9. S: She's Winner

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia akan selalu menang. Sebagai pemenang yang tidak akan pernah tergeser, dia pasti akan bangga. Seorang pemenang yang tidak perlu berbuat apa pun, toh, sebagai masa lalu, dialah yang akan berdiri kokoh di posisi itu. She's Winner, Sei.

Aku mengamati gerak-gerik Illa yang tengah menampilkan tugas drama sebagai penentuan ujian tengah semester di mata kuliah ini. Wajah bulatnya terlihat pandai mengatur ekspresi. Terkadang dia sedih, lalu bahagia, tidak lupa marah. Peran sebagai seorang putri kerajaan sangat cocok untuknya. Puas mengamati Danilla, aku beralih ke arah Harlan yang duduk bersekat dua kursi dariku.

Bahkan dengan terang-terangan matanya tidak bisa berpaling dari Danilla. Aku meremas kertas naskah drama yang ada di pangkuanku. Rasa panas bukan hanya menjalari rongga dada, tetapi langsung menyerang kedua mataku. Ketika aku berdiri, beberapa pasang mata menoleh. Termasuk Harlan yang sejak tadi terlihat fokus. Setelahnya aku izin ke kamar mandi pada dosen pengampu.

Tiba di kamar mandi, aku mematut diri di depan cermin lebar. Berusaha menahan air mata agar tidak menerobos keluar. Sia-sia riasanku karena sebentar lagi akan tampil. Aku menghela napas sebentar dan memejam untuk menenangkan diri. Apa pun kondisinya nanti, aku tidak boleh terlihat sangat buruk saat tampil. Bisa-bisa nilaiku terancam, alamat mendapat nilai C di kolom KHS—Kartu Hasil Studi.

"Tenang, Sei. Fokus selama beberapa menit ke depan. Kamu nggak harus memikirkan mereka sekarang," gumamku sambil memperbaiki anak rambut yang sedikit mencuat dari rambutku yang dikepang dua.

Seulas senyum pun kuperlihatkan di depan cermin. Begitu merasa agak tenang, aku segera keluar dari kamar mandi. Walaupun mungkin aku akan melihat Harlan memperhatikan Danilla, lagi.

—oOo—

Harapanku memang tercapai karena saat tampil bersama Juang tadi, semuanya berjalan lancar. Namun, yang menggangguku adalah Harlan tidak henti mengarahkan kamera ponsel padaku yang sedang fokus berlakon. Beberapa pasang mata di kelas bahkan melirik Harlan. Namun, ekspresi cuek nan datar cowok tinggi itu menjawab semuanya. Ya, maksudku, dia tidak peduli.

"Seira, tolong berikan ini ke Danilla. Tadi dia lupa mengisi presensi," ucap dosen pengampu sebelum bergegas keluar kelas. "Minta dia mengantarkan presensi ke ruangan saya."

Aku menatap lembaran berisi daftar hadir kami. Seumur-umur—sepanjang semester satu sampai sekarang semester tiga—aku hanya berinteraksi dengan Danilla sesekali. Itu juga kalau kami tergabung dalam satu kelompok. Namun, kali ini aku harus mendatanginya lebih dahulu.

Danilla tengah duduk di kursi pojok sambil mengibaskan wajah yang terlihat memerah. Ia sesekali berbincang dengan beberapa teman satu kelompoknya. Meski agak malas, aku tetap menyeret langkah ke sana. Kedatanganku mengalihkan atensi mereka.

"Illa, nih tadi kamu lupa tanda tangan. Nanti daftar hadirnya bawa ke ruangan dosen aja." Aku mengangsurkan lembaran itu pada gadis berwajah bulat tersebut.

Selama beberapa detik, aku malah mengabsen setiap inci wajahnya. Kulit yang putih, wajah bulatnya yang menggemaskan dan terlihat kecil, alisnya yang terlukis rapi dan natural, bibir kecil kemerahan, dan tentu rambut panjangnya yang tergerai agak keriting—mungkin sengaja dibuat seperti itu demi tampil hari ini. Ketika dia tertawa, aku merasa sedikit pesimis. Aku kalah olehnya. Inilah pemenang yang asli. Bukan aku atau mungkin aku tidak akan pernah menjadi pemenang.

"Masih ada lagi yang kamu butuhkan, Sei?" tanya Danilla dengan suara sehalus mungkin.

"A-ah, nggak. Ya udah, aku ke sana dulu mau bantu Juang."

Aku bergegas mendekati Juang yang masih membereskan beberapa kain yang tadi digunakan sebagai properti. Ketika hendak mengangkat tumpukan styrofoam, tangan panjang seseorang lebih dahulu merebutnya. Aroma parfum yang amat akrab bagi kedua indra penciumanku. Harlan berdiri di sampingku sambil mengulas senyum.

"Ini aja, kan? Setelah ini mau pulang?"

Hanya anggukan pelan yang aku berikan dan kembali merapikan meja dosen. Bukan tidak tahu, tetapi aku yakin Harlan mengamatiku saat ini. Aku berusaha menghindar dari tatapannya dan bergerak merampas tas ransel. Tak lupa berpamitan pada Juang, Liza, dan beberapa teman kelompokku. Lelaki jangkung itu mengekor dan meraih tas yang tersampir di lenganku.

"Aku bisa bawa sendiri, Lan," protesku.

"Tau. Tapi, aku mau usaha buat kamu."

"Aku juga balik ke kos sendiri."

"Tau. Tapi, aku tetap mau usaha buat kamu."

"Harlan!" Suaraku sedikit meninggi, tetapi syukurlah lorong sudah mulai agak sepi.

Kelas sore ini berakhir menjelang petang. Hanya kami yang masih di jurusan untuk mengikuti UAS kali ini. Untuk itulah koridor di lantai tiga hanya diisi olehku dan Harlan. Sementara beberapa mahasiswa lain terlihat turun menggunakan lift.

Aku membuang muka saat ia tidak henti menatap. Justru karena melihat wajahnya, hatiku terasa makin nyeri. Terlebih saat melihat atensinya yang beberapa jam lalu tidak beralih dari Danilla. Hal itu membuatku muak! Aku menyerah dan membiarkan dia menyusul saat sepasang kakiku bergerak meninggalkannya. Sampai kemudian kami tiba di depan gedung fakultas, Harlan tetap kukuh ingin mengantarku ke indekos.

Terus menghindar juga bukan hal yang tepat untuk kulakukan. Namun, bersama Harlan membuatku mengingat setiap detail kebohongannya. Bagaimana selama ini dia bersikap tertutup, bahkan padaku, pacarnya sendiri. Lalu, saat dia diam-diam ternyata masih berhubungan baik dengan Danilla, mantannya. Apa cuma aku yang terlalu berharap pada hubungan ini? Apa hanya aku yang menyukainya?

"By, nanti makan di luar aja, ya? Mau nggak?" tanya Harlan saat motor mulai bergerak meninggalkan kampus.

Kini kami sudah bergabung dengan puluhan kendaraan lain yang memadati Jalan Majapahit. Pertanyaan Harlan aku balas dengan gelengan samar. Sejak tadi sepasang mataku enggan melihat ke arahnya. Walaupun aku tahu dia pasti sibuk menatap sesekali lewat pantulan cermin. Tanganku yang biasanya melingkar memeluk pinggangnya, kini tidak ada lagi.

"Sei, kamu masih marah? Aku udah minta maaf, loh." Suaranya sedikit dikeraskan karena suara kendaraan yang makin riuh.

Meski dia berucap, aku tetap tidak merespons. Agaknya Harlan mulai jengkel karena menarik gas motor dengan cepat. Aku sampai harus berpegangan pada permukaan jaketnya. Sepanjang jalan menuju indekos, kami benar-benar tidak bersuara. Sampai akhirnya motor Harlan melambat dan berhenti di depan gerbang indekos.

Aku buru-buru turun, melepas helm, dan menyerahkan padanya. Harlan tidak mau menerima benda itu sebab memang aku yang selalu membawanya. Suatu saat aku pernah berkata akan memulangkan kembali helm itu pada Harlan saat tidak ingin dijemput atau diantar lagi.

"Ini serius, Sei? Kamu yakin akan bertindak sejauh ini?" tanya Harlan memandang uluran tanganku.

"Toh, aku cuma mengganggu kamu dan Danilla, kan? Kalau nggak ada aku, kamu bisa balikan sama dia."

"Sei, Ya Allah! Aku nggak ada perasaan apa pun lagi buat Illa. Kamu pacarku, buat apa aku sama dia? Kami udah putus, Seira."

"Putus, tapi seenaknya di belakangku." Tanpa menatap wajahnya, aku berdecih pelan. "Atau begini aja, Lan. Kalau kamu nggak bisa move on, mending kita aja yang putus. Kamu pikir aku siap kayak gini terus? Kamu masih suka sama Danilla, tapi kamu malah bikin aku sakit hati."

"Nggak, aku nggak mau putus." Tanpa permisi Harlan menarik jemariku. Percuma aku berusaha melepaskan diri, tetapi dia tetap kukuh menggenggamnya. "Seira, aku memang salah. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi. Kalau aku nggak peduli sama hubungan kita, aku pasti udah pergi. Tapi, nyatanya aku tetap datang ke kamu, kan?"

"Sampai kapan? Sampai kamu berhasil move on? Kalau nggak berhasil, berarti kamu tetap akan menjadikan aku pelampiasan, dong? Aku bahkan nggak tau perasaan kamu kayak gimana, Lan. Kamu memang menunjukkan kepedulian, memperhatikan aku, dan bersikap baik padaku. Tapi, aku nggak pernah benar-benar tau siapa yang ada di hati kamu."

Harlan terdiam sesaat dan sikapnya membuatku berhasil melepaskan diri. Aku menarik jemariku dan bergegas hendak pergi. Dia diam saja sudah cukup membuatku yakin kalau hubungan kami ini mungkin tidak bisa dikategorikan hubungan yang sehat. Hanya aku yang menginginkan dia, tetapi nyatanya ... dia masih tinggal di masa lalu.

Begitu pintu gerbang tertutup, ponsel di saku celanaku bergetar. Pesan masuk dari Harlan pun terlihat di bilah notifikasi. Sejujurnya, aku benar-benar berharap Harlan bisa berhenti bersikap seakan-akan dirinya masih sangat mengharapkan Danilla.

Harlan: Sei, besok aku jemput, kita berangkat bareng. Ndak boleh nolak. Aku minta maaf udah nyakitin kamu.

Hi, Oneders!
Sori baru bisa update lagi dan thank you udah baca sampai sejauh ini~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro