Aku dan Teman Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku kesepian. Hal yang kurasakan selama hampir dua tahun ini, dan bertambah parah sejak Aruna memilih untuk menghindar, untuk kesalahan yang aku sendiri nggak tahu perihal apa. Aku masih terlalu takut untuk memulai berteman dengan orang lain, simple ... aku takut ditinggalkan terlalu cepat. Entahlah, mengatasi ketakutan ternyata nggak gampang, meski aku sudah beberapa kali mencobanya. Namun, tetap akhirnya terasa gagal. Banyak yang mencoba untuk mengajakku berteman, beberapa orang bahkan melakukannya secara terang-terangan, tapi percaya kepada orang baru memang bukan hal yang mudah. Tadinya, aku memang merasa sudah membaik, lalu Aruna tiba-tiba menghindariku, sejujurnya hal itu sangat berpengaruh pada diriku saat ini. Meskipun masih ada Ravindra, tapi rasanya tetap nggak sama.

Aku menghela napas, mencoba mengusir hal-hal nggak penting yang hinggap di kepala. Urusan kematian kedua orangtuaku jauh lebih penting saat ini. Aku ingin kasus ini segera selesai, dan nggak berlarut-larut tanpa kejelasan, seperti saat ini.

Aku duduk di depan Om Redi dan Tante Resti, aku baru saja meminta mereka untuk nggak lagi mengurusi kasus ini, sesuai permintaan Disty. Aku tahu, ini semua nggak akan berjalan dengan mudah, sejak tadi, diskusi antara aku dan Om Redi nggak berjalan lancar. Om Redi menolak untuk lepas tangan.

"Ran, Om tahu kamu sudah membaik. Tapi Om mohon, jangan menangani hal ini sendiran, biarkan Om dan Tante terlibat. Bagaimanapun, ayahmu adalah kakak kandung Om, Ran. Om merasa punya tanggung jawab untuk mengungkap sebab kematiannya."

"Aku minta maaf sama Om dan Tante, tapi aku nggak mau merepoti kalian lagi dengan kasus ini. Om sama Tante juga nggak perlu khawatir, ada teman yang membantuku untuk menghubungi Pak Darsawangsa, salah satu pengacara yang terkenal bisa memecahkan banyak kasus. Aku ingin segera mengungkap kasus ini, Om, Tante."

Aku memandang mereka dengan penuh penyesalan, namun daripada terus menerus disalahkan dan dibenci oleh Disty, mungkin ini pilihan yang terbaik. Aku percaya, aku bisa melakukannya, dengan berbagai cara, kamatian mama dan papa memang harus segera diungkap.

"Kasus ini hampir memiliki titik temu, Ran." Om Redi menarik napasnya, lalu menyodorkan setumpuk berkas yang tadi diambil oleh Tante Resti. Wanita itu lalu duduk di sampingku, mengelus rambutku, memberikan ketenangan yang kubutuhkan.

"Apa ini Om?"

"Kamu bisa memberikan itu pada Pak Darsawangsa. Itu semua hasil penyelidikan detektif yang Om sewa selama ini. Tapi, ingat Ran ... kamu harus hati-hati, orang yang sengaja membunuh orang tuamu bukan orang yang sembarangan, ia jelas memiliki kekuasaan yang besar."

"Tante sama Om akan selalu ada buatmu, Ran, kapanpun kamu butuh, kamu bisa menghubungi kami," timpal Tante Resti. Sejujurnya aku sedih melihat raut wajah kecewa Om Redi. Bagaimanapun, ia adalah seorang adik yang tumbuh bersama dengan kakaknya. Rasa kehilangan itu pasti ada, hanya saja, Om Redi mungkin nggak mau menunjukkannya.

"Makasih Tan, Om. Maaf ya, aku bikin kalian kecewa."

"Jangan merasa bersalah, Ran. Om hanya takut kamu kenapa-napa. Om nggak akan memaafkan diri Om sendiri kalau sesuatu terjadi padamu. Kamu satu-satunya peninggalan mendiang ayahmu untuk Om. Sejujurnya, Ran ... melihatmu seperti ini, selalu membuat Om merasa bersalah dengan mendiang ayahmu. Jangan pernah merasa sungkan ya, Ran? Kita tetap keluarga."

Aku nggak tahu harus membicarakan apa. Om Redi terlihat begitu sedih, matanya menerawang jauh, ada jejak air mata yang berusaha disembunyikan. Pria ini seolah-olah sedang mengenang sesuatu. Mungkin tentang papa?

"Sejak kecil, papamu selalu berusaha melindungi Om, memenuhi semua keinginan Om. Selalu menjadi tameng saat Ibu sedang marah. Ayahmu adalah sosok yang hebat. Tapi, sayangnya ... Om bahkan nggak mampu melakukan hal yang sama, sampai kamu harus tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Bahkan Om nggak bisa mencegahmu keluar dari rumah ini. Kamu hidup seperti hidup sebatang kara, padahal kamu memiliki Om dan Tantemu sebagai tempat untuk pulang. Maafkan Om ya, Ran?"

Om Redi menangis, membuat hatiku sakit. Ya Tuhan, aku baru sadar, ternyata Om Redi juga sangat kehilangan papa. Wajahku telah basah dengan air mata, aku bergerak untuk memeluk Om Redi. Aku benar-benar nggak peduli sekalipun Disty marah. Aku menyayangi Om Redi, apalagi Om Redi memiliki fitur wajah yang sangat mirip dengan papa. Setiap kali melihartnya, sejujurnya, ada perasaan rindu yang terselip. Ya Tuhan, sakit sekali rasanya.

"Maafin aku, Om. Dan terima kasih, untuk semua hal yang udah Om dan Tante lakukan. Selamanya, aku punya hutang sama Om untuk ini. Ranala sayang sama Om. Rana merasa beruntung banget punya Om sama Tante yang selalu ada untuk Rana. Maaf belum bisa membalas semuanya."

"Rana, Tante sama Om menyayangi kamu seperti anak kami sendiri. Ngelihat kamu sehat seperti ini adalah harapan besar kami, Ran." Tante Resti ikut memelukku. Kami menangis bersama sore ini, ditemani suara hujan yang semakin keras, aku tahu masih ada cinta untukku, dan dengan ini, bertambah lagi satu alasanku untuk tetap hidup.

***

Kesendirian sudah seperti teman untukku. Kalau ada yang bertanya, apa aku senang hidup seperti ini, jawabannya jelas saja enggak. Kadang-kadang, aku masih merindukan kehidupan lamaku. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, aku nggak bisa terus menerus terjebak di masa lalu. Karena percuma saja, semua yang telah berlalu, nggak akan bisa dikembalikan lagi. Termasuk, kehidupan normalku, sebelum kejadian itu terjadi. Aku hanya harus menerima takdir kan? Tuhan mengirim manusia lahir ke dunia ini, bersamaan dengan takdir mereka masing-masing.

"Gue boleh join?" sebuah suara membuatku terkejut, aku memang sedang berada di kantin kampus, sekadar membeli camilan sambil menunggu jadwal kuliah berikutnya.

"Duduk aja," kataku, mempersilakan gadis ini untuk duduk. Sebelumnya, aku nggak tahu siapa dia, tapi sepertinya memang nggak asing. Mungkin dia kakak tingkat atau teman satu angkatan tapi beda kelas. Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku nggak banyak mengenal mahasiswa di sini.

Gadis berambut sebahu yang aku nggak tahu namanya itu lalu duduk, sambil meletakkan semangkuk bakso porsi besar di atas meja. Ia juga membawa satu gelas es jeruk berukuran besar juga. Ia lalu memakan makanannya dengan tenang.

"Lo Ranala kan?" dia bertanya sambil tetap mengunyah bakso. Sedikit terkejut, dia mengenalku rupanya.

"Emhh ya, kok tahu namaku?"

"Gue Alina, kayaknya lo nggak kenal sama gue."

Aku tersenyum nggak enak, memang aku nggak kenal dengannya. Dia masih terus lanjut memakan baksonya, sementara aku juga memutuskan untuk kembali menikmati lok-lok yang kupesan tadi. Gadis ini punya tubuh yang tinggi semampai, wajahnya terlihat imut dengan kulitnya yang putih bersih khas anak perkotaan. Ah, mungkin dia berasal dari Jakarta? Melihat gaya bicaranya.

"Lo lupa kayaknya ya, lo pernah nolongin gue dulu."

"Hah, kapan?"

Dia terkekeh, lalu menyeruput es jeruknya sebelum kembali berbicara. "Awal semester dulu, pas gue lupa bawa duit ke kantin. Lo bayarin makanan gue," jelasnya kemudian. Aku kembali mengingat-ingat, karena kejadian itu sudah agak lama.

"Ah, maaf. Aku nggak inget."

"Nggak papa. Kita satu angkatan juga, lo pasti nggak tahu? Gue anak kelas C."

"Iya, maaf. Aku nggak begitu tahu tentang anak kelas lain."

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kembali makan. Sesekali mendesis karena kepedasan, kuah merah bakso milikn Alina sudah menjelaskan kalau gadis itu menaruh beberapa sendok sambal ke dalam kuah baksonya. Kami nggak lagi mengobrol, karena Alina juga sibuk dengan makanannya, pun denganku. Rasanya memang agak canggung, apalagi, aku baru kenal dengan Alina. Tapi, sepertinya dia gadis yang baik. Aku lalu mengalihkan perhatian, untuk mengusir canggung. Melihat beberapa mahasiswa yang lalu lalang untuk ke kantin, namun ... mataku mendapati sosok Aruna, ia sedang berjalan bersama salah seorang teman sekelasku—Sita. Mereka memang cukup akrab belakangan ini, apalagi sejak Aruna menjauhiku. Aku hanya bisa memperhatikannya dalam diam, nggak berani menyapa. Semakin hari, Aruna terlihat semakin asing untukku, ia juga nggak mencoba buat menyapaku, meski matanya melihat sekilas ke arahku.

"Itu bukannya temen lo? Biasanya kalian kemana-mana barengan."

"Ah, iya. Itu Aruna."

"Ajakin ke sini aja, ini masih kosong bangkunya. Bangku yang lain pada penuh, gue juga udah mau selesai kok." Alina menunjuk mangkuknya yang hampir kosong, cepat sekali ia makan.

"Nggak perlu, santai aja makannya. Masih ada bangku kosong di sana," kataku, menunjuk bangku yang baru saja ditinggalkan penghuninya, di ujung selatan.

"Ran, gue tahu lo orang baik. Kalau mau, kita bisa temenan. Gue juga kesepian."

Aku tersenyum canggung, Alina anak yang cukup blak-blakan rupanya, ia balas tersenyum lebar.

"Sori, gue nggak maksud apa-apa. Gue tahu posisi lo, gue juga pernah ngerasain hal kayak gitu. Ibu gue pengidap skizofrenia, bolak-balik masuk rumah sakit jiwa." Ia menjelaskan tanpa kuminta, ada sorot kesedihan di matanya. Aku cukup terkejut mendengar perihal kondisi ibunya. Alina pasti sedih, aku bisa merasakannya. Hidup menjadi anak penderita skizo memang nggak gampang kurasa, berbagai label diberikan masyarakat untuknya. Banyak orang yang tahu tentang kisahku kan? Jadi, aku nggak kaget kalau Alina juga tahu.

"Kami sekeluarga pindah ke Surabaya pas gue mau masuk kuliah. Udah nggak tahan denger omongan tetangga, gue dulu juga sering kena ejek karena keadaan ibu gue. Bokap juga akhirnya milih nikah lagi, untung gue punya kakak yang punya kerjaan bagus di sini, jadi masih bisa biayai kami semua." Ia lalu tertawa kecil, "kenapa gue jadi curhat ya? Sori ya, Ran. Kalau lo keganggu."

"Nggak papa kok, Lin. Aku seneng, bisa denger cerita hidup orang lain. Semoga ibumu segera pulih ya."

"Amin, makasih doanya." Ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, lalu kembali meminum es jeruk miliknya hingga tandas.

"Jadi, lo mau temenan sama gue nggak? Gue bukan orang yang jahat kok."

Aku tersenyum lebar, lalu mengangguk. Teman, aku mencoba membangun kepercayaanku tentang teman, sekali lagi. Meskipun takut kembali patah, tapi ... memang sudah seharusnya aku berani melawan ketakutan.

tbc

Lama banget ya nggak update. Hehe, setelah project-ku jalan, dan project satunya juga udah mau selesai, kayaknya aku bisa sering update habis ini. 

Oh ya, aku punya podcast yang ngomongin soal kesehatan mental sama life's problems. Kalau kamu mau dengerin, kamu bisa klik logo spotify yang nangkring di sudut kanan bawah laman ini ya. EP 2 membahas tentang Katanya, Kita Berharga. Masih related sama cerita ini. Semoga kamu suka chapter ini ya.

Kamu bisa join di grup telegramku juga di https://t.me/aristavee

See you!

Salam Sayang,

Rista!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro