22.Larangan Yang Masih Berlaku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tidak mudah bagi Nana untuk merayu Mila agar mau jujur ke Fari tentang kondisinya. Sebenarnya, ia ingin sekali melabrak teman sekelasnya itu. Namun, Nana masih memikirkan Mila. Dirinya tidak mau menambah beban pikiran calon ibu tersebut dengan sikap gegabahnya. Nana pun memikirkan satu cara agar bisa mengubah pikiran Mila. Ia berencana mengajak semua penghuni Griya Dara yang ada di lantai dua untuk ikut berbicara.

Lily, Della, Indah dan Vita kini sudah duduk di karpet depan televisi. Mereka akan menjalankan rencana Nana. Penghuni indekos paling senior itu sedang di kamar Mila untuk membujuknya keluar.

"Ck, kenapa kita harus ikut campur masalah pribadi gini. Malesin," gerutu Vita seraya menyelonjorkan kaki.

Semua mata sontak menatap Vita dengan tatap heran. Gadis itu selama di indekos selalu ingin tahu masalah orang lain. Namun, saat ada kondisi seperti ini malah ingin menghindar.

"Tumben?" sindir Indah.

"Masalahku aja belum bisa diatasi, gimana mau bantu masalah gawat begini?" Vita mengacak rambutnya. Telepon yang datang tidak bersamaan dari kedua orang tuanya, membuat pikirannya mulai kacau dari satu minggu yang lalu.

"Siapa tau kita bisa ngebantu Mbak Mila," sahut Lily.

Della dan Indah manggut-manggut. Tidak ada yang salah dengan niatan baik tersebut. Sejak masalah Mila terkuak, kekeluargaan di Griya Dara mulai terbentuk.

"Mbak Mila itu usianya udah masuk dewasa awal, loh, Ly. Seharusnya tau dong konsekuensi dari bercinta sebelum menikah itu gimana. Kalau kayak gini yang bakal disalahin pasti cewek. Nggak becus banget jaga diri." Vita kembali berdecak. Raut wajahnya tampak masam.

Semua semakin heran mendengar pemikiran Vita yang tidak ada empati tersebut. Terutama Della yang ingin sekali mengomeli Vita. Namun, berusaha ditahannya karena tidak mau menimbulkan masalah baru.

"Ya udah kalau nggak mau bantu. Nggak usah ngatain kayak gitu juga," tegas Indah yang mulai kesal.

"Ngomong dong, dari tadi, kek," ujar Vita seraya beranjak dari posisinya. Ia pun melangkah menuju kamar.

Brakkk!!!

Pintu kamar Vita ditutup dari dalam dengan keras. Bersamaan dengan itu, Nana muncul bersama Mila.

"Kenapa si Vita?" tanya Nana.

"Nggak usah dipikirin, Kak. Fokus ke KakMila aja," ucap Della masa bodoh.

Obrolan pun dimulai. Sebagai sosok tertua, Nana yang berbicara mewakili adik-adik kosnya. Mereka ingin mendatangi Fari jika Mila tidak mau mengatakannya sendiri. Kebetulan pemuda itu telah merampungkan ujian skripsi. Mila pun saat itu hadir untuk memberi dukungan dengan kondisi kepayahan.

"Aku masih takut kalau dia nggak mau tanggung jawab," ungkap Mila dengan raut sedih.

"Kita harus tahu dulu, dia mau atau enggak, Kak. Jangan menerka-nerka gini. Sampai Kakak lahiran pun, dia nggak bakalan tau kalau Kak Mila nggak mau ngomong," sahut Della seraya mengusap lengan Mila dengan lembut.

Semua setuju dengan pendapat Della. Begitu juga dengan Mila yang akhirnya terbuka pikirannya. Ia memutuskan bahwa akan mengungkapkan semua tentang kondisinya saat ini ke sang kekasih. Mila ingin cepat terbebas dari ketakutan seorang diri.

***

Ujian akhir semester tinggal sebentar lagi. Satu permasalahan rumit dari Mila sudah terselesaikan beberapa minggu yang lalu saat Fari wisuda. Ia kini sudah menyandang gelar sebagai seorang istri. Perihal pertanggungjawaban memang sudah selesai. Fari tidak menolak dan mengakui perbuatannya. Hanya saja beban Mila bertambah berat. Kedua mertuanya dengan tegas menolak kehadirannya dan juga bayi dalam kandungan. Pun, sama dengan orang tua Mila yang sudah mengusirnya karena anak gadis kebanggaan telah mencoreng nama keluarga. Pernikahan dilakukan dengan kakak Mila sebagai wali. Dibalik masih menumpuknya masalah, ada secercah kelegaan. Fari langsung mendapatkan pekerjaan sebelum wisuda, sehingga beban berat itu sedikit berkurang.

"Kalau butuh bantuan, hubungi aku aja, Kak," kata Della saat Mila berpamitan.

"Hubungi aku juga, Mbak," cetus Lily.

"Mil, pokoknya kalau butuh bantuan hubungi aja Griya Dara. Kamu udah tau siapa aja yang siap membantumu," sahut Nana.

Mila manggut-manggut. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia berterimakasih atas kepedulian keluarga barunya di Griya Dara meskipun tidak semuanya.

"Maaf udah ngerepotin kalian," ungkap Mila seraya mengusap air matanya.

Mereka pun berpelukan bersama sebelum melepas Mila yang akan tinggal di indekos khusus suami istri bersama suaminya. Satu kamar di Griya Dara kembali kosong.

"Oh, iya, Ly. Sini bentar," panggil Mila yang sudah akan naik ke motor.

"Kenapa, Mbak?" tanya Lily mendekat.

Mila menghela napas panjang. Ia sebenarnya sungkan ingin mengatakannya. Namun, dirinya peduli dengan gadis manis di hadapannya itu. Mila meraih pergelangan tangan Lily dan menggenggamnya.

"Ly, jadikan masalah dan kesalahanku ini sebagai pelajaran untukmu. Aku yakin seorang Lily bisa menjaga dirinya dengan baik. Kamu harus sukses dan bisa banggain orang tua."

Lily terkesiap mendengar wejangan menyentuh itu. Ada perasaan haru menyelinap dalam hati. Namun, di sisi lain, dirinya merasa gelisah. Ia memang tidak melakukan apapun dengan Dandy. Bahkan untuk sekadar ciuman di bibir. Hnaya berpegangan tangan dan kecupan di pipi saat di bioskop dulu. Namun, sudah sejak dua minggu ini, ia kerap diajak pacarnya itu untuk menghabiskan waktu di rumah sewa tersebut. Menikmati hari seraya menonton series di laptop Dandy, membuat Lily merasa aman daripada jalan-jalan berdua di luar. Ia khawatir akan bertemu orang-orang yang mengenal dirinya dan keluarganya.

"Makasih, ya, Mbak. Mbak Mila juga harus semangat dan nggak boleh sedih lagi."

Mila mengangguk seraya tersenyum. Ia lalu naik ke motor. Tangannya melambai ke arah para mahasiswi yang mengantarnya. Mereka pun melakukan hal yang sama.

Dering ponsel terdengar dari milik Lily. Ia segera mengangkat panggilan dari tantenya tersebut.

"Iy, Lek. Kenapa?"

"Dua minggu ini kok, nggak pulang, Ly?" Bu Miranti masih tidak lelah mengawasi keponakannya dari jauh.

Lily sontak memejamkan mata dengan kuat seraya menggigit ujung jari telunjuk. Pertanyaan dari tantenya itu membuatnya harus berpikir keras untuk mencari alasan.

"Kamu ngapain di kos pas libur kuliah?"

"Itu, Lek. Anu, kan, aku mau ujian. Jadi biar fokus belajar gitu," jawab Lily gelagapan.

"Owalah, mau ujian. Ya, wes, belajar yang rajin."

"Siap, Lek!" ucap Lily dengan penuh semangat. Tantenya tidak curiga dengan alasan yang dibuat.

"Eh, jangan lupa, loh."

"Apa?" Kening Lily berkerut.

"Jangan main pacar-pacaran."

Lily tertawa canggung mendengar larangan Bu Miranti. "Iya, Lek. Tenang aja."

***

Sepulang dari ujian di kampus, Lily sudah mendapati Dandy duduk di teras Griya Dara. Ia sedang bercengkerama dengan dua sahabatnya. Raut semringah seketika tampak di wajah Dandy begitu melihat Lily. Pemuda itu berniat mengajak pacarnya itu untuk main ke kontrakan lagi. Padahal, di chat tadi, Lily sudah menolaknya.

"Ly, jangan lupa rencana kita tadi," ujar Della sebelum melanjutkan langkah ke lantai dua. Ia berbicara dengan sedikit berbisik. Matanya melirik ke arah Dandy, sedangkan raut wajahnya terlihat tidak suka dengan kehadiran pacar sahabatnya itu.

Lily menganggukkan kepala dengan mantap. Ia tidak akan lupa dengan janjinya pada Della untuk makan malam bersama di kedai tahu telor langganan mereka. Begitu Della naik tangga, Lily pun segera duduk di samping Dandy.

"Udah malem, Yang. Mau ngapain di sana?" tanya Lily.

"Nonton kayak biasanya aja. Ayolah, Yang. Aku udah beli camilan sekresek di Indoapril." Dandy masih saja memaksa.

Lily menggelengkan kepala. Jika siang hari, ia tidak masalah berkunjung ke kontrakan Dandy. Namun, kini langit sudah gelap. Sekalipun di sana bebas keluar masuk perempuan tanpa batas waktu, tetapi Lily enggan melakukannya. Tidak sedikit pacar dari teman-teman Dandy yang kerap main ke sana, bahkan sering menginap di sana. Rasa ingin tahu tentu saja membuncah mengetahui fenomena baru baginya tersebut tersebut. Namun, ia memilih untuk tidak mau tahu urusan orang lain, karena Lily pun enggan jika ada yang mencampuri kehidupannya.

"Ya udah kalau gitu. Aku marah, loh, Yang." Dandy mulai merajuk. Ia pun memajukan bibir bawah.

Lily tertawa melihat aksi pacarnya itu. Ia tetap pada pendiriannya. Dirinya tidak ingin melewati batas. Lily selalu mengingat janji yang diucapkan kepada keluarganya, meskipun kini sedang diingkari. Ia ingin tetap menjaga kepercayaan orang-orang yang menyayanginya.

Dandy pun menyerah. Ia tidak memaksa lagi. Rasa kecewa jelas menguasai. Apalagi saat teman-teman kontrakannya memprovokasi untuk berbuat lebih kepada Lily. Dandy tidak mau dianggap pecundang karena hingga saat ini hanya bisa menyentuh tangan saja. Gadis satu itu sangat berbeda dari para gadis yang pernah dipacarinya dulu. Usaha Dandy masih belum juga menunjukkan hasil.

Lily dan Dandy pun berbincang ringan. Di sana juga ada Vita dan Vio. Namun, pasangan satu itu terlihat sedang dalam suasanan yang tidak baik. Wajah Vita begitu murung, sedangkan Vio tengah berbicara serius.

"Mereka kenapa, ya?" tanya Lily yang mulai khawatir. Biasanya Vita dan Vio jika berjumpa selalu dalam keceriaan.

"Vita lagi ada masalah keluarga," bisik Dandy memberi tahu. "Orang tuanya mau cerai. Tapi, jangan kasih tau yang lain, Yang."

Lily terkejut mendengarnya. Sepengetahuannya, orang tua Vita adalah pasangan romantis. Temannya itu selalu membanggakan keluarganya yang sangat harmonis. Lily pernah merasa iri melihat perlakuan ibu Vita yang begitu perhatian terhadap anaknya.

Sebuah mobil berhenti di depan Griya Dara. Lily menoleh ke belakang karena ia duduk membelakangi pagar. Matanya menyipit saat melihat kendaraan roda empat itu. Ia seperti mengenal dengan baik mobil tersebut. Lily pun membaca plat nomor. Sontak saja ia bangkit dari duduk.

"Bapak, Bapak," ujar Lily dengan panik. Ia berencana naik ke lantai atas, tetapi Dandy menahan tangannya.

"Apa, sih, Yang?" tanya Dandy heran.

"Ada Bapak sama tanteku, Yang."

Dandy sontak melepas cengkeraman pada tangan Lily. Ia ikut kalang kabut mengetahui keluarga Lily datang. Ia segera berpindah tempat ke kursi yang diduduki Vita dan Vio.

Lily menarik napas panjang. Detak jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Kedua tangannya pun saling meremas satu sama lain. Ia lalu menarik kedua sudut bibir begitu Bu Miranti turun dari mobil. Lily merasa sudah tertangkap basah melakukan pelanggaran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro