14.Obrolan Yang Menggetarkan Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baru juga satu kali diantar pulang oleh laki-laki, Lily sudah harus mendapatkan sindiran halus dari tantenya. Baginya, Bu Miranti tidak hanya memiliki dua mata, tetapi lebih. Kabar Lily diantar ojek online yang memakai motor CBR datang berdasarkan laporan dari Giska, sepupunya yang tidak lain adalah putri sulung Bu Miranti.

"Giska salah lihat itu. Kan, malam. Minus dia nambah kayaknya." Lily masih menutupi perbuatan yang bagi Bu Miranti adalah kesalahan besar.

"Iya paling. Lily nggak mungkin berani pacaran. Iya, kan, Nduk?" Pak Dasuki menoleh ke arah Lily. Putrinya itu langsung manggut-manggut. Laki-laki dengan kemeja bermotif garis itu sangat percaya dengan anak tunggalnya.

"Masa, sih?" Bu Miranti masih kukuh dengan cerita dari Giska. Putrinya itu bercerita dengan antusias saat baru datang dari luar tadi.

"Ya udah, aku tidur dulu."

Lily beranjak dari duduknya. Ia memilih menghindari interogasi lebih lanjut. Bisa jadi dirinya keceplosan sendiri dan mengakui bahwa memang kepulangannya kali ini ditemani teman laki-laki.

Bu Miranti menatap keponakan satu-satunya seraya mendesah pelan. Ada rasa khawatir yang belum bisa ditepis. Melepas Lily di luar rumah tanpa bisa diawasi dari dekat, seolah menjadi beban tersendiri. Efek membaca berita tentang maraknya pergaulan bebas para remaja. Belum lagi, kabar miris tentang gadis yang terpaksa bunuh diri karena teman laki-lakinya tidak bertanggung jawab atas perbuatannya yang menjadikan gadis itu hamil.

"Astagfirullah, amit-amit jangan sampai." Bu Miranti bergidik negri.

"Kenapa, Mi?" tanya Pak Dasuki yang sedang menikmati pisang goreng.

"Pokoknya sampean harus tegas, Cak. Jangan sampai Lily pacaran atau deket-deket sama cowok. Ngeri banget pokoknya zaman sekarang."

Pak Dasuki terdiam. Beliau setuju dengan pernyataan adiknya itu. Pergaulan zaman sekarang berbeda dengan masa saat beliau muda. Jangankan bermesraan dengan lawan jenis, berkunjung ke rumah gadis saja harus mengumpulkan nyali yang besar.

"Semoga Lily baik-baik saja. Dia satu-satunya harapanku untuk bersama mewujudkan impian almarhumah mbakmu yang pingin membesarkan kios bunga."

Bu Miranti manggut-manggut. Makna nama Lily kembali terngiang. Perempuan yang mampu menjaga kemuliaan dirinya. Bu Miranti berharap besar nama tersebut menjadi doa yang dikabulkan.

***

Di antara para penghuni indekos, orang tua Indah dan Vita yang paling sering menyambangi putri mereka. Namun, anak-anak Griya Dara lebih dekat dengan ibu Indah daripada Mama Vita. Perempuan yang sudah melahirkan Indah itu selalu menagajak berbincang teman-teman putrinya. Berbeda dengan orang tua Vita yang terkesan dingin. Penampilan parlente membuat anak-anak Griya Dara menjadi segan. Keluarga Vita merupakan keluarga yang berada. Beruntung, putri mereka tidak gemar pamer harta di indekos.

Setiap sebulan sekali, orang tua Indah membawakan putrinya banyak makanan dan buah-buahan. Tentu saja masa seperti itu dinantikan para penghuni indekos. Tumpukan makanan di meja makan siap memanjakan perut anak rantau.

"Jangan lupa, kue sama buah-buahan dimakan ya, Anak-anak," titah ibu Indah pada Nana, Vita, dan Della yang sedang duduk di karpet depan televisi. "Mahasiswa harus banyak makan buah biar nggak gampang sakit. Tugas kalian pasti banyak, 'kan?"

"Iya, Tante. Terima kasih," ucap Nana yang kemudian diikuti juga oleh dua juniornya. Mereka serempak mengangguk sembari tersenyum.

"Sama-sama, Nak." Perempuan yang mengenakan gamis itu sedang membelai rambut putri bungsunya yang tengah bermanja tidur di pahanya. "Dek, Dek, kapan rambut ini ditutupi?"

Indah tersenyum kaku. Sudah ratusan kali ibunya meminta dirinya menutup aurat. Dalam keluarga, hanya Indah saja yang masih enggan memakai kerudung.

"Masih belum siap, Bu. Nanti kalau aku setengah-setengah niatnya malah nggak baik, 'kan?"

"Nunggu nikah dulu?" Ibu Indah sudah hapal alasan putrinya itu.

Indah manggut-manggut seraya memperlihatkan deretan giginya. "Janji, deh. Pas udah nikah langsung pakai kerudung."

Perempuan dengan bergo lebar berwarna cokelat tua itu mendesah pelan. "Bukan masalah janji, Dek. Umur itu nggak ada yang tahu. Apa ada jaminan umur Adek bisa sampai nikah?"

Semua yang ada di tempat menonton televisi sontak menoleh ke arah Indah dan ibunya. Nana, Vita, dan Della seperti ditampar dengan petuah beliau. Tidak ada yang bersuara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Ibu kok, gitu, sih." Indah memberengut. "Ibu doain anaknya cepat meninggal ini."

"Astagfirullah bukan gitu, Dek. Emang tahu jatah usiamu? Usia Ibu sama ayah juga, apa tahu? Enggak, kan? Bisa jadi, loh, sedetik kemudian malaikat Izrail datang ke sini. Wallahua'lam."

Rengekan Indah semakin terdengar. Ia lalu memeluk ibunya dengan erat. Gadis itu tentu saja merasa takut jika sudah membicarakan tentang kematian. Ia tidak mau cepat kehilangan kedua orangtuanya. Tidak hanya dirinya, tiga temannya yang duduk menghadap televisi juga merasakan hal yang sama.

Ibu Indah kembali membelai rambut putrinya. Beliau lalu menegakkan punggung. "Ya udah, nanti keburu malam. Ibu pamit dulu. Jaga diri baik-baik ya, Dek."

Indah manggut-manggut. Ia lalu mengecup pipi sang ibu, kemudian mengantar turun ke bawah.

"Tante pamit dulu, ya. Nitip Indah, kalau nakal jewer aja." Ibu Indah berpamitan pada Nana, Della, dan Vita.

"Ish, Ibu, nih." Indah memajukan bibirnya.

Semua tertawa. Ibu dan anak itu pun melangkah menuruni anak tangga.

"Duh, aku merinding dengar nasihat ibunya Indah tadi." Nana mengusap tangannya.

"Sama, Kak. Aku baru ketemu sekali ini aja. Tapi, langsung nancep gitu kata-katanya," ujar Della yang asih terngiang dengan nasihat ibu Indah.

Bukan hanya tertampar, Della pun merasa cemburu pada teman indekosnya itu. Indah memiliki ibu yang sangat perhatian. Tidak seperti dirinya. Namun, sayangnya Indah tidak mampu menjaga kepercayaan orang tuanya. Itu yang membuatnya kasihan pada kakak tingkatnya itu.

"Aku inget yang malaikat Izrail tadi. Nggak hanya merinding, panas dingin, nih." Vita memeluk lututnya.

Nana dan Della manggut-manggut. Mereka tidak bisa membayangkan jika usia mereka ternyata pendek.

"Tobat nggak, nih?" celetuk Nana.

"Apa?" tanya Vita dan Della serempak.

"Pacaran," jawab Nana singkat.

Vita menggeleng dengan cepat. Ia sedang merasakan manisnya membangun cinta bersama Vio. Dirinya pun tidak merasa khawatir dengan gaya berpacarannya. Vita masih kukuh menjaga kesucian diri. Namun, berbeda dengan tanggapan Della. Gadis itu hanya terdiam. Dosa-dosa yang pernah dilakukannya masih membekas kuat dalam ingatan.

"Eh, dari kemarin nggak lihat Mbak Mila, deh." Vita memutar kepala ke arah kamar yang ada di ujung kiri depan.

"Lagi ngerjain skripsi mungkin," cetus Nana.

"Lagi nggak enak badan. Aku suruh istirahat aja di kamar."

Della memberitahukan tentang kondisi Mila. Tentu saja dirinya tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi dengan mahasiswi tingkat akhir itu. Mila masih juga belum mau mengakui tentang kehamilannya. Della sampai khawatir sendiri melihat kondisi gadis bertubuh kurus itu. Tadi subuh saja masih terdengar Mila muntah-muntah. Saat ditawari makan pun juga selalu ditolak.

***

Minggu pagi yang cerah. Udara di Kota Batu semakin dingin, terutama di kediaman Pak Dasuki yang memang dekat dengan lereng Gunung Arjuno.

"Mau balik jam berapa, Nduk?" tanya Pak Dasuki pada Lily yang sedang sibuk mencabut daun kering pada tanaman hias yang dijual.

"Bentar lagi, Pak. Aku masih kangen sama bunga-bunga ini."

Lily mengangkat satu pot bunga mawar berwarna merah tua yang masih setengah mekar. Ia lalu menghidu kelopak bunga dengan nama lain Mawar Putri itu. Jenis bunga kesayangan almarhumah ibunya itu memiliki aroma yang lebih wangi dibanding jenis bunga mawar lainnya. Bahkan, aromanya bisa bertahan hingga sepuluh hari jika sudah diletakkan di vas.

"Kangen sama Ibu, ya?" Pak Dasuki paham jika Lily sudah berdekatan dengan Bunga Mawar Putri.

Lily manggut-manggut. Ia ingin memeluk sang ibu, tetapi tentu saja tidak bisa.

"Aneh, sih," celetuk Lily yang sedang memandangi bunga di depannya.

"Apanya?" Pak Dasuki mendekat.

"Ibu kan, suka sama Mawar Putri. Kenapa namaku bukan Mawar Saputri?"

Pak Dasuki terkikik pelan. Beliau menggelengkan kepalanya.

"Lily kan tahu, Ibu ngasih nama Kana Lily karena maknanya."

"Iya, sih." Lily mendesah pelan.

"Kenapa?" Kening Pak Dasuki berkerut.

"Di kampus, ada yang tahu nama lain Kana, Pak," ungkap Lily jengkel.

"Pasti ada yang manggil dengan sebutan Ganyong."

Lily manggut-manggut. Ayahnya sudah paham jika ia sudah membahas tentang nama. Ia bukan tidak menyukai tananam tersebut. Pengalaman saat sekolah masih membekas. Pelajaran Biologi saat itu tengah membahas spesies Bunga Tasbih. Teman-teman sekelas begitu mendengar nama latin yang merupakan Kana langsung menatap Lily. Apalagi saat melihat bentuk Bunga Tasbih yang mirip Bunga Ganyong. Lily mulai diolok dengan sebutan Ganyong.

"Kana atau Tasbih sama Ganyong itu beda, Nduk. Warnanya nggak sama. Khasiat umbinya juga. "

Lily mengangkat bahu. Ia tidak mau membahasnya lagi. Obrolan dua orang berbeda generasi itu terhenti saat ada pengunjung kios. Pak Dasuki menuju bagian depan. Seorang laki-laki yang mengenakan jaket dan sneaker berdiri di pintu kios.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro