4 *Most Wanted*

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hendra tertegun sekaligus takjub melihat bagaimana cara Indri melahap habis semangkok mie yang baru ia bawa. Baru beberapa menit berlalu tapi mangkok itu sudah bersih tak bersisa. Kalo cara makan Indri begini pasti mamanya tak perlu mengeluarkan uang untuk beli sabun cuci piring, pikir Hendra.

"Lo laper apa doyan sih?" Hendra menelan ludah sendiri melihat Indri.

"Hah ... Gue laper tapi juga doyan sih hehe." jawab Indri sambil melempar senyum.

Sejak kecil mie instan rasa soto ayam adalah menu yang paling Indri suka. Meskipun mamanya sering melarang Indri makan mie karena penyakit maag, namun gadis itu selalu saja berhasil mencuri kesempatan untuk memuaskan perutnya. Indri benar-benar merasa puas, ia tak menduga berkat pingsan di kelas dirinya bisa memakan makanan yang sudah lama tidak mampir di lidahnya.

Hendra tersenyum hangat ke arahnya. Indri sadar ini semua terjadi juga karena laki-laki itu. Hendra si cowok kutu buku yang punya hati sedingin kulkas. Indri mengerti sekejam atau secuek apapun Hendra, cowok itu tetap berhati lembut. Kejadian hari ini membuatnya kembali mengenang masa lalu saat ia masih kecil dulu.

Indri mengayuh sepedanya lebih kuat, ia tak ingin ketinggalan jauh dan akhirnya tak bisa mengikuti Hendra ke tempat les. Sudah berulang kali gadis itu meminta Hendra agar mau mengajaknya ke tempat les bersama. Namun Hendra selalu menolak dengan alasan tempatnya terlalu jauh dan jalanannya nggak enak. Indri yakin itu hanya alasan saja, Hendra pasti tak mau mengajak karena ia takut Indri akan lebih pintar darinya. Di tempat les Hendra pasti gurunya mengajarkan pelajaran yang tak diajarkan guru les Indri. Pasti itu penyebab Hendra selalu mendapat rangking satu di kelas. Itulah yang ada di pikiran Indri, gadis kecil itu terus mengayuh tanpa peduli sepedanya sedikit bergoyang karena kerikil kecil di jalan.

Jalanan tempat les Hendra memang agak jauh dari rumah. Karena itulah setiap kali Indri meminta untuk ikut, Hendra segera menolak permintaan gadis itu. Seperti sore ini saat ia hendak berangkat untuk les ia kembali dihadang gadis kecil itu. Namun beruntung karena sekali lagi Hendra berhasil melarikan diri darinya. Meski Hendra sekarang harus terburu-buru karena ia hampir terlambat.

Bocah laki-laki itu mengayuh sepedanya lebih kuat dan cepat karena tak ingin terlambat. Namun Ia tiba-tiba menarik rem sepedanya ketika suara sesorang menjerit terdengar di telinganya. Suara itu familliar dengan telinga Hendra.

Bugh!!

"Mama ... Sakit!" Indri terjatuh karena tak sempat menghindari kubangan kecil yang ada di depan.

Hendra menoleh ke arah belakang. Ia berdecak sebal. "Tuh kan uda dibilangin juga!"

Ia segera menggeletakkan sepedanya di pinggir jalan dan berlari mendekati Indri. Gadis kecil itu terduduk, menangis sambil memegangi lututnya yang berdarah. Hendra bingung, di satu sisi ia ingin segera ke tempat les namun di sisi lain ia tak tega jika harus meninggalkan Indri sendirian di pinggir jalan.

Hendra berjongkok sambil memegang kaki Indri. "Uda aku bilang jangan ikut!"

Gadis kecil itu menatap Hendra sambil menangis sesenggukan. "Indri nggak tahu, Indri pengen ikut Hendra."

"Kan uda dibilangin jalannya nggak enak! Makanya sukurin sekarang jatuh!"

Bukannya menolong Hendra malah memarahi Indri dan membuat gadis itu semakin berteriak dan menangis dengan kuat.

"Aku mau les, ini uda telat kamu pulang sana!"

Indri mengusap air matanya. "Hendra mau pergi, ninggalin Indri, sendirian,Indri lupa jalan pulang huaaa ..." Gadis itu kembali menguatkan tangisannya.

Hendra mendengkus sambil menjambak rambutnya sendiri dengan kesal. Sampai kapan Indri terus menyusahkannya. Tapi sejujurnya ia pun tak tega jika harus meninggalkan Indri. Gadis kecil itu pasti akan ketakutan. Akhirnya Hendra berdiri dan kembali berjalan ke arah sepedanya yang tergeletak agak jauh di depan sepeda Indri.

"Hendra ...," isak gadis kecil itu,berpikir bahwa Hendra dengan tega meninggalkannya. Namun pikirannya salah Hendra hanya kembali untuk mengambil sepeda dan menuntunnya mendekati Indri.

"Ayo pulang kalo gitu, mau aku bonceng?"

Indri menatap nanar bocah laki-laki di depannya. "Hendra nggak jadi les?"

Hendra menggeleng kemudian menepuk boncengan sepedanya. "Cepet!"

Indri segera bangun, masih memegangi lututnya sambil meringis kecil. Ia duduk di boncengan sepeda dan memegang tas yang menggantung di punggung Hendra.

"Uda?"

"Uda"

Sepeda Hendra berlalu meninggalkan jalanan dan sepeda kecil bewarna merah muda yang dibiarkan begitu saja di pinggir jalan.

Indri tersenyum geli jika kembali mengingat kejadian waktu itu. Betapa polosnya dia mengira bahwa Hendra sengaja tak mengajaknya ke tempat les karena tak ingin kalah saing dengannya. Padahal jika di pikir-pikir meskipun Indri berada di tempat les yang sama dengan Hendra, kepintarannya tak akan mampu menandingi otak encer Hendra.

Hendra terlahir sebagai cowok yang sempurna, pintar, ganteng dan ... tunggu, Indri meralat. Hendra bukan cowok yang sempurna, karena dia selalu bersikap cuek dan acuh dengan orang lain. Hendra terlalu pendiam untuk ukuran cowok most wanted di sekolah. Hendra terlalu dingin dan kaku. Namun Indri bersyukur karena memiliki Hendra di hidupnya. Hendra sudah seperti kakak baginya, seperti malaikat pelindung untuknya.

Mata coklat itu masih tetap sama, masih terus menggetarkan hatinya. Sejak dulu sampai sekarang Hendra selalu bahagia setiap melihat satu senyuman merekah di wajah Indri. Senyuman hangat seperti dulu yang bundanya punya. Semenjak kepergian bundanya, Hendra menjadi lebih pendiam. Ia jadi terlalu takut untuk mengenal seseorang, karena ia tahu di setiap perkenalan pasti ada perpisahan.

Tapi Indri, saat bertemu gadis itu Hendra lupa rasanya kehilangan. Meski hatinya terlalu bodoh untuk menyadari setiap getaran yang timbul dari senyuman Indri. Meski harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui betapa dia bahagia melihat kebahagiaan Indri. Meski cintanya terlalu beku untuk ia lebur dan bagi kepada Indri.

Hendra terlalu nyaman dengan sosok dirinya saat ini. Dirinya yang tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Ia yang bersikap seolah melepaskan padahal ingin menggenggam. Ia yang bersikap tak peduli padahal khawatir. Ia terlalu nyaman dengan satu hubungan yang mereka sebut 'teman'.

***

Sebuah dehaman berhasil membuat tatapan Hendra pada Indri terputus begitu saja. Andre yang ingin keluar dari uks tanpa sengaja melihat adegan yang sebenarnya tak ingin ia ganggu. Tapi mau bagaimana, apa dia harus diam saja menjadi obat nyamuk dua orang yang sedang saling menatap itu.

"Eh sorry gue mau keluar, misi." Andre berjalan di belakang Hendra. Sebelum keluar dari ruang uks Andre sempat mencuri pandang kembali ke arah Indri. Gadis itu ternyata juga sedang menatap ke arahnya. Andre dengan jahil mengedipkan satu matanya untuk menggoda Indri kemudian pergi meninggalkan ruang uks.

Lah itu cowok kenapa? Kelilipan-batin Indri.

Andre mendecap pelan, ia berjalan tanpa tahu mau kemana arah kakinya melangkah. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya. Ia menoleh kemudian tersenyum miring.

"Ke belakang yuk!"

"Anjirr ... Lo kira gue cowok apaan. Bahasa lo nggak usa gitu kali."

Edon terkikik geli melihat wajah Andre yang menatapnya ngeri. Ia merangkul tubuh Andre, kemudian menarik sahabatnya itu menuju kantin. Saat berjalan melewati koridor dan kelas, beberapa remaja perempuan menatap dua cowok ganteng itu dengan mulut hampir membentuk huruf 'o'. Itu tidak mengherankan, selain dikenal sebagai pembuat onar, Andre dan Edon juga dikenal sebagai most wanted sekolah yang diincar oleh beberapa siswi cantik.

Edon si cowok berkulit putih, bermata kecoklatan dengan bulu mata yang lentik dan panjang. Ditambah rambut spiky yang membuat ketampanannya semakin berlipat ganda. Badannya pun tinggi tegap. Ia benar-benar layak disandingkan dengan predikat badboy ala korea.

Tak jauh berbeda dengan Edon, Andre si playboy sekolah itu juga memiliki ketampanan di atas rata-rata. Bentuk wajah sempurna dengan dagu lancip. Serta rambut yang dibiarkan acak menambah kesan maskulin pada dirinya. Meski tinggi tubuhnya di bawah Edon tapi otot di lengan dan dadanya tak usa ditanya, Sixpack sempurna. Sayang semua kesempurnaan mereka harus tertutupi oleh sifat bobrok keduanya. Suka membolos, merokok, sering terlibat perkelahian dan tawuran, semua itu kian menambah daftar panjang kenakalan mereka. Itulah kenyataan, pada dasarnya di dunia tak ada yang sempurna.

"Eh Ndre si Anggit ngeliatin lo mulu tuh!" ucap Edon setelah duduk di bangku kantin sembari meletakkan mangkok isi bakso yang baru ia ambil dari ibu kantin.

"Hmm" Andre tak menghiraukan ucapan Edon dan fokus memakan bakso di depannya.

"Njirr makan mulu! Lo dengerin gue nggak!"

Andre menaruh garpu di mangkok kemudian menghabiskan sisa kunyahan bakso di mulutnya. "Gue uda males ama tuh cewek, mau duit gue doang," ucap Andre setelah menelan kunyahan di mulutnya.

Edon mengedarkan mata coklatnya pada seisi kantin yang sedang di dominasi oleh kaum wanita. Dan saat ini mereka sedang menatap tajam ke arah cowok di sampingnya. "Mantan lo di sekolah ini berapa sih? Kok kayaknya banyak cewek yang mau siram air kobokan ke muke lo sekarang."

Andre menatap ke sekeliling. Sepertinya temannya benar, mata para mantannya tengah tajam menatap ke arahnya. Ia jadi bergidik sendiri.

"Abis ini kabur yok!" Andre menyenggol lengan Edon.

"Ogah! Kita uda kelas XII, gue nggak mau sampek nggak lulus dari nih sekolahan. Belajar tiga tahun aja gue uda kapok!"

Andre hampir memuntahkan kuah bakso di mulutnya mendengar ucapan Edon. Sejak kapan cowok di sampingnya berubah jadi murid teladan.

Nih orang abis ketiban tangga?

"Lo sakit nyet?" Andre menyentuh dahi Edon dengan punggung tangannya.

Edon segera menepis tangan Andre. "Lo yang sakit!"

"Andre!! Tega banget lo sama gue!" tiba-tiba datang seorang perempuan menggebrak meja tempat Andre dan Edon makan.

"Eh anjing!" Andre melompat dari kursinya karena terkejut.

Gadis itu sedang menatap nanar ke arah Andre. Matanya bengkak akibat menangis semalaman. Dia adalah Hena, seorang siswi kelas XII IPS 2 yang baru sehari yang lalu Andre putuskan. Gadis itu tak terima karena diputuskan hanya melalui sebuah pesan chat. Selain itu alasan Andre memutuskannya benar-benar tidak masuk akal.

"Lo ngapain sih? Lo kesurupan? Bikin kaget orang aja!"

"Lo yang kenapa? Tega banget lo mutusin gue! Salah gue apa?" teriak Hena membuat seisi kantin menatap iba ke arahnya.

Andre menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan berat. "Sorry Hena tapi lo terlalu baik buat gue," ucapnya lembut.

Plakk

Sebuah bekas tangan tercetak jelas di pipi Andre. Cowok itu mengumpat pelan merasakan panas di pipinya. Semua orang ikut tertegun melihat aksi Hena yang begitu berani menampar Andre. Tapi itu layak Andre terima bagaimana pun sikap cowok itu sudah keterlaluan.

"Lo tega banget, Ndre! Lo liat aja suatu saat nanti lo bakal ngerasain sakit hati gara-gara cinta mati sama cewek yang jauh berbanding terbalik sama sikap lo ini!" Hena berujar seolah itu sebuah kutukan untuk Andre. Namun cowok itu hanya tersenyum lirih.

Setelah kepergian Hena, Andre kembali duduk dan menikmati baksonya dengan santai. Edon yang sedari tadi hanya menutup mulut masih menganga tak percaya dengan sikap sahabatnya. Ia bahkan tak bergeming atau takut meski mendengar sumpah serapah nan doa buruk untuk dirinya.

"Lo nggak takut yang dibilang tuh cewek jadi kenyataan?"

Andre menoleh ke arah Edon, lalu tertawa geli. "Lo percaya gue bisa jatuh cinta sama cewek? Lo denger ya bagi gue semua cewek di dunia ini itu sama aja, matre. Mereka cuma mau duit kita dan gue nggak bakal pernah bisa jatuh cinta sama cewek semudah itu, karena cewek yang gue cari itu langkah!"

"Lo yakin? Gue denger karma itu ada."

Andre mengangkat kedua bahunya.

Kita liat aja nanti.


***

Part 4 Selesai ...
Sampai berjumpa di part 5 ...

Tanda 😘
Sandramilenia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro