3.Pindah Indekos

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Satu bulan kemudian.

Lily tidak melepas pandangan dari ponselnya. Ia bahkan terus berjalan mondar-mandir di kamar indekos yang sudah ditempati selama satu bulan. Dirinya kini tengah menanti balasan dari sang ayah. Ia sudah tidak betah tinggal di rumah yang merupakan pilihan tantenya itu. Bukan karena Lily memiliki permasalahan dengan penghuni indekos ataupun fasilitas yang ada. Akan tetapi, karena seminggu terakhir, dirinya mulai menemukan kebiasaan buruk teman-teman indekos yang rata-rata kakak tingkat di kampus.

Ponsel dengan casing bergambar bunga mawar beraneka warna itu bordering. Lily segera menyentuh tombol berwarna hijau begitu nama 'Bos Besar' tertera.

"Kenapa lagi, putriku sayang?" Pak Dasuki menyapa dari seberang telepon.

"Udah nggak betah pokoknya, Pak. Pindah, pindah, pindah," rengek Lily seraya menghentakkan kaki.

"Baru sebulan. Masih ada dua bulan lagi jatah sewa kamarnya. Nunggu dua bulan lagi. Oke?"

Bibir bawah Lily maju ke depan. Ia mulai terisak. Menemukan beberapa botol minuman beralkohol di tempat jemuran baju, sudah dirasa keterlaluan. Terserah saja jika para penghuni indekos mau mabuk atau apapun sesuka hati mereka. Namun, jangan di indekos. Lily tentu saja tidak berani bersuara. Ia hanyalah orang baru di sini.

"Aku pingin lingkungan yang bersih dari pergaulan yang salah, Pak. Lek Mi, sih, nggak pakai survey dulu gimana penghuninya." Lily akhirnya menyalahkan Bu Miranti.

"Hemm, apa sebut-sebut namaku." Terdengar suara Bu  Miranti di telepon.

Lily mencebik kesal. Rupannya sang ayah menghidupkan tombol speaker. "Pokoknya kalau aku kenapa-kenapa, Lek Mi harus tanggung jawab."

Hening, tidak ada jawaban dari seberang. Lily memejamkan mata seraya fokus menempelkan telinga di ponsel. "Halo, halo? Pak, Lek?"

"Ya sudah, Nduk. Segera cari kos baru yang nyaman buatmu. Pokoknya kalau ada masalah nggak betah lagi, Bapak nggak mau tahu karena itu pilihanmu sendiri." Pak Dasuki akhirnya memberi keputusan setelah berdebat sebentar dengan adiknya.

"Yes! Makasih kesayangan aku." Lily memberi kecupan jauh pada satu-satunya orang tua yang dimilikinya saat ini.

"Bapaknya aja, Lek nggak, nih?" Bu Miranti mengambil alih ponsel kakaknya.

"Iya, iya, buat Bulek yang paling seksi sedunia." Lily terkikik pelan. Memang, bentuk tubuh Bu Miranti yang masih berusia tiga puluh tujuh tahun masih tetap langsing padahal sudahpernah melahirkan dua kali.

"Gitu, dong." Bu Miranti tertawa bahagia. "Heh, ngapain hari Sabtu kemarin nggak pulang ke rumah? Punya pacar, ya?"

Lily mendesah pelan. Tantenya itu mulai overprotective terhadap pergaulannya sejak masuk kuliah. Hampir setiap hari, Bu Miranti menghubungi Lily untuk sekadar video call sebentar. Tentu saja untuk menanyakan aktivitas dan keberadaannya.

"Kan, udah aku bilang kalau ngemall sama temen kos, Lek."

"Oh, iya. Maaf, Ly. Faktor U, nih," ucap Bu Miranti sambil tergelak. "Pokoknya nggak boleh pacaran. Ketahuan punya cowok, langsung Lek geret kamu ke KUA."

Lily menanggapi ancaman Bu Miranti dengan gelak tawa. Ia tidak gentar dengan hal tersebut. Hingga satu bulan menjadi mahasiswi, Lily belum menemukan laki-laki yang bisa menjerat hatinya. Teman-teman sekelasnya rata-rata sudah memiliki pasangan. Ada pun yang jomlo, tidak sesuai standar cowok impiannya. Ancaman Bu Miranti masih aman.

***

Mata kuliah vocabulary sudah berakhir. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Lily segera mengemasi peralatan tulis ke dalam ransel kecil miliknya. Ia lalu mengedarkan pandang ke samping dan belakang. Lily duduk di deretan paling depan. Kelas yang dimasukinya bukanlah kelas seperti program sarjana, yang mahasiswanya bisa mencapai puluhan. Di program satu tahun ini, hanya ada sebelas orang mahasiswa. Lima di antaranya mahasiswa baru yang gagal masuk universitas negeri. Termasuk dirinya, tentu saja. Enam yang lainnya ada yang merupakan karyawan dan juga mahasiswa program sarjana yang ingin memperdalam ilmu bahasa asing mereka.

"Teman-teman, mau nanya, nih" Lily berdiri di depan kursi. Ia harus menghadang teman-temannya yang akan meninggalkan ruangan. "Ada yang punya info kos putri dekat kampus, nggak? Kalau bisa yang ada bapak kosnya."

Lily harus menentukan pilihan untuk indekos baru. Ia tidak ingin salah memilih tempat tinggal lagi. Memang, indekos yang sekarang ada penjaganya. Namun, menurutnya hanya sebatas mengurus gedung saja. Kelonggaran untuk jam malam dan juga kunjungan dari lawan jenis masih tidak terkontrol. Salah satu alasan yang juga membuat Lily gerah tinggal di sana adalah banyaknya pasangan kekasih yang tidak punya rasa malu untuk saling bercumbu di teras indekos yang terletak di pojok bawah. Kebetulan, lokasi rumah singgahnya itu seperti berada di bawah tanah untuk lantai satu. Jadi, halaman depan pun tidak terlihat dari jalan depan indekos.

"Di tempatku masih ada, Ly." Della—mahasiswi dari Jakarta—bersuara. "Habis ini ikut ke kos aja buat lihat-lihat. Bisa perbulan juga bayarnya."

"Oh, ya?"

Mata Lily berbinar. Tidak hanya karena pembayaran yang bisa dibayar satu bulanan. Jika dirinya tidak betah lagi, bisa pindah tanpa harus merugi. Selain itu, karena Della. Teman baru yang sangat supel di antara sepuluh orang yang ada di kelas. Della bisa menjadi teman yang menyenangkan bagi teman sekelasnya, terutama Lily. Della selama satu bulan ini kerap makan malam bersama dengannya setelah pulang kuliah meskipun belum terlalu akrab. Ia juga pernah satu kali ke indekos Della. Suasanannya cukup menyenangkan karena hanya ada sedikit kamar. Penghuninya terlihat akrab satu sama lain. Itu yang bisa dilihat Lily dari kacamatanya yang hanya sebentar mampir ke sana.

Della dan Lily keluar dari gedung kuliah berlantai empat. Lokasi kampus mereka tidak terpusat di satu area. Kampus swasta ini, masing-masing gedung berpencar di dalam perkampungan warga. Dua gadis yang memiliki nasib sama karena tidak lulus SBMPTN itu pun berjalan menuju indekos yang letaknya hanya seratus meter dari gedung kuliah.

"Masuk, Ly." Della membuka pintu pagar depan. "Lantai satu ini rumah bapak kos sama keluarganya. Orangnya asik, kok. Nggak galak-galak banget."

Lily manggut-manggut. Ia lalu mengekor Della yang menaiki tangga menuju lantai dua. Tangga melingkar yang terbuat dari besi. Jika berpapasan, harus ada yang mengalah untuk naik atau turun kembali.

Della membuka pintu utama dari lantai dua. Ruangan yang memanjang ke belakang itu terdiri dari enam kamar.

"Nah, kamar yang kosong itu ada di pojok." Dellla menunjuk kamar yang ada di sisi kiri belakang.

Lily manggut-manggut. Kamar di indekos ini memiliki ruangan yang cukup sempit. Hanya cukup dengan kasur berukuran single dan lemari kecil. Namun, kondisi di lorong yang menjadi ruang televisi cukup bersih. Terlihat nyaman untuk sejenak bersantai bersama kawan yang lain.

"Kok, sepi, Del?" Lily mengamati semua pintu yang tertutup. Tidak ada penghuni yang keluar.

"Mereka ada di dalam kamar sepertinya."

Lily berdecak kagum. Baru juga jam delapan malam lebih sedikit. Namun, para penghuni sudah anteng di dalam. Berbeda jauh dengan indekos yang ditempatinya saat ini. Jika belum jam sepuluh malam, teras akan penuh dengan pasangan yang saling memamerkan kemesraan.

"Aku mau pindah ke sini, Del. Secepatnya," ujar Lily mantap. Tidak ada keraguan untuk memutuskan calon indekos barunya.

Tebak, Gengs
Lily bakal cocok sama kos ini apa mau pindah lagi???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro