Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"OM, nanti malam aku boleh nginap di rumah Katty, kan?" Faith menatap cemberut pada Bu Zoya yang duduk bersama kami di depan meja makan. "Ibu bilang kalau aku harus minta izin sama kamu."

"Jangan panggil Pak Rakha seperti itu," ujar Bu Zoya dengan nada sabarnya yang konsisten. "Nggak enak kalau didengar orang. Ada banyak panggilan lain yang lebih enak didengar daripada Om."

"Ada acara apa di rumah  Katty?" tanyaku.

"Nanti malam ada teman yang ulang tahun dan acaranya bisa sampai tengah malam. Tempatnya di dekat rumah Katty, jadi lebih baik aku sekalian nginap di sana aja biar nggak ngantuk di jalan kalau maksain pulang."

Aku tidak berhak melarang Faith melakukan apa pun, apalagi kalau hanya nginap di rumah sahabatnya. "Tentu saja boleh. Kamu boleh melakukan apa pun asal seizin dan setahu Bu Zoya. Izin Bu Zoya sama saja dengan izinku."

"Tuh kan, Bu. Yang penting aku izin sama Ibu kok." Faith yang merasa mendapat dukunganku langsung bersemangat.

"Ibu bukan suami kamu, Faith. Jadi nggak bisa sembarangan ngasih izin." Bu Zoya mendorong piring roti yang sudah diolesnya ke depan Faith lalu pergi ke belakang.

Faith mendekatkan kepalanya padaku dan berbisik, "Gara-gara kejadian di kolam minggu lalu, kayaknya Ibu berpikir kalau kita beneran tidur bersama." Dia terkikik. "Kemarin aku lihat Ibu diam-diam menghitung pembalutku. Dia pasti pengin tahu apa aku masih haid atau tidak, cuma gengsi mau tanyain langsung."

Aku ikut tersenyum geli. "Memangnya dia hafal jumlah pembalut kamu?"

"Kan Ibu yang belanja, jadi Ibu tahu dong kalau pembalutku berkurang. Ibu pasti pingsan kalau tahu ada buaya yang tinggal di rumah ini. Buaya yang doyan cewek cantik dan seksi." Sejak minggu lalu, godaan Faith padaku tidak lagi sebatas panggilan "om" saja. Setelah obrolan kami di hari peringatan meninggalnya orangtuanya, kehidupan seksualku menjadi topik ejekan favoritnya.

"Kalau ketahuan, apa aku akan diracun?" Meladeni godaan Faith lumayan menghibur. "Tapi aku kan nggak bisa dihukum karena perbuatanku sebelum menikah sama kamu."

Mata Faith memelotot. Mulutnya menganga sejenak sebelum berkata, "Kamu beneran belum pernah ketemuan sama teman-teman kencan kamu setelah kita menikah?" Dia membuat tanda kutip di udara dengan kedua jari telunjuk dan jari tengah saat menyebut kata "ketemuan". Tampangnya terlihat tak percaya. "Kata Kak Jessie, kalau kamu bosan padaku, kamu akan main di belakangku karena orang seperti kamu nggak akan terpuaskan. Jadi aku pikir selama ini kamu rutin ketemu teman-teman kencanmu karena kamu punya kebutuhan yang harus disalurkan." Dia memberi tekanan pada kata "kebutuhan".

Aku mengetuk dahi Faith dengan buku jariku. "Itu yang aku mau. Tapi kalau ingat nyawa, keinginanku langsung hilang. Kakekmu bilang dia akan membunuhku dengan cara yang paling menyakitkan kalau aku ketahuan selingkuh. Apalagi setelah aku tahu kalau bukan dia saja yang menginginkan nyawaku, tapi juga Jessie. Diintipin sama dua orang yang bersemangat membuatku hilang dari muka bumi sama sekali nggak menyenangkan. Kebutuhanku bisa menunggu karena nyawaku nggak ada serepnya."

Faith meringis. "Katanya kalau orang rutin bercinta terus libur lama itu tersiksa dan bikin sakit kepala ya, Om?" tatapan jailnya sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan. "Maaf ya, Om, tapi kamu harus bertahan lebih lama karena alasan yang akan kuajukan sama Kakek untuk perpisahan kita nggak bisa dipakai sekarang."

"Memangnya alasan apa yang akan kamu bilang ke kakekmu?"

"Aku bilang aku mau cerai karena aku sudah bosan sama kamu, dan aku tertarik sama orang lain. Itu satu-satunya alasan yang akan membuat kamu nggak dijadiin perkedel sama Kakek dan Kak Jessie. Harus aku yang selingkuh. Tapi di mata Kakek saat ini, kita adalah pasangan yang sedang berbahagia dan saling mencintai. Skenario perpisahan kita harus terlihat natural. Itu artinya butuh waktu dari pasangan yang saling cinta untuk bosan." Faith menjauhkan kepalanya yang hendak menjadi sasaran buku jariku untuk kedua kalinya. Dia menjulurkan lidah. "KDRT, Om. Jangan dibiasain! Kalau kena pasal, kamu nggak hanya berhadapan sama Kakek dan Kak Jessie aja, tapi juga polisi." Dia menghabiskan jusnya dan berdiri. "Aku duluan ya, Om. Dosennya pagi ini killer banget. Aku nggak mau disuruh nutup pintu dari luar."

**

Suasana kelab yang familier segera menyapa mata dan telingku setelah masuk di dalam gedung. Manajer marketing-ku berulang tahun. Dia mengundang aku dan Galih ikut ke kelab bersama beberapa orang staf yang lain.

"Gue nggak minum dan nggak bisa lama-lama ya," ulang Galih untuk kesekian kali.  Tadi dia memang menolak ikut, tapi kupaksa. "Gue bakal tidur di teras kalau sampai bau alkohol atau ketahuan ke kelab."

"Gue juga nggak mungkin minum banyak karena nyetir. Nanny McPee di rumah Faith juga nyeremin. Tatapannya lebih pedas daripada kalau dia ngasih kuliah hujatan 6 SKS."

Galih tertawa. "Orang sinting kayak elo itu memang harus selalu didampingi orang waras. Di kantor ada gue, di tempat nongkrong ada teman-teman lo, dan di rumah ada Nanny McPee. Kombinasi sempurna untuk menyeret lo kembali ke jalan yang benar."

Aku ikut tergelak. Ada-ada saja.

Kami duduk di depan meja bar, mengawasi bartender yang sedang sibuk melayani pesanan pengunjung lain yang datang lebih dulu.

Aku mengamati suasana kelab  yang belum pernah kudatangi lagi setelah menikah. Ada beberapa alasan mengapa aku menghindari kelab. Pertama dan yang utama, investasi Pak Tua membuatku sibuk. Sulit mencari waktu untuk bersenang-senang. Kedua, aku harus mengakui kalau aku bukan laki-laki yang tahan godaan seperti sahabat-sahabatku. Siapa yang berani menjamin aku tidak akan mengikuti nafsu saat ada tawaran dari perempuan cantik dan seksi yang kutemui di sini? Semenjak pandemi, aku memang sudah jarang melakukan kencan satu malam dengan orang asing, tapi lumayan banyak teman wanitaku yang mencari hiburan di kelab ini, dan mungkin saja aku bertemu mereka lalu khilaf sehingga lupa kalau aku bisa saja sedang diawasi orang Pak Tua. Kalau itu yang terjadi, nyawaku sudah pasti melayang. Ketiga, aku tidak lagi merasakan kebutuhan untuk harus ada di kelab. Daripada dunia gemerlap ini, aku lebih merindukan kamarku yang sempit di sebelah suite Faith yang superbesar setelah lelah bekerja. Terbangun dalam kondisi bugar keesokan harinya membuatku lebih produktif.

"Eh, bukannya itu Faith?"

Aku mengikuti mata Galih yang mengamati kumpulan orang yang sedang menari mengikuti suara musik yang menggelegar. Dia benar, Faith ada di antara orang-orang itu.

"Sekarang lo masih mau bilang kalau dia masih anak-anak?" ujar Galih lagi. "Nonsense!"

Aku terus mengawasi Faith.  Biasanya aku tidak punya masalah dengan jenis pakaian yang dikenakan perempuan saat masuk kelab, tapi sekarang gaun yang melekat tubuh Faith seperti kekurangan bahan. Hanya ada dua tali kecil dan tipis di pundaknya. Kalaupun dia memakai bra, itu pasti strapless bra karena aku bisa melihat punggungnya yang terbuka.

"Tadi katanya mau ke ulang tahun teman," gerutuku.

"Mungkin memang ulang tahunnya di sini," sahut Galih. "Kita juga di sini karena Steve ulang tahun, kan? Memangnya kamu pikir cewek seumuran dia masih ngerayain ulang tahun di McD, makan ayam goreng dan minum soda?"

Aku tidak tahu teman Faith ulang tahun di mana, tapi dalam bayanganku, tempat itu bukanlah kelab.

"Yang sama Faith itu siapa?" tanya Galih lagi.

Aku masih ingat tampang anak itu. Brian. Tangan kurang ajarnya mampir di pinggang Faith. Bagus sekali. Aku laki-laki, jadi aku tahu apa yang ada di kepala anak itu. Faith masih terlalu polos untuk bisa mengenali bahaya laki-laki, apalagi ancaman itu berasal dari orang yang ditaksirnya.

"Sori, gue pulang duluan ya."  Aku melompat turun dari stool.

"Yeah, hajar dia, man. Gue juga nggak akan suka kalau istri gue dipegang-pegang. Panggil gue kalau lo butuh bantuan. Mungkin aja lo udah terlalu tua untuk menghadapi anak muda yang penuh vitalitas seperti itu."

Aku mendengus, mengabaikan olokan Galih. Aku langsung menerobos kerumunan di lantai dansa untuk mencapai posisi Faith. Aku menepis tangan Brian yang hendak kembali ke pinggang Faith. Dalam sekejap, aku melingkarkan tangan di perut Faith dan menariknya menjauh dari lantai dansa. Faith tampak terkejut melihatku.

"Hei... Om, apa-apaan sih?" Protes Faith yang terpaksa harus mengikuti langkahku karena tenaganya tidak mungkin bisa melawanku. "Kenapa kamu ada di sini?"

Kami tidak bisa bicara dengan baik di dalam kelab yang ingar-bingar, jadi aku menarik Faith keluar gedung.

"Kamu bilang kamu ke acara ulang tahun temanmu?" Aku baru melepaskan tangan Faith setelah kami berada di luar.

Faith cemberut menatapku. "Ini acara ulang tahun Brian. Ada Katty di dalam."

"Faith, kamu nggak apa-apa?" tanya Brian yang ternyata mengikuti kami keluar gedung.

Faith mengibaskan tangan padanya. "Nggak apa-apa. Ini urusan keluarga. Omku kaget aja lihat aku di sini. Kamu masuk aja lagi."

Brian bergeming.

"Masuk!" hardikku keras. Kali ini anak itu tidak membantah dan segera membalikkan badan. Aku kembali menghadapi Faith. "Itu baju apa yang kamu pakai?" Seumur hidup, baru kali ini aku protes dengan baju yang dikenakan seseorang. "Lebih pendek tiga senti lagi, celana dalam kamu sudah kelihatan!"

Bibir Faith makin manyun. "Ini kelab, masa aku pakai sweatpants dan jaket tiga lapis? Ini baju Katty. Aku lebih tinggi dari dia, jadi emang bajunya jadi lebih pendek."

"Kita pulang sekarang!" Aku kembali mencekal pergelangan tangannya, membawanya ke mobil.

"Nggak bisa gitu dong, Om." Faith berusaha melepaskan tangannya. "Aku nggak bisa pulang dan ninggalin Katty begitu aja."

"Kamu bisa kirim pesan untuk ngabarin dia." Aku membuka pintu penumpang dan mendorong Faith masuk, menutup pintunya, dan memutar untuk masuk di pintu sopir.

"Masalah kamu apa sih?" protes Faith. "Aku mau balik ke dalam dan merayakan ulang tahun temanku. Kamu nggak berhak melarang aku melakukan apa pun yang ingin aku lakukan!"

"Teman kamu yang sedang berulang tahun itu sedang berusaha mencari cara untuk memasukkan tangannya di dalam bajumu!" semprotku.

"Itu kan menurut kamu aja!"

"Aku laki-laki, Faith. Aku tahu apa yang ada di kepala teman kamu itu. Kalau aku nggak ada, entah apa yang akan dia cecoki dalam minuman kamu!"

Faith bersedekap dan mendengus. "Aku bisa jaga diri."

"Kamu bisa jaga diri dan tingkat kewaspadaan kamu akan tinggi kalau kamu berhadapan dengan orang asing, tapi itu nggak akan terjadi kalau orang yang berada di depan kamu itu gebetan kamu!"

"Pokoknya aku mau balik ke dalam!"

Aku menahan tangan Faith yang hendak membuka pintu. Akibatnya dia terjepit antara jok dan tubuhku. Aku bisa merasakan dadanya yang empuk di lenganku. Wajah kami nyaris tak berjarak.

"Jangan coba-coba, Faith!" desisku. "Lebih baik kamu diam dan nggak bicara apa-apa lagi."

Faith menatapku gusar. "Ini mulutku, suka-suka aku mau ku—"

Aku membungkamnya dengan ciuman. Dia yang meminta ini.

**

Sila melipir ke Karyakarsa kalau mau baca lebih cepat ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro