri bagaimana nyokap lo dipukuli, dan diapun mengalaminya, lo tahu? Four years, sejak kalian meninggalkannya sendirian bersama ayah kalian yang abusive itu, sampai dia meninggal, Sigit menggantikan posisi nyokap lo sebagai objek pukulan bokap lo. Apa lo tahu itu? Apa nyokap lo tahu itu?"

Ayu tanpa sadar sudah meneteskan air mata, namun matanya masih tetap menatap Shania tajam.

"Menurut lo, apa dia bakalan bisa jadi kayak bokap lo?"

***

Sigit berlari kencang menuju kamar inap Ayu begitu salah satu perawat memberitahunya kalau Shania Tanama mengunjungi Ayu.

Namun, Sigit menahan dirinya untuk masuk ke kamar inap Ayu saat mendengar suara Ayu yang bergetar.

"Menurut lo, apa dia bakalan bisa jadi kayak bokap lo?"

Hening.

Sigit menelan ludah dengan susah payah, dan kembali menutup pintu kamar, lalu duduk di lantai, di lorong rumah sakit itu.

Sebagai anak yang disiksa dan ditolak, dia memiliki begitu banyak ketakutan. Dia takut dipukuli ayahnya, dia takut ditolak ibunya, dan sekarang dia takut berpisah dari Ayu.

Tapi ketakutan terbesarnya bukan itu semua.

Yang paling Sigit takutkan adalah menjadi seperti sang ayah.

Dia benar-benar takut, suatu saat dia lepas kendali dan memukuli Ayu, wanita yang dia cintai. Seperti sang ayah, yang memukuli ibunya, wanita yang paling ayahnya cintai, dan dia, anaknya sendiri.

Sigit sadar, dia memiliki kecenderungan itu. Beberapa kali mantan pacarnya membuatnya kesal, dan dia nyaris, nyaris menampar mereka saking kesalnya, namun berhasil dia tahan.

Tapi, selama bersama Ayu, itu semua terlupakan. Dia benar-benar bahagia, walaupun kadang kesal, gemas, namun tak pernah sekalipun terlintas di pikirannya untuk menyakiti Ayu.

Tapi bagaimana nantinya? Jika suatu saat mereka mengalami masalah besar, lalu dia-

Sigit menguburkan wajahnya di antara kedua lututnya, kalut.

Kali ini, dia benar-benar ketakutan.

Tbc

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro