Sembilan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ORANGTUA Faith dimakamkan di San Diego Hills. Seperti yang pernah kubilang, aku tidak suka pemakaman, jadi sebisa mungkin aku menghindari tempat seperti itu. Tempat pemakaman yang terakhir kukunjungi adalah tempat pemakaman Russel. Aku sama sekali tidak berniat menambah kunjunganku ke pemakaman lain setelahnya. Tapi di sinilah aku sekarang. Realita sudah mengkhianati rencanaku.

Aku sudah sering mendengar tentang San Diego Hills yang merupakan salah satu tempat pemakaman mewah di tanah air, tapi baru kali ini aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Tempat itu lebih mirip tempat wisata daripada kompleks pemakaman.

Orangtua Faith dimakamkan di bagian tertinggi dari kompleks yang termasuk dalam Peak Estate. Ya, memang ada pembagian kategori seperti itu. Kaveling makam orangtua Faith sangat luas, dilengkapi gazebo superbesar berwarna putih.

Ada tiga makam di kaveling yang bisa digunakan untuk memakamkan setidaknya lima belas orang. Pak Tua Jenderal pasti membeli tempat ini untuk keluarganya. Sangat visioner. Anak-anak dan cucunya masih segar bugar, tapi peristirahatan terakhirnya sudah disiapkan.

Aku tidak punya pandangan yang sama dengan Pak Tua itu tentang pemakaman. Aku jelas tidak akan menghabiskan uang yang bisa kugunakan untuk bisnis dan bersenang-senang untuk membeli tanah pemakaman mewah yang tidak akan bisa kunikmati setelah mati. Aku tidak yakin rohku akan gentayangan di sekitar makam untuk menikmati pemandangan. Ini adalah pemborosan yang sangat nyata.

Tapi tentu saja aku tidak akan mengatakan pendapatku secara terbuka. Toh yang dihabiskan Pak Tua untuk membeli kaveling makam keluarga ini bukan uangku.

"Itu makam Nenek," kata Faith saat aku mengawasi langkah Pak Tua Jenderal menuju makam yang terpisah dari makam kedua orangtua Faith yang berdampingan. "Nenek sama-sama meninggal dengan papa-mamaku. Kecelakaan speed boat waktu mereka jalan-jalan ke Nusa Penida." Nada dan ekspresi Faith biasa saja. Memang sulit mengharapkan koneksi emosi dengan orang yang nyaris tidak dikenalnya, meskipun itu orangtua dan neneknya sendiri. Pasti berbeda kalau Faith baru ditinggalkan beberapa tahun lalu, saat dia sudah terbiasa hidup dalam kasih sayang mereka.

Setelah mampir di makam orangtua dan nenek Faith, aku dan Faith lantas menuju gazebo untuk bergabung dengan keluarganya yang sudah lebih dulu tiba daripada kami. Sepertinya ini adalah ritual yang diwajibkan Pak Tua untuk dihadiri oleh semua anggota keluarga karena gazebo tidak hanya dipenuhi oleh om dan tante Faith, tapi juga oleh anak-anak mereka, para sepupu Faith. Termasuk Jessie yang tadi sempat menjadi topik obrolanku dan Faith saat menuju ke tempat ini. Dia sedang ngobrol bersama Jane, sepupu Faith yang lain.

"Jangan bilang sama Kak Jessie tentang obrolan kita tadi," kata Faith seakan bisa membaca pikiranku saat melihat tatapanku terarah pada Jessie. "Dia memang nggak bilang kalau aku nggak boleh ngelapor sama kamu tentang apa yang dia omongin, tapi aku nggak mau dituduh jadi tukang ngadu."

"Memangnya aku kelihatan seperti tukang gosip?" gerutuku.

"Enggak sih. Lebih mirip om-om mesum," balas Faith ikut berbisik jail. "Eh, nggak mirip sih. Emang mesum, kan?"

Tanganku spontan terangkat hendak mengetuk dahinya, tapi mendadak tersadar jika kami menjadi perhatian keluarga besarnya. Sebagai pengalihan, aku merangkul bahu Faith, memberi kesan pasangan harmonis yang saling mencintai.

Setelah berbasa basi dengan om dan tante Faith yang sudah lumayan familier denganku karena sudah beberapa kali bertemu saat berkunjung ke rumah Pak Tua, aku dan Faith kemudian bergabung bersama sepupu-sepupu Faith. Lebih spesifik lagi, Faith menarikku mendekati Jane dan Jessie yang berdiri terpisah dari kelompok yang lain.

Baru juga beberapa detik berdiri di depan sepupunya, Fatih menepuk jidat dan menggerutu, "Ya ampun, ponselku ketinggalan di mobil. Aku ambil dulu ya." Dia meninggalkanku begitu saja bersama Jessie dan Jane.

Aku berdeham dan melempar senyum pada kedua sepupu Faith itu. Jane membalas dengan tarikan bibir yang tipis. Jessie bergeming. Tatapannya penuh selidik. Seharusnya aku ngobrol dengan om dan tante Faith saja, membahas bisnis di akhir pekan jauh lebih menyenangkan, daripada harus melayani sorot penuh prasangka sepupu Faith.

Aku sudah pernah ketemu Jane beberapa kali setelah acara pernikahan. Dia juga sudah pernah ke rumah bersama Tante Rose. Jane lebih sering hadir di acara di rumah Pak Tua ketimbang Jessie. Ini adalah pertemuan ketigaku dengan Jessie. Sekali di acara pernikahan dan sekali di rumah Pak Tua. Waktu itu kami tidak sempat ngobrol dan berdiri berhadapan seperti sekarang.

"Kenapa Faith?" tanya Jessie tanpa basa basi. "Padahal saya yakin kamu bisa memilih siapa saja perempuan dewasa yang kamu mau. Faith itu masih muda dan polos. Dia bukan level kamu."

Jawabannya sangat gampang. Karena Faith datang dengan penawaran yang menggiurkan di saat yang tepat. Kalau waktunya tidak tepat, sudah pasti aku akan menolak tawaran Faith. Tapi tidak mungkin memberi jawaban seperti itu kepada Jessie.

"Kenapa tidak?" jawabku sambil tersenyum. "Perempuan dewasa yang saya kenal terlalu mandiri dan membosankan."

"Faith masih terlalu muda untuk orang yang sudah berpengalaman seperti kamu. Ujung-ujungnya, kamu hanya akan bikin dia patah hati."

"Kak...." Jane menyentuh lengan Jessie.

"Faith itu bukan sekadar sepupu, tapi sudah seperti adik kandung kita sendiri, Jane. Gue lebih suka lihat dia terbang ke sana kemari ngejar si V, suami halunya itu daripada nikah beneran sama orang yang berpotensi besar bikin dia nangis berbulan-bulan. Bagus kalau hanya nangis doang. Gimana kalau dia ditinggalin saat sedang hamil atau saat anaknya masih kecil? Kita udah cukup punya Tante Rose yang sakit hati berkepanjangan, nggak usah ditambahin dengan Faith lagi. Mental dia masih anak-anak banget."

"Faith udah cukup umur untuk menikah," aku mengutip kata-kata Risyad. "Negara yang bilang begitu. Seharusnya kalian membujuk Faith supaya nggak menikah dengan saya. Kalau diomongin sekarang, sudah terlambat, kan?"

"Terlambat untuk membatalkan pernikahan kalian, tapi belum terlambat untuk ngingetin kalau kamu main-main sama Faith dan saya sampai tahu, saya nggak akan ragu-ragu untuk membantai kamu dengan tangan sendiri sebelum menyerahkanmu sama Kakek. Kamu nggak akan mau berurusan sama Kakek kalau itu menyangkut cucu kesayangannya. Percayalah."

Dibandingkan dengan Faith, Jessie jauh lebih meyakinkan sebagai cucu Pak Tua. Caranya mengancam benar-benar membuatku yakin kalau ucapannya itu bukan ancaman kosong semata. Tidak ada cengiran dan sorot mata jail seperti yang ditunjukkan Faith. Kasihan sekali suaminya. Laki-laki malang itu pasti tunduk di bawah kaki istrinya.

"Pernikahan itu bukan permainan." Semoga hidungku tidak bertambah panjang. "Saya nggak pernah memikirkan pernikahan sebelum bertemu Faith. Itu artinya dia orang terpilih. Daripada mengancam, lebih baik mendoakan supaya pernikahan kami langgeng." Selalu menyenangkan membuat orang yang tidak menyukaiku kesal sampai ke ubun-ubun.

"Terpilih untuk kamu jadikan tumbal?" Nada Jessie naik sehingga Jane lagi-lagi menyentuh lengannya untuk menenangkan. "Saya yakin perasaan antusias kamu karena mendapatkan Faith yang masih minim pengalaman akan menguap dengan cepat dan kamu akan segera meninggalkannya untuk kembali ke habitat kamu sebagai penjahat kelamin. Orang seperti kamu tidak kenal kata tobat."

Aku baru hendak menjawab, saat Faith kembali dengan ponsel di tangan. "Ngobrol apa?" tanyanya santai. "Kelihatannya seru banget."

Aku merangkul bahu Faith. "Iya, seru banget. Ternyata sepupu-sepupu kamu asyik-asyik."

Cubitan kecil Faith di pinggangku menandakan kalau dia tahu aku bercanda. Raut Jessie yang masam jelas menggambarkan perasaan tidak sukanya padaku. Tapi aku tidak menyalahkannya. Aku mungkin akan berpikiran sama kalau posisi kami dibalik.

"Tadi itu Kak Jessie ngomong apa sama kamu?" tanya Faith saat kami sudah dalam perjalanan pulang ke Jakarta.

"Dia hanya mengulang apa yang sudah dia sampaikan ke kamu tentang aku. Tadi aku dikonfrontasi langsung. Harusnya kamu jangan datang dulu, obrolannya baru mulai seru udah kepotong."

"Kak Jessie itu jangan ditantangin," omel Faith. "Aku masih ingat dulu pernah digangguin sampai nangis sama anak yang umur dan badannya lebih gede dari aku waktu kami ikut Tante Rose joging. Anak itu lantas dijadiin samsak sama Kak Jessie. Beneran ditendang sampai KO dan teriak-teriak kesakitan. Untung Tante Rose datang dan melerai karena mama anak itu udah drama seolah Kak Jessie yang duluan cari masalah. Setelah kejadian itu, aku diajakin les taekwondo sama Kak Jessie. Katanya biar aku bisa membela diri sendiri kalau digangguin orang dan dia nggak ada untuk nolongin. Kak Jessie itu orang yang selalu megang kata-katanya. Makanya dia nggak boleh ditantangin karena bahaya kalau dia sampai marah dan ngancam. Tulang hidung mantan Kak Jane pernah dibikin patah saat ketangkap basah selingkuh sama Kak Jessie. Dia itu tipe kakak cewek yang protektif banget."

"Dia mengkhawatirkan hal yang nggak perlu." Aku mengulang apa yang tadi dikatakan Jessie padaku. "Dia takut aku ninggalin kamu pada saat kamu hamil atau setelah punya anak. Itu nggak akan terjadi karena kita nggak akan tidur bersama sampai kita berpisah."

"Kita beneran nggak akan tidur bersama?" tanya Faith.

Aku menoleh cepat menatapnya. "Kamu mau tidur sama aku?"

Mata Faith melebar lalu menggeleng cepat. "Sekarang aku nggak berniat tidur dengan siapa pun, termasuk sama kamu. Maksudku, aku pikir penjahat kelamin seperti kamu nggak pilih-pilih, Om. Jadi kenapa aku dapat keistimewaan untuk nggak dijadiin teman tidur padahal kita sudah menikah?"

"Kamu beneran mau tahu alasannya?"

Faith mengangguk berulang-ulang. "Tentu saja. Sebenarnya aku ingin membahas persoalan tidur bersama itu sebelum kita menikah, tapi waktu itu rasanya aneh kalau aku yang mulai lebih dulu. Aku memutuskan untuk nggak menyebut-nyebut soal itu lagi saat kamu juga terima-terima aja kita pisah kamar. Kamu juga nggak pernah menggoda dan berusaha menyentuhku. Jadi aku pikir kita sudah sepakat nggak akan terlibat secara fisik dan seksual selama menikah. Tapi kenapa aku jadi pengecualian?"

Faith tidak akan jadi pengecualian kalau tubuh dan penampilannya seperti layaknya wanita dewasa. Aku tidak perlu hidup selibat dan akan memanfaatkan statusku sebagai suami untuk mendapatkan kepuasan sampai kami bercerai seandainya dia memiliki lekuk tubuh seperti perempuan yang menjadi teman kencanku.

"Kamu terlalu muda untukku." Aku memutuskan memberi jawaban yang tidak menyebutkan kekurangannya secara fisik. Seperti kata teman-temanku, perempuan sensitif dengan topik bentuk tubuhnya. Aku tidak mau merusak hubunganku yang baik dengan Faith gara-gara dianggap sebagai perundung. Menilai bentuk tubuh bisa dianggap sebagai body shaming oleh generasi Faith. "Membayangkan menggoda kamu aja rasanya sudah kayak seorang pedofil."

Faith tertawa. "Ternyata Kak Jessie salah tentang kamu. Dia bilang penjahat kelamin seperti kamu akan tetap amoral sampai mati."

Jessie tidak salah. Aku memang akan amoral sampai mati. Faith aman dari sentuhanku karena dia tidak membangkitkan hasratku.

Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi pagi di kolam renang. Aku menggeleng mengusir pikiran itu. Si Junior bereaksi karena sudah lama tidak melihat segitiga bermuda mulus yang hanya ditutup secuil celana dalam mungil. Junior toh masih normal sehingga gampang terpancing. Itu saja. Pasti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro