16.Ajakan Dandy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dandy dan Lily sudah sampai di Bakso Bakar Bambu Wulung yang terletak di Dau, tepatnya di Desa Sumbersekar. Aroma bumbu kacang yang sedang dibakar, menyapa indera penciuman Lily saat turun dari tempat parkir yang terletak tepat di depan kedai. Ia baru pertama kali ke sini.

"Ayo masuk," ajak Dandy sambil tersenyum.

Lily mengangguk. Ia lalu mengekor Dandy yang berhenti di depan meja pemesanan. Pemuda itu tidak lagi meminta persetujuan Lily atas menu yang dipesan. Niatannya memang ingin mentraktir Lily dengan bakso bakar kegemarannya itu.

Mereka pun menuju ke meja lesehan yang ada di samping kiri tempat pemesanan. Ada delapan meja. Empat di sisi kiri dan kanan. Dandy memilih di pojok barat sebelah kanan.

"Wah, pemandangannya segar banget ini, Kak."

Lily membuka mata lebar saat menoleh ke arah jendela yang terbuat dari anyaman bambu dengan lubang agak besar itu. Hamparan sawah berwarna hijau sontak menyegarkan matanya. Semilir angin yang sejuk, membuat suasana menjadi menyenangkan.

"Lily suka tempatnya?"

Lily manggut-manggut. Ia sedang sibuk memotret pemandangan tersebut. Dirinya ingin mengajak Della makan di tempat ini suatu hari nanti.

"Kakak sering ke sini, ya?"

Dandy manggut-manggut. Ia menjelaskan jika salah satu bakso bakar yang cocok di lidahnya adalah di sini meskipun ada banyak kedai bakso bakar terkenal di Kota Malang.

"Suasananya romantis, 'kan?" tanya Dandy dengan kedua tangan menopang dagu. Ia tengah memperhatikan wajah Lily yang seolah membuatnya mendapat semangat baru itu.

"Romantis kalau ada pacar," sahut Lily sambil terkikik.

Dandy menjentikkan jemarinya secara sembunyi-sembunyi. Senyuman tersungging di wajah pemuda dengan bekas kecil luka tergores pada pipinya itu.

"Kalau gitu kita pacaran aja," ajak Dandy seraya menatap Lily lekat. Ia sudah tidak sabar ingin menyatakan perasaannya.

Lily tentu saja tercengang mendengar ajakan yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak menduga Dandy bisa secepat itu mengutarakan niatannya. Lily pikir seorang laki-laki jika mendekati perempuan membutuhkan waktu yang lama.

"Kaget, ya?" tanya Dandy saat melihat ekspresi gadis yang duduk di seberangnya itu. "Aku suka kamu, Lily."

Hati Lily sontak menghangat. Ada kebahagiaan yang membuncah di dalam hati. Wajah pun dirasakan mulai memanas. Lily mulai canggung dengan situasi ini. Namun, iya menyukainya. Ajakan pacaran tersebut merupakan yang pertama baginya. Sebenarnya, sejak duduk di bangku SMA, ada beberapa teman laki-laki yang menyukainya. Namun, mereka keburu mundur ketika mengetahui Lily memiliki tante yang overprotective.

Sudah menjadi rahasia umum jika Bu Miranti lebih dikenal di sekolah Lily. Beliau merupakan sahabat dari ibu kantin. Seorang yang paling dekat dengan para siswa. Bu Kantin juga yang membocorkan pada murid laki-laki jika Lily dilarang pacaran.

Lily sempat jengkel karena yang dilakukan Bu Miranti seolah 'mematikan pasarannya'. Ia pun pasrah saja mendapati takdir seperti itu. Kini, dirinya berada di luar jangkauan tantenya. Lily akan bebas menentukan sikap selama tidak ketahuan keluarganya.

***

Minggu ini adalah pekan ujian akhir semester. Mahasiswa mulai fokus dengan aktivitas yang menguras otak tersebut. Mereka berjuang agar nilai yang akan dikirimkan ke orang tua terlihat layak. Bahkan, mereka yang hanya duduk untuk mengisi absen tanpa fokus mendengarkan penjelasan dosen, berusaha memelajari materi. Selepas ujian adalah saat yang dinanti. Libur panjang selama satu bulan penuh.

Namun, masa itu tidak ingin dihadapi Lily. Jika libur, tentu saja dirinya harus pulang ke rumah. Otomatis pertemuan dengan Dandy akan terhambat. Padahal mereka baru menjalin kasih selama dua minggu. Waktu di mana letupan cinta anak muda masih membara.

"Gimana ujiannya?" Lily berbicara di seberang telepon dengan Dandy. Mereka tidak bertemu dulu. Masing-masing ingin fokus dengan ujian.

"Lumayan lancar. Ayang lagi belajar, ya?" Dandy sudah memanggil Lily dengan sebutan spesial. Begitu juga dengan pacarnya itu.

"Masih nunggu Della, Yang."

Lily tidak tahu kalau Della sudah berdiri di belakangnya. Lily duduk membelakangi pintu kamar. Sahabatnya itu mengernyitkan kening mendengar pembicaraan Lily. Ia tidak ingin mengganggu obrolan tersebut. Della hanya berdiri tanpa membuat suara.

"Ih, kesepakatannya kan, habis ujian baru boleh ketemu." Nada bicara Lily terdengar manja. Dandy mulai mengeluh jika sudah merindukan kekasihnya. Hal itu tentu saja membuat Lily bahagia. "Kangen, kangen banget."

Della membeliak mendengar ucapan Lily. Ia menggelengkan kepala seraya menghela napas pendek. Dirinya menduga sahabatnya itu sudah memiliki pacar. Della menunggu obrolan Lily selesai.

"I love you too," ucap Lily mengakhiri sambungan telepon. Ia lalu memutar tubuh karena hendak memanggil Della. Namun, ia malah tersentak mendapati sahabatnya sudah berdirri di belakangnya. Lily sampai mengusap dada saking kagetnya. "Kok, nggak bilang udah di sini.

"Gimana mau ngasih tahu? Lagi mesra gitu ngobrolnya," sindir Della seraya tersenyum samar.

"Enggak, kok. Apa yang mesra?" Lily berusaha mengelak. Ia belum ingin memberitahu Della. Dirinya paham sahabatnya itu adalah titisan Bu Miranti. Larangannya tidak jauh berbeda.

"Santai aja, Ly. Kalau belum mau cerita, nanti aja." Della menepuk lengan sahabatnya.

Lily menjadi salah tingkah. Ia merasa sudah tertangkap basah.

"Del, aku punya pacar," ungkap Lily seraya menempelkan kedua jari telunjuknya.

Della manggut-manggut seraya tersenyum. Ia menghargai sikap Lily yang sudah jujur. Tangannya lalu menepuk bahu Lily.

"Temannya Kak Vita itu, 'kan?"

"Kok, tahu?"

"Ya jelaslah, Ly. Dia sering nyariin kamu ke sini."

Lily manggut-manggut. Rupanya Della mengamati aktivitasnya. "Dia baik, kok."

Della mengacungkan kedua ibu jari. Obrolan tentang pacar segera diakhiri. Mereka mulai membuka buku untuk persiapan ujian.

Saat sedang fokus belajar, tiba-tiba saja terdengar bunyi cukup keras di samping kamar Lily. Mereka berdua terperanjat lalu saling bertatapan.

"Apa-an ya, Del? Kita kan, berdua aja di kos."

Della mengangkat bahunya. Namun, ia penasaran juga dengan apa yang sedang terjad. Ia pun bangkit, lalu keluar kamar.

"Astaga! Ada yang pingsan, Ly."

Lily pun segera menyusul. Ia terkejut saat melihat Mila yang sedang pingsan. Della dan Lily pun segera mengangkat senior mereka ke karpet depan televisi. Mereka mulai panik.

Lily segera mengusapkan minyak kayu putih yang baru diambilnya di kamar ke kaki Mila yang dingin. Kemudian, Della mendekatkan botol minyak tersebut ke hidung Mila. Namun, belum ada reaksi.

"Gimana ini, Del?" Lily bertambah panik. "Apa kita kabari Ibu Kos?"

Della menggeleng cepat, lalu memegang dagunya. Menurutnya, Mila tidak hanya pingsan saja. Namun, gadis itu juga kekurangan cairan. Della selalu mengamati kakak tingkatnya itu. Morning sickness yang dialami Mila semakin parah saja.

"Pesenin taksi online. Kita harus bawa Kak Mila ke rumah sakit. Dia butuh cairan."

Lily mengerjap kaget. Lalu menoleh ke arah Mila yang belum siuman. Kakak tingkatnya itu memang terlihat lebih kurus. Lily pun segera memesan taksi online sesuai perintah Della.

Lima menit kemudian, Mila akhirnya sadar. Ia diberitahu akan dibawa ke rumah sakit.

"Nggak usah. Aku udah baikan, kok."

"Kak!" Suara Della terdengar meninggi. Lily sampai terkejut. "Kakak jangan egois. Kalau mau nyakiti diri sendiri silakan aja. Tapi, ingat, Kak. Kakak nggak sendiri sekarang."

Mila menatap Della dengan mata berkaca-kaca. Apa yang diungkap Della ada benarnya. Ia ingin menyiksa dirinya. Mila masih belum menginginkan janin di dalam rahimnya itu. Dirinya ingin terlepas dari beban yang teramat berat akibat perbuatannya tersebut.

Lily hanya melongo. Ia tidak paham dengan apa yang diucapkan Della. Ditambah tangisan dari Mila. Lily yakin kakak tingkatnya itu sedang memiliki masalah yang besar.

Mila akhirnya mengikuti saran Della. Ia mau dibawa ke rumah sakit. Mereka bertiga pun menuju pusat kesehatan yang tidak jauh dari indekos mereka. Mila langsung dibawa ke IGD untuk diperiksa.

Della terlihat sibuk berbicara dengan dokter jaga. Lily yang sedang menemani Mila, menatap ingin tahu ke arah meja dokter. Sesekali, dokter itu menoleh ke tempat seniornya itu berbaring.

"Lily nggak ujian?" tanya Mila dengan nada lemah.

"Belum, Mbak. Masih nanti sore. Oh, iya, Mbak sakit apa, sih?"

Mila menatap Lily dengan raut sedih. Bukan kata-kata yang keluar. Namun, isakan disusul air mata yang menjadi jawabannya. Tentu saja Lily menjadi kebingungan. Ia pun menenangkan kakak tingkatnya itu.

Della datang bersama dengan dokter ke ranjang Mila.

"Mbak, nanti kalau sudah selesai infusnya, saya kasih rujukan ke dokter kandungan, ya."

Mila menoleh ke arah Della. Adik tingkatnya itu memberi isyarat dengan anggukan kepala.

"Baik, dok. Terima kasih."

Dokter pun meninggalkan para mahasiswi itu. Kin, tinggal Lily yang terbengong. Ia tidak paham kenapa Mila malah dirujuk ke dokter kandungan.

"Mbak Mila ada kista, ya?" Lily teringat tetangganya yang pernah pingsan karena menderita kista.

"Bukan, Ly," jawab Della.

"Terus sakit apa, dong?"

Mila menarik napas panjang. "Aku hamil, Ly."

"Apa?!" Lily membeliak kaget. "Kok, bisa, Mbak?"

Della mendesah pelan. Ia lalu mengacak rambut Lily. Sahabatnya itu memang teramat polos. Hal itulah yang membuat Della khawatir jika Lily berpacaran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro