Aku yang Kembali Ditinggalkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu hal yang selalu melintas di kepalaku. Apa aku nggak layak untuk disayangi? Apa, selamanya aku harus berteman dengan rasa sepi dan sakit yang nggak memiliki obat penyembuh?

Sejak hari itu, aku seperti kehilangan Aruna. Dia menghindariku, bahkan semua pesan yang kukirimkan tak kunjung dibalas. Sepulang dari Malang, Aruna menjadi sosok yang berbeda, Aruna menjadi jauh, seolah-olah, tak pernah ada kedekatan di antara kami. Atau, selama ini ... hanya aku yang menganggap bahwa kami adalah sepasang sahabat? Apakah Aruna pada akhirnya sadar, dan ia malu memiliki teman sepertiku?

Aku seperti hilang arah. Aku tidak punya teman akrab saat ini, kecuali Aruna. Saat ia menjauh, aku terasing. Kembali seperti Ranala yang dulu, Ranala yang sendiri dengan kekosongan yang semakin menjadi-jadi. Cokelat panas yang barusan kuminum rasanya semakin pahit, kenyataan hidup membuatku kadang berpikir bahwa ... menyerah itu lebih baik. Tapi, aku sadar, menyerah nggak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.

"Ranala, kamu bisa nggak sih, berhenti ngerepotin Mama sama Papa?"

Aku cukup terkejut dengan kedatangan Disty, ia tiba-tiba saja sudah berada di depanku dengan pandangan mata yang menyala-nyala. Kenapa lagi? Beberapa pengunjung kedai kopi tempatku menghabiskan kesendirianku mulai memperhatikan kami, dan darimana juga Disty tahu perihal keberadaanku di sini?

"Apa lagi? Aku sudah keluar dari rumah kamu, dan aku nggak ngerasa ngerepotin Om sama Tante lagi. Nggak untuk saat ini."

"Halah, dasar nggak tahu diri! Papa sama Mama bolak-balik ke kantor polisi buat ngurusin pembunuh orang tuamu, Rana. Bisa-bisanya kamu pura-pura nggak tahu?"

Aku menghela napas, aku hampir melupakan soal itu. Mungkin karena kesibukan kuliah, aku nggak terlalu memikirkan tentang siapa yang membunuh kedua orang tuaku. Aku juga sibuk memulihkan diri. Memang, Om Redilah yang mengurus semuanya selama ini.

"Maaf, jadi ... kamu mau aku gimana?"

"Bilang sama Papa dan Mama buat berhenti ngurusin kasus kematian orang tua kamu, toh ... mereka udah mati."

Aku memejamkan kedua mataku. Sakit sekali rasanya, mendengar ucapan Disty. Memang benar, orang tuaku sudah meninggal, tapi ... apakah mereka nggak berhak untuk mendapatkan keadilan?

"Mama dan Papa berhak mendapatkan keadilan, meskipun mereka udah nggak ada. Tapi, siapa pun pembunuhnya, tetap harus mendapatkan hukuman yang setimpal."

Disty tertawa, ia seperti mencemoohku. Pandangannya begitu merendahkan, membuatku merasakan sakit hati sekali lagi. Dari awal, Disty memang tidak menyukaiku, aku cukup sadar tentang hal ini. Apalagi, saat Om Redi dan Tante Resty fokus mengurusku dulu, kebencian Disty semakin menjadi-jadi.

"Kamu bisa kan urus semuanya sendiri? Papa jadi sering sakit karena ngurusin hal beginian, dan tentu saja jadi mengabaikanku."

"Disty, aku nggak tahu harus minta tolong sama siapa lagi selain sama Om Redi. Aku minta maaf buat itu."

"Aku nggak butuh maaf kamu Rana, aku butuh kamu pergi dari kehidupan keluargaku. Kamu itu benalu, tahu nggak?"

Tanganku gemetaran, sudah cukup Disty menghinaku habis-habisan, apalagi kami menjadi sorotan orang-orang. Aku menghela napas, lalu berdiri dari dudukku.

"Disty, jangan sampai kamu merasakan apa yang kurasakan. Roda kehidupan itu berputar, takdir Tuhan nggak ada yang tahu. Kamu pikir, aku mau jadi kayak gini? Nggak! Kalau boleh memilih, aku ingin kedua orang tuaku hidup lagi, dan nggak ngerepotin keluargamu."

Aku menyeka air mata yang membasahi pipi. Aku berusaha untuk menekan emosi yang memuncak, karena perkataan Disty begitu melukaiku. Sejujurnya, selama ini aku sudah cukup kuat menahannya, namun hari ini, kesabaranku mencapai batas. Ucapan Disty terlalu buruk.

"Baik, aku akan mengurus semuanya sendiri, tanpa melibatkan kedua orang tuamu. Aku harap, kamu bisa bahagia setelah ini," pungkasku, aku lalu pergi meninggalkan Disty, membawa segenap luka yang baru saja diberikan oleh Disty. Kadang, hidup terlalu kejam untukku, sekuat apa pun aku berusaha berdiri, nyatanya ... saat ini aku butuh sandaran, sayang ... satu-satunya yang peduli malah sedang menjauh, tanpa aku tahu apa sebabnya. Aruna ... aku merindukannya.

***

Aku berada di kedai kopi yang terletak di bawah gedung apartemenku. Tempat ini cukup sepi, dan aku menyukainya. Aku butuh tempat tenang, tapi aku juga masih enggan untuk kembali ke unit apartemenku. Karena saat sendiri, aku akan merasa semakin kacau, jika masih di tempat umum seperti ini, aku lebih bisa mengendalikan diri.

Secangkir Americano terasa nikmat di lidahku. Pikiranku sedang semrawut, kopi adalah pilihan yang baik, meski sebenarnya, aku sedang menyiksa diri. Secangkir kopi bisa membuatku semakin gelisah. Ah ... aku nggak peduli, itu urusan nanti. Yang penting, isi kepalaku tenang dulu. Rasa-rasanya, aku ingin menjambak rambut Disty. Ia salah kalau mengiraku masih selemah dulu, nggak ... aku sudah lebih kuat sekarang. Kerasnya hidup mengajariku untuk menjadi lebih kuat, untuk bisa berdiri di atas kedua kakiku sendiri. Memang, saat ini ... siapa yang kupunya? Selain diri sendiri, nggak ada.

"Ran, sendirian?"

Seseorang menarik kursi berwarna putih yang berada di depanku, lalu duduk di atasnya. Ravindra. Laki-laki itu menebar senyum hangat, sambil membawa satu cangkir macchiato yang masih panas. Aku mengenali menu itu, hampir semua menu di tempat ini sudah pernah kupesan. Ravindra memakai pakaian kasual, kaus berwarna hitam, jeans putih dan sepatu kets. Mungkin, ia mau pergi.

"Ya, sama siapa lagi?" aku tersenyum, meski hatiku sedang pedih.

"Mau cerita?"

Aku mengalihkan tatapan, ragu. Aku tidak kunjung menjawab pertanyaan Ravindra. Apa yang harus kuceritakan? Tentang hinaan dari bibir Disty yang hari ini membuat mood-ku buruk? Atau tentang Aruna yang tiba-tiba menjauh?

"Cerita bisa bikin kamu lega, aku nggak akan cerita ke siapa-siapa. Tapi, aku nggak maksa, misalnya kamu masih ragu."

"Vin ...."

Aku mengigit bibir, ragu. Tapi, sepertinya nggak papa kalau aku cerita masalahku pada Ravindra. Saat ini, nggak ada orang yang benar-benar dekat denganku, ya ... harus kuakui, yang masih mau memperhatikanku saat ini hanya Ravindra, sebagai teman tentu saja.

"Aku ingin mengambil alih kasus kedua orang tuaku."

"Kenapa?"

Aku tersenyum masam. "Sudah waktunya aku mandiri kan? Aku udah banyak ngerepotin keluarga Om Redi. Menurutmu gimana?"

Ravindra terlihat berpikir, ia belum memberikan jawaban. Aku juga nggak tahu, apa yang akan ia bicarakan. Aku mungkin sudah benar-benar terlihat putus asa, saat membicarakan soal ini pada Ravindra.

"Kamu udah ngomong sama Om Redi?"

Aku menggeleng, "Itu keputusanku sendiri."

"Ada yang mempengaruhimu?" Ravindra menatapku curiga. Aku belum ingin cerita.

"Nggak."

"Bicarakan dulu dengan Om Redi, jangan sampai membuatnya tersinggung. Kamu juga masih butuh wali, Ran. Dan Om Redi tetap yang bertanggung jawab atas kamu kan?"

"Ya, mungkin setelah ini, aku akan membicarakannya dengan Om Redi."

Ravindra menganggukkan kepalanya, ia tersenyum. "Ran, kalau kamu mau. Aku punya Om, dia seorang pengacara, cukup terkenal untuk menangani kasus kayak gini, mungkin kamu juga pernah lihat dia di TV. Aku bisa bantu kamu buat ngehubungi Omku, kalau kamu mau."

"Siapa?"

"Om Darsawangsa. Firma hukumnya di Jakarta, tapi di sini juga ada perwakilannya. Gimana?"

Aku tahu nama itu, memang cukup terkenal. Yang kudengar, beliau juga sering menangani beberapa kasus besar. Nggak ada salahnya aku meminta pertolongan, soal biaya ... aku akan membicarakannya pada Om Redi. Papa masih punya banyak aset, dan saat ini, Om Redilah yang memegang. Aku mungkin bisa menjualnya satu. Nggak masalah, demi keadilan atas kematian papa dan mama.

"Aku mau, aku akan ngomongin soal ini sama Om Redi. Makasih ya, Vin."

"Nggak gratis."

Aku menatap aneh pada Ravindra. Maksudnya? Ia juga mau dibayar? "Kamu mau dibayar juga? Berapa?"

Ravindra malah tertawa terbahak-bahak. Aku nggak tahu kenapa. Ada yang salah mungkin dari ucapanku?

"Bukan ... bukan. Temenin aku belanja ya, mau?"

"Ah ... boleh deh, kebetulan, aku juga harus belanja. Emmm ... sekarang?"

"Habisin dulu kopinya, tapi besok-besok, kurangi kafein ya?"

"Hah? Eh, kamu juga minum kafein," bantahku, ia tertawa lagi. Ada yang lucu memang?

"Kamu ini lucu juga ya, Ran? Ketimbang minum kopi, kalau butuh temen cerita, kamu bisa hubungi aku."

"Aku nggak mau bikin kamu repot."

Ravindra menggeleng, ia tersenyum simpul. "Nggaklah. Kita kan temen?"

Aku tersenyum ragu. Teman ya? Ravindra nggak akan pergi seperti Aruna kan? Aku takut, jika suatu hari, aku sudah bergantung pada Ravindra, laki-laki itu malah pergi, seperti Aruna.

"Kamu yakin mau jadi temenku?"

Ravindra mengerutkan dahinya. "Kenapa nggak?"

"Kamu nggak akan pergi? Yakin? Kamu nggak malu temenan sama aku? Aku takut kamu malu dan malah dijauhi temen-temen kamu, gara-gara aku."

Aku kembali ragu, tentang hakikat pertemanan. Padahal, sebelumnya, aku sudah yakin soal kembali menjalin hubungan pertemanan, bahkan mungkin lebih dari itu. Tapi, sejak Aruna menjauh, dari kemarin, aku kembali ragu. Soal ucapan teman-teman Ravindra juga, itu membuat keraguanku semakin besar.

"Nggak usah mikirin omongan orang lain. Kan yang mau temenan itu aku, bukan mereka. Malah, aku juga mau kita lebih dari teman."

Aku diam. Ravindra memang suka sekali membuatku terkejut. Aku bukan nggak tahu soal itu. Aku hanya belum berani melangkah lebih jauh. Aku masih ingin sendiri, meski kadang-kadang, aku measa, aku juga butuh seseorang yang selalu ada. Tapi, itu seperti hanya keinginan yang melintas di kepala, nggak benar-benar ingin kulakukan.

"Aruna menjauhiku. Bisa aja kamu berubah juga. Aku cuma takut ditinggalkan."

"Nggak ada alasan buat ninggalin kamu, Ran. Soal masa lalu kamu? Nggak ada yang salah, malah kamu hebat banget bisa melalui semuanya. itu yang bikin aku kagum sama kamu."

"Tapi Aruna—"

"Mungkin dia punya alasan. Nggak mungkin dia tiba-tiba menjauh tanpa alasan. Kamu udah coba tanya?"

"Dia bahkan nggak balas pesanku sama sekali, kami bertemu di kelas, tapi dia menghindar."

"Beri Aruna waktu dulu. Setelah itu, bicara baik-baik."

Aku mengangguk, lalu meminum sisa kopiku. Ravindra juga melakukan hal yang sama. Memang, berteman dengan Ravindra bukan hal yang buruk, aku hanya masih ragu, ke depannya seperti apa. Aku memang takut ditinggalkan, dan ini bukan perasaan yang wajar. Aku tahu itu, mungkin aku harus membicarakannya lagi dengan Dokter Windra.

"Sudah? Ayo berangkat."

"Emhh, ayo."

Ravindra memberikan senyumnya. Laki-laki itu lalu menungguku untuk berdiri, kami berjalan sejajar meninggalkan kedai kopi ini, meninggalkan bekas cangkir kopi yang masih memiliki sisa. Ravindra, bolehkah aku berharap banyak padanya?

tbc

Holaaaa. Akhirnya setelah satu tahun lebih, aku update juga hehe. Kalian bisa baca ulang ya kalau lupa alurnya. 

AYO KASIH AKU SEMANGAT BIAR CERITA INI LANJUT SAMPAI TAMAT.

SEE YA!

IG: Aristavee

Twitter: aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro