Dua Puluh Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Edit THR lebaran ya. Ini sengaja nggak aku update selama ramadan karana kontennya dewasa alias mengandung hal-hal yang DIINGINKAN Pembaca. Hehehe...

**

SEHARUSNYA kecelakaan yang menyebabkan Faith jatuh dalam pelukanku terjadi di cottage sehingga lebih gampang memersuasinya untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya yang jauh lebih penting daripada sekadar ciuman. Tahap yang sudah lama aku lewatkan secara nyata dan hanya mendapatkan kepuasan melalui emisi nokturnal. Tahapan yang sungguh aku butuhkan sebelum aku benar-benar berubah menjadi biksu suci yang telah melepas semua hal yang berbau duniawi dan kehilangan nafsu berahi.

Ada jeda yang panjang setelah ciuman kami terlepas dan Faith melompat turun dari gendonganku. Reaksi kimia dan ledakan hormon yang sempat dialami Faith melemah dan akhirnya menguap dibawa angin laut yang mulai mendingin dalam perjalanan kembali ke cottage. Sial! Kenapa yang benar harus terjadi di tempat yang salah?

Seandainya kontak bibir kami dengan intensitas seperti itu terjadi di cottage, entah di bagian mana pun itu, menggiring Faith ke tempat tidur, sofa, atau tempat empuk lain yang bisa dijadikan alas akan sangat mudah.

Aku yakin Faith menyukai dan menikmati ciumanku karena dia membalasnya dengan sama menggebu. Dia membuka bibir dan tidak menolak aku mengeksplorasi mulutnya. Dan yang terpenting, sampai ciuman yang membuatnya terengah itu berakhir, dia tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menjambak untuk membuatku botak permanen. Faith bahkan tidak protes saat tanganku sempat bermain di dadanya. Memang aku hanya menyentuhnya dari luar, di balik blus tipis dan branya, tapi itu pertanda yang sangat baik.

Faith adalah satu-satunya perempuan yang masih bisa berpikir untuk menjambakku saat tanganku sudah menyentuh aset kembar mereka karena biasanya aku yang malah diundang untuk segera melanjutkan permainan begitu tangan dan jari-jariku yang terampil hinggap di area sensitif itu. Jadi ketika Faith kali ini tidak menolak, aku tahu kalau aku bisa mendapatkannya, sebagaimana aku mendapatkan semua perempuan yang aku inginkan. Sayangnya, aku kehilangan momen karena kontak fisik kami yang intens itu terjadi jauh dari cottage.

Seberengsek-berengseknya aku, aku tetap saja laki-laki dewasa yang masih punya akal. Aku tidak mungkin mengajak Faith having sex di dermaga. Mungkin saja ada orang yang sedang mengawasi sambil memegang kamera. Mungkin saja ada CCTV yang bisa merekam apa yang kami lakukan. Apalagi Faith kemungkinan besar belum pernah bercinta. Aku tidak mau pengalaman pertamanya malah menjadi traumatik. Seks itu berfungsi sebagai penghilang stres, bukan malah memicu depresi.

Aku mencegat langkah Faith yang hendak masuk ke kamar utama yang sudah dipilihnya di cottage berkamar dua itu. Seperti biasa, dia yang menentukan pilihan lebih dulu dan memberikan sisanya padaku.

"Ada yang jauh lebih menyenangkan yang dilakukan dengan consent daripada sekadar ciuman." Aku memamerkan senyum maut yang tidak pernah gagal mendapatkan kencan semalam. Senyum mode hipnotis yang akan membuat perempuan yang kutunjuk mau menjilat kakiku saat kusuruh.

Faith balas menatapku. Dari ekspresinya, aku tahu kalau senyumku tidak terlalu memikatnya. Alih-alih terhipnotis, dia bersedekap. "Maksud Om," dia memberi jeda sejenak, "Seks?"

"Iya. Seks." Aku mengangguk, sekali lagi mengumbar senyum. "Seks jauh lebih menyenangkan dan nikmat daripada sekadar ciuman seperti tadi."

Faith mencibir skeptis. "Yang bener? Penilaian orang kan beda-beda. Belum tentu aku akan merasa seperti itu."

"Kamu bicara begitu karena belum pernah merasakannya, Faith. Untuk membuktikan apakah kamu akan menyukainya atau tidak, kamu harus mencobanya," bujukku. Aku harus berhasil. Aku tidak mau kembali dalam mode biksu. Aku akan melakukan apa pun untuk seks saat ini. Faith sudah telanjur memancing Junior berontak meminta jatah. Aku bahkan bersedia menjilat ludah dan menelan semua kata-kataku yang mengatakan bahwa aku sama sekali tidak tertarik menyentuh Faith dengan bentuk tubuh seperti tiang listrik itu. Aku akan pura-pura amnesia supaya tidak ingat ungkapanku tentang pedofil yang selalu aku ulang-ulang itu.

"Hmm... gimana ya?" Faith pura-pura berpikir, tapi aku tahu dia tidak mempan bujukanku.

Aku tidak mau kehilangan kesempatan. "Kamu takut kehilangan keperawanan? Zaman sudah modern, Faith. Hanya laki-laki tolol yang masih menganggap penting hal-hal remeh seperti itu. Dan aku yakin, kamu akan memilih laki-laki cerdas yang nggak akan meributkan soal itu saat nanti menikah lagi."

Faith menggeleng. "Bukan soal keperawanan, Om. Saat aku menikah lagi, calonku pastilah tahu statusku. Dia bahkan akan merasa aneh kalau tahu aku masih perawan. Bukan, bukan soal itu."

"Jadi...?" Kalau bukan soal ketakutan lepas perawan yang menjadi masalah, aku yakin bisa memersuasi Faith. Aku ahli memanipulasi perempuan dewasa. Faith bukan tandinganku.

"Kamu, Om." Faith menunjuk dadaku. "Kamu itu masalahnya. Aku nggak yakin mau punya pengalaman pertama sama kamu. Kalau aku memutuskan mau melakukannya, setidaknya aku punya perasaan sama orang itu. Aku nggak punya perasaan apa-apa sama kamu."

"Seks itu hanya seks, Faith," bujukku lagi. Aku maju selangkah mendekatinya. "Kita selalu bisa menikmatinya tanpa harus punya perasaan tertarik atau cinta. Melakukannya tanpa perasaan malah lebih bagus untuk kamu, karena setelah kita berpisah, kamu nggak akan merasa terikat sama aku."

Faith tampak berpikir. Kali ini benar-benar berpikir, tidak sekadar berpura-pura seperti tadi.

Aku maju selangkah lagi sehingga jarak kami semakin dekat. "Aku nggak bermaksud mengatakan ini untuk nyombong, tapi bersamaku, kamu akan belajar dari yang terbaik. Aku tahu bagaimana cara membuat perempuan merasakan indahnya surga dunia. Dijamin. Seribu persen. Kamu nggak akan menyesalinya. Untuk selamanya, kamu akan berterima kasih karena aku sudah menetapkan standar yang tinggi untuk laki-laki yang akan bersamamu nanti. Siapa pun dia."

Mata Faith menyipit, mengawasiku lekat. Aku tahu otaknya yang besar dan padat itu menganalisis ucapanku. Kami membahas seks dengan logika, seperti yang seharusnya, karena kami berdua tidak terlibat dalam hubungan romantis. Seks dan cinta tidak selalu berhubungan. Dalam kasusku, tidak pernah ada cinta. Itu yang sedang aku doktrinkan pada Faith. Seks adalah kesenangan. Kalau dicampur dengan cinta malah akan mendatangkan kerumitan yang berujung stres.

"Kamu tahu kenapa kamu tadi membalas ciumanku padahal kamu nggak punya perasaan apa-apa sama aku?" pancingku lagi. Tinggal sedikit lagi, Faith akan mengakui kalau semua yang aku katakan benar. Semuanya tentang logika.

"Karena aku ingin tahu gimana rasanya ciuman dengan sadar, nggak yang tiba-tiba disosor atau yang nggak disengaja seperti waktu sama Brian."

Aku menggeleng. "Bukan itu jawabannya, Faith. Kamu membalas ciumanku karena kamu menyukainya. Karena aku mahir melakukannya. Aku sudah otw botak kalau kamu nggak suka. Jawab dengan jujur, tadi itu enak, kan?"

Faith mengangkat bahu. "Enak," jawabnya jujur. "Tapi bisa saja terasa kayak gitu karena aku nggak punya pembanding. Mungkin saja ciuman dengan Brian saat aku melakukannya dalam keadaan sadar kayak tadi rasanya jauh lebih enak."

Aku berusaha mengabaikan kalimatnya yang terakhir. "Seks jauh, maksudku, jauuuuuhh... ribuan kali jauh lebih enak daripada sekadar ciuman." Aku menunduk dan mendekatkan wajah pada Faith. Bibir kami hampir kembali bersentuhan. "Kita bisa memulainya dari ciuman lagi. Kalau kamu suka prosesnya, kita lanjut, kalau kamu nggak nyaman, kita berhenti. Gimana?" Aku tidak pernah membujuk seorang perempuan seperti ini hanya untuk seks sebelumnya, tapi mau bagaimana lagi? Ada dahaga yang harus dituntaskan. Aku yakin Faith akan menyukai prosesnya sampai akhir. Dia berhadapan dengan seorang master. Level dewa.

"Biasanya, kalau aku beli barang, selalu ada jaminan kalau ternyata barang itu ada cacat dan nggak sesempurna seperti yang dijanjikan di iklan. Barangnya bisa ditukar atau uang kembali." Udara dari hidung dan mulut Faith yang hangat mengelus wajahku. "Gimana kalau iklan kamu bahwa aku akan menyukai seks yang kamu tawarkan itu ternyata salah? Aku yang rugi dong. Sudah lepas perawan sama om-om yang nggak aku suka, ternyata rasanya nggak sesuai ekspektasi karena iklannya ketinggian."

"Kalau kamu nggak suka, kamu boleh minta barang apa aja yang kamu mau saat kita ke Korea nanti. Apa aja." Ya kali, ada yang tidak suka bersamaku. Perempuan yang pro dan jam terbangnya sudah tinggi saja selalu mengakui aku yang terbaik, apalagi calon pemula seperti Faith.

"Apa aja ya?" Wajah Faith bergerak sedikit sehingga bibirnya benar-benar menyentuh bibirku, tapi sebelum aku membuka mulut untuk menangkapnya, dia menarik wajah. "Biar kupikir dulu apa yang kumau."

"Apa aja," kataku cepat. Dia tidak boleh berpikir lama-lama. Semakin lama Faith berpikir, akan semakin tipis kesempatanku untuk membawanya ke tempat tidur. "Tas, sepatu, apa aja." Kenapa dia yang jadi bermain tarik ulur denganku?

"Terlalu murah, Om. Aku nggak semurah itu. Tante Rose yang pelit aja mau kok ngasih tas Hermes untuk aku. Kak Jessie akan ngasih sepatu Jordan-Dior gratis, nggak perlu ditukar pakai seks. Hmm... gimana kalau mobil kamu aja? Mobil kamu keren. Kalau ternyata seks yang kamu bangga-banggain dan jadi tujuan hidup kamu itu ternyata nggak seenak iklanmu, mobil kamu pindah tangan. Gimana?"

"Apa...?" Aku bekerja banting tulang hanya untuk membiayai gaya hidup karena aku tidak punya dan tidak berminat memiliki tanggungan lain di luar diri sendiri. Jadi ya, aku membeli barang-barang yang aku sukai dan harganya tidak murah. "Yang mana?" Aku tidak percaya aku sedang bernegosiasi untuk seks, padahal aku selalu mendapatkannya secara gratis dengan prinsip saling memberi kepuasan. Sekarang seorang CALON pemula hendak memerasku. Untung saja aku percaya diri dengan kemampuanku.

"Yang sering kamu pakai aja. Aku lebih suka Range Rover yang gagah daripada mobil sport ceper kamu itu."

"Deal," sambutku cepat. Tentu saja Faith tidak akan mendapatkan Range Rover kesayanganku. Yang akan aku dengar beberapa waktu ke depan adalah erangan puas karena aku telah mengenalkan Faith pada dunia manusia dewasa yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya.

Tanpa menunggu lebih lama, aku segera menarik pinggangnya dan melabuhkan ciuman di bibirnya yang manis. Dengan perempuan lain, biasanya aku tidak terlalu tertarik memperpanjang sesi ciuman di bibir. Terlalu personal dan buang-buang waktu. Aku juga menghindari bau mulut atau alkohol yang bisa memadamkan gairah. Pemanasan dapat dilakukan dan lebih efektif dengan mencium bagian tubuh lain yang lebih sensitif daripada bibir.

Tapi Faith adalah pengecualian. Semua harus dimulai secara perlahan dan intens karena ini adalah pengalaman pertamanya. Lebih gampang memuaskan perempuan yang sudah pengalaman daripada pemula. Yang sudah berpengalaman akan membantu mengejar kepuasannya sendiri. Mereka tidak akan segan memberi tahu apa yang mereka sukai dan apa yang mereka ingin aku lakukan. Dengan Faith, semua hal adalah inisiatifku. Jangan lupa, Range Rover-ku adalah taruhannya.

Faith membalas ciumanku. Dia semakin ahli. Aku memang guru terbaik untuk materi seperti ini. Napasnya berubah menjadi pendek-pendek saat bibirku berpindah ke lehernya. Tanganku menyusup di bawah blusnya.

"Sebentar." Aku menarik tanganku dari dada Faith. Jeda sesaat itu aku gunakan untuk meloloskan blusnya dari kepala. Dia berdiri di depanku hanya dengan celana pendek dan sport bra. "Ini juga harus dilepas. " Aku sedang berkutat dengan sport bra Faith yang ketat itu saat ponselnya berdering. "Nggak usah diangkat dulu!" siapa sih yang kekurangan kerjaan menelepon di waktu seperti ini? Dengan sedikit usaha, akhirnya bra sialan itu lepas juga.

Saat menjelajahi tubuh Faith, aku baru menyadari bahwa aku benar-benar merindukan dada perempuan. Kulit Faith terasa lembut dan hangat di telapak tanganku. Rasanya pasti nikmat di mulutku.

"Astaga, aku lupa kalau bridesmaids diminta Kak Renjana kumpul sebelum makan malam!" Seru Faith keras. Dia mendadak menarik tubuh dariku. Dia mundur beberapa langkah sehingga dadanya yang terbuka terpampang menantangku. "Yang telepon itu pasti Kak Renjana. Aku udah telat dan belum mandi!" Dia berjongkok memungut blus dan branya, lalu melewatiku untuk masuk dalam kamarnya. Pintu berdentam saat dibanting.

Suara kaset rusak mendadak berputar di kepalaku. Apa-apaan ini? Aku menunduk menatap Junior yang sudah berdiri, siap menantang dunia, menanti saat dikeluarkan dari celana. Dia benar-benar sial karena akhirnya hanya akan kebagian losion, tanganku, dan air dingin.

Kenapa juga tunangan Tanto itu harus merusak kesenangan orang lain sih? Pekerjaan bridesmaids itu hanya mengiringi pengantin. Sangat gampang. Tidak membutuhkan meeting dan briefing berkali-kali untuk dipahami. Sial... sial... sial...!

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro