5 *Hope*

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Indri merapikan beberapa bukunya yang masih tertinggal di loker meja. Beristirahat di uks sampai jam pulang benar-benar kesempatan emas yang belum pernah ia dapat sebelumnya. Ia berpikir akan melakukan hal yang sama lain kali terutama saat pelajaran matematika dan fisika. Itu ide bagus bukan.

Selesai dengan semua bukunya, Indri menghampiri Hendra yang sedari tadi menunggunya di depan ruang kelas.

"Uda ayo pulang."

"Lama!" Hendra segera beranjak dari kursi dan berjalan mendahului Indri.

Mereka berjalan bersama menuju parkiran sekolah. Hendra terseyum dalam hati. Baru kali ini ia membolos kelas secara tidak disengaja. Tapi bukan hal itu yang membuatnya bahagia. Melainkan menghabiskan banyak waktu dengan sahabatnya. Tentu saja, berdekatan dengan Indri selalu membuat dirinya bahagia. Meski terkadang sikap konyol dan kekanakan Indri sangat berbanding terbalik dengan sifatnya, tapi disitulah uniknya. Ia bisa merasakan banyak warna dalam hidup berkat Indri.

Satu hal yang tak pernah bisa Hendra mengerti tentang Indri. Mengapa gadis itu selalu mampu membuatnya khawatir. Di setiap kesempatan Indri selalu berhasil membuat Hendra seolah ingin melindunginya. Hendra terus mencoba melawan keinginan hatinya dan bersikap seolah tak peduli, namun itu tak berhasil. Dalam hatinya terus tumbuh rasa untuk ingin melindungi, rasa untuk ingin menjaga, dan rasa untuk menyayangi. Mungkinkah ini rasa yang timbul dari sebuah hubungan persahabatan. Inikah yang juga dirasakan sebagian besar orang yang memiliki hubungan persahabatan.

"Kok malah ngelamun, Ayo!" Indri menepuk pundak Hendra ketika laki-laki itu berhenti tepat di depan parkiran.

Hendra segera tersadar kemudian menggelengkan kepalanya. Ia tak mengerti apa yang baru saja ia pikirkan.

Tak jauh dari tempat Hendra memarkirkan motor, Andre sedang tiduran di motornya sambil memainkan hp. Ia mencari nomor Pak Amir, supir pribadi ayahnya. Ia berniat menanyakan apakah ayahnya telah selesai bekerja atau belum. Bukan karena Andre perhatian, justru ia sedang memastikan posisinya. Jika ayahnya telah pulang maka ia akan pergi ke suatu tempat yang tak akan mungkin ditemukan oleh beliau.

"Apa gue nggak simpen nomor pak amir ya, kok nggak ada."

Lelah mencari nomor yang memang tak pernah tersimpan di hpnya, Andre mulai merasa kesal. Ia menyimpan kembali hpnya di saku dan berniat ingin ke rumah Edon saja untuk bersembunyi. Saat turun dari motor tanpa sengaja mata Andre melihat sosok yang tadi ia temui di uks sekolah. Seorang gadis imut dan pemuda tampan yang sangat dingin.

Wah mereka layak kalo jadi pasangan wattpad—batin Andre.

Andre tersenyum dan melaimbaikan tangan ke arah mereka seolah mereka adalah teman akrab. Sedangkan kedua remaja itu hanya membalas dengan tatapan aneh. Indri mengerutkan keningnya dan Hendra hanya menggeleng sambil berdecak.

Itu orang rada nggak beres ya?— batin Hendra dan Indri bersamaan.

***

Hendra melajukan motornya untuk pulang ke rumah namun ia berhenti tepat di depan sebuah toko kain yang tak berjarak jauh dari sekolah.

"Loh kok berhenti?" tanya Indri.

Hendra memutar bola matanya. "Lo bilang mau ke toko kain."

Indri teringat bahwa dia ingin membeli kain untuk desain pakaian yang baru ia buat. Ia segera turun dari motor, untung Hendra mengingatkannya. Saat akan memasuki toko, Indri kembali berbalik dan menatap Hendra yang masih setia duduk di motornya.

"Nggak ikut masuk?" ajak indri.

Laki-laki itu hanya menggelengkan kepala. Hendra tak ingin berdesakan dengan ibu-ibu yang sedang menawar harga kain di toko itu. Cukup suara Indri saja yang membuat telinganya sakit jangan suara ibu-ibu pemburu diskonan.

***

Andre memarkirkan motornya tepat di depan sebuah rumah berukuran besar dengan pagar besi yang menjulang tinggi mengelilingi. Ia menghembuskan napas kasar sambil mengambil hp dari balik saku celananya. Baru saja ia akan menekan nomor Edon, tapi niat itu ia urungkan. Apa benar bersikap terus bersembunyi dan lari dari masalah. Bukankah itu sikap seorang pecundang.

Andre menimang apa yang akan ia perbuat. Ia sudah biasa membuat masalah dan setiap masalah itu diketahui ayahnya, ia selalu kabur tanpa menyelesaikannya. Ia juga tak pernah mampu mengungkapkan apa yang sebenarnya ia mau. Tidak, bukan tak pernah. Ia pernah melakukannya sekali dan ia sudah tahu apa akibatnya. Tapi apa seorang anak tak pernah bisa memperjuangkan apa yang mereka mau. Apa orang tua selalu memiliki hak kuasa yang penuh untuk anaknya. Bukankah mereka juga perlu mendengar pendapat sang anak.

Terkadang Andre suka iri jika melihat bagaimana Edon diperlakukan oleh kedua orang tuanya. Temannya itu juga selalu berbuat onar tapi ketika ia memutuskan untuk menyukai dunia musik, orang tuanya mengizinkan bahkan mereka mendukung penuh keputusan Edon. Mengapa orang tua Andre tak bisa seperti itu juga. Mengapa mereka selalu memaksakan kehendak mereka dengan dalih masa depan yang cerah. Bukankah setiap mimpi itu punya masa depan tersendiri.

Andre merasa jemu jika memikirkan hal itu. Sebab meski berapa pun kali ia berpikir itu tak akan pernah mengubah pola pikir ayahnya. Andre sudah berputus asa. Biarlah dia terus membuat masalah dengan harapan suatu hari nanti ayahnya sadar, mimpi yang dibangun untuknya tetap tak memiliki masa depan seperti mimpinya .

Andre menghidupkan kembali mesin motornya dan menyimpan hp di saku celananya. Ia berputar meninggalkan rumah besar itu dan berlalu untuk menyelesaikan masalah, ralat mungkin untuk menghadapi masalahnya.

Baru 5 menit Andre turun dari motor namun rasa takut kian mencekam dan menggebu di dadanya. Ia melihat sebuah mobil hitam sudah terparkir rapi di bagasi mobil. Ini pertanda bahwa ayahnya telah pulang bekerja. Andre menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Ia berjalan masuk ke dalam rumah.

Ia berjalan setenang mungkin, menahan gejolak di dalam hati. Terkadang ia meremas tangannya sendiri agar tak terlihat bergetar. Mencoba mengulas senyum bodoh seolah tak akan terjadi apa-apa. Namun sebuah dehaman berhasil membuat pertahanan yang ia bangun hancur. Seketika gerak kakinya terhenti. Tangan gemetar hebat. Dan keringat dingin mulai turun membasahi dahi.

"Andre, kamu sudah pulang?" suara bass seorang pria terdengar menggema di ruang tamu. Pria itu duduk sambil membaca koran di sofa besar bewarna merah yang menghadap langsung ke arah pintu rumah. Dia mengibaskan koran yang ada di tangannya, kemudian melipat lembaran kertas itu menjadi lebih kecil.

Andre menelan ludah dengan susah payah saat melihat mata ayahnya begitu merah menyorot ke arahnya. Ia yakin dalam tatapan tajam itu ada amarah yang sedang terbendung.

Ia hanya mengulas senyum lirih berharap itu bisa menutupi ketakutan nya. "Uda Yah, Asshh panasnya.. Andre capek mau tidur dulu." Andre berjalan sambil membuka satu persatu kancing seragamnya.

Tepat sebelum ia melewati ayahnya. Tiba-tiba sebuah koran terlempar tepat mengenai wajah sampingnya.

Plak!

Andre masih tersenyum lirih. Sambil menggigit bibir bawahnya, ia mengambil koran itu dan meletakannya kembali di samping sofa ayahnya.

"Sampai kapan kamu terus gini? Apa kamu mau terus jadi bajingan! Apa satu tamparan tidak cukup buat kamu ngerti! Apa kamu mau terus lempar kotoran ke muka Ayah! Kamu tidak berpikir ayahmu ini siapa?" teriakan terdengar begitu keras di telinga Andre. Ia sudah sangat terbiasa dengan nada bicara seperti ini, sangat biasa.

Bram, ayah Andre mulai mengeram. Ia tak tahan lagi dengan sikap anaknya. Berulang kali Andre mencoreng mukanya di depan banyak orang. Apa yang bisa orang pikirkan. Seorang putra dari salah satu pengusaha terkaya di negeri ini ternyata hanya seorang brandalan sekolah yang suka membolos, bermain perempuan, dan terlibat tawuran.

Sampai kapan ia harus terus merendahkan dirinya di depan kepala sekolah dan staff hanya untuk meminta maaf atas perbuatan Andre. Tidak cukupkah selama ini ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan anak itu. Tidak cukupkah semua keringat yang ia keluarkan untuk putra tunggalnya itu.

Andre masih tersenyum lirih. Matanya memerah membendung air mata yang tak pernah ingin ia jatuhkan di hadapan ayahnya. Ia sangat tahu ayahnya hanya mementingkan kedudukannya sendiri. Ia tahu betapa ayahnya malu memiliki putra seperti dirinya. Seorang Bramastha Perwira memiliki putra seorang brandalan. Ia mengumpat dalam hati.

"Maafin Andre. "

"Maaf kamu bilang? Apa maaf bisa mengembalikan harga diri ayah? Apa dengan maaf kamu bisa berubah?" Bram merasa amarahnya sampai di ubun-ubun.

Andre tersenyum kemudian menatap wajah ayahnya. "Yah, itu cuma kenakalan remaja biasa. Banyak kok temen Andre yang berkelahi. Lagipula tadi itu cuma main-main. Si goblok itu aja yang parah, dia sampai bikin Andre babak belur padahal kan Andre niatnya becanda." pemuda itu memasang wajah bodohnya.

"Apa kamu bilang barusan?" Bram mengerutkan dahinya.

Andre terkikik. "Yah, itu cuma masalah kecil. Jangan berlebihan. Lebih baik Ayah kerja keras buat hasilin uang yang banyak dan bikin Andre seneng. Nanti tugas Andre cuma habisin uang yang uda ayah kumpulin. oke?" Andre menepuk pundak ayahnya kemudian berjalan santai menuju kamarnya.

Bram mengepalkan tangan menahan amarah yang kian memuncak di kepalanya. Sedangkan di seberang sana setetes air mata jatuh dan Andre segera megusapnya.

***

An

Part 5 done
Next Part 6....

Tanda 😘
Sandramilenia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro