Aku dan Rasa Penasaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masalah yang datang dalam hidup kita, nggak akan pernah selesai, bahkan mungkin sampai kita mati. Satu hal, yang saat ini selalu aku coba buat mengerti, bahwa hidup memang nggak akan pernah sesederhana apa yang kita inginkan. Masalah akan selalu ada, dan meski begitu, aku juga selalu percaya, Tuhan bakal selalu ngasih jalan keluar. Entah dalam bentuk apa pun dan dari tangan siapa pun. Aku juga percaya, Tuhan nggak pernah membiarkanku sendirian, menghadapi dunia yang luas ini.

"Ran ... kamu mau nggak, kalau aku kasih ini?"

Alina menyodorkan sebuah tas rajut berwarna mauve. Tas itu nggak terlalu besar, cenderung kecil dan cukup untuk dompet dan ponsel saja, tapi bentuknya lucu dan langsung membuatku tertarik. Aku mengambil tas yang diberikan oleh Alina dengan senang hati.

"Kamu bikin sendiri?"

"Iya, kamu suka?"

Aku mengangguk, rajutan Alina sangat rapi. Ah, aku belum cerita ya? Alina mengubah nada panggilannya juga bahasa yang ia gunakan, nggak ada lagi istilah lo gue. Aku memang nggak pernah memintanya, tapi Alina memang mau mengubahnya sendiri. Waktu itu dia bilang kalau ingin mengikuti budaya dan bahasa di sini, bukan berarti dia nggak bangga sama budayanya sendiri. Tapi, karena saat ini Alina hidup di Surabaya, ia ingin menyesuaikan dengan kehidupan di tempat barunya ini.

"Aku jadi pengin belajar buat merajut."

"Gampang, nanti aku ajarin. Asik tahu merajut, apalagi kalau lagi bosen. Daripada tiduran, mending melakukan sesuatu hal yang produktif."

"Bener, biar nggak stress ya. Kamu mau ngajarin?"

Alina mengangguk dengan antusias, perempuan itu lalu tersenyum dan mengambil snak kentang rasa daging sapi panggang—kesukannya. Kami nggak lagi terlibat obrolan, Alina sibuk dengan ponselnya, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Kami sedang berada di kantin fakultas, hari ini suasananya ramai seperti biasa. Aku jadi ingat, dulu di tempat ini, aku dan Aruna sering menghabiskan waktu untuk menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Nggak mudah menerima keadaan kayak gini, Aruna yang tiba-tiba menjauh, tanpa penjelasan sama sekali. Dan, aku yang masih bertanya-tanya, tentang apa salahku. Atau mungkin, dia mulai malu berteman dengan orang sakit jiwa sepertiku. Mungkin aku nggak layak punya teman?

"Rana, jangan ngelamun ah, ntar kesambet."

Alina menepuk bahuku, aku memandangnya sekilas, dan melempar senyum. Gadis itu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi, sejauh ini, Alina bisa membuatku nyaman. Hanya saja, aku takut Kembali ditinggalkan.

"Lin, aku boleh minta satu hal?"

"Apa?" ia bertanya dengan wajah yang nggak sabaran.

"Kalau suatu saat nanti, kamu ngerasa malu punya temen kayak aku, jangan tiba-tiba pergi ya? Seenggaknya, jelasin alasan kamu."

Aku tersenyum pahit, lagi-lagi perlakuan Aruna membuatku pesimis. Alina sendiri memasang wajah yang nggak suka. Apa aku salah bicara? Aku hanya mengutarakan permintaan yang sederhana.

"Nggak akan malu, kalau malu dari awal udah nggak mau kenal kali. Udah dong, jangan mikir kayak gitu. Mending kita pergi yuk sekarang? Udah selesai kan kelasmu?"

"Udah, kamu yang masih ada satu kelas lagi kan, Lin?" aku mengingatkan, kami memang beda kelas.

"Santai ajalah, mau bolos aku. Sesekali, matkulnya Pak Budi, orangnya sibuk kelarin thesis."

"Kok gitu?"

Ia nyengir. Alina lalu menarik tanganku untuk pergi dari kantin, kami jalan kaki menuju pinggir jalan raya, tempat halte bus depan kampus berada. Hari ini aku nggak membawa mobil, Alina juga nggak membawa kendaraan. Kami memang berencana akan mencoba naik Trans Surabaya, tapi rencana awal itu setelah kelas Alina selesai. Hanya dua SKS, dan itu nggak lama. Sekitar satu setengah jam, sayangnya ... Alina memilih buat membolos.

"Masa mahasiswa harus dinikmatilah Ran, jangan terlalu rajin haha."

"Heh, kok gitu?"

Alina tergelak, kami terus berjalan, karena jarak ke jalan raya lumayan jauh. Alina mengajakku pergi ke TP siang ini. Ia bilang, ingin nonton film dan makan udon. Rasanya juga udah lama nggak nonton film, mungkin terakhir kali Bersama Ravindra. Ngomong-ngomong soal Ravindra, laki-laki itu sudah membuat janji dengan pengacara yang akan membantu kasus kedua orang tuaku. Sayangnya Ravindra sedang sibuk dengan perkuliahannya, kami jarang bertemu belakangan ini.

"Ran, ada nggak satu tempat yang pengin kamu kunjungi?"

Aku tersenyum sekilas, membayangkan sebuah tempat yang sangat ingin kukunjungi, tapi belum kesampaian sampai sekarang.

"Edinburgh, aku pengin pergi ke kastilnya, tempat wisatanya juga keren-keren."

"Ngapain ke kastil? Mau cosplay jadi Princess?"

Aku tertawa mendengar gurauan Alina. Gadis ini memang supel sekali, dan punya selera humor yang sangat receh. Hal itu yang membuatku nyaman berteman dengan Alina.

"Boleh deh, siapa tahu ketemu sama pangeran ganteng."

"Heh, kan udah ada Ravindra."

Aku menoleh terkejut, memicingkan mataku, melihat ke arah Alina. Darimana dia tahu soal hubunganku dengan Rvaindra? Aku belum pernah menceritakan sama sekali. Lagipula, kami hanya sebatas teman, nggak ada hal special yang membuatku harus bercerita pada Ravindra.

"Kok kamu tahu soal Ravindra?"

"Eh, nggak kok hehe. Forget it."

"Mana ada forget it. Aku nggak pernah cerita apa pun soal Ravindra kan?"

Alina tampak salah tingkah, dia lalu mempercepat jalannya, meninggalkanku yang masih terkejut. Aku memutuskan untuk mengejar Langkah Alina yang lumayan jauh, sedikit capek sih, Alina cepat sekali jalannya, seperti lari saja.

"AWASSSS RAN!"

Aku mendengar sebuah teriakan, bersamaan dengan sebuah motor yang melaju ke arahku, belum sempat menghindar, motor itu sudah menerjang tubuhku. Aku nggak bisa merasakan apa pun selain terkejut, kepalaku blank, aku bahkan nggak tahu apakah ini menyakitkan atau enggak. Aku nggak lagi ingat apa pun, selain bayangan gelap yang pelan-pelan menelan kesadaranku.

***

Mataku terasa silau terkena cahaya, badanku sakit di semua sisi. Terakhir kali yang tertinggal di ingatanku, soal motor yang menabrak tubuhku, saat aku dan Alina sedang berjalan. Aku mengedarkan pandang. Nggak salah lagi, ini rumah sakit. Pakaianku sudah berganti, kepalaku rasanya pusing sekali, mungkin efek terbentur atau apa. Aku nggak bisa memastikan.

Aku nggak sendirian di ruangan ini, ada seseorang yang sedang tertidur di atas sofa, yang berada di salah satu sudut ruangan. Aku nggak bisa melihatnya begitu jelas, efek rasa sakit di kepalaku. Tapi, dari postur tubuhnya, seperti Ravindra. Tapi, mengapa dia bisa ada di sini? Saat itu yang tahu kejadiannya hanya Alina. Mataku menyapu setiap sudut ruangan, ada sebuah kaca kecil berbentuk persegi Panjang yang melekat di pintu, dari balik kaca itu, aku mencoba menajamkan pandangan. Aruna? Tapi dia terlihat sedang berdebat dengan Alina. Ingin sekali rasanya aku menghampiri dan memastikan, tapi sakit di tubuhku makin terasa, tenggorokanku juga terasa sangat kering. Sudah berapa lama aku nggak sadar?

Aku mencoba mendudukkan tubuhku, ingin meraih botol air mineral di nakas. Tapi susah, letaknya terlalu jauh. Bukannya mendapatkan botol itu, tapi malah aku membuatnya jatuh, dan sepertinya suara botol yang jatuh itu membuat Ravindra terbangun dari tidurnya.

"Kamu sadar, Ran?"

"Mi num, Vin ...."

Ravindra lalu meraih satu botol lainnya di atas nakas, dan menuangkan air ke dalam gelas, lalu memberikannya padaku. Tampilan Ravindra sedikit berantakan, aku nggak tahu ini jam berapa, tapi sepertinya laki-laki ini kurang tidur.

"Sudah lebih baik?"

"Pusing."

"Efek benturan, kamu istirahat lagi ya? Aku panggil dokter dulu."

"Vin ... jam berapa?" pertanyaanku membuat Langkah Ravindra tertahan.

Ravidnra lalu melihat jam di pergelangan tangan, jam digital berwarna hitam yang biasanya ia kenakan.

"Jam delapan pagi."

Aku menghitung, berapa jam aku nggak sadar. Cukup lama ternyata. Menghela napas, aku Kembali melihat ke arah Ravindra.

"Kamu tahu aku ada di sini?"

"Dari Alina."

Dahiku mengerut, menatap heran pada Ravindra. "Kamu kenal Alina?"

"Nggak usah mikirin yang nggak penting dulu. Yang penting sekarang kesehatanmu."

Aku memejamkan mata sejenak, lalu teringat pada janji pertemuan dengan Pak Darsawangsa. Pengacara yang direkomendasikan oleh Ravindra.

"Gimana dengan janji temu kita sama Pak Darsa?"

"Beliau besok ke sini, nggak usah khawatir. Jangan mikirin apa pun, oke, Ran? Kamu diem dulu, aku mau panggil dokter."

"Thanks, Vin."

Ravindra tersenyum sekilas, sebelum laki-laki itu meninggalkan ruang perawatan ini. Setelah kepergian Ravindra, Alina masuk ke dalam ruangan ini dengan muka masam. Kenapa dengan Alina? Apakah benar yang kulihat tadi, dia sedang berdebat dengan Aruna?

"Kamu udah sadar, Ran? Alhamdulillah."

"Kamu tadi ngobrol sama siapa?" aku pura-pura nggak tahu, Alina tampak menghela napasnya. Ia lalu menarik kursi dan duduk di atasnya.

"Aruna. Dia kemarin yang teriak pas kamu mau ditabrak motor, dia ada di depan kamar inapmu tadi, tapi nggak mau masuk."

"Aruna? Dia ngomong apa?"

Aku jelas penasaran dengan keberadaan Aruna. Untuk apa dia ada di lokasi yang sama denganku saat itu? Dan, kenapa dia mau repot-repot menjengukku, saat hubungan kami sedang nggak baik? Rasa penasaranku ini malah membuatku semakin pusing.

"Udah, nggak usah dipikirin dulu. Fokus sembuh dulu ya?"

"Makasih ya, Lin. Makasih udah nemenin."

Alina mengangguk, "Nggak perlu sungkan. Kita temen kan?"

"Iya, Lin."

TBC

Yaiy, baru bisa update :D. Laptopku rusak, draft-ku ilang semua /-\ sad sekali.

Semoga suka ya! Oh ya, jangan lupa dengerin podcast RISCERITA. Kamu bisa langsung klik icon spotify di pojok bawah laman ini ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro