Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU baru mengangkat kepala ke atas permukaan air ketika mendengar teriakan, "Om Bule, awaaaas...!" Lalu air kolam menciprat ke wajahku dan sukses masuk ke hidungku pada tarikan napas pertamaku setelah menahan napas selama berada di bawah air.

Dasar Faith! Hanya anak kecil yang masuk kolam dengan cara barbar seperti itu. Tidak ada orang dewasa yang berlari dari dalam rumah lalu meloncat masuk ke dalam kolam hanya untuk menciptakan percikan air yang masif.

Tawa Faith langsung terdengar begitu kepalanya menyembul dari air kolam. "Kan aku udah bilang 'awas'. Salah sendiri kamu nggak menjauh."

Aku menatapnya sebal. Hidungku masih terasa tidak nyaman karena kemasukan air. "Kolam ini gede banget, Faith. Kamu bisa loncat ke tempat yang jauh dari aku!"

Faith menjulurkan lidah dan berenang menjauh dariku. Selama aku tinggal di sini, aku tidak pernah melihatnya masuk kolam. Aku malah mengira dia tidak bisa berenang karena hanya aku yang sering menggunakan fasilitas kolam ini.

Ternyata Faith bukan hanya bisa berenang, tapi juga cepat. Dalam sekejap, dia sudah berada di sisiku lagi.

"Mau balapan, Om?" tantangnya.

Aku tertawa tanpa suara, mengejek Faith. Ya kali, aku melayani tantangan balapan dari anak kecil? Aku tidak ingin sesumbar, tapi orang yang bisa mengalahkanku berenang hanyalah atlet profesional. Naga yang hidup di dalam perut Faith dan menggerogoti nutrisinya tidak akan membantu anak itu untuk memenangkan lomba apa pun denganku. Apalagi lomba renang.

"Aku malas berhadapan dengan orang yang nangis kalau kalah." Karena itulah yang dilakukan anak-anak saat kalah dalam pertandingan. Menangis. Aku berenang menjauhi Faith.

"Aku belum tentu kalah, Om." Faith meluncur mengikutiku. "Kalaupun kalah, aku nggak akan nangis. Aku pernah kalah waktu ikut kejuaraan taekwondo. Waktu itu bibirku pecah dan berdarah, tapi aku sama sekali nggak nangis. Kalau nggak percaya, kamu bisa tanya sama Bu Zoya. Dia atau Tante Rose yang selalu nemenin kalau aku bertanding."

Aku tidak akan menanyakan hal seperti itu pada Bu Zoya.

"Kalau aku menang, Om ajakin aku ke Korea. Kita ke Hannam-dong, tempat tinggal V, kali aja bisa ketemu dia. Kita juga akan jalan-jalan ke Daegu, tempat kelahiran dia. Dan tentu aja ke kantor Hybe."

Aku berhenti berenang dan menyandarkan kedua lengan di tepi kolam. "Kalau kamu kalah?" pancingku, walaupun tahu tidak akan balapan dengan Faith.

Faith menatapku dengan sorot polos yang dibuat-buat. "Aku kan belum kerja, Om. Masa om-om minta hadiah taruhan dari mahasiswa sih? Yang bener aja!"

Aku mengetuk jidatnya dengan buku jari telunjuk. "Aku nggak tertarik mempermalukan anak kecil. Daripada mikirin Korea, mendingan kamu mikirin cara dapetin gebetan kamu, biar nanti kalau kita sudah pisah, kamu langsung bisa sama-sama dia."

"Bukannya kamu yang bilang kalau semua hal yang tepat itu akan terjadi di waktu yang tepat juga?" Faith mengusap jidatnya yang jadi sasaran jariku. "Begini nih kalau sudah om-om. Uratnya udah banyak yang putus dimakan umur. Dia yang bilang, dia yang lupa. Ayolah, om, kita balapan. Kayaknya jiwa kompetitif kamu terasah lagi deh. Orang yang kompetitif itu berjiwa muda, jadi nggak cepat pikun kayak Om!"

Aku orang yang kompetitif. Sangat kompetitif, malah. Tapi tidak berarti aku akan meladeni semua tantangan yang datang padaku. Terutama, tidak dari anak kecil. Tidak ada untungnya. Mengalahkan anak kecil dalam lomba renang di kolam pribadi mau dipamerkan ke siapa? Diceritakan ke teman-temanku pun hanya akan berakhir jadi lelucon.

"Aku udah selesai berenang. Kamu lanjut aja sendiri." Aku bertumpu pada tepi kolam, bersiap mengangkat tubuh untuk keluar dari air.

Tapi kakiku tiba-tiba ditarik dengan kuat. Aku kembali ke dalam kolam. Sialan, rupaya Faith menyelam dan menarikku dari bawah.

"Ayo dong, Om, kita balapan," ujar Faith setelah naik ke permukaan. "Jalan-jalan ke Korea pasti asyik banget." Seolah dia sudah pasti akan memenangkan pertandingan melawanku. "Satu putaran aja."

"Kamu bisa ke Korea sendiri." Aku bisa membayar biaya perjalanannya kalau hanya ke negeri Ginseng itu, walaupun aku yakin uang di dalam tabungannya tidak akan berkurang banyak hanya untuk satu kali trip ke Korea.

"Kalau nggak sama kamu, pasti akan dibuntutin Pak Hasan lagi. Nggak enak diikutin orang suruhan Kakek." Faith menunjuk dan berenang menuju ujung kolam. "Ayo, kita start dari sana ya."

Anak ini benar-benar menguji batas kesabaran. Sepertinya dia tidak akan melepasku kalau tantangannya tidak kuturuti. "Satu putaran saja ya." Lebih baik mengalah dan mengikuti keinginannya untuk bertanding. Toh hasilnya sudah ketahuan. Aku tidak mungkin kalah.

Aku mendahului Faith naik di tepi kolam. Anak ini benar-benar sinting mau balapan denganku. Pada lompatan pertama saja dia sudah kalah jauh. Dia memang jangkung, tapi aku tetap saja jauh lebih tinggi daripada dia. Di mana otaknya? Salahku sendiri karena sempat menganggapnya cerdas.

"Siap?" tanyaku tidak sabar setelah Faith naik. Aku ingin segera mengakhiri tantangan bodoh ini.

"Tunggu dulu. Sabar dong, Om. Masa aku berenang kayak gini sih? Kan berat. Kalau gini, aku udah pasti kalah." Dengan santai Faith menarik kausnya yang masih meneteskan air ke atas, meloloskannya lewat kepala, lalu melemparnya begitu saja. Sekarang bagian atas tubuhnya hanya tertutup sport bra saja.

Seperti laki-laki normal lainnya di planet bumi, mataku tentu saja langsung memindai dadanya. Selama ini aku selalu melihat Faith dalam balutan kaus atau kemeja gombrang sehingga dadanya terkesan rata. Tapi ternyata dadanya tidak serata papan setrikaan seperti yang aku pikir. Gundukan kembar di dadanya memang bukan ukuran ideal untuk dijadikan fantasi seksual, tapi setidaknya dia punya dada. Prasangkaku ternyata tidak terbukti.

Perut Faith sangat rata. Pinggangnya yang sangat kecil itulah yang membuatnya terlihat sangat kurus dalam balutan kaus gombrang.

Dari kaus, Faith lantas melepas celana pendeknya. Benda itu kemudian ditendang bergabung dengan kausnya.

"Nah, sekarang aku sudah siap!" katanya lantang dengan yakin.

Sekarang aku yang tidak siap. Aku memelototi Faith yang berdiri percaya diri dengan sport bra dan celana dalam mungil ala kadarnya. Celana yang mungkin saja melorot di dalam air karena tidak didesain untuk berenang. Tungkainya yang terekspos penuh tidak tampak seperti kaki belalang. Dia sama sekali tidak terlihat seperti anak umur delapan tahun dalam pose seperti itu.

"Jadi, aturannya adalah, aku berenang pakai gaya bebas dan kamu berenang pakai gaya dada, Om," ucapan Faith membuatku mengalihkan perhatian dari celana dalam minim Faith ke wajahnya.

"Apa?"

"Kita nggak mungkin bertanding pakai gaya bebas dong." Faith balas menatapku galak. Jangkauan kamu lebih panjang daripada aku. Itu namanya nggak adil. Yang adil itu gaya bebas lawan gaya dada."

"Mana ada pertandingan seperti itu?" protesku. Aku tidak terbiasa berenang pakai gaya dada. Aku bukan atlet, jadi untuk apa mempelajari gaya yang aneh-aneh hanya untuk berolahraga yang tujuannya membakar kalori?

"Aku yang ngajak bertanding, jadi pakai aturanku dong," Faith berkeras. "Masih mau bertanding atau kamu ngaku kalah aja dan kita ke Korea?"

Mataku mengabaikan perintah otak dan kembali mengamati tubuh Faith. Tubuhku mendadak bereaksi tidak seperti yang seharusnya. Astaga, bisa-bisanya si Junior berkhianat dan bertingkah di saat seperti ini! Mungkin karena dia sudah lama tidak melihat selangkangan sehingga dia menjadi lebih murahan dan tidak peduli pada lekuk dan proporsi lemak tubuh yang sempurna. Seleranya jadi turun level. Bening dan mulus saja sudah cukup untuk membuatnya berontak bangun.

"Ayolah, cepetan!" kataku tidak sabar. Masuk ke kolam adalah pilihan paling bagus saat ini. Aku tidak terlalu peduli lagi dengan gaya berenang, atau apakah aku akan memenangi pertandingan. Celana renangku mulai terasa tidak nyaman gara-gara melihat pilihan celana dalam Faith. Sial... sial... sial!

"Mbak... Mbak... ke sini dong!" Faith berteriak memanggil ART yang berada di dalam rumah. "Aku dan Rakha mau bertanding nih. Mbak yang jadi wasitnya ya. Hitung sampai tiga yang keras, dan tetap berdiri di sini untuk lihat siapa yang duluan menyentuh pingiran kolam."

Pada hitungan ketiga, aku melesak masuk ke dalam air. Tapi dengan gaya dada yang tidak kukuasai dan konsentrasi yang berceceran, aku hanya bisa melihat Faith yang curang dengan aturan pertandingannya yang tidak masuk akal itu meluncur jauh meninggalkanku. Aku benar-benar dikerjai! Seumur hidup, aku belum pernah merasa dicurangi habis-habisan seperti ini.

Hasilnya sudah bisa diduga. Aku dipecundangi Faith. Anak itu berteriak-teriak kegirangan sambil mengepalkan tangannya ke atas, seolah baru saja memenangkan medali emas olimpiade dan sedang disoraki oleh jutaan penonton.

"Nggak usah lebay gitu," gerutuku setelah berada di sisinya, bersandar di tepi kolam. Untunglah si Junior sudah cooling down dan tak bertingkah lagi.. "Pertandingannya sama sekali nggak adil. Kamu curang."

"Korea... Korea... Korea...!" teriak Faith kuat-kuat, tak menghiraukan protesku. Dia malah mendekatkan wajah dan berteriak makin lantang, "Oppa... I'm coming.... Nal gidaryeo juseyo, Oppa...!"

Anak ini benar-benar ujian kesabaran. "Berisik, Faith!" Aku mengulurkan tangan untuk membekap mulutnya.

Tapi itu bukan gerakan pintar karena tubuh kami lantas saling menempel. Seharusnya aku melepaskan tangan dari mulut Faith dan membiarkannya menjauh, tapi tanganku memilih mengabaikan perintah otak. Sebelah tanganku yang lain lantas hinggap di perut Faith, menahannya supaya berhenti bergerak. Meskipun berada di bawah air, kulit Faith terasa hangat di telapak tanganku.

"Pengantin baru sih pengantin baru, tapi nggak perlu dikerjain di kolam juga saat siang bolong gini, kali. Tahan beberapa menit sampai di kamar kalian bisa, kan?"

Aku mengalihkan perhatian ke arah suara itu. Tante Rose menatap kami dengan pandangan malas. Di sebelah kanannya ada Pak Tua Jenderal yang tersenyum maklum. Bu Zoya yang berdiri di samping kiri Tante Rose menengadah, entah melihat apa, hanya untuk menghindarkan pandangan dari kami.

Posisiku dan Faith memang rawan mengundang kesalahpahaman. Kami berada di tepi kolam dan aku memeluk Faith dari belakang. Tanganku yang membekap mulutnya bisa diartikan lain.

Aku spontan melepaskan tanganku dari tubuh Faith, tapi sudah terlambat untuk memperbaiki apa yang dipikirkan ketiga orang itu tentang apa yang sebenarnya aku dan Faith lakukan di dalam kolam.

"Buruan mandi dan pakaian, kita udah telat banget!" seru Tante Rose sambil mendengus dan berbalik masuk rumah diikuti Pak Tua dan Bu Zoya.

**

Yang pinisirin, bisa ke Karyakarsa ya. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro