Tiga Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


AKU terbangun oleh teriakan lagu dalam bahasa Korea yang tidak kumengerti. Butuh sedikit waktu untuk membuatku tersadar kalau aku tidak sedang berada di kamarku di Jakarta. Aku sedang berada di daerah antah berantah pedalaman Sulawesi untuk menghadiri pernikahan Tanto. Kamar Faith di cottage ini tidak memiliki peredam, sehingga apa pun yang dia dengarkan akan ikut masuk dalam telingaku.

Semalam aku tidak bertemu Faith lagi setelah dia melambai, setengah berlari meninggalkan cottage untuk menemui para pengiring pengantin yang ternyata jauh lebih penting daripada menuntaskan pelajaran seks pertamanya. Bisa-bisanya dia mematikan gairah semudah menekan sakelar on-off padahal penutup tubuhnya sudah terlepas. Aku tahu kalau aku sudah berhasil membangkitkan hasratnya. Yang tidak aku mengerti adalah caranya beralih dari mode turn on ke netral. Klik. Begitu saja. Semudah itu. Seperti menjetikkan jari.

Aku makan malam bersama teman-temanku di restoran, sementara Faith dan geng barunya berada di vila utama yang menjadi tempat tinggal orangtua Tanto.

Aku lebih dulu pulang ke cottage, mencoba bersabar menunggu Faith untuk melanjutkan pelajaran yang terputus, tapi sampai aku tertidur, Faith belum kembali. Sepertinya pertemuan bridesmaids lebih menyibukkan daripada penutupan pasar saham global saat pergantian tahun.

Aku bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk menyelesaikan ritual pagiku. Setelah selesai, aku menuju kamar Faith, bermaksud memintanya menurunkan volume musik, sebelum kami dikomplain karena menyebabkan keributan.

"Faith...." Kalimatku terputus. Pintu kamar Faith terbuka lebar. Pantas saja suara musiknya menggelegar. Seprai dan selimut berserakan di atas ranjang. Pemiliknya tidak ada di dalam. Aku tahu karena pintu kamar mandinya juga terbuka lebar. Astaga, anak itu benar-benar berantakan. Kopernya tergeletak di lantai, terbuka dalam keadaan diaduk-aduk. Dia tidak merasa perlu memindahkan isinya ke dalam lemari supaya lebih rapi dan mudah diambil.

Aku masuk ke dalam kamar dan mematikan musik tidak jelas yang didengarkan Faith. Anak itu pasti di pantai. Tidak seperti aku, tampaknya Faith bersahabat dengan sinar matahari.

Daripada bengong sendiri di cottage, setelah mandi aku memutuskan ke restoran untuk sarapan. Aku beruntung karena melihat Risyad juga sedang di sana. Ternyata aku bukan satu-satunya orang yang baru sarapan saat matahari mulai memamerkan taji.

"Telat bangun juga?" Aku meletakkan piring berisi nasi goreng di atas meja dan mengambil tempat di depan Risyad.

"Apa gue kelihatan seperti orang malas kayak elo? Gue udah joging empat kilo, terus lanjut berenang selama hampir dua jam. Gue keluar dari air tepat sebelum sisik gue mulai tumbuh."

"Gue nggak malas," bantahku. "Nanti juga gue olahraga. Ngeri kalau gue sampai buncit. Ntar imej gue rusak kalau aura gue kayak bapak-bapak saat perut gue menonjol seperti orang hamil." Aku bergidik ngeri membayangkannya. Aku tidak akan menambang lemak di tubuhku. "Tapi nggak mungkinlah gue mau olahraga outdoor di pantai kayak gini. Setengah jam di pantai kulit gue nggak hanya berubah mirip kepiting rebus, tapi melepuh juga. Gue pilih nge-gym aja." Kalau ada satu hal yang membuat aku iri pada teman-temanku adalah warna kulit mereka yang tidak berubah banyak meskipun disengat matahari berhari-hari. Gen kaukasiaku terlalu kuat. Ibuku pasti sangat superior dalam proses memproduksiku. Gaya cowgirl mungkin saja menjadi gaya yang paling dominan ketika pembuahanku terjadi.

"Calon pengantin udah sarapan, atau masih olahraga untuk persiapan stamina bulan madu?" Aku tertawa mengejek. "Sok-sok persiapan stamina, padahal gue yakin test drive-nya udah sejak lama dan rutin."

"Susah ya kalau semua hal dilihat pakai standar lo." Risyad ikut tertawa. "Tapi apa lo nggak sadar kalau lo juga punya standar ganda? Lo menuduh semua orang yang punya hubungan eksklusif sudah pasti bercinta, tapi nyatanya lo sendiri udah nikah berbulan-bulan malah nggak ngapa-ngapain sama istri lo."

"Gue...," aku segera mengurungkan niat menceritakan peristiwa semalam pada Risyad. Dia akan tertawa sampai ngompol kalaus tahu aku ditinggalkan Faith dalam kondisi si Junior siaga penuh, penuh semangat dan vitalitas menantikan pertempurannya yang pertama di dunia nyata setelah diparkir berhibernasi selama berbulan-bulan. "Lo kan ta—"

"Nggak usah diulang-ulang terus, gue mual dengarnya." Risyad memotong kalimatku sambil mengibaskan tangan. "Ngomong-ngomong, lo lihat bikini yang istri lo pakai ke pantai tadi? Kayaknya sih tidak, karena gue nggak yakin lo masih mikir soal kriteria dan pedofil itu kalau lo sempat lihat. Untung gue udah punya tunangan yang gue cinta mati, karena kalau gue masih single...." Risyad bersiul untuk melanjutkan kalimatnya. "Kayaknya volume air laut udah bertambah karena gue yakin, selain banyak yang diam-diam kencing, hampir semua laki-laki yang ada di pantai pada ileran pas lihat istri lo. Kecuali yang udah rabun dan belum buper."

Seandainya percakapan ini terjadi sebelum kejadian semalam, aku akan sangat bersemangat mendiskreditkan bentuk tubuh Faith, tapi setelah aku menjilat ludah sendiri dan menyadari bahwa bentuk tubuh Faith yang biasanya kucemooh ternyata bisa membuatku turn on, aku menelan kata-kataku.

"Tadi teman Ezra yang lihat Faith bilang mau kenalan. Dia sutradara dan tertarik ngajak Faith ikutan casting untuk next project dia. Katanya, lihat sekilas, karakter Faith bakalan cocok untuk peran itu."

"Faith nggak tertarik untuk jadi artis. Dia nggak perlu jadi artis untuk dapat duit. Warisan dari kakek dia udah cukup untuk hidup enak jadi sosialita ibu kota." Mau tidak mau aku teringat bujukan Brian yang berniat membuat Faith masuk dalam dunia hiburan.

Bentuk tubuh seperti Faith memang bagus terlihat di kamera karena kamera membuat orang tampak lebih berisi. Karena itu aku hampir tidak pernah tertarik pada artis. Mereka berusaha terlalu keras untuk tetap kurus kering supaya terlihat sempurna di kamera. Aku lebih menyukai bentuk tubuh yang berlekuk, yang mungkin akan terlihat sangat montok ketika dilihat melalui kamera. Kamera memanipulasi penampilan. Yang ceking tampak menakjubkan, sedangkan yang sempurna dilihat dengan mata secara langsung malah terlihat kelewat montok.

"Nggak semua orang yang jadi artis itu ngejar duitnya. Ada yang memang passion-nya di situ. Nggak semua orang menikmati bekerja di belakang meja selama delapan jam sehari. Pekerja kreatif yang nggak cocok dengan skema itu akan mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan jiwa mereka. Pekerja seni dan kreatif seperti itu. Uang akan datang sebagai bonus hasil kerja keras. Faith mungkin saja merasa cocok dengan dunia hiburan. Lo kan nggak tahu isi kepala dia."

"Ya, mungkin aja dia tertarik." Aku malas berdebat soal itu. Risyad benar, aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepala Faith. "Semoga teman Ezra beruntung." Ezra adalah kakak Renjana, calon ipar Tanto.

Percakapan kami disela dering telepon Risyad.

"Gue udah ngajuin cuti resmi, tapi Thian tetap aja nyuruh gue ngecek email," gerutu Risyad begitu menutup telepon. "Gue balik ke kamar ya. Gue lebih suka ngecek dan baca fail di laptop daripada ponsel."

Sepeninggal Risyad, aku menghabiskan makanan dan minumanku. Sebelum kembali ke cottage, aku mampir di kafe untuk memesan kopi yang akan kubawa pulang. Kopi yang disajikan di restoran terlalu encer sehingga tidak sesuai dengan seleraku. Saat jarak dari cottage tinggal sekitar seratus meter, aku melihat Faith berlari kecil dari arah pantai.

Kopi yang sedang kusesap spontan tersembur keluar. Astaga...! Pantas saja Risyad yang jarang-jarang mengomentari bikini orang setelah masuk mode kalem sejak bersama Kiera mendadak turun gunung. Faith mengenakan bikini two pieces yang minim. Nyaris tidak menyisakan ruang untuk imajinasi.

Biasanya aku tidak terganggu dengan pemandangan seperti itu. Aku tumbuh besar di Bali. Sebelum dilarang dan diancam dengan hukuman deportasi, turis tidak segan-segan berjemur dalam mode polos. Sekarang, di resor yang memiliki pantai pribadi, pemandangan turis berjemur tanpa atasan bukan hal aneh. Aku sudah terbiasa melihat dada telanjang. Aku tidak masalah dengan perempuan yang memamerkan dada di depan khalayak kalau mereka memang menginginkannya. Itu haknya. Aku tidak akan ikut campur. Jadi aneh saja rasanya saat aku merasa Faith tidak pantas memakai bikini seminim itu saat beraktivitas di pantai. Mungkin karena otakku belum bisa menerima kalau dia sudah cukup umur untuk mengenakan model bikini seperti itu.

"Hai, Om!" Teriak Faith saat melihatku. Dia mempercepat ayunan kakinya yang terlihat semakin panjang karena memakai celana yang hanya menutup sedikit area segitiga di atas pahanya.

Dari dekat aku bisa melihat tubuhnya berkilat oleh air laut. Rambutnya yang basah masih meneteskan air yang jatuh ke kulit dada dan masuk ke dalam pembungkus dadanya yang minim. Hanya menutup bagian depan, karena di bagian belakang hanya ada tali yang lebih berfungsi sebagai aksesoris daripada penutup.

"Kamu pikir kamu sedang shooting Bay Watch?" Tanpa kuinginkan, nada suaraku terdengar sedikit meninggi.

"Apa?" Faith menatapku bingung.

Tentu saja dia tidak tahu Bay Watch. Dia lebih suka drama Korea daripada film Hollywood. Apalagi judul film yang kusebut sudah tayang beberapa tahun yang lalu. Anak-anak sekarang hanya antusias pada film baru saat hendak masuk bioskop. Di TV streaming, mereka akan nonton drama series, bukan mencari film lama yang mereka lewatkan.

"Lupakan saja." Aku menarik napas panjang. "Kenapa kamu pakai baju renang kayak gitu?"

Faith berputar di depanku tanpa dosa. "Memangnya orang ke pantai harus pakai jeans dan hoodie? Kalau gitu, begitu ditemukan, aku udah mengambang dan siap dikubur."

Percuma berdebat dengan Faith, jadi aku melanjutkan langkah menuju cottage. Faith yang berjalan di sisiku mengambil gelas kertas di tanganku dan menyesap kopiku tanpa ragu.

"Om kenal sama Kak Renata?" tanyanya penuh semangat.

"Tentu saja. Dia ipar Tanto." Aku kenal Renata, tapi tidak dekat. Kami tidak punya kesamaan apa pun yang bisa mendekatkan. Di antara teman-temanku, selain Tanto, Renata hanya dekat dengan Risyad karena mereka sama-sama suka alam. Dan tentu saja karena Risyad sangat pintar mengambil hati orang dengan omongan omong kosongnya.

"Dia keren banget ya, Om." Nada kagum Faith terdengar kental. "Dia bisa lho berenang dari pulau seberang bolak-balik. Udah kayak duyung aja."

Aku mengambil kembali kopiku yang direbut Faith tanpa izin dan menyesap habis isinya yang mulai dingin.

"Memangnya duyung keren? Mana ada ikan yang keren."

Faith mencibir. "Kok bisa sih teman-teman kamu keren semua, padahal kamu biasa-biasa aja? Kenapa mereka mau berteman sama kamu? Apa mereka nggak merasa turun level?"

"Enak aja kalau ngomong." Aku menarik rambut Faith yang basah. "Aku adalah laki-laki yang punya segudang kelebihan, tahu!"

"Halah... paling juga kelebihannya hanya mesum doang!" Faith menjulurkan lidah dan berlari meninggalkanku menuju cottage yang tinggal beberapa meter lagi.

Aku spontan mengejarnya. Awas saja kalau dia berhasil kutangkap!

**

Yang pengin baca cepet bisa ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro