21.Lebih Dari Ego

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semoga nggak emosi baca part ini hehehehe

Sejak mengetahui kehamilannya dan kondisi kesehatan yang menurun karena morning sickness, membuatnya hampir tidak pernah menampakkan muka di depan teman-teman indekosnya. Hanya Della dan Lily saja yang beberapa kali bertemu. Hal itu membuat Nana yang merupakan teman satu angkatan menjadi syok melihat perubahan drastis Mila. Kondisi Mila sungguh memprihatinkan. Wajahnya terlihat tirus. Matanya pun tampak cekung.

"Mila, kenapa, Mil?" tanya Nana dengan raut cemas. Ia membelai rambut kusut Mila dengan lembut.

Mila mengangkat wajahnya. Sorot matanya menatap nanar ke arah Nana. Ia lalu menghambur ke pelukan mahasiswi dengan rambut lurus di atas bahu tersebut. Isakan kembali terdengar dari bibir Mila. Kali ini, tangisan itu semakin menyayat hati.

Lily yang paham tentang permasalahan Mila, meraih lengan Della dan menggamitnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Begitu juga dengan Della. Gadis mandiri itu ingin sekali membantu menyelesaikan masalah pelik kakak kosnya tersebut. Sayangnya, Mila tidak mau terbuka akan masalahnya.

"Kamu tengkar sama Fari? Diputusin?" Nana terus mencecar Mila. Ia ingin ahu apa yang membuat temannya terpuruk seperti itu.

Mila tidak menjawab. Ia lalu melepas pelukan Nana. Tatapan matanya beranjak ke arah Della dan Lily. Dua orang itu yang paham akan permasalahannya.

Della mendesah pelan. Bukannya ia ingin ikut campur. Namun, dirinya sudah gemas melihat Mila yang belum menemukan solusi atas kehamilan di luar nkah itu.

"Kak Mila lagi hamil."

Nana, Vita, dan Indah tersentak. Mereka menatap Della dan Mila bergantian karena tidak percaya dengan kabar mencengangkan tersebut.

"Benar, Mil?" tanya Nana tidak percaya.

Mila mengangguk pelan. Bibir tipisnya kembali mengeluarkan isakan. Ia lalu menekuk lutut dan memeluk kakinya dengan erat.

Nana kembali merengkuh Mila ke dalam dekapannya. Ia paham perasaan itu. Saat pertama kali mengalami hal yang sama dengan pacar pertamanya, ia juga kalut hingga tidak bisa berpikir jernih. Beruntung, Mila masih tidak melakukan hal-hal yang dapat menambah dosa seperti dirinya dulu. Nana berniat menginterogasi pelan-pelan. Ia pun meminta para adik kosnya untuk keluar kamar.

"Fari nggak mau tanggung jawab?" tanya Nana.

Mila menarik napas berat. "Dia aja malah belum tahu, Na. Aku nggak mau ganggu dia. Udah dua bulan aku merahasiakan kehamilan ini. Ujian skripsinya tinggal seminggu lagi."

Nana terkejut mendengar pengakuan Mila. Ia ingin berkata bahwa temannya itu bodoh, tetapi hanya bisa diucapkan saja dalam hati. Ia pun memberi saran untuk memberitahu Fari secepatnya. Namun, Mila menolak. Dirnya tidak mau menghambat cita-cita Fari dengan masalah itu.

"Mila, Mila. Kalau polos itu jangan kelewatan," decak Nana tidak habis pikir. "Terus kamu mau nanggung ini semua sendirian?"

Mila kembali terdiam. Di satu sisi ia tidak sanggup menanggungnya seorang diri. Perutnya semakin hari akan terus membesar. Di sisi lain, dirinya sangat paham akan impian Fari yang ingin melanjutkan kuliah ke pascasarjana. Kekasihnya itu ingin menjadi seorang dosen. Apalagi, keluarga Fari begitu membanggakan pacarnya itu. Mila tidak sanggup membayangkan penolakan yang akan diterimanya.

"Kalau kamu mau terus waras, bilang ke Fari," tantang Nana dengan raut serius. "Takut? Aku aja yang bilang."

Mila menggelengkan kepala dengan cepat. Bukan untuk jawaban dari pertanyaan Nana. Namun, penolakan atas bantuan temannya itu. Mila paham dengan baik, seorang Nana sangat menyukai hal-hal yang menantang. Bisa saja, gadis itu nekat meskipun sudah dilarang.

***

Tepat satu minggu perang dingin antara Dandy dan Lily berlangsung. Pemuda yang gemar mengenakan jaket di setiap penampilannya itu mengalah dengan mengunjungi Griya Dara. Ia datang membawa permintaan maaf. Pemuda itu berjongkok di depan Lily yang duduk di kursi marmer karena Lily masih memasang wajah manyun.

"Aku bakal gini terus sampai dimaafin," ujar Dandy yang masih memegang buket berisi cokelat kesukaan Lily.

Lily melirik ke arah Dandy, lebih tepatnya ke buket yang dipegang. Wajahnya masih memberengut. Namun, camilan manis itu seperti ingin menggoyahkan prinsipnya saja.

"Aku nggak suka dicurigai. Itu tandanya nggak ada kepercayaan di antara kita."

Dandy mendesah pelan. "Bukan gitu, Yang. Aku cuma minta nggak usah dekat-dekat sama satu orang itu aja."

"Kami nggak dekat!" tegas Lily untuk kesekian kalinya. Dandy masih saja mengira jika dirinya dan Nares berteman dekat.

"Tapi sahabatmu si Della itu dekat."

Lily menautkan kedua alis. "Nggak ada hubungannya."

Dandy menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia baru tahu jika Lily cukup keras kepala. "Oke, oke. Aku nggak bakal kayak gitu lagi."

Mata Lily mulai berbinar. "Janji?"

Dandy mengacungkan jari kelingkingnya. Mereka pun melakukan pinky promise. Buket cokelat itu pun kini ada di tangan Lily.

"Ikut ke studio lagi, yuk, Yang."

"Oke. Aku ganti baju dulu."

Tidak lama kemudian pasangan kekasih itu berangkat menuju studio musik. Di sana tidak ada teman-teman Dandy seperti yang ditemui Lily saat pertama kali menemani pacarnya itu latihan band.

"Kok, sepi, Yang?"

Dandy mengerlingkan sebelah mata. "Ada surprise buat Ayang."

"Oh, ya?" Lily tersenyum semringah. Ia tidak sabar menanti kejutan itu.

Ternyata, Dandy inginmenyanyikan sebuah lagu kepada Lily. Ia kini mulai bersenandung. Lagu yang dipilih adalah milik Mawar Eva De Jong berjudul Lebih Dari Egoku. Dandy memilih lagu tersebut karena sama dengan apa yang sedang dialaminya bersama Lily, meskipun pacarnya itu tidak minta putus. Pemuda dengan kemampuan bernyanyi dan memainkan gitar dengan baik itu mulai bernyanyi.

"Sulit bagiku menghadapi kamu. Tapi, kutakkan menyerah. Kau layak kuperjuangkan."

Lily tersipu mendengar bait pertama. Ia seolah benar-benar dicintai dengan sepenuh hati. Namun, begitu menginjak bait ketiga. Ia pun mengeluarkan protes.

"Bukan aku yang salah. Siapa juga yang minta putus?" Lily mencebik manja. Ia lalu bersedekap dengan bibir bawah yang maju.

Dandy tertawa melihat tingkah menggemaskan Lily. Ia pun mengacungkan tangan dengan ibu jari dan telunjuk bertaut membentuk hati.

Mereka tidak lama di studio. Hari pun sudah mulai malam. Dua mahasiswa berbeda angkatan itu berencana pergi makan malam.

"Loh, dompetku ketinggalan, Yang." Dandy meraba saku celana denim dan jaketnya.

"Di studio?"

Dandy menggelengkan kepala. "Di kontrakan."

"Pakai uangkua aja, Yang."

"Bukan masalah bayar juga, Yang. Tapi, aku nggak nyaman berkendara tanpa bawa kartu identitas."

Lily menggut-manggut. Ada benarnyajuga kebiasaan Dandy tersebut. Identitas sangat penting karena tidak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi di jalan. Namun, Lily sedikit tidak nyaman mengetahui dirinya akan mendatangi kontrakan Dandy.

Jarak studi dan kontrakan Dandy tidak terlalu jauh. Mereka sudah tiba di sana. Motor pun diparkir di garasi. Dandy mematikan mesin. Namun, ia heran melihat Lily yang masih duduk di atas motor.

"Kok, nggak turun?"

"Eh, iya," jawab Lily canggung. Ia pun segera turun dan berdiri di dekat motor.

"Yang, tolong ambilin dompet di kamarku, ya. Aku kebelet ke kamar mandi, nih." Dandy menyerahkan kunci kamar dan memberitahukan letak kamarnya pada Lily.

"Hah?"

Lily bingung menanggapi permintaan Dandy. Membuka pintu kamar laki-laki yang bukan saudara atau suaminya. Status mereka pun masih pacaran. Lily merasa risih jika harus melakukannya.

Dandy segera masuk ke dalam rumah untuk menuju ke kamar mandi. Di depan Lily hanya berdiri di tempat. Ia tidak akan melakukan apa yang diperintahkan Dandy.

Lima menit berlalu. Dandy keluar dari kamar mandi. Ia menarik kedua sudt bibir dengan maksimal. Dirinya yakin rencananya akan berhasil. Namun, begitu sampai di depan kamar, pemuda itu sontak berdecak kesal.

"Gagal!"

Dandy mengepalkan tangan dengan geram. Sudah dua bulan lebih hubungannya dengan Lily, tetapi dirinya hanya sampai mengecup pipi. Itu pun hanya sekali. Sangat berbeda dengan hubungan-hubungnnya yang lalu. Sebuah kemunduran bagi seorang pecinta wanita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro