8. H: Mistake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu kesalahan besar yang saya lakukan bisa saja membuat kepercayaan Seira menghilang sepenuhnya. Namun, ternyata begitu sulit untuk tidak merespons Illa setiap kali berkata bahwa dia membutuhkan bantuan. Saat saya mencoba memikirkannya kembali, mengapa Illa memilih untuk memutuskan hubungan kami, jika tanpa sadar atau tidak, dia malah menahan saya seperti ini? Maksud saya, dengan semua sikapnya yang seakan-akan masih membutuhkan saya.

Seira benar-benar tidak menjawab panggilan dan pesan permintaan maaf saya. Mendadak saja, saya merasa kangen dengannya. Entahlah, tiba-tiba saya sangat ingin mengunggah foto kami yang ada di galeri. Memasangnya sebagai Instagram story, memamerkan kepada siapa pun bahwa kami memiliki hubungan.

"Tumben cowok kul mukanya asem gini?" Suara menjengkelkan yang sarat akan nada mengejek itu terlontar dari bibir Bang Juna.

"Biasanya asem banget, ya, Jun?" Bang Yosa yang berjalan di sampingnya pun ikut menceletuk.

Demi apa pun, tidak ada faedahnya mengobrol sama duo budak cinta ini, jadi saya memilih melipir menuju kamar. Ah, kamar Juang lebih tepatnya. Sejak kemarin sikap Juang mendadak kayak Seira, tidak acuh. Suara ribut berupa umpatan terdengar dari kamar Juang. Ketika saya membuka pintu, rupanya cowok itu sedang bermain gim bersama Arwan.

"Tumben cowok kul kita ada di kos, biasanya jam segini belum balik," celetuk Arwan seraya terkikik setelahnya.

"Jangan berisik! Aku mau bicara sama Juang bentar. Keluar, Wan!"

"Emangnya aku nggak boleh denger?"

"Nggak."

Jawaban saya membuat Arwan berdecih. Namun, sosoknya yang patuh pun tidak bisa membantah titah itu. Arwan segera beranjak dari kasur Juang dan keluar sambil berteriak memanggil nama Bang Danny, mengaku bahwa dirinya lapar.

Saya menutup pintu sesaat setelah si bongsor Arwan keluar dari sana. Juang masih mempertahankan sikap cueknya dan sok sibuk pada gim di ponsel. Saya menarik kursi belajar Juang dan duduk tepat di hadapannya. Mengamati gerak-gerik cowok yang lihai bermain gitar tersebut.

"Mau ngapain? Aku nggak ada saldo kalau mau isi pulsa." Akhirnya Juang bersuara juga, walaupun tidak melirik saya. Biarlah, paling tidak, kehadiranku di-notice olehnya.

"Ini tentang Seira."

"Kenapa ngomongnya ke aku? Seira pacarmu, kan? Selesaikan sama Seira, kenapa jadi bawa-bawa aku?"

Perkataan Juang ada benarnya juga. Dia sukses besar membuat saya tidak bisa membalas ucapannya. Saya tentu saja sangat ingin meminta maaf, kalau bisa menemui Seira, tetapi rasanya masih sangat berat untuk mengaku terang-terang tentang Danilla. Itu pasti akan sangat menyakiti perasaannya.

"Lan, dengar ...," lanjut Juang tanpa melihat saya, "aku sedikit nyesel udah bantu Seira dekat sama kamu. Bukan karena Seira nggak pantas, tapi justru karena kamu yang nggak pantas buat Seira. Sejak kapan kamu jadi brengsek seperti ini? Pengecut banget kamu, Lan!"

Kalimat Juang membuat saya melebarkan mata. Saya mengejap beberapa saat, tidak percaya bahwa yang sedang berbicara itu adalah seroang Juang. Cowok yang biasanya terlihat ceria dan hampir tidak pernah bisa diajak serius.

Ketika saya tersadar dari lamunan, Juang ternyata telah menatap tajam ke arah saya. Saya juga tidak paham mengapa rasanya sebrengsek dan sepengecut ini. Di satu sisi saya ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Seira, tidak ingin membuatnya lebih kecewa lagi. Namun, saya takut setelah ini tidak bisa membantu Illa lagi.

"Lan, kamu tau micro cheating nggak? Kamu sama Danilla, tuh, udah kayak gitu. Sumpah, aku nyesel banget kalau tau kamu ternyata belum move on. Harusnya pas kamu bilang udah move on, aku nggak percaya gitu aja. Sekarang lihat ... kamu malah nyakitin orang lain."

"Aku ke sini nggak mau mendengar ceramahmu, Ju. Tolong, bilang ke Seira kalau dia harus menjawab teleponku."

"Anjing, malah seenaknya. Lan, putusin ajalah kalau kamu terus-terusan begini. Kasihan anak orang karena sikap brengsekmu."

"Ju?"

Juang malah berdiri dan berlalu keluar dari kamarnya. Sementara saya masih duduk sambil mengusap wajah frustrasi. Seharusnya sekarang saya bisa duduk di dekat Seira, mendengarkannya bercerita, atau membahas rencana liburan semester kami.

Saya merogoh ponsel di saku jaket, lalu mengirim pesan lagi pada Seira. Besok saya akan menemui, menjemput, dan mengantarnya seperti biasa. Malam ini saya ingin meyakinkan dan mengumpulkan keberanian untuk mengakui kesalahan saya.

—oOo—

Satu pesan yang saya terima dari Seira adalah penolakan. Gadis itu menolak untuk dijemput dan itu sedikit menyentil perasaan saya. Sebab, biasanya dia tidak akan menolak, tetapi kali ini dia bahkan tidak ragu mengatakan bahwa dia bisa berangkat dengan temannya.

Teman? Teman yang mana maksud Seira? Tidak mungkin Kak Ayu, kan? Liza atau Juang? Juang juga tidak mungkin karena dia belum bangun saat saya berangkat dari indekos.

Demi menuntaskan rasa penasaran, saya berangkat lebih pagi hari ini. Berniat menunggu Seira di parkiran. Di sinilah saya sekarang, duduk di jok motor sambil sesekali membenarkan tali tas ransel. Musim UAS sudah mulai terasa dan momok ujian itu mulai membayangi mahasiswa. Termasuk saya yang akhir-akhir ini sulit berkonsentrasi.

Syukurlah, sepertinya waktu sedang berpihak pada saya. Sebuah motor matic mendekat ke arah parkiran depan gedung fakultas sastra. Bukan keberadaan Seira yang membuat saya kaget. Namun, cowok yang memboncengnya. Saya mengenal lelaki itu sebagai Hakka, ketua Himpunan kami.

"Makasih, Kak Hakka," ucap Seira sambil menyerahkan helm.

Ya, ampun! Saya kangen sekali memandang wajah tirus dan kecilnya. Semua yang ada pada Seira tentu saya suka, sangat. Betapa munafik saat saya juga berkata dalam hati, bahwa Illa juga masih sangat menarik.

"Duh, pagi-pagi udah ditungguin pacarmu, tuh," komentar Hakka, diikuti dengan kekeh samar di akhir kalimatnya.

Seira melirik tidak acuh ke arah saya. Sesaat setelah itu ia berkata, "Aku duluan, Kak. Sekali lagi makasih tumpangannya."

Tanpa menanggapi keberadaan Hakka, saya segera menyusul langkah Seira. Walaupun kaki panjang saya berhasil menyusul langkahnya yang pendek-pendek, tetapi Seira tetap tidak peduli atau berusaha untuk berpura-pura tidak peduli? Entahlah. Namun, yang jelas dia enggan menyuarakan apa pun.

Kami berjalan dalam diam, bahkan sampai tiba di lantai prodi. Ke manapun kaki Seira melangkah, ke sanalah kaki saya terarah. Beberapa pasang mata bahkan melihat kami sesekali. Saya tetap berdiri di belakangnya saat berdiri memeriksa jadwal UAS yang sudah tertempel di papan pengumuman. Artinya tugas drama Sastra Indonesia sebentar lagi mendekati deadline.

"Sini, tasnya aku bawain," kata saya menawarkan diri ketika Seira merogoh ponsel.

"Nggak usah, aku bisa sendiri."

"By?" panggil saya berusaha meruntuhkan sikap cueknya. Namun, Seira masih memperlihatkan ekspresi datarnya. "Aku tau kamu marah sama aku, tapi apa harus berangkat sama Hakka? Kamu bahkan nolak untuk dijemput cuma karena berangkat bareng dia?"

"Kebetulan dia nawarin duluan."

"Sei, aku pacar kamu, kan? Aku masih sanggup, masih siap buat antar jemput kamu, loh. Bukannya malah berangkat sama cowok lain."

Seira menahan gerakan tangannya yang hendak memfoto lembaran berisi jadwal UAS. Tatapan datarnya berubah serupa akan menelan saya hidup-hidup. Astaga! Harlan, bodoh!

"Kamu nyalahin aku sekarang? Gila kamu, ya? Kamu masih berhubungan baik sama Danilla di belakang aku, apa itu nggak lebih jahat?"

Saya melirik ke sekitar dan untungnya tidak terlalu banyak orang di tempat kami sekarang. Lengannya yang kurus pun saya tarik menuju salah satu kelas yang sepi. Sejujurnya, saya tidak terlalu suka membicarakan masalah pribadi di tempat umum seperti ini.

"Tapi, aku nggak ada apa pun sama Illa, Sei. Kamu tau sendiri kalau kami udah putus," tukas saya.

"Aku nggak bodoh ya, Harlan. Kalau kamu masih mau menyelesaikan apa pun yang belum selesai di antara kalian, silakan! Aku nggak akan melarang, daripada kamu melakukannya diam-diam di belakang aku."

"Seira?" Suara saya sarat akan nada penuh pinta. Meyakinkan dia bahwa saya menginginkan dirinya. Hanya dirinya. "Maaf, aku nggak akan mengulangi hal yang sama lagi."

Seira malah menepis tangan saya, lalu memilih keluar dari sana. Saya menghela napas sambil mengusap wajah beberapa kali. Kalau begini terus, saya mungkin akan kehilangan Seira. Lantas bagaimana saya harus memulainya? Memulai untuk meninggalkan kisah lalu bersama Illa?

Ketika saya keluar dari kelas, Seira sudah menjauh dari papan pengumuman. Perempuan itu masuk ke ruang Himpunan dan saya tidak ingin menghampirinya lagi. Biarlah setelah kelas saya bicarakan lagi dengannya.

Sikap Seira membuat perasaan saya terluka. Sungguh, baru kali ini setelah keputusan Illa untuk mengakhiri hubungan kami. Sei ... aku bener-bener nggak mau kayak gini.


Hi, Oneders!

Seira-Harlan update lagi setelah sekian hari bolos🤭🙈

Thank you udah baca~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro