Enam Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU baru keluar dari kamar mandi ketika Faith menerobos pintu penghubung dengan tampang gusar. Dia pasti hendak mengomel tentang pertemuan kami tadi siang.

"Kamu nggak bisa seenaknya kayak tadi dong, Om!" Faith bertolak pinggang di depanku sambil mengentakkan kaki. Napasnya memburu layaknya orang yang sudah berlari puluhan kilometer. "Kalau lain kali kita ketemu dan aku lagi sama teman-temanku yang bukan Katty, kamu harus pura-pura nggak ngenalin aku!"

"Aku sudah melakukan itu tadi," sahutku begitu Faith mengambil jeda untuk bernapas. "Aku sudah lihat kamu saat kamu masuk. Aku sama sekali nggak bermaksud nyamperin kalau kamu nggak kirim pesan. Chat kamu itu mirip undangan untuk ngerjain."

Faith bersedekap dan mendengus. Dia mencebik tak percaya.

"Kamu ngomel-ngomel gini karena takut aku membocorkan status kamu sama pacar kamu tadi, kan?" godaku. "Jangan takut, aku nggak sebodoh itu."

Faith makin cemberut. "Brian bukan pacar aku!" sungutnya.

"Jadi masih gebetan?" Aku terus menggodanya.

Kali ini Faith hanya mendelik, tidak menjawab, yang artinya bahwa ucapanku benar. "Kenapa kamu belum pacaran sama dia?"

"Masa aku yang harus nembak dia?" Tangan Faith yang terlipat di depan dada turun ke sisi tubuhnya. Bahunya melorot. "Brian itu dikejar-kejar banyak cewek cantik, ya nggak mungkinlah dia suka sama aku. Lagian, kalaupun dia beneran suka sama aku, nggak mungkin juga aku pacaran sama dia dengan status kayak gini. Iya, hubungan kita nggak beneran, tapi pandangan orang luar kan beda."

Aku mengerti apa yang dipikirkan Faith.

"Kalau gitu, tunggu sampai kita pisah aja," ujarku enteng. "Nggak lama lagi, kan?"

Faith kembali mengentakkan kaki. "Kamu itu bodoh atau gimana sih? Tadi udah aku bilang kalau yang ngejar-ngejar Brian itu banyak banget. Mungkin aja besok dia udah nembak salah satu di antaranya. Saat kita cerai, dia mungkin udah nikah! Kalaupun waktu itu dia masih single pun, masa sih mau sama cewek yang udah janda?"

Aku mengetuk dahi Faith dengan buku jari tengah. "Ini pelajaran supaya lain kali kamu nggak lagi ngambil keputusan secara impulsif. Kalau kamu nggak ngajak aku nikah karena mendadak moody-an saat menyadari kakek kamu udah tua dan bisa tiba-tiba meninggal, keribetan kayak gini nggak mungkin kejadian. Kenapa waktu itu kamu nggak nawarin kesepakatan ini sama si Brian-Brian itu aja?"

Mata Faith membelalak. Dia mengusap dahi. "Sakit, Om!"

"Makanya, itu otak dipake buat mikir, jangan buat nge-halu melulu."

"Otakku emang dipake untuk mikir, Om! Gimana ceritanya aku ngajak Brian nikah, padahal setahu kakek aku pacaran dan tidur sama kamu! Yang ada Kakek malah kena serangan jantung kalau tahu aku pacaran sama dua orang sekaligus. Kakek juga nggak mungkin kasih izin nikah muda sama cowok yang seumuran. Dia setuju sama kamu karena kamu sudah om-om dan mapan!"

"Mau dengar kata-kata bijak?" tawarku untuk menurunkan emosi Faith.

"Itu pasti bukan kata-kata Om." Faith mencibir. "Kamu kan jauh dari kategori bijak."

Aku mengangguk. "Ini memang kata-kata yang aku dengan dari Tanto, walaupun aku yakin dia juga dapat nyomot entah dari mana. Katanya, orang yang kita temuin di waktu yang salah itu bukan jodoh kita karena orang yang ditakdirkan untuk kita akan selalu dipertemukan gimanapun sulit rintangannya. Anggap aja untuk saat ini Brian belum bisa jadi pasangan kamu, tapi nggak berarti kemungkinan itu sudah tertutup untuk selamanya. Kalian masih sangat muda. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada kalian lima atau mungkin sepuluh tahun nanti."

Faith mendengus. "Basi, Om!"

Aku tertawa. "Iya, aku juga tahu kalau itu quote basi. Tapi masih relevan dan mungkin aja kamu terpengaruh." Aku menggerakkan tangan mengusirnya. "Kamu masih mau berdiri di sini dan nonton aku pakai baju atau mau keluar sekarang?"

Faith langsung tersipu saat melihat tubuhku. Sepertinya dia baru menyadari kalau aku hanya memakai handuk. Begitulah anak-anak kalau telanjur dibuatakan emosi. Semua langsung tak kasat mata. Faith menjulurkan lidah dan menghambur menuju pintu penghubung kamar kami.

Dasar bocah!

**

Aku belum pernah menelepon ataupun menerima telepon dari Bu Zoya sebelumnya, meskipun Faith sudah menyuruhku menyimpan nomor Bu Zoya yang dikirimkannya dalam daftar kontak setelah kami menikah. Jadi ketika melihat namanya di layar, aku tahu bahwa apa yang disampaikan Bu Zoya adalah berita penting, dan itu pasti berhubungan dengan anak kesayangannya. Semoga saja Faith tidak terlibat masalah. Aku tidak suka meninggalkan kantor untuk menyelesaikan urusan ABG.

"Maaf mengganggu, Pak," kata Bu Zoya setelah menjawab salamku. "Pak Rawikara baru saja menelepon dan mengatakan akan datang dan makan malam di rumah. Bapak bisa pulang lebih cepat daripada biasanya, kan?"

Aku spontan melirik pergelangan tangan. "Malam ini?" Seharusnya Pak Tua itu tidak mengunjungi rumah orang lain seenaknya dengan pemberitahuan mendadak seperti ini. Itu memang rumah cucunya, tapi kami yang menempati. Pak Tua itu seharusnya menanyakan kesediaan kami untuk menerimanya, bukan membuat pengumuman akan datang berkunjung, tanpa menerima penolakan.

"Iya, malam ini, Pak. Sebenarnya saya mau ngasih tahu Faith saja biar dia yang hubungi Bapak, tapi sepertinya Faith sedang tidur sambil mutar musik seperti biasa karena ketukan pintu dan telepon saya nggak diangkat."

"Dia nggak kuliah?"

"Hari ini hanya satu mata kuliah saja, jadi Faith sudah sampai di rumah sejak tadi, Pak. Dia masuk kamar setelah makan siang."

"Oke, saya usahakan untuk pulang cepat, Bu." Demi uang Pak Tua itu, aku bahkan menikahi cucunya dan sudah hidup selibat selama beberapa bulan ini. Pulang cepat untuk makan malam jauh lebih gampang daripada semua pengorbanan yang sudah kulakukan untuk bisnisku.

Sayangnya, meskipun aku sudah berusaha mendahului Pak Tua, aku tetap saja terlambat. Dia, Faith, dan Tante Rose sudah ada di ruang tengah saat aku tiba di rumah.

"Sayang...!" Faith bergegas menyongsongku. Dia memeluk lenganku seolah kami adalah sepasang kekasih yang sudah berpisah selama bertahun-tahun, dan dia sangat merindukanku. "Kakek datang untuk makan malam," katanya dengan suara keras, seolah aku belum melihat Pak Tua yang tersenyum melihat tingkah cucunya. Tampang angkernya tak tampak sama sekali.

Untuk melengkapi sandiwara Faith, aku mencium kepalanya yang beraroma bunga, entah bunga apa. Aku juga tidak tertarik untuk tahu. Yang jelas, itu lebih pada wangi anak-anak daripada aroma seksi perempuan dewasa.

"Wah, kamu pasti senang banget bisa makan malam sama Kakek." Rasanya seperti menghafalkan dialog dalam drama murahan yang dihelat di acara sekolah. Harus kuakui kalau Faith lebih luwes daripada aku. Jam terbangnya membohongi Pak Tua memang sudah sangat tinggi, sedangkan aku biasanya lebih suka memilih jalur jujur yang sering kali berujung pada penghujatan.

Kami sudah beberapa kali dipanggil Pak Tua untuk berkunjung dan makan bersama di rumahnya, tapi baru kali ini Pak Tua menyempatkan makan malam di sini. Biasanya, kunjungannya singkat. Dia mampir secara mendadak seperti orang yang hendak inspeksi saat akhir pekan sepulang dari main golf. Setelah minum beberapa teguk air, dia langsung pergi. Kedatangannya seolah hendak memastikan jika aku dan Faith memang baik-baik saja.

"Kita bisa langsung makan saja, kan?" tanya Tante Rose datar, tak tertarik pada pertunjukan kemesraan yang berusaha Faith pertontonkan. "Aku nggak bisa lama-lama karena masih ada acara lain." Seolah pengangguran seperti dirinya punya jadwal yang sangat padat.

"Silakan, makanannya sudah siap." Bu Zoya muncul seperti hantu, persis pada saat yang dibutuhkan.

Topik percakapan di meja makan tentu saja ditentukan oleh Pak Tua Jenderal. Sebagai suami cucu kesayangannya, aku menyetujui semua opininya. Saat bicara tentang ekonomi kreatif yang tumbuh pesat beberapa tahun terakhir, aku memberikan pendapat yang sebisa mungkin tidak berseberangan dengan pola pikir konservatifnya. Mungkin saja Pak Tua itu masih seperti sebagian besar generasinya yang berpikir bahwa orang yang sukses adalah pekerja kantoran yang duduk di belakang meja dengan dasi yang mencekik leher, padahal orang-orang muda yang sukses dalam satu dekade terakhir ini anak-anak muda gila teknologi yang menghabiskan waktu di depan laptop, di dalam kamarnya, mungkin saja hanya dengan memakai kolor sambil merancap. Bekerja remote sudah mulai menjadi gaya hidup. Terutama sejak pandemi menerjang.

"Kuliah kamu gimana?" Pak Tua mengalihkan perhatian pada Faith.

"Bagus banget, Kek. Kakek kan tahu aku pintar," jawab Faith sombong.

"Menikah memang bagus untuk kamu. Kita sebenarnya bisa mengadakan resepsi tanpa harus menunggu kamu wisuda dulu, Faith. Mumpung Kakek masih sehat. Pengumuman pernikahan juga akan bagus untuk bisnis Rakha karena koneksinya juga akan makin luas. Kolega-kolega Kakek bisa menjadi rekanan bisnisnya juga."

Faith langsung menggeleng cemberut. "Aku nggak mau teman-teman kuliahku tahu aku sudah nikah, Kek. Orang yang udah nikah itu kesannya nggak asyik."

"Teman-teman kamu nggak ada hubungannya dengan kehidupan pribadi kamu. Biar saja mereka ngomong sesukanya."

"Nggak usah dipaksa, Pa," sela Tante Rose. "Faith masih muda banget, dan kemungkinan untuk berubah pikiran soal pernikahannya masih terbuka lebar. Jangan-jangan, udah dipestain mewah, baru bentar udah pengin cerai karena merasa terkekang." Dia menatap Faith lurus-lurus. "Kalau masih mau bebas dan kuliah kamu nggak terganggu, jangan lupa pakai pengaman. Atau kalau nggak mau repot dan nggak kebablasan, nanti Tante antar kamu ke dokter obgyn. Pengaman bongkar pasang itu riskan. Takutnya baru keingat setelah anaknya udah jadi."

"Jangan diajarin yang enggak-enggak," gerutu Pak Tua. "Memangnya kenapa kalau Faith hamil? Dia memang masih muda, tapi ada Zoya yang bisa bantuin merawat anaknya. Kita juga bisa menyewa suster."

Aku bergidik ngeri membayangkan Faith hamil. Dia pasti terlihat seperti perempuan penderita busung lapar. Kurus kering, tapi menggendut di perut. Hanya di perut. Kalau ada orang yang menghamilinya, itu sudah pasti bukan aku.

**

Untuk yang mau baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Tengkiuuu...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro