15. Mencari Lily

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Permis, Pak. Lily ada?" tanya Dandy begitu Pak Dasuki muncul.

"Oh, ada. Silakan masuk."

Dandy tersenyum lebar. Laki-laki paruh baya yang menurutnya adalah ayah Lily itu ternyata ramah menyambutnya. Ia pun mengekor Pak Dasuki. Mereka menuju ke depan teras. Dandy mengernyitkan kening saat pemilik kios itu mempersilakannya melihat bunga.

"Mau cari yang warna apa?"

"Hah?" Dandy bingung sendiri. Ia mencari Lily bukan bunga. "Saya cari Lily, Pak."

Pak Dasuki tersenyum ramah. "Iya, Mas. Ini semua Bunga Lily."

Dandy menggaruk leher yang tidak gatal. Laki-laki di sampingnya itu ternyata salah paham.

"Pak! Tolong nyalain sanyo," teriak Lily yang muncul dari dalam rumah. Langkahnya yang sedang menuju teras terhenti saat melihat Dandy di hadapannya. Ia membeliak kaget.

Dandy langsung melambaikan tangan saat mendengar suara Lily. Namun, ia kembali menurunkannya saat Lily memberi petunjuk dengan telunjuk menempel di bibir.

"Sebentar ya, Mas. Silakan di lihat-lihat dulu," tanya Pak Dasuki yang kemudian melangkah ke tempat pompa air berada. "Bukannya tadi udah nyala?"

Lily berjalan cepat menemui ayahnya. Ia lalu menghentikan langkah Pak Dasuki. Gadis itu mengatakan bahwa dirinya saja yang menyalakan sanyo. Sang ayah disuruhnya masuk ke dalam rumah mengecek lampu kamar mandi yang mati.

"Masa? Tadi masih baik-baik aja," tanya Pak Dasuki bingung.

"Iya, Pak. Aku mau mandi, nih." Lily mendorong Pak Dasuki masuk ke rumah.

Dandy hanya berdiri menyaksikan ayah dan anak yang sedang berbincang tersebut. Ia tidak paham jika kemunculannya adalah masalah bagi Lily.

"Bapak ada pembeli, nih. Entar aja."

"Udah aku aja yang ngelayani." Lily terus memaksa ayahnya masuk ke rumah.

Akhirnya, Pak Dasuki pun menuruti perintah snag putri. Beliau meninggalkan Lily bersama Dandy.

"Kakak kok, nggak bilang kalau mau ke sini?" Lily berbicara dengan nada sedikit berbisik di samping Dandy. Matanya terus mengawasi pintu rumah. Ayahnya sudah masuk ke dalam.

"Mau bikin surprise aja," jelas Dandy seraya tersenyum lebar.

Lily mendesah pelan. Ia bingung menjelaskan keadaannya. Untung saja Bu Miranti sudah berangkat kerja ke Pasar Batu. Ia tidak terlalu khawatir. Namun, tetap saja dirinya dibuat panik dengan kedatangan Dandy.

"Mau balik ke Malang jam berapa?" Dandy mengemukakan tujuannya ke rumah Lily.

"Jadi, Kakak jemput aku?" tanya Lily tergemap.

Dandy manggut-manggut. "Kan, udah dibilang pas Jumat itu. Aku mau ngajak Lily makan bakso bakar."

Wajah Lily masih belum terlihat tenang. Ekor matanya terus mengawasi pintu.

"Setengah jam lagi kita ketemuan di tempat yang kemarin itu. Kakak sekarang keluar dulu, ya."

"Loh, nggak boleh nungguin di sini?" tanya Dandy heran. Ia sekarang yang didorong Lily keluar dari kios.

"Maaf, ya, Kak," ucap Lily seraya menangkupkan kedua tangan. "Bapakku galak banget. Nggak bisa lihat anaknya ketemu cowok."

Dandy mengerjap kaget. Ia pun akhirnya undur diri. Dirinya tidak ingin membuat Lily mendapat masalah karena dirinya.

"Susah ini," gumam Dandy seraya menggaruk tengkuknya. Ia pun melajukan motor ke tempat yang sudah ditentukan Lily.

***

Suasana di Griya Dara hari Minggu tampak lengang. Semua penghuninya sedang berada di dalam kamar. Hanya Lily yang tidak ada di sana. Keheningan itu tiba-tiba dihebohkan dengan suara ibu kos yang terdengar melengking.

"Della! Ada yang nyari!"

Tanpa perlu mengulang lagi, panggilan ibu kos sudah mendapat sahutan dari Della. Dirinya yang sedang memakai sheet mask sempat tersentak tadi.

"Siapa yang main ke kos?" gumam Della seraya melepas maskernya. Ia lalu berjalan menuruni tangga. Namun, saat baru separuh jalan, kakinya terhenti. Ia pun memutar badan dan berniat naik lagi.

"Della, kasih kesempatan aku ngomong," pinta Dimas seraya mendekat ke tangga.

Posisi Della masih membelakangi Dimas. Ia mendesah pelan. Dirinya sudah memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan tunangan orang itu. Kakinya mulai terayun menaiki tangga.

Derap langkah di belakang mengejutkan Della. Ia memalingkan wajah ke belakang. Dimas sudah ada di dekatnya.

"Aku ikut naik kalau kamu nggak turun." Dimas mulai mengeluarkan ancaman.

"Jangan nekat, deh." Della kembali menaiki tangga.

"Aku serius," ujar Dimas yang mencoba melewati Della.

Gadis itu tidak mampu berkutik lagi. Della akhirnya menuruti kemauan Dimas untuk berbicara. Mereka pun menuruni tangga, lalu duduk bersampingan di kursi.

"Kakak mau apalagi?" tanya Della dengan raut dingin. Ia mencoba bersikap tenang di hadapan laki-laki yang masih dicintainya itu.

"Kembali sama aku."

Della sontak menoleh. Ia mengernyitkan kening, lalau menyeringai sinis. "Jadi selingkuhanmu? Yang benar saja."

"Hatiku itu seratus persen buat kamu, Della. Meskipun aku punya tunangan, tapi aku nggak ada perasaan sama sekali sama dia. Kami hanya korban perjodohan orang tua."

Della tertawa kecil. "Siti Nurbaya banget. Kamu nggak bisa ambil sikap, Kak."

"Sikapku udah jelas. Aku milih kamu, Del." Dimas masih memohon. Ia meraih tangan Della, tetapi gadis itu segera menepisnya.

Della beranjak dari duduknya. Ia menoleh ke arah Dimas. "Batalin pertunangan. Baru aku mau kembali."

Desahan pasrah keluar dari bibir laki-laki berbahu lebar itu. Ia tidak bisa dengan mudah membatalkan pertunangan. Orang tuanya bisa kalang kabut. Mereka merencanakan pertunangan sebagai bentuk balas budi karena sudah menyelamatkan keluarganya dari kebangkrutan. Namun, di satu sisi, ia tidak bisa melupakan Della.

Della kembali naik ke kamarnya. Kini, Dimas tidak lagi mengancam akan mengikutinya naik. Air mata yang sudah bersembunyi selama di depan Dimas, kini sudah mendesak untuk keluar. Gadis itu menyandarkan tubuhnya di pintu lantai dua. Air mata sudah membasahi pipinya bersamaan dengan bunyi motor yang sangat dikenalnya tengah meninggalkan Griya Dara.

"Kenapa, Della?" tanya Mila yang akan turun ke lantai bawah.

Della terkesiap. Ia segera menyusut air matanya, lalu menggeleng pelan.

"Kakak mau ke mana?"

"Mau cari makanan," ujar Mila yang wajahnya masih terlihat lemas.

"Aku carikan aja, Kak. Kakak istirahat aja di kamar." Della dengan senang hati mengajukan diri.

"Nggak usah, Del." Mila melanjutkan langkahnya. Namun, kedua tangan Della menahan bahunya.

"Kakak balik ke kamar aja. Nanti kalau pingsan di jalan gimana?"

Mila tertegun. Sikap Della ternyata sangat baik padanya. Entah karena mengetahui kondisinya atau tidak. Ia sudah mengelak atas kepemilikan testpack. Mila pun mengangguk setuju. Ia sendiri tidak yakin bisa berjalan kaki dengan kondisi yang sedang lemah itu.

"Mau makan apa, Kak?"

"Em, aku, aku ... lagi pingin rujak manis yang di pojokan dekat gedung rektorat itu, Del."

Della mengacungkan ibu jarinya. Ia lalu menyuruh Mila segera masuk kamar. Gadis itu pun segera mengambil dompet di kamar, lalu keluar membelikan pesanan Mila. Dirinya ingin melihat orang lain tersenyum meskipun hatinya sendiri sedang menangis.

***

Lily sudah berganti pakaian. Ia tengah membawa ransel pada punggungnya. Pak Dasuki yang sedang berada di kios sontak terkejut mendapati putrinya tiba-tiba berpamitan kembali ke Malang.

"Katanya siang?" tanya Pak Dasuki seraya mengulurkan tangan kanannya pada Lily.

Lily memperlihatkan deretan giginya. Raut wajah gadis itu terlihat semringah. Binar kebahagiaan mampu ditangkap oleh sang ayah.

"Takut hujan, Pak," jawab Lily asal.

"Heh? Masih kemarau ini."

"Bisa aja turun tiba-tiba." Lily terkekeh pelan. Ia lalu mengecup kedua pipi Pak Dasuki. Gadis itu kemudian berjalan cepat, seraya mengucap salam.

Pak Dasuki menarik napas panjang. Ia menatap punggung Lily dengan kekhawatiran. Beliau pun mengikuti langkah putrinya yang sudah berbelok ke jalan. Pak Dasuki berdiri di dekat gerbang, tidak sampai menginjakkan kaki ke bahu trotoar. Matanya terus mengamati Lily. Putrinya itu kini tengah memakai helm yang baru diangsurkan sosok laki-laki yang tadi mampir ke kios bunga miliknya.

Jangan lupa vote sama komen yaaa
pingin tahu dong, kisah Lily dan Geng Griya Dara ini menarik nggak heheheh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro