Lima Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU mengajak Galih makan di mal karena mau sekalian membeli penjepit dasi. Penjepit dasiku tercecer. Aku tidak mengoleksi penjepit dasi dan beberapa yang aku punya ada di apartemen. Aku sedang malas ke sana hanya untuk mengambilnya. Lebih baik membeli yang baru.

Saat masuk ke rumah Faith, aku tidak membawa terlalu banyak barang. Aku hanya bermodalkan dua buah koper berisi pakaian dan kebutuhan pribadi untuk perawatan tubuh. Aku lebih mirip seseorang yang sedang menjalani liburan dalam jangka waktu lama daripada pindah tempat tinggal.

Seiring waktu, barang-barang itu bertambah karena ada saja barang yang terasa kurang padahal aku membutuhkannya, sehingga aku harus ke apartemen untuk mengambilnya, atau membeli yang baru. Sekarang jumlah pakaianku di apartemen dan di rumah Faith sepertinya sudah sama banyak.

Setelah membeli penjepit dasi sekaligus dasinya, aku dan Galih lalu masuk di sebuah restoran Jepang yang ada di mal itu.

"Bukannya itu Faith ya?" Tidak seperti sahabat-sahabatku lain yang lebay, Galih sangat realistis dan tahu bahwa hubunganku dengan Faith memang tidak permanen, jadi dia selalu menyebut Faith dengan nama bukan embel-embel statusnya sebagai istriku yang sah di mata hukum.

Aku berbalik untuk melihat siapa yang sekarang sedang dilihat Galih, yang tadinya kupunggungi.

Sangat gampang mengenali Faith di tempat umum karena tidak banyak anak sejangkung Faith yang memanggul ransel Minnie Mouse.

Faith dan rombongannya baru masuk restoran. Mereka berenam. Empat orang perempuan dan dua orang laki-laki. Salah seorang di antara mereka menunjuk meja bagian dalam restoran yang jauh dari kami. Mereka lalu beriringan menuju meja itu.

"Nggak lo samperin?" tanya Galih.

Aku menggeleng dan kembali menghadapi mangkuk ramenku. "Nggak usah. Ntar Faith malah bingung mau jawab apa kalau teman-temannya nanyain gue siapa." Tidak seperti aku yang tidak menyembunyikan status, meskipun tidak pernah menggembar-gemborkannya tanpa ditanya, setahuku Faith lebih suka menutupi statusnya dari semua orang di luar lingkar keluarga dan sahabatnya.

Aku bisa mengerti. Sama seperti aku, pernikahan ini bukan keinginan kami. Aku berharap melajang selamanya, sedangkan Faith bermimpi menggunakan masa mudanya untuk mengejar artis Korea pujaannya. Dia baru akan berumah tangga setelah bertemu orang yang tepat setelah dia tenang dan lebih dewasa.

"Lo masih nggak berubah pikiran soal kesepakatan itu?" tanya Galih lagi. "Apa yang kurang dari Faith?"

Menyebutkan kekurangan Faith jauh lebih gampang daripada menyebutkan kelebihannya. Bisa kita mulai dari penampilannya secara fisik. Aku enggan mengulang-ulang, tapi Faith kurus. Mungkin ada laki-laki yang suka dengan perempuan yang setipis kertas, tapi tipe idealku tidak begitu. Gayanya juga kekanakan, sementara aku suka perempuan dewasa yang berpenampilan seksi. High heels dan stiletto selalu lebih menarik saat berada di kaki seorang perempuan daripada sneakers atau flat shoes. Fantasi seksual seringnya melibatkan dada dan bokong montok, serta lingerie superminim yang dipadu dengan stiletto. Aku tidak bisa membayangkan ada lelaki yang hasratnya membuncah karena melihat dada rata yang dibungkus kaus kedodoran dan memakai keds.

Itu baru fisik dan gaya. Sifat Faith dijamin akan membuatku sakit kepala berkepanjangan kalau tinggal lama bersamanya. Kebiasaannya mendengarkan musik dengan volume maksimal membuatku terancam tuli dalam hitungan bulan. Saat ngobrol, suara cemprengnya juga mengiritasi telinga. Dan, ini yang paling menyebalkan: topik percakapan apa pun akan berujung pada penjelasannya tentang BTS dan Army. Di mata dan otak Faith, BTS itu bukan semata cowok-cowok Korea yang manis-manis yang bisa bernyanyi dan menari, tapi lebih hebat dari semua superhero Marvel yang kekuatannya dikumpulkan menjadi satu.

Aku tidak yakin Faith menghafal nama-nama presiden dan wakil presiden yang pernah menjabat dan berjasa memajukan Indonesia, tapi dia jelas bisa menyebutkan silsilah semua anggota BTS dengan lancar, tanpa jeda untuk bernapas.

Era internet yang membuat dunia terasa tak berjarak tidak semua berimbas positif. Contohnya anak-anak seperti Faith yang seharusnya bisa memanfaatkan potensi akademis malah menghabiskan waktu untuk memuja artis Korea.

Aku tidak bilang kalau menjadi penggemar artis itu buruk. Sama sekali tidak. Porsinya saja yang seharusnya tidak berlebihan. Fanatisme yang berlebihan tidak pernah baik karena hal itu akan membuat di penggemar menempatkan idola mereka selevel dewa yang sempurna. Padahal si idola tetap saja manusia yang punya hati yang mood-nya bisa berubah-ubah setiap saat. Si idola tidak imun dari kesalahan karena keputusan yang diambilnya tidak selalu tepat.

Biasanya, ketika si artis melakukan sesuatu di luar batas level "dewa" yang bisa ditoleransi oleh nilai moral normal yang dianut peradaban global, si penggemar akan merasa sangat kecewa. Tingkat kekecewaannya mungkin malah lebih tinggi daripada si artis yang melakukan kesalahan itu sendiri.

Aku benar-benar tidak bisa mengerti mengapa orang mau saja menempatkan diri mereka pada posisi penggemar fanatik itu. Syukurlah aku tidak punya gen fanatisme setetes pun dalam tubuhku, jadi aku tidak akan pernah menempatkan diri pada posisi seperti itu.

"Lo kan tahu gue. Komitmen hingga akhir hayat itu nggak ada dalam kamus gue." Aku akhirnya memilih jawaban normatif yang tidak perlu menyebutkan kekurangan Faith secara panjang lebar pada Galih. Toh dia sudah sering mendengarnya. "Nggak mungkinlah seorang ABG tiba-tiba mengubah keputusan gue."

"Selalu ada ruang untuk perubahan," sahut Galih optimis. "Lo lihat gue, kan? Dulu gue lebih cinta sama komputer dan kerjaan gue daripada apa pun. Gue beberapa kali diputusin cewek gara-gara lupa jemput atau batalin janji karena kelewat asyik sama kerjaan. Tapi ketika bertemu orang yang tepat, gue bisa kompromi. Gue masih cinta banget sama program-program yang gue kerjain, tapi gue udah bisa bagi waktu untuk keluarga. Skala prioritas itu bisa menyesuaikan."

"Gue udah dengar ceramah itu dari teman-teman gue yang lain," ujarku bosan. "Nggak usah lo ulang lagi." Seharusnya Galih bergabung dalam perkumpulan bucin yang diisi oleh sahabat-sahabatku karena mereka sepertinya belajar di perguruan cinta yang sama.

"Mengulang ceramah positif itu nggak pernah sia-sia." Galih menyengir lebar, tidak terpengaruh dengan tatapan jenuhku. "Kalau ucapan yang sebelum-sebelumnya nggak nyangkut di otak lo, mungkin aja nasihat yang ini beda nasibnya."

Nada notifikasi membuat aku mengalihkan perhatian pada ponsel.

Om Bule, kamu ngapain di sini?!!

Ternyata Faith sudah melihatku. Aku tersenyum geli membaca pesannya yang kekanakan. Memangnya apa yang orang lakukan di restoran? Tidak mungkin untuk mencuci pakaian. Aku memutuskan mengabaikan pesan itu dan kembali menyuap untuk menghabiskan sisa makananku.

Kenapa makan di sini sih? Kan ada banyak tempat lain di mal ini!!!

Aku tetap mengabaikan pesannya.

Om Bule, kamu jangan nyamperin ke sini ya!!

Awas aja kalau berani!!!

Faith pasti tidak terlalu suka pelajaran Bahasa Indonesia karena dia boros sekali memakai tanda baca.

Jangan coba-coba!!!!

Aku sudah ada di sini sebelum kamu dan teman-teman kamu datang. Ini udah hampir selesai makan. Aku akhirnya membalas pesannya.

Langsung keluar aja!!!!

Perintah yang bertubi-tubi itu membuat jiwa usilku meronta-ronta. Sudah lumayan lama aku tidak mengusili seseorang.

"Gue mau nyamperin Faith dulu," kataku pada Galih sambil berdiri.

"Dasar labil!" omel Galih.

Mata Faith memelotot sambiil menggeleng pelan, memberiku isyarat untuk menyingkir saat melihatku mendekat ke mejanya. Aku tetap maju. Dia yang meminta ini. Kalau dia pura-pura tidak melihatku seperti yang aku lakukan padanya, aku tidak akan mengisenginya.

"Hai, Faith, apa kabar?" tanyaku memamerkan senyum lebar begitu sampai di depan mejanya.

Anak lelaki yang duduk di sebelah Faith menyenggol lengan Faith dengan sikunya. Dia mengerlingku dengan pandangan bertanya-tanya. Teman-teman cewek Faith menatapku dengan mulut terbuka. Tidak seperti Faith, mereka rupanya tahu bagaimana tampang seorang laki-laki dewasa yang tampan.

"Ooh... ehm... itu om gue," jawab Faith pada cowok di sebelahnya. Wajahnya merona, tersipu.

Aku nyaris tergelak. Pantas saja dia melarangku datang ke mejanya, ternyata dia sedang bersama gebetannya. Atau malah pacarnya? Manis sekali. Sikap malu-malu kucing seperti itu mengingatkanku pada masa remajaku yang sudah rasanya sudah berabad-abad yang lalu. Di umur seperti itu cewek yang minim pengalaman masih mengandalkan jurus malu-malu kucing untuk menggaet gebetannya. Beberapa tahun kemudian mereka menjelma menjadi singa betina yang ganas mencakar dan mengaum di atas tempat tidur untuk mendapatkan kepuasan. Aku sudah hafal siklusnya. Manusia boleh saja mengklaim diri sebagai pemegang kasta tertinggi dalam daftar penghuni bumi, tapi saat bicara tentang seks, selalu ada animal instinc yang terbangkitkan ketika melakukannya. Insting yang membuat rasa malu terpinggirkan sehingga bersedia melakukan apa pun demi mendapatkan beberapa detik nirwana yang sejenak membuat lupa diri.

"Wah, om lo ganteng banget," puji salah seorang teman Faith terus-terang. "Kenalin dong, Faith."

"Om Faith udah pakai cincin tuh," kata satu-satunya teman cewek Faith yang tidak ikut melongo saat menatapku. Mungkin dia sahabat Faith yang kata Bu Zoya sering datang ke rumah, tapi belum pernah kutemui. "Itu artinya dia udah nikah."

"Yaaa...!" seruan kecewa itu spontan mengalun. "Kenapa ya, yang cakep-cakep itu, kalau bukan udah jadi milik orang lain, pasti gay. Sisanya, biasanya jadi beban hidup kalau dijadiin pacar."

"Masih mendingan kalau jadi beban hidup doang. Ada lho yang udah dibiayain, pacarnya masih dijadiin samsak."

"Om nggak balik ke kantor?" Faith menyela percakapan teman-temannya.

Memang tidak ada gunanya berada di kumpulan ABG, meskipun mengusili Faith cukup menyenangkan. "Iya, ini udah mau pergi." Aku melambai. "Bye, anak-anak...!"

"Bye, Om," jawab teman Faith yang kuperkirakan adalah sahabatnya. Senyum jailnya mengembang. "Salam untuk Tante di rumah ya!"

Aku tertawa melihat Faith yang mendadak manyun.

**

Yang mau baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Tengkiuuu... 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro