20.Posesif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Del, aku mau cerita." Nareswara mengajak Della yang baru keluar dari rumah untuk masuk lagi. "Bentar, ya, Ly."

Lily menganggukkan kepala dengan malas. Ia masih kesal dengan sikap Dandy yang dinilainya kekanak-kanakan. Pemuda itu terus memaksanya untuk pulang segera ke indekos.

Di dalam rumah, Nareswara berbicara dengan nada setengah berbisik. Matanya sibuk mengawasi jendela yang menampakkan kursi yang sedang ditempati Lily. Ia memohon kepada Della agar menjauhkan Dandy dari Lily.

"Cie, ada yang naksir Lily, nih?"

"Haish, maksudnya bukan gitu, Del." Nareswara mulai kelabakan mendengar Della mulai menggodanya. "Kalau bisa, Lily jangan sampai pacaran sama anak itu."

"Tuh, kan, Kak Nares cemburu, ya?" Della menyeringai jail.

Nareswara mendesah kesal. "Aku tahu gimana Dandy itu. Kami pernah satu band. Pokoknya, kasihan Lily kalau jadi pacarnya Dandy."

Della menautkan kedua alis. Ia pun berterus terang jika tidak suka melihat Lily berpacaran dengan Dandy.

"Aku mau ngelarang, tapi takut Lily tersinggung, Kak. Jadi ya, aku biarin. Kalau dia cerita aku tanggepin. Sayangnya, akhir-akhir ini dia nggak pernah cerita tentang pacarnya lagi."

Nareswara berdecak lirih. Bukan hanya tentang masalah cemburu. Ia tidak ingin gadis selugu Lily dirusak oleh Dandy. Dirinya juga tidak mungkin tiba-tiba menceritakan tentang sosok teman lamanya itu ke Lily.

"Emang Dandy kayak gimana, Kak?"

"Dia lebih berengsek dari laki-laki yang ada di kamar itu," ungkap Nareswara seraya memalingkan wajah ke pintu kamar Dimas.

Mata Della membulat sempurna. Ia belum paham benar seperti apa seorang Dandy itu. Namun, satu yang pasti dirinya tidak akan membiarkan Lily terus bersama dengan mahasiswa itu.

***

Akhir dari kunjungan ke kontrakan Dimas, membawa dua mahasiswi satu kelas itu pada ketidaknyamanan hati. Lily untuk pertama kalinya bertengkar dengan Dandy gara-gara cemburu. Sementara itu, Della bersedih karena melihat kondisi Dimas yang terlihat kurus. Namun, ia tetap pada prinsipnya. Tidak akan luluh lagi untuk membuka hati. Dengan langkah gontai, mereka berjalan kaki menuju Griya Dara.

"Kamu laper, Ly?" tanya Della yang mulai curiga dengan ekspresi Lily.

Lily yang berjalan dengan menunduk sambil sesekali menendang kerikil yang ditemuinya itu menggelengkan kepala. Ia malah bertanya balik ke Della. "Kamu laper?"

"Enggak. Kok, lemes gitu jalannya? Kirain laper."

"Bukan, aku lagi tengkar sama Dandy."

Della terkejut. Tadi sebelum berangkat, Lily tampak semringah. Tidak ada tanda-tanda sedang adanya pertikaian dengan sang pacar. Dalam hatinya, ia berdoa agar mereka cepat putus.

"Kapan bertengkarnya? Masa pas di kontrakan barusan?"

Lily manggut-manggut seraya mencebik sedih. "Masa gara-gara aku bilang kalau lagi sama Kak Nares, dia langsung ngamuk. Nyuruh-nyuruh jangan nemuin Kak Nares lagi. Nggak mau ngasih tau alasannya kenapa. Kesel juga kalau kayak gini kan, Del?"

Della tersenyum lembut. "Orang pacaran emang gitu. Seolah-olah satu pihak itu udah sah memiliki hidup pasangannya. Padahal, belum tentu jodoh, 'kan?"

Lily terkesiap mendengar kalimat terakhir. Ia setuju dengan pendapat tersebut. Namun, ada rasa khawatir jika tidak berjodoh dengan Dandy. Sekalipun baru beberapa bulan menjalin hubungan dan keinginan menikah masih belum ada, ia juga berharap kelak akan bersama kekasihnya itu di pelaminan.

"Hei! Ngelamun aja. Entar masuk ke got, Ly." Della menyenggol lengan Lily.

Lily tergemap. Ia menoleh ke arah Della semabri terkekeh canggung. Dirinya masih kepikiran Dandy yang marah kepadanya.

Della paham perasaan Lily. Ia pun merangkul bahu sahabatnya sambil terus melangkah. "Kalau memang hubungan itu membuatmu mendapatkan beban baru, nggak harus dilanjutkan, Ly. Masa depanmu masih panjang. Ada SBMPTN yang menanti kita."

"Hah? Aku nggak beban, kok," sahut Lily dengan cepat. Ia kecewa mendengar Della seolah tidak mendukung hubungannya dengan Dandy.

***

Sudah lebih dari lima hari Lily dan Dandy tidak bertemu. Mereka memang masih saling berkirim pesan via ponsel. Namun, tidak sesering sebelumnya. Bukan Dandy yang membatasi, tetapi Lily. Gadis itu malas jika Dandy sudah membahas tentang Nareswara. Dirinya sudah berulang kali menjelaskan bahwa mereka hanya teman biasa, tidak ada yang istimewa.

"Kenapa sih, masih dibahas tentang Kak Nares? Ayang tuh, cemburunya konyol, tau!" tegas Lily melalui sambungan telepon. Ia geram juga terus dituduh.

"Siapa yang cemburu?" elak Dandy. "Aku cuma gak mau Ayang kenal Nares."

Lily mengerutkan kening. "Malesin kalau kayak gini. Udahlah, nggak usah komunikasi aja saat ini."

"Bu-bukan gi—"

Dandy belum selesai berbicara, tetapi Lily sudah memutus sambungan telepon dengan kesal. Gadis itu membanting ponsel ke atas kasur. Ia lalu mengacak rambut panjangnya.

Pintu kamar terbuka. Della datang dengan satu kantong plastik berisi nasi padang. Rambutnya basah karena terjebak hujan yang tiba-tiba turun saat kembali dari kedai nasi.

"Sumpah! Aku kaget liat rambutmu kayak Mak Lampir," kata Della seraya mengusap dadanya. Ia lalu melepas jaket yang juga basah di bagian bahu dan punggung.

Bibir Lily mulai manyun. Ia ingin bercerita kepada Della. Namun, ketakutan akan tanggapan sahabatnya lebih besar. Lily khawatir Della akan menyarankannya untuk memutuskan Dandy.

"Laper, nungguin naspad nggak datang-datang," ujar Lily berbohong.

Della menatap Lily dengan pandangan curiga. "Bohong banget. Noh, di wajahmu tertulis lagi marahan sama pacar."

Lily dengan cepat mengelak. Ia pun memasang wajah penuh senyuman. Lily kadang heran kenapa Della bisa dengan mudah membaca pikirannya. Sempat, ia mengeluarkan celetukan bahwa sahabatnya itu cocok masuk jurusan Psikologi untuk rencana kuliah tahun depan. Bukan Ilmu Komunikasi seperti yang dicoba Della saat SBMPTN kemarin.

"Udahlah, makan, yuk, makan," ajak Della yang gemas dengan Lily yang mulai hobi berkelit. Mereka pun menuju karpet depan televisi untuk menikmati makan malam bersama.

Saat Della dan Lily tengah menikmati menu mewah harga terjangkau bagi anak kos itu, tiba-tiba saja, mereka dikejutkan oleh teriakan Mila di dalam kamar. Tidak hanya itu, setelah pekikan sangat keras tadi, disusul oleh suara pecahan benda. Della dan Lily sontak berpandangan.

"Apa itu?" Nana muncul dari dalam kamar.

Begitu juga dengan Vita dan Indah yang muncul dari kamar masing-masing. Malam minggu ini semua penghuni Griya Dara sedang berada di indekos semua. Kebetulan, saat ini hujan turun dengan derasnya.

Della segera bergerak cepat. Ia membuka pintu kamar Mila. Untung saja tidak terkunci. "Kak?!"

Lima gadis itu terdiam di depan pintu saat tahu kondisi di dalam. Pecahan piring kaca berserakan di lantai dekat kasur. Mila terduduk lemas dengan wajah berurai air mata. Rambut lurus sebahu gadis kalem itu sudah sangat acak-acakan.

"Aku nggak sanggup lagi!!!"

Mila kembali berteriak. Suara hujan yang sangat deras menyamarkannya. Keluarga Bapak Kos yang berada di bawah tidak akan mendengar pekikan menyayat hati tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro